PoV NiaSaat Ucok mau pulang kampung karena libur, aku dan suami berinisiatif memberikan sambutan meriah untuk Ucok. Ini sebagai penebus kesalahan kami yang pura-pura tak peduli saat dia sakit. Aku merasa bersalah sekali. Aku yang punya ide supaya dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Maksudnya untuk memberikan pelajaran untuknya. Bang Parlin juga tidak main-main, dia bahkan menghubungi seluruh keluarganya untuk memberikan semangat pada Ucok. Laporan Butet membuat aku terkejut, Ucok punya teman wanita yang sudah seperti suami istri. Ini akibat kami pura-pura tidak peduli juga. Bang Nyatan justru punya ide aneh, kata Bang Nyatan Ucok diancam untuk dinikahkan. Bang Parlin justru langsung setuju. Aku tentu tidak setuju."Bagaimana kalau Ucok mau, Bang, sudah siap punya menantu kah?" tanyaku pada Bang Parlin."Dek, entah kenapa aku selalu melihat diriku pada Ucok, jika dia mau nikah ya, kita nikahkan, kalau dia tak mau, mungkin dengan begini dia akan sadar, ini seperti dua mata pisau,
Pagi harinya, berjalan seperti biasa, Ucok masih tidur, mungkin dia tidur setelah salat subuh. Jadwal kami hari ini adalah menyurvei orang yang akan menerima bantuan sapi dari pemerintah. Bantuan ini adalah murni untuk mengangkat tarap hidup petani, bukan sistem pinjaman, bukan sistem anak angkat. Murni bantuan dari pemerintah. Aku sangat bersyukur kabupaten kami terpilih jadi yang menerima program bantuan ini.Saat kami mau berangkat, Ucok minta ikut, jadilah kami sekeluarga yang pergi tujuan kami kali ini adalah salah satu desa terpencil di ujung selatan kabupaten ini. Untuk sampai ke desa ini harus melewati jalan tanah yang belum diaspal.Kami disambut seorang pria, di depan rumahnya yang sangat besar bagaikan istana ada bendera partai. "Saya tokoh masyarakat desa ini, Bu, ini daftar nama yang dapatkan bantuan," kata pria tersebut."Mana kepala desa ini, Pak?" tanyaku kemudian."Saya, Bu,""Lo, kenapa ada bendera partai di depan rumahnya," kataku lagi."Saya kepala desa, sekal
Kulihat Bang Parlin, suamiku itu mengangguk tanda setuju, akhirnya kupersilahkan Butet yang bicara."Maaf, Pak, pertama tolong lihat isi chat dari Kak Karen," kata Butet seraya meminta HP Ucok. Pria itu membaca chat tersebut, isinya ancaman bunuh diri."Lihatlah itu, Pak, saya bacakan ya, "Untuk apa lagi aku hidup, orang tua tidak peduli, orang yang kucintai pun sudah tak peduli, aku mau mati saja," baca, Pak, renungkan, orang tua tidak peduli? Jadi saya tanya dulu, Bapak, apakah bapak peduli pada Karen?" kata Butet."Tentu saja kami peduli, karena kami peduli makanya kami datang ke mari," kata Ayah Karen."Sudahlah, Pak, ini kesalahan kalian yang tidak peduli pada anak sendiri, ketika ada yang peduli dia tersanjung, akhirnya begini," kata Butet lagi."Tapi kenapa dia sampai begitu?" Pria itu tampaknya mulai melunak."Itu masalah kalian?" kata Butet lagi."Kami minta pertanggungjawaban," "Aduh, Pak, pertanggungjawaban seperti apa? Bapak mau menuntut ke pengadilan? Mau nuntut apa
Ternyata selama ini aku selalu diluluhkan dengan ilmu yang tiga baris, memang aku tak pernah mengamuk lagi, dulu saat masih gadis, aku sering lepas kendali dan marah-marah tak tentu arah."Abang egois, hanya mau manisnya saja, gak mau terima pahitnya," kataku kemudian."Hmmm, aku egois?""Ya, iyalah, Bang, pantas saja aku tak pernah marah-marah luapkan emosi," kataku lagi."Dek, kamu tahu gak, rasa marah itu apabila diluapkan akan berakhir dengan rasa malu, seharusnya adek itu bersyukur, terhindar dari rasa malu," kata Bang Parlin."Heh, Bang, marah' itu manusiawi,""Benar, orang yang hebat adalah orang yang bisa mengendalikan rasa marahnya, coba gak Abang luluhkan hatimu, bisa kau marahi Abangmu, adikmu, bahkan bisa kau damprat Rara habis-habisan, dengan ilmu itu kamu jadi adem dan tambah manis," kata Bang Parlin."Jadi ...ya, Allah, Abang salah gunakan kelebihan Abang," kataku kemudian."Nggak lah, Dek, gak pernah," "Baik, Bang, berapa kali Abang gunakan yang tiga baris padaku?"
Setiap ada program baru, selalu saja muncul penjilat dan penekan. Kali ini para anggota dewan banyak yang minta bagian sapi tersebut. Uang sapi ini memang terlalu manis. Lima sapi anakan sangatlah menggiurkan, ditambah lagi uang perawatan. Ini sama besarnya dengan program bedah rumah. Akan tetapi aku tetap teguh pada pendirian, kadis sosial pun mendukungku penuh, tak ada yang bisa diselewengkan. Aku makin disegani, akan tetapi makin banyak musuh. Hampir setengah anggota dewan jadi tak mau bicara padaku.Akhirnya rampung juga, seluruh data sudah selesai, selama sepuluh hari kami langsung bertatap muka dengan calon penerima. Tinggal menunggu sapinya datang. Pagi itu Bupati meneleponku, dia suruh aku segera datang ke kantor bupati, ada yang mau dibahas. Didampingi suami, aku segera memenuhi panggilan tersebut."Sepinya sudah mau dikirim, akan tetapi anda kesalahan data, bukan lima sapi per kepala keluarga, tapi dua," kata bupati."Lo, kok bisa begitu, Pak, kan dalam surat itu jelas lim
Setelah berpikir agak lama akhirnya aku menyetujui permintaan si Hasibuan ini, kuberikan surat dari atasan. Semua urusannya kuserahkan pada pria tersebut. Kuberikan juga nomorku padanya.Rumah Ucok dua lantai, lantai kedua tetap kosong, kata Ucok, orang malas naik-naik, akhirnya lantai atas dikhususkan untuk tamu. Aku juga jadi termasuk tamu. Tiket pesawat sudah kupesan, esok harinya aku akan pulang ke Medan. Pagi itu aku duduk-duduk di dekat jendela. Sambil Menatap ke arah jalan, ada mobil parkir di halaman rumah, seorang gadis keluar dari mobil tersebut. Itu Karen. Aku langsung berdiri hendak turun, akan tetapi kuurungkan niat, ingin kulihat sudah sampai di mana Ucok, apakah dia bisa berubah.Kulihat Ucok keluar dari rumah menemui gadis tersebut, mereka tampak bicara, aku tidak tahu mereka bicarakan apa, akan tetapi kemudian Ucok masuk rumah dan terdengar suaranya memanggilku."Maakkk!" Aku pura-pura sibuk dengan laptop Ucok naik ke atas."Mak, Karen datang itu," kata Ucok.
"Terobsesi?" kataku dengan kening berkerut."Iya, Mak, waktu aku di Jakarta, tiap hari dia datang," kata Butet lagi.Apa iya gadis itu terobsesi pada Ucok? Apa iya ada gadis cantik, kaya dan dan berpendidikan masih terobsesi? Rasanya tidak mungkin."Kan Ucok di Jakarta, Tet, sedangkan dia mau datang ke mari," kata Bang Parlin."Siapa tahu terobsesi sama ayah, gak dapat anaknya ayahnya pun jadi," kata Butet lagi."Huhss, sembarangan ngomong kau, Tet," kata Bang Parlin yang dibalas Butet dengan tawa.Butet tetap kuliah di ibukota kabupaten. Karena jarak yang jauh dari desa, dia kos, sekali seminggu baru pulang ke desa. Dua anakku tinggal terpisah dengan kami, kami jadi seperti orang baru menikah saja, punya anak yang masih kecil. Rasanya seperti kembali ke jaman dulu. Jadi ibu rumah tangga biasa.Setelah mundur dari jabatan wakil bupati, aku punya banyak waktu luang, setiap hati teleponan sama Ucok dan Butet, menanyakan tentang kuliah mereka, kegiatan mereka, bahkan makam mereka, aku
PoV ButetMamak akhirnya mundur dari jabatannya. Kami terpaksa pindah ke desa lagi, jadilah aku harus tinggal di kos, karena jarak dari desa ke ibukota kabupaten sangat jauh. Aku makin repot, akan tetapi aku tetap mendukung mamak mundur, karena memang terlalu banyak tantangannya. Mamak terlalu jujur jadi pejabat, sehingga banyak musuhnya.Sabtu siang, aku pulang ke desa, begitu aku aku sampai Bang Sandy sudah datang dengan informasi barunya, ada menteri dan beberapa anggota dewan ditangkap karena korupsi. Kemudian datang lagi Bang Umar, informasi dari polisi ini lebih mengejutkan, dia mau nikah dengan Salsabila.Sungguh aku tidak rela, jika polisi sebaik Bang Umar harus nikah dengan Salsa aku kenal betul Salsa. Akan tetapi Bang Umar lagi-lagi mengatakan tujuannya hendak melamarku. Ayah langsung menggunakan hak veto -nya, tanpa bertanya padaku dan pada mamak, ayah langsung menolak.Sampai akhirnya polisi itu pamit dan akan berangkat ke Jakarta memenuhi panggilan orang tua angkatnya."B