PoV NiaDalam satu Minggu belakangan, dua kali Ucok minta pendapat, dua kali juga akhirnya Butet yang kasih pendapat betul. Padahal jika dipikir-pikir pendapat Butet itu bukan sesuatu hal yang besar. Seandainya memang diizinkan dosen tersebut, tak akan sampai dilema seperti ini. Dosen itu pasti tidak akan mau berpisah dengan anak tunggalnya. "Dek, Abang masih kepikiran sungai itu," kata Bang Parlin di suatu hari. Saat itu kami lagi di kebun memantau orang yang lagi panen sawit."Iya, Bang, siapa kira-kira yang racuni sungai ya?" "Entahlah, Dek, bilang dulu sama kepala desa, buat larangan mengambil ikan pakai racun," kata Bang Parlin."Iya, Bang,"Sebenarnya peraturan itu sudah ada sejak dulu, cuma peraturan tak tertulis, kini memang harus dibuat aturan serta hukumannya."Kapan bisa normal itu ikannya, Bang, pengen jugalah makan ikan sungai," kataku kemudian."Banjir dulu, Dek, jika sungai banjir besar, baru ikannya normal lagi,""Oh, entah kapan banjir besar,"Panen kali ini agak b
Ibunya Sandy makin menjerit-jerit, ketua ormas itu memukul Sandy yang sudah dipegangi anggotanya . Bang Parlin akhirnya bertindak, aku justru jadi khawatir, usia Bang Parlin sudah lebih setengah abat, melawan empat pemuda mungkin tak bisa lagi. Suamiku itu lalu mendekati ketua ormas tersebut, dia tarik kerah lehernya, Bang Parlin sepertinya menggunakan ilmunya lagi. Sekali tonjok, pemuda itu terjatuh dan tak sadarkan diri. Bang Parlin memang punya ilmu yang bisa memukul orang sekali pukul pingsan, ilmunya itu sudah dia turunkan ke Torkis dan juga Ucok, Ucok bahkan sempat menggunakan ilmu itu untuk bertarung di MMA, yang berakhir dirinya patah kaki. Semenjak kenal Bang Parlin baru dua kali ini kulihat dia gunakan itu. Tiga pemuda itu jadi sibuk mengurus ketuanya yang sudah pingsan. Mereka mengangkatnya ke mobil."Awas ya!" mereka masih sempat mengancam sebelum pergi.Ibunya Sandy lalu memeluk Sandy, dari hidung anak tersebut keluar darah. Warga mulai ramai. Akhirnya hari itu kami me
Segera kubangunkan Cantik, terus memandikannya dan ganti baju."Kita naik bum-bum, Mah?" tanya Cantik ketika aku memakaikan jaket. Dia sudah paham ternyata, jika pakai jaket akan naik mobil. Ada kebiasaan Bang Parlin yang aku ngikutin, dia tidak suka pakai AC mobil, dia lebih suka buka kaca dan angin bertiup. Kadang sampai ke kota pun tetap seperti itu, jadilah Cantik kupakai kan jaket jika bepergian."Iya, Inang," jawabku."Papah itut?""Ikutlah, Nang, cepat pake sepatunya ini,""Nanti belantam lagi,"Waduh, Anakku yang baru dua setengah tahun sudah ngerti ayahnya berantam."Papah berantam karena orang jahat, Nang,"Kugendong Cantik menuju mobil, dan langsung masuk mobil dan duduk di jok depan, Cantik tetap kupangku dalam mobil."Pa, papah, ada olang jahat, papa belantam," kata Cantik.Bang Parlin hanya tersenyum dan mengelus tambut anaknya, aku tahu suamiku itu tak tahu harusnya bilang apa, kami memang sudah berusaha supaya Cantik tak melihat kekerasan, akan tetapi gagal. Cantik t
"Kita pergi makan malam, Gak?" tanya Bang Parlin lagi."Ayo," jawabku kemudian.Kami keluar kamar dan turun ke lantai satu, seorang karyawan hotel kemudian menunjukkan jalan ke restoran yang dimaksud."Emang di mana restorannya? " tanya Bang Parlin."Itu, Pak, yang restoran sea food,""Restoran siput? Makanannya siput gitu?" tanya Bang Parlin lagi."Iya, Pak, ini sudah sampai, bapak menunggu di dalam," kata karyawan hotel tersebut."Dek, kurasa ada kesalah pahaman ini, masa kita mau makan siput, kan haram itu, termasuk hewan yang menjijikkan," kata Bang Parlin."Hahaha, sea food, Bang, bukan siput, artinya makanan laut," kataku sambil tertawa, sudah jaman segini, Bang Parlin masih menyisakan kejadulannya."Oh, itu," jawab Parlin seraya menunjuk Restoran tersebut. Kami masuk ke dalam, pria berkulit putih itu sudah menunggu di meja paling sudut."Silakan, Pak, Bu, ini menunya, silakan pilih," kata Johan seraya memberikan daftar menu pada kami."Ini yang paling gak kusuka dari Indonesia
Malam itu kami benar-benar menikmati waktu berdua, Bang Parlin benar, ini pengalaman pertama kami bercinta' di hotel, padahal kami sering menginap di hotel, akan tetapi biasanya selalu ramai-ramai. Baru kali ini benar-benar bisa berdua. Padahal tujuan kami semula ke kota adalah menjenguk orang koma, akan tetapi berubah jadi seperti bulan madu entah ke berapa."Bang, entah sudah bagaimana orang yang koma itu?" kataku pada Bang Parlin, setelah kami selesai."Entahlah, Dek, tapi mau bagaimana lagi, kita sudah mencoba,""Gak ada obatnya kah, Bang?""Itulah, Dek, ini jarang Abang pake, guru Abang juga sudah meninggal, tapi pernah kulihat waktu kami latihan, ada yang pingsan obatnya cuma air putih dikasih guru kami, entah apa bacaannya aku gak tahu,""Tanya Torkis, Bang?""Ilmu dia aku yang turunkan, dia saja gak pernah berhasil,""Ucok, Bang,""Dia juga pasti' gak tau, Dek,""Jadi, bagaimana, Bang?""Entahlah, kalau memang kita bisa menemui yang koma itu, Abang bisa coba, kasih air puti
Kami berangkat pagi itu ke rumah sakit, tak terlihat lagi Johan, apa pria itu sudah sakit hati karena ditolak? Butet memang punya banyak pengagum dari berbagai orang, berbagai suku dan berbagai macamnprofesi. Yang membuat aku salut dengan Butet, dia bisa jaga diri jaga hati. Saat Ustadz Rizal menikah, dia tampak biasa saja, padahal Aku tahu dia suka ustadz tersebut. Satu-satunya Pria yang direstui Bang Parlin.Kami tiba di rumah sakit saat hari masih sekitar jam delapan, langsung disambut istrinya Gulmat, lalu dibawa ke salah satunya ruangan. Gulmat tetap seperti itu, alat-alat kesehatan menempel di badannya."Dokter bilang hanya koma, tak ada luka serius di badannya, bisa sadar kapan saja," kata istrinya."Boleh dikasih minum?" tanya Bang Parlin."Boleh, tapi rasanya percuma, Karena dia gak bisa nelan," kata istri Gulmat.Bang Parlin lalu permisi keluar ruangan sebentar. Aku dan istri Gulmat tinggal di situ. "Tadinya kami datang ke sana karena Pak Bejo bilang, mudah cari uang di s
"Abang yakin?" aku bertanya pada suamiku tersebut saat dia mulai bersiap baca entah apa."Ah, kau, Dek, buat Abang gak yakin saja,""Kan bertanya, Bang,""Hanya usaha, Dek," "Ya, udah,"Bang Parlin menarik kerah Gulmat, dia beraksi persis seperti yang dilakukannya saat membuat Gulmat koma. Lalu memukul pelan, cuma sekali. Akan tetapi tiba-tiba masuk seorang perawat. "Apa-apaan ini," katanya seraya langsung memeriksa pasien. "Apa yang kalian lakukan" Katanya lagi, Aku dan Bang Parlin tak bisa bicara apa-apa. Hanya berharap Gulmat segera sadar, sehingga kami punya alasan. Perawat itu memanggil temannya, beberapa saat kemudian kama itu sudah heboh, sekuriti juga datang. Ya, Allah. Di saat genting seperti itu, Gulmat tiba-tiba sadar, dia membuka matanya. Perawat sepertinya heran, Dokter pun dipanggil, di saat seperti itu Bang Parlin justru mengajakku untuk pergi. Saat tiba di parkiran, pria yang belajar itu masih berdiri di situ, dia kini pakai sarung tangan tinju."Pak, belum berh
Tanpa menunggu mereka mengetuk pintu, aku buka pintu. Ada tiga motor dan satu mobil. Bejo yang pertama keluar dari mobil tersebut."Assalamualaikum, Bu," sapa Bejo."Waalaikum salam, ada apa lagi ini?" tanyaku penasaran.Para pria itu lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah, tak kupersilahkan masuk rumah. "Ini, Bu, Pak Parlin mana?' tanyanya lagi."Belum pulang dari mesjid," "Kami tunggu saja, Bu,""Ada apa sebenarnya?'"Cuma mau silaturahmi, Bu,"Butet menghidangkan minum untuk para pria itu, tak berapa lama kemudian Bang Parlin pulang juga, dia menyalami para pria tersebut lalu duduk bergabung. Aku dan Butet juga ikut bergabung, sedangkan Cantik sudah tidur."Ada apa ya bapak-bapak," tanyaku."Kami datang atas perintah bapak pembina,""Darmawi?""Betul, Bu, kedatangan kami mau minta maaf yang sebesar-besarnya," kata Bejo."Ya, udah, dimaafkan," jawab Bang Parlin."Ada lagi, Pak, Pak Darmawi menawarkan posisi ketua kehormatan pada Pak Parlin,"kata Bejo lagi."Iya, Pak,
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j