"Kita pergi makan malam, Gak?" tanya Bang Parlin lagi."Ayo," jawabku kemudian.Kami keluar kamar dan turun ke lantai satu, seorang karyawan hotel kemudian menunjukkan jalan ke restoran yang dimaksud."Emang di mana restorannya? " tanya Bang Parlin."Itu, Pak, yang restoran sea food,""Restoran siput? Makanannya siput gitu?" tanya Bang Parlin lagi."Iya, Pak, ini sudah sampai, bapak menunggu di dalam," kata karyawan hotel tersebut."Dek, kurasa ada kesalah pahaman ini, masa kita mau makan siput, kan haram itu, termasuk hewan yang menjijikkan," kata Bang Parlin."Hahaha, sea food, Bang, bukan siput, artinya makanan laut," kataku sambil tertawa, sudah jaman segini, Bang Parlin masih menyisakan kejadulannya."Oh, itu," jawab Parlin seraya menunjuk Restoran tersebut. Kami masuk ke dalam, pria berkulit putih itu sudah menunggu di meja paling sudut."Silakan, Pak, Bu, ini menunya, silakan pilih," kata Johan seraya memberikan daftar menu pada kami."Ini yang paling gak kusuka dari Indonesia
Malam itu kami benar-benar menikmati waktu berdua, Bang Parlin benar, ini pengalaman pertama kami bercinta' di hotel, padahal kami sering menginap di hotel, akan tetapi biasanya selalu ramai-ramai. Baru kali ini benar-benar bisa berdua. Padahal tujuan kami semula ke kota adalah menjenguk orang koma, akan tetapi berubah jadi seperti bulan madu entah ke berapa."Bang, entah sudah bagaimana orang yang koma itu?" kataku pada Bang Parlin, setelah kami selesai."Entahlah, Dek, tapi mau bagaimana lagi, kita sudah mencoba,""Gak ada obatnya kah, Bang?""Itulah, Dek, ini jarang Abang pake, guru Abang juga sudah meninggal, tapi pernah kulihat waktu kami latihan, ada yang pingsan obatnya cuma air putih dikasih guru kami, entah apa bacaannya aku gak tahu,""Tanya Torkis, Bang?""Ilmu dia aku yang turunkan, dia saja gak pernah berhasil,""Ucok, Bang,""Dia juga pasti' gak tau, Dek,""Jadi, bagaimana, Bang?""Entahlah, kalau memang kita bisa menemui yang koma itu, Abang bisa coba, kasih air puti
Kami berangkat pagi itu ke rumah sakit, tak terlihat lagi Johan, apa pria itu sudah sakit hati karena ditolak? Butet memang punya banyak pengagum dari berbagai orang, berbagai suku dan berbagai macamnprofesi. Yang membuat aku salut dengan Butet, dia bisa jaga diri jaga hati. Saat Ustadz Rizal menikah, dia tampak biasa saja, padahal Aku tahu dia suka ustadz tersebut. Satu-satunya Pria yang direstui Bang Parlin.Kami tiba di rumah sakit saat hari masih sekitar jam delapan, langsung disambut istrinya Gulmat, lalu dibawa ke salah satunya ruangan. Gulmat tetap seperti itu, alat-alat kesehatan menempel di badannya."Dokter bilang hanya koma, tak ada luka serius di badannya, bisa sadar kapan saja," kata istrinya."Boleh dikasih minum?" tanya Bang Parlin."Boleh, tapi rasanya percuma, Karena dia gak bisa nelan," kata istri Gulmat.Bang Parlin lalu permisi keluar ruangan sebentar. Aku dan istri Gulmat tinggal di situ. "Tadinya kami datang ke sana karena Pak Bejo bilang, mudah cari uang di s
"Abang yakin?" aku bertanya pada suamiku tersebut saat dia mulai bersiap baca entah apa."Ah, kau, Dek, buat Abang gak yakin saja,""Kan bertanya, Bang,""Hanya usaha, Dek," "Ya, udah,"Bang Parlin menarik kerah Gulmat, dia beraksi persis seperti yang dilakukannya saat membuat Gulmat koma. Lalu memukul pelan, cuma sekali. Akan tetapi tiba-tiba masuk seorang perawat. "Apa-apaan ini," katanya seraya langsung memeriksa pasien. "Apa yang kalian lakukan" Katanya lagi, Aku dan Bang Parlin tak bisa bicara apa-apa. Hanya berharap Gulmat segera sadar, sehingga kami punya alasan. Perawat itu memanggil temannya, beberapa saat kemudian kama itu sudah heboh, sekuriti juga datang. Ya, Allah. Di saat genting seperti itu, Gulmat tiba-tiba sadar, dia membuka matanya. Perawat sepertinya heran, Dokter pun dipanggil, di saat seperti itu Bang Parlin justru mengajakku untuk pergi. Saat tiba di parkiran, pria yang belajar itu masih berdiri di situ, dia kini pakai sarung tangan tinju."Pak, belum berh
Tanpa menunggu mereka mengetuk pintu, aku buka pintu. Ada tiga motor dan satu mobil. Bejo yang pertama keluar dari mobil tersebut."Assalamualaikum, Bu," sapa Bejo."Waalaikum salam, ada apa lagi ini?" tanyaku penasaran.Para pria itu lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah, tak kupersilahkan masuk rumah. "Ini, Bu, Pak Parlin mana?' tanyanya lagi."Belum pulang dari mesjid," "Kami tunggu saja, Bu,""Ada apa sebenarnya?'"Cuma mau silaturahmi, Bu,"Butet menghidangkan minum untuk para pria itu, tak berapa lama kemudian Bang Parlin pulang juga, dia menyalami para pria tersebut lalu duduk bergabung. Aku dan Butet juga ikut bergabung, sedangkan Cantik sudah tidur."Ada apa ya bapak-bapak," tanyaku."Kami datang atas perintah bapak pembina,""Darmawi?""Betul, Bu, kedatangan kami mau minta maaf yang sebesar-besarnya," kata Bejo."Ya, udah, dimaafkan," jawab Bang Parlin."Ada lagi, Pak, Pak Darmawi menawarkan posisi ketua kehormatan pada Pak Parlin,"kata Bejo lagi."Iya, Pak,
"Bang!" aku berteriak memanggil suami."Ada apa, Dek?" Bang Parlin yang lagi di kamar datang tergopoh-gopoh."Kata Ucok ada peringatan banjir bandang dari BMKG?" kataku kemudian."Iya, Dek, Abang sudah tahu, ini lagi berdoa," kata Bamg Parlin."Kok langsung doa, Bang, kan Abang yang ajarkan, usaha dulu baru berdoa," "Ini beda kasus, Dek, gak mungkin kita bisa lawan hukum alam,"jawab Bang Parlin."Setidaknya peringatkan dulu karyawan kebun, Bang?""Sudah dari tadi pagi, sapi sudah diungsikan ke bukit merah,""Semua, emang sapi bisa jalan menanjak?""Bisalah, Dek," Aku buka pintu, halaman rumah mulai tergenang air. Parit sepertinya sudah penuh. Kebun lebih rendah dari desa, jika di desa banjir selutut, di kebun bisa sudah satu meter lebih.Saat aku coba telepon karyawan kebun, sudah tak ada lagi sinyal, listrik pun mati. Ya, Allah."Kita hanya bisa berdoa, Dek, ayo kita doa bersama," kata Bang Parlin.Sementara itu hujan terus turun, jam sudah menunjukkan angka dua, tak bisa komunikas
Bang Parlin nekad menyelam ke dasar sungai kecil tersebut. Dia memang sudah terbiasa di air. Akan tetapi tentu saja tidak ada, selain peralatan belum memadai. Air juga keruh. Tentu tak bisa melihat di dalam air."Kita tunggu saja mengambang," kata seorang aparat desa."Anakku masih hidup," aku berteriak kencang."Bu, kita harus bersiap menerima kemungkinan terburuk," katanya lagi.Setelah sekitar dua jam di sungai yang lagi naik, kami akhirnya pulang tak ada hasil. Hari pun sudah mulai sore. Perahu karet itu terus berjalan menuju pulang melewati sungai kecil di pinggir sawit warga. Kami berjalan pelan-pelan saja, sambil melihat kiri kanan, semua sudah seperti lautan saja. Banjir kali ini lebih parah dari banjir sepuluh tahun lalu."Bagaimana sapi, Pak, aman," tanya seorang pemuda."Heh, gak usah bicara sapi dulu, Anakku hilang," entah kenapa aku tersinggung."Maaf, Bu," jawab pemuda tersebut."Begini, Bu, menurut kronologi yang saya dengar, kemungkinannya ada tiga, satu, anak ibu be
Seluruh desa banjir, rumah kami saja yang sudah ditinggikan masih masuk air juga halaman rumah sudah seperti kolam renang. Jalanan desa seperti sungai saja. Hujan belum ada tanda-tanda berhenti. Masih turun biarpun tinggal gerimis saja."Pak, aku lapar," kata Udin, dia duduk di atas meja bekas sekolah mengaji."Dek, ada makanan?" tanya Bang Parlin."Tidak ada, Bang, beras sudah basah karena dapur lebih rendah. Kompor juga basah."Waduh, bagaimana kita makan?" tanya Bang Parlin lagi."Iya, Bang, bagaimana juga seluruh warga desa makan, kalau banjir tidak surut sampai besok, bisa mati kelaparan ini warga." Kataku.Rakit batang pisang Udin justru jadi tranportasi di banjir ini. Perahu karet itu sudah kembali ke ibukota kecamatan, karena dibutuhkan di tempat lain."Dek, sebagai bentuk rasa syukur Kita Cantik selamat, kita memberi makan seluruh desa," begitu kata Bang Parlin.Bang Parlin mengumpulkan beberapa pemuda, batang pisang di sekitar desa ditebang. Dibuat rakit yang cukup besar. Ad