Ada banyak polisi yang datang, ada yang berpangkat melati dua di pundaknya, itu setara Kapolres, aku jadi makin khawatir, Kulihat Sandy juga sudah ketakutan."Silakan masuk, Pak," kata Bang Parlin. Hanya tiga orang polisi yang masuk, selebihnya berjaga di luar. Aku coba bersikap ramah, kuambil minuman kemasan dari kulkas."Minum dulu, Pak," tawarku kemudian."Terima kasih, Bu," kata salah satu polisi' tersebut.Ucok, Butet dan Sandy duduk di lantai, aku dan Bang Parlin duduk di kursi berhadapan dengan polisi tersebut."Kenalkan dulu, saya pejabat Kapolres yang baru," kata pria tersebut seraya menyalami Bang Parlindungan."Oh, Ya, Pak, saya Parlin, ini istri Saya Nia," kata Bang Parlin."Ada gerangan apa ya, Pak, Kapolres berkunjung ke rumah kami ini?" tanyaku kemudian."Begini, Bu, Ibu pasti sudah dengar atau baca berita tentang gonjang-ganjing di kabupaten ini," katanya."Iya, Pak,""Jadi begini, Bu, setelah saya amati video konferensi pers tersebut, Saya melihat kemampuan suprana
Bang Sandy sudah mantap masuk polisi , mungkin memang kemampuan Bang Shandy dibutuhkan kepolisian. Akan tetapi aku tetap tidak setuju dengan Bang Ucok, dia sudah kuliah hampir dua tahun. "Mamak kok dukung Bang Ucok?" tanyaku pada mamak. Saat itu aku lagi membantu mamak masak. "Bukan karena setuju, Tet, hanya ingin dukung saja, selama ini abangmu sudah merasa tak didukung." kata mamak."Mamak tidak setuju, tapi tetap mendukung?" "Apapun keputusan Ucok, untuk saat ini mamak dukung,""Dia dalam tahap mencari jati diri, Tet, labil, besok lusa dia bisa berubah lagi,""Tapi didukung terus?""Iya, Tet, dia butuh dukungan,"Bang Ucok sudah harus berangkat ke Jakarta, aku juga harus berangkat ke kota. Kami melakukan perjalanan lagi. Rencananya aku akan diantar ke kota, dari kota Bang Ucok naik bus ke Medan, terus naik pesawat dari Medan ke Jakarta. "Bang Ucok, kalau jadi polisi, jangan tilang aku ya," kataku coba bercanda."Nggak bisa, siapapun yang bersalah harus dihukum, biarpun saudara
"Bagaimana, Butet?" tanyanya lagi. "Begini ya, Pak, saya bukan ustazah, tidak punya kemampuan mengajari orang dalam agama, jika memang serius ingin mendalami agama Islam, belajar sama ustadz yang jelas," kataku coba menjelaskannya."Saya sudah belajar lewat google," "Saran saya, Pak, belajarnya sama ustadz yang jelas, awas salah pilih ustadz," kataku lagi."Oke Tet, kalau begitu minta rekomendasi ustadz yang bisa lewat online, karena untuk masuk pondok, sudah tak ada waktu, saya punya tanggung jawab,""Oh, baik, Pak, saya tanya dulu ustadz teman saya," kataku kemudian.Yang pertama kuingat justru ustadz Rizal, dia pasti punya waktu secara online, karena kata Bang Ucok kerjanya cuma antar jemput istrinya. Akan tetapi aku tidak punya nomornya. Setahuku dulu dia tidak pakai HP, sekarang sudah pasti pakai hp. Kuhubungi Bang Ucok lewat pesan WA."Bang,""Ya,""Bagi dulu nomor ustadz Rizal?""Untuk apa, gak boleh ganggu suami orang,""Ada perlu lo, Bang,""Tidak boleh, Tet, jangan lagi, k
Ustadz itu terdiam, sampai tiba di kampus dia tak bicara lagi. Aku juga sudah kesal karena dia sepertinya keenakan menikmati kekayaan mertuanya, padahal dia bisa di sini karena usulanku. Dia bisa menikah juga karena usulku.Menjelang sore hari aku pulang dari kampus dengan menumpang ojek online, ini gara-gara Ustadz Rizal, padahal aku punya kendaraan biarpun motor Supra. Sampai di rumah sudah ada Bang Bambang menunggu di depan rumah. Pria ini teman pertamaku di kota ini, kini dia sudah punya usaha dan rumah sendiri."Bang, sehat!" Sapaku seraya menyalami Bang Bambang."Alhamdulillah sehat," jawab Bang Bambang."Ada apa ini, Bang, mana kakak itu," tanyaku kemudian."Di rumah, aku datang mau minta tolong, Cok," kata Bang Bambang."Minta tolong apa, Bang?""Ini, Cok, aku punya adik ipar, kejiwaannya terganggu, kan kamu punya kepandaian, pandai ngaji, bisa minta tolong, rukiah dulu adik ipar ku itu, kasihan dia, padahal dulunya dia pintar sekolah, selalu juara satu, tiba-tiba dia jadi
Dilema....Selama ini aku selalu menolong tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan, belajar dari ayah yang sudah banyak menolong orang tanpa mengharapkan balasan. Aku sudah melihat banyak kebaikan ayah. Sejak akur masih kecil, sudah terbiasa melihat kebaikan tanpa batas.Akan tetapi bagaimana kalau itu nazar orang? Aku tahu nazar itu wajib ditunaikan, yang aku tidak tahu bolehkah menolak nazar orang? Ah, benar-benar dilema. Jika aku terima, apakah prinsip hidupku yang selama ini kupegang teguh akan berubah? "Aku terima juga karena nazar, Cok," kata Ustadz Rizal. Aku sudah salah paham, kukira selama ini ustadz itu memanfaatkan keluarga dosen, ternyata dia terima karena Nazar."Maaf, Pak, maaf, Anna, aku berpikir dulu," kataku kemudian."Itulah yang membuat saya salut dengan kalian, di luaran sana banyak orang mengemis, menjilat demi dapatlah hadiah, kalian diberikan pun masih berpikir, saya paham, ustadz ini pun butuh waktu dua Minggu baru mau dia terima, silakan berpikir dulu,"
Video provokasi itu terus saja bermunculan, coba tak kupedulikan tapi makin hari makin bertambah. Terakhir aku sudah tak sabar, karena sampai bawa-bawa orang tua. "Inilah hasil didikan mantan wakil bupati," begitu caption dari video yang menampilkan diriku lagi. Ini sudah tak bisa dibiarkan. Aku coba telepon Sandy."Sandy, lihat dulu ada yang coba menjelekkanku, tolong cari tahu siapa?" kataku lewan pesan, seraya kukirim foto screenshot -nya."Maaf , Cok, aku sudah berhenti, maaf, aku trauma, kini fokus latihan mau ikut seleksi penerimaan anggota polri," kata Sandy."Oh,""Iya, Cok, maaf ya, aku untuk sementara tak pegang peralatan, ini hikmah dari peristiwa itu juga, dulu satu jam saja tak lihat laptop sudah uring-uringan, kini Alhamdulillah bisa, setelah tiga hari di Bukit merah," kata Sandy lagi."Iya, aku mengerti," kataku kemudian.Aku mulai merasa yang dikatakan Butet itu ada benarnya, begini cara penguasa membungkam pengkritik, tak mampu dipukul ya dirangkul. Hasilnya Sandy
"Maaf, Ustadz, jika perkataanku waktu itu membuatmu berubah pikiran," kataku kemudian."Gak apa-apa, Cok, aku justru senang, ada yang mengingatkan, itulah gunanya sahabat saling mengingatkan jika salah jalan, jujur, Cok, aku juga manusia biasa, Anna itu anak tunggal, hartanya banyak, tentu dia pewarisnya, imanku sempat tergoda, Cok, tapi kembali' ke mist awal, hanya untuk mengobati Anna," kataku Ustadz Rizal."Iya, Ustadz, aku permisi dulu kalau gitu," kataku kemudian.Aku pulang dengan perasaan campur aduk, antara rasa bersalah dan takjub pada ustadz ini, Anna gadis muda dan cantik, anak tunggal dosen yang sekaligus pengusaha. Tapi ustadz ini tak tergoda sama sekali, bahkan tak menyentuhnya. Akan tetapi apakah itu berdosa, adalah istri yang halal tapi tak disentuh? Atau mungkin ... Ah, pikiranku jadi ke mana-mana. Sehabis shalat Isa, aku coba hubungi Mama lagi, lewat panggilan video, ternyata Butet ada di sana, mungkin dia baru sampai."Bang, si Cantik kangen," kata Butet seraya men
PoV NiaDalam satu Minggu belakangan, dua kali Ucok minta pendapat, dua kali juga akhirnya Butet yang kasih pendapat betul. Padahal jika dipikir-pikir pendapat Butet itu bukan sesuatu hal yang besar. Seandainya memang diizinkan dosen tersebut, tak akan sampai dilema seperti ini. Dosen itu pasti tidak akan mau berpisah dengan anak tunggalnya. "Dek, Abang masih kepikiran sungai itu," kata Bang Parlin di suatu hari. Saat itu kami lagi di kebun memantau orang yang lagi panen sawit."Iya, Bang, siapa kira-kira yang racuni sungai ya?" "Entahlah, Dek, bilang dulu sama kepala desa, buat larangan mengambil ikan pakai racun," kata Bang Parlin."Iya, Bang,"Sebenarnya peraturan itu sudah ada sejak dulu, cuma peraturan tak tertulis, kini memang harus dibuat aturan serta hukumannya."Kapan bisa normal itu ikannya, Bang, pengen jugalah makan ikan sungai," kataku kemudian."Banjir dulu, Dek, jika sungai banjir besar, baru ikannya normal lagi,""Oh, entah kapan banjir besar,"Panen kali ini agak b