Sersan Hasan lalu bercerita, dia mencari tahu tentang Fajar, bertanya ke beberapa koleganya. Sampai akhirnya dia dapat informasi, Fajar sudah di kamar mayat rumah sakit. Masih menunggu identifikasi dari keluarga korban."Karena apa?" tanyaku."Kabarnya korban begal, lama ketahuan karena dompet dan motor dibawa begal," kata Sersan Hasan.HP -ku bunyi, ada telepon dari istrinya Fajar. "Suamiku sudah pergi, Bu, tolong aku, ibu sepertinya tahu sesuatu, suamiku tidak mungkin korban begal, dia sudah tak bisa dihubungi mulai dari siang, masa malam baru jadi korban begal," katanya dari seberang telepon."Bagaimana saya bisa menolong, Bu?""Sepertinya kalian tahu sesuatu, teman-teman suamiku juga kompak bilang suamiku korban begal," kata wanita itu lagi."Maaf ya, Bu, kami akan berusaha, tapi tidak bisa janji," kataku kemudian.Mereka sudah keterlaluan, ini harus diselesaikan dengan gaya mereka juga."Ayah, Bang Ucok, kita selesaikan ini, ayo kita menemui Kapolres," kataku kemudian."Bagaim
"Kalian tidak bisa ikut, hanya wartawan yang boleh masuk," kata pria beruban tersebut saat waktunya telah tiba."Tapi, Pak, kami harus mengawasi," kata ayah."Tidak bisa, Pak, apalagi Kapolres sudah kenal kalian gara-gara insiden kemarin," jawab Pria itu lagi."Bagaimana kami bisa menonton, apa tunggu berita dulu?" tanyaku kemudian."Oh, ikuti siaran langsung dari akun resmi Polres, ada di Ig, ini dia," kata pria itu lagi seraya menunjukkan HP -nya.Aku mencari akun Ig tersebut, lalu mengikutinya. Bang Ucok juga bersiap, di lehernya tergantung tanda pengenal buatan. "Semangat, Bang Ucok," kataku kemudian."Pasti,""Buktikan Bang Ucok bisa,""Yes,"Mereka pun pergi masuk ke aula, tempat di mana konferensi pers dilaksanakan, aku dan ayah menonton siaran langsungnya lewat HP. Belum mulai acaranya, belum ada siaran langsung di akun tersebut."Tet, kenapa Bang Ucokmu tiba-tiba mellow begitu?" tanya Ayah."Entahlah, Yah, kurasa Bang Ucok tersinggung kubilang kedatangannya gak berguna," k
Kami kembali ke hotel tempat ayah menginap. Sampai di sana langsung disambut Manajer hotel tersebut."Sudah kuduga, kalian bukan orang sembarangan," kata Johan."Hehehehe,""Aku mau ngajak makan siang ini," kata Johan lagi."Boleh-boleh," aku langsung menjawab."Belum berubah juga kau, Tet, cepat kali mulutmu itul nyahut kalau soal makanan," kata Bang Ucok."Hmmm,"Johan membawa kami makan di sebuah restoran Padang. Aku mulai merasa yang dikatakan ayah ada benarnya, Pria ini terlalu perhatian sekali. Mungkin anda udang di balik batu."Lihat ini, kabupaten ini gempar, dan kalian adalah pahlawannya," kata Johan seraya menunjukkan isi hp-nya. Dengan cepat video konferensi pers itu sudah menyebar di media sosial. "Saya sangat bangga pahlawan itu menginap di hotel saya, hehehehe," kata Johan lagi."Terima kasih,""Silakan pesan apa saja, saya yang bayar," kata pria bermata sipit tersebut."Saya sampai cari tahu siapa kalian, ternyata ibunya mantan wakil bupati, yang mundur karena tidak ma
Ayah mengemudi dengan kecepatan sedang, perjalanan mulai memasuki wilayah pegunungan, kiri kanan hutan. Daerah ini memang satu-satunya hutan lindung di kabupaten ini. Tiba-tiba mobil berhenti mendadak, aku yang sudah tertidur sampai terbangun. "Ada apa, Yah?' tanyaku.Ayah tak menjawab, hanya menunjuk mobil yang di depan. Ternyata ada mobil yang berhenti mendadak di depan kami. Mobil Innova hitam."Cok, bersiap-siap, hati-hati," kata Ayah. "Mundur' Yah, lari," kataku kemudian."Terlalu berbahaya, jalanan curam," jawab ayah. Daerah ini memang jalan kiri jurang kanan tebing, sehingga sulit untuk mundurkan mobil di sini.Aku jadi deg-degan. Pintu mobil yang di depan terbuka, turun empat pria bertubuh besar, lalu seseorang terakhir turun seorang pria berkulit putih.Lalu pria berkulit putih lalu mendekati mobil kami. "Ada apa ya," tanya ayah.Aku berinisiatif merekam mereka dengan hp. "Hei, jangan midio-midio!" seru seseorang."Ini siaran langsung," kataku kemudian.Mungkin menden
"Dengar ini, Ucok, Butet, adil itu sesuatu yang sangat sulit, tapi ayah selalu berusaha adil, seharusnya usaha itu sudah harus dihargai, tolong jangan pernah bilang ayah tidak adil, tak pernah ada niat ayah untuk tidak adil, kadang memang begitulah, Karena kalian itu berbeda, beda karakter, beda jenis kelamin, tentu beda perlakuan." ayah bicara sambil menyetir."Iya, Yah," kataku kemudian."Kalian itu punya karakter yang berbeda, tentu beda perlakuan, tapi percayalah, ayah juga mamak tetap adil, setidaknya berusaha adil, adil ini yang sulit, sampai dalam Al-Qur'an pun digambarkan Tuhan, betapa sulit untuk adil ini," kata ayah lagi."Iya, Yah, iya,"Kami sampai di desa saat hari menjelang sore, saat kami sudah tiba, mamak sudah menunggu bersama Cantik."Babam, Tatak," seru Cantik. Babam adalah panggilannya untuk Bang Ucok, aku dipanggilnya Tatak.Aku langsung berlari dan menggendong Cantik, kami masuk rumah."Kalian bikin heboh satu kabupaten, mulai tadi pagi sembilan orang sudah yang
PoV NiaSaat Butet dan ayahnya pergi ke kota, aku jadi tak tenang. Kami sudah sering dapat masalah, akan tetapi kali ini aku gelisah, satu karena aku tidak ada di sana, hanya Butet dan ayahnya.Coba kutelepon Ucok, mengatakan kekhawatiranku, Anakku itu justru menawarkan diri akan membantu, dia akan datang dari Jakarta. Aku sedikit lega, kombinasi tiga orang itu tidak usah diragukan lagi. Kepintaran Butet dan ilmu warisan Ucok pasti bisa mengatasi. Aku coba tetap tenang.Akan tetapi keesokan harinya, bupati meneleponku, dia justru marah-marah padaku. Katanya aku mengundurkan diri tidak mengapa, tapi jangan buat gaduh lagi di kabupaten ini. Seorang perwira polisi juga menelepon. Dia suruh aku kendalikan suami dan anak. Beberapa anggota dewan juga menelepon, semua kujawab dengan "aku tidak tahu apa-apa,"Menjelang sore itu, Suami dan anak-anak akhirnya pulang juga, langsung kuberondong dengan berbagai pertanyaan. Tepat dugaanku, kepintaran Butet dan ilmu Ucok bisa mengatasi hal tersebut.
Ada banyak polisi yang datang, ada yang berpangkat melati dua di pundaknya, itu setara Kapolres, aku jadi makin khawatir, Kulihat Sandy juga sudah ketakutan."Silakan masuk, Pak," kata Bang Parlin. Hanya tiga orang polisi yang masuk, selebihnya berjaga di luar. Aku coba bersikap ramah, kuambil minuman kemasan dari kulkas."Minum dulu, Pak," tawarku kemudian."Terima kasih, Bu," kata salah satu polisi' tersebut.Ucok, Butet dan Sandy duduk di lantai, aku dan Bang Parlin duduk di kursi berhadapan dengan polisi tersebut."Kenalkan dulu, saya pejabat Kapolres yang baru," kata pria tersebut seraya menyalami Bang Parlindungan."Oh, Ya, Pak, saya Parlin, ini istri Saya Nia," kata Bang Parlin."Ada gerangan apa ya, Pak, Kapolres berkunjung ke rumah kami ini?" tanyaku kemudian."Begini, Bu, Ibu pasti sudah dengar atau baca berita tentang gonjang-ganjing di kabupaten ini," katanya."Iya, Pak,""Jadi begini, Bu, setelah saya amati video konferensi pers tersebut, Saya melihat kemampuan suprana
Bang Sandy sudah mantap masuk polisi , mungkin memang kemampuan Bang Shandy dibutuhkan kepolisian. Akan tetapi aku tetap tidak setuju dengan Bang Ucok, dia sudah kuliah hampir dua tahun. "Mamak kok dukung Bang Ucok?" tanyaku pada mamak. Saat itu aku lagi membantu mamak masak. "Bukan karena setuju, Tet, hanya ingin dukung saja, selama ini abangmu sudah merasa tak didukung." kata mamak."Mamak tidak setuju, tapi tetap mendukung?" "Apapun keputusan Ucok, untuk saat ini mamak dukung,""Dia dalam tahap mencari jati diri, Tet, labil, besok lusa dia bisa berubah lagi,""Tapi didukung terus?""Iya, Tet, dia butuh dukungan,"Bang Ucok sudah harus berangkat ke Jakarta, aku juga harus berangkat ke kota. Kami melakukan perjalanan lagi. Rencananya aku akan diantar ke kota, dari kota Bang Ucok naik bus ke Medan, terus naik pesawat dari Medan ke Jakarta. "Bang Ucok, kalau jadi polisi, jangan tilang aku ya," kataku coba bercanda."Nggak bisa, siapapun yang bersalah harus dihukum, biarpun saudara
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j