Aku tak tahu harus bilang apa lagi, tak sampai hari rasanya menolak, sedangkan dia sudah begitu baik, sampai kotoranku pun dia urus saat aku sakit. Akan tetapi aku teringat janjiku. Janji di depan semua saudara. Aku tidak akan mengingkari janji, akan tetapi bagaimana caranya supaya Karen tidak tersinggung."Maaf, Karen, aku tidak bisa, suruh keluargamu saja yang jemput," kataku kemudian."Ucok, aku suruh kamu jemput karena aku mau ke rumahmu lo," kata Karen."Ke rumahku?" "Iya, Cok,""Mau ngapain?""Silaturahmi, Cok,""Duh!""Kok mengaduh, memang gak boleh, Cok?""Bukan gak boleh, tapi....""Udah, pokoknya aku tunggu di Kuala namu," katanya, sambungan telepon pun terputus.Aku harus bisa menolak, tak ingin lagi membuat mamak meneteskan air mata, tidak. Alasan apa yang harus kuberikan?"Butet, aku mau minta pendapat, tapi jangan menghakimi ya," kataku pada Butet. Saat itu kami lagi meninjau sapi Butet."Oh, apa itu, Bang?" tanya Butet."Soal Karen,""Ya, kenapa dia?""Dia mau datang
"Ucok, sini mamak bilang dulu, Nak," tiba-tiba terdengar suara mamak dari dalam rumah. Ternyata mamak menguping pembicaraan kami, aku lalu masuk rumah, duduk di dekat mamak. "Ucok, ini hubungi si Karen pake HP mamak," kata mamak seraya menyodorkan HP -nya."Aku harus bilang apa, Mak?""Terserah Ucok," kata mamak lagi. Aku lalu menerima HP mamak tersebut, mencatat nomor fari HP -ku, lalu..."Ini siapa?" tanyanya dari seberang."Ini aku Ucok,""Aki tak mau bicara, satu saja yang mau kubilang, air susu kau balas air tuba," kata Karen dari seberang. Panggilan telepon pun terputus.Aku mulai kesal, kuketik pesan lewat HP mamak."Terserah kamu, jangan coba-coba datang ke rumahku lagi, jangan pernah telepon aku lagi," begitu pesan yang kuketik dan kirim.Ceklis biru dua, akan tetapi tak ada balasan. Biarlah, ini mungkin cara aku bisa lepas dari perempuan tersebut. Libur kuliah ini bertepatan dengan hari raya kurban. Butet memberikan satu sapinya untuk kurban kami sekeluarga. Sapi Limosin
PoV NiaSaat Ucok mau pulang kampung karena libur, aku dan suami berinisiatif memberikan sambutan meriah untuk Ucok. Ini sebagai penebus kesalahan kami yang pura-pura tak peduli saat dia sakit. Aku merasa bersalah sekali. Aku yang punya ide supaya dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Maksudnya untuk memberikan pelajaran untuknya. Bang Parlin juga tidak main-main, dia bahkan menghubungi seluruh keluarganya untuk memberikan semangat pada Ucok. Laporan Butet membuat aku terkejut, Ucok punya teman wanita yang sudah seperti suami istri. Ini akibat kami pura-pura tidak peduli juga. Bang Nyatan justru punya ide aneh, kata Bang Nyatan Ucok diancam untuk dinikahkan. Bang Parlin justru langsung setuju. Aku tentu tidak setuju."Bagaimana kalau Ucok mau, Bang, sudah siap punya menantu kah?" tanyaku pada Bang Parlin."Dek, entah kenapa aku selalu melihat diriku pada Ucok, jika dia mau nikah ya, kita nikahkan, kalau dia tak mau, mungkin dengan begini dia akan sadar, ini seperti dua mata pisau,
Pagi harinya, berjalan seperti biasa, Ucok masih tidur, mungkin dia tidur setelah salat subuh. Jadwal kami hari ini adalah menyurvei orang yang akan menerima bantuan sapi dari pemerintah. Bantuan ini adalah murni untuk mengangkat tarap hidup petani, bukan sistem pinjaman, bukan sistem anak angkat. Murni bantuan dari pemerintah. Aku sangat bersyukur kabupaten kami terpilih jadi yang menerima program bantuan ini.Saat kami mau berangkat, Ucok minta ikut, jadilah kami sekeluarga yang pergi tujuan kami kali ini adalah salah satu desa terpencil di ujung selatan kabupaten ini. Untuk sampai ke desa ini harus melewati jalan tanah yang belum diaspal.Kami disambut seorang pria, di depan rumahnya yang sangat besar bagaikan istana ada bendera partai. "Saya tokoh masyarakat desa ini, Bu, ini daftar nama yang dapatkan bantuan," kata pria tersebut."Mana kepala desa ini, Pak?" tanyaku kemudian."Saya, Bu,""Lo, kenapa ada bendera partai di depan rumahnya," kataku lagi."Saya kepala desa, sekal
Kulihat Bang Parlin, suamiku itu mengangguk tanda setuju, akhirnya kupersilahkan Butet yang bicara."Maaf, Pak, pertama tolong lihat isi chat dari Kak Karen," kata Butet seraya meminta HP Ucok. Pria itu membaca chat tersebut, isinya ancaman bunuh diri."Lihatlah itu, Pak, saya bacakan ya, "Untuk apa lagi aku hidup, orang tua tidak peduli, orang yang kucintai pun sudah tak peduli, aku mau mati saja," baca, Pak, renungkan, orang tua tidak peduli? Jadi saya tanya dulu, Bapak, apakah bapak peduli pada Karen?" kata Butet."Tentu saja kami peduli, karena kami peduli makanya kami datang ke mari," kata Ayah Karen."Sudahlah, Pak, ini kesalahan kalian yang tidak peduli pada anak sendiri, ketika ada yang peduli dia tersanjung, akhirnya begini," kata Butet lagi."Tapi kenapa dia sampai begitu?" Pria itu tampaknya mulai melunak."Itu masalah kalian?" kata Butet lagi."Kami minta pertanggungjawaban," "Aduh, Pak, pertanggungjawaban seperti apa? Bapak mau menuntut ke pengadilan? Mau nuntut apa
Ternyata selama ini aku selalu diluluhkan dengan ilmu yang tiga baris, memang aku tak pernah mengamuk lagi, dulu saat masih gadis, aku sering lepas kendali dan marah-marah tak tentu arah."Abang egois, hanya mau manisnya saja, gak mau terima pahitnya," kataku kemudian."Hmmm, aku egois?""Ya, iyalah, Bang, pantas saja aku tak pernah marah-marah luapkan emosi," kataku lagi."Dek, kamu tahu gak, rasa marah itu apabila diluapkan akan berakhir dengan rasa malu, seharusnya adek itu bersyukur, terhindar dari rasa malu," kata Bang Parlin."Heh, Bang, marah' itu manusiawi,""Benar, orang yang hebat adalah orang yang bisa mengendalikan rasa marahnya, coba gak Abang luluhkan hatimu, bisa kau marahi Abangmu, adikmu, bahkan bisa kau damprat Rara habis-habisan, dengan ilmu itu kamu jadi adem dan tambah manis," kata Bang Parlin."Jadi ...ya, Allah, Abang salah gunakan kelebihan Abang," kataku kemudian."Nggak lah, Dek, gak pernah," "Baik, Bang, berapa kali Abang gunakan yang tiga baris padaku?"
Setiap ada program baru, selalu saja muncul penjilat dan penekan. Kali ini para anggota dewan banyak yang minta bagian sapi tersebut. Uang sapi ini memang terlalu manis. Lima sapi anakan sangatlah menggiurkan, ditambah lagi uang perawatan. Ini sama besarnya dengan program bedah rumah. Akan tetapi aku tetap teguh pada pendirian, kadis sosial pun mendukungku penuh, tak ada yang bisa diselewengkan. Aku makin disegani, akan tetapi makin banyak musuh. Hampir setengah anggota dewan jadi tak mau bicara padaku.Akhirnya rampung juga, seluruh data sudah selesai, selama sepuluh hari kami langsung bertatap muka dengan calon penerima. Tinggal menunggu sapinya datang. Pagi itu Bupati meneleponku, dia suruh aku segera datang ke kantor bupati, ada yang mau dibahas. Didampingi suami, aku segera memenuhi panggilan tersebut."Sepinya sudah mau dikirim, akan tetapi anda kesalahan data, bukan lima sapi per kepala keluarga, tapi dua," kata bupati."Lo, kok bisa begitu, Pak, kan dalam surat itu jelas lim
Setelah berpikir agak lama akhirnya aku menyetujui permintaan si Hasibuan ini, kuberikan surat dari atasan. Semua urusannya kuserahkan pada pria tersebut. Kuberikan juga nomorku padanya.Rumah Ucok dua lantai, lantai kedua tetap kosong, kata Ucok, orang malas naik-naik, akhirnya lantai atas dikhususkan untuk tamu. Aku juga jadi termasuk tamu. Tiket pesawat sudah kupesan, esok harinya aku akan pulang ke Medan. Pagi itu aku duduk-duduk di dekat jendela. Sambil Menatap ke arah jalan, ada mobil parkir di halaman rumah, seorang gadis keluar dari mobil tersebut. Itu Karen. Aku langsung berdiri hendak turun, akan tetapi kuurungkan niat, ingin kulihat sudah sampai di mana Ucok, apakah dia bisa berubah.Kulihat Ucok keluar dari rumah menemui gadis tersebut, mereka tampak bicara, aku tidak tahu mereka bicarakan apa, akan tetapi kemudian Ucok masuk rumah dan terdengar suaranya memanggilku."Maakkk!" Aku pura-pura sibuk dengan laptop Ucok naik ke atas."Mak, Karen datang itu," kata Ucok.