Joel duduk di sofa empuk di dalam ruangan private sebuah klub malam, dikelilingi oleh suasana yang temaram dan lantunan musik bass yang samar-samar terdengar dari luar. Lyman menuangkan minuman ke gelas Joel, sementara Richard berdiri di dekat jendela kecil yang menghadap lantai dansa di bawah. Ketiganya tampak tegang, meskipun mencoba untuk terlihat santai. “Kaivan benar-benar melarangmu bertemu dengan Aerline?” tanya Lyman, memecah keheningan. Joel mengangguk, wajahnya serius. “Dia bilang aku sudah cukup menyelamatkan Aerline, tapi dia nggak akan membiarkanku lebih jauh lagi. Katanya aku hanya akan menyakiti Aerline kalau terus dekat dengannya.” Richard terkekeh kecil, meski tidak terlalu terhibur. “Ck, itu sudah bisa ditebak. Kaivan terlalu protektif. Apalagi dia tahu soal hubunganmu dengan Gisela.” “Ini bukan tentang Gisela,” Joel mendesis, menatap tajam Richard. “Aku tahu aku salah, tapi perasaanku pada Aerline... itu nyata. Aku nggak pernah main-main soal dia.” Ly
“Jadi, kamu benar-benar akan kembali ke Indonesia dan meninggalkan semua yang ada di sini?” tanya Freyya menatap ke arah Aerline yang sedang memasukkan beberapa barang dan buku ke dalam kardus. “Ya. Keputusan Bang Kaivan tidak bisa diganggu gugat,” jawab Aerline tersenyum kecil.Freyya terdiam, tangannya sibuk melipat pakaian Aerline dan menatanya ke dalam koper besar yang terbuka di atas tempat tidur. Sesekali ia melirik sahabatnya itu, yang tampak tenang meski suasana hatinya jelas terbaca dari senyum kecil yang ia paksakan."Lin..." Freyya memecah keheningan, suaranya penuh hati-hati. "Apa kamu benar-benar yakin ingin melakukan ini? Maksudku, pulang ke Indonesia bukan hal kecil. Apalagi... meninggalkan Joel."Aerline berhenti sejenak, ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku sudah memikirkannya, Frey. Aku harus pulang. Bang Kaivan sudah memberikan perintah, dan aku tidak bisa menolaknya. Lagipula, Joel sudah menyerah padaku,” jawab Aerline.“Menyerah? Ap
Saat mobil yang dinaiki Kaivan dan Aerline memasuki halaman luas kediaman utama keluarga Dirgantara, Aerline merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tempat itu adalah rumahnya, tempat yang sudah lama dia tinggalkan dan penuh dengan kenangan masa kecilnya.Sopir menghentikan mobil di depan pintu utama kediaman Dirgantara. Aerline melihat sosok ibunya, Genny, berdiri di ambang pintu bersama Tommy, ayahnya, dan Khayra, kakak iparnya. Wajah mereka memancarkan kekhawatiran sekaligus rasa lega saat melihat Kaivan dan Aerline keluar dari mobil.Genny langsung berlari menghampiri Aerline. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia memeluk putrinya erat-erat. Aerline tak mampu menahan tangisnya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ibunya, seperti seorang anak kecil yang mencari perlindungan.“Lin, sayang... kamu sudah pulang. Kamu sudah di rumah sekarang,” bisik Genny lembut sambil mengelus kepala Aerline. Air matanya pun ikut jatuh, merasakan kerinduan mendalam pada putrin
Aerline berdiri di balkon kamarnya, tangan memegang pagar besi dingin yang mulai berembun oleh udara malam. Matanya menatap kosong ke arah langit penuh bintang, tetapi pikirannya melayang jauh. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, seakan mencoba menghibur hati yang masih terluka.Pintu kamar terbuka perlahan, dan suara langkah lembut terdengar dari arah dalam. Genny muncul, mengenakan cardigan tipis dan tatapan penuh perhatian tertuju pada putrinya. Ia memperhatikan Aerline yang terlihat begitu rapuh, tenggelam dalam pikirannya.“Kamu di sini lagi, Lin,” ucap Genny lembut sambil melangkah mendekat. Suaranya penuh kehangatan seorang ibu yang merindukan tawa putrinya.Aerline tersenyum tipis tanpa menoleh, masih menatap langit malam. “Aku hanya butuh udara segar, Ma.”Genny berdiri di sampingnya, ikut memandang ke langit. Ia menyentuh lengan Aerline dengan lembut, memberi kehangatan di tengah dinginnya malam. “Sudah satu minggu kamu kembali ke rumah, tapi Mama tidak pernah melihat
Aerline merasa jenuh setelah beberapa minggu hanya berdiam di rumah. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah Abangnya, untuk mencari suasana baru. Dengan membawa tas kecil berisi beberapa barang, Aerline tiba di rumah Kaivan menjelang siang. Rumah itu tampak ramai dengan suara tawa anak-anak yang memecah keheningan.Begitu Aerline membuka pintu pagar, dua keponakannya, Saga dan Sasa, langsung berlari ke arahnya dengan penuh semangat.“Bibi Arlin datang! Bibi Arlin datang!” seru Saga sambil memeluk kaki Aerline erat-erat.“No! Aunt…” protes Aerline.“Bibi aja,” jawab Saga dengan kekehannya.“Dasar kalian ini,” keluh Aerline.Sasa tidak mau kalah, ia melompat-lompat sambil menarik tangan Aerline. “Bibi, ayo main sama kami! Kami sudah menunggu sejak pagi!”Aerline tertawa kecil, perasaan lelah dan jenuh yang sebelumnya membebani seketika menghilang melihat antusiasme dua bocah itu. “Sabar, sayang. Bibi baru saja datang. Biar Bibi istirahat sebentar, ya,” katanya sambil mengelus kepala mere
“Leon, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Aerline saat menemui Leon di salah satu restoran. “Tentu saja liburan,” jawabnya dengan senyuman lebar. Aerline mengambil duduk dihadapan Leon. “Kamu bahkan tidak pernah datang ke Indonesia, kenapa kamu bisa datang jauh-jauh ke sini, Le? Aku tahu kamu, Le. Kamu tidak pernah sekalipun pergi berlibur keluar negara,” ujar Aerline menatap Leon dengan tatapan intimidasi. “Baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya. Saat mendengar kamu resign dari perusahaan dan kembali ke Indonesia, aku ingin menemuimu lagi dan memastikan kamu baik-baik saja, Lin. Hanya itu, tidak ada maksud lain, kok” jawab Leon dengan tatapan tajam, menunjukkan tidak ada kebohongan dimatanya.Aerline menghela napas panjang, menatap Leon dengan campuran emosi. “Kamu tidak perlu melakukan ini, Le. Aku baik-baik saja,” katanya pelan, meskipun nada suaranya mengisyaratkan kebalikannya.Leon menyandarkan punggungnya ke kursi, masih m
“Hei...” sapa Leon yang sudah berdiri di depan gerbang rumah Aerline. “Hei... Waw! Apa ini?” tanya Aerline terkejut melihat Leon menaiki sebuah motor sport di sana. “Bagaimana penampilanku? Menarik, bukan?” kekehnya dengan menaikkan bahunya penuh rasa bangga. “Oke, ya kau seperti anak muda sekarang,” kekeh Aerline. “Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kamu mendapatkan motor ini?” tanya Aerline menyentuh bagian depan motor. “Kau tidak mencurikannya, kan?”Leon tertawa keras, menunjukkan senyum lebarnya. “Tentu saja tidak, Nona detektif! Aku menyewanya. Ternyata cukup mudah mendapatkan motor sport seperti ini di sini. Dan, aku rasa ini cara terbaik untuk menikmati jalanan Indonesia,” ujarnya sambil menepuk jok motor dengan penuh rasa bangga.Aerline menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kau benar-benar serius ingin merasakan sensasi jadi anak motor di Indonesia, ya?” candanya.Leon menanggapi dengan anggukan percaya diri. “Tentu saja. Aku ingin merasakan seperti
“Jadi, harus kembali sekarang?” tanya Aerline yang saat ini berada di bandara mengantar Leon untuk kembali. “Ya, aku harus kembali sekarang. Aku harap Mr. Hainer memberiku tambahan cuti, sayangnya sejak kemarin dia terus menghubungiku,” keluh Leon dengan ekspresi berpura-pura sebal membuat Aerline tersenyum di sana. “Ya, jangan sampai kamu jadi pengangguran karena aku,” kekeh Aerline. “Mungkin aku bisa numpang hidup padamu, Nona besar,” goda Leon. Aerline terkekeh di sana. “Tapi aku tidak biasa memelihara seorang pria.”Leon tertawa kecil mendengar jawaban Aerline, lalu mengangkat bahu seolah tidak tersinggung. “Kamu benar, aku terlalu mahal untuk dipelihara,” balasnya dengan nada bercanda, membuat Aerline menggeleng pelan.“Tapi, serius, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemaniku. Rasanya seperti recharge penuh sebelum kembali ke rutinitas,” ujar Leon dengan nada tulus.Aerline tersenyum lembut. “Sama-sama. Aku juga senang b
“Jadi, Joelio sudah siuman?” tanya Garren saat menerima laporan langsung dari anak buahnya. “Benar, Tuan. Dan sepertinya, mereka tahu kalau kejadian kemarin itu ulah Anda,” tambahnya. “Kurang ajar! Rencana kita jadi kacau, kenapa bukan wanita itu saja yang tertembak dan mati!” keluh Garren merasa sangat kesal sekali di sana. “Dan sepertinya, Kainan Dirgantara, sedang menyiapkan sesuatu yang besar untuk melawan kita membantu Joelio,” jelasnya. Garren menatap pria di depannya dengan intens. “Apa saja yang orang suruhan kita lihat dari gerak gerik mereka?” tanya Garren. “Tidak ada laporan gerak-geriknya bagaimana. Hanya saja, dia meyakini kalau mereka sedang merencanakan sesuatu untuk melawan kita,” jelas pria itu.Garren menghela napas panjang, amarahnya semakin membara. "Mereka mulai berani menantangku, ya?" gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Terutama bocah sialan bernama Joelio itu. Seharusnya dia mati saja kemarin."Pria di depann
“Jadi, apa menurutmu, cerita putri dan pangeran itu sangat cocok untuk di dongengkan padaku?” gurau Joel membuat Aerline tersenyum. “Ya, biasanya sang pangeran akan terbangun. Dan ternyata benar bangun, kan?” ucap Aerline di sana. “Putri terbangun karena dicium pangeran. Dan The beast bangun hingga berubah jadi manusia normal karena ciuman beauty,” ujar Joel. “Aku bahkan tidak menerima ciuman apa pun. Ck... malang sekali, padahal aku berharap sekali ada adegan ciuman saat kamu menyelesaikan dongengnya.” “Maaf, Tuan. Karena ekspektasimu berbeda jauh dengan realita,” ucap Aerline di sana.Joel pura-pura memasang wajah kecewa. "Jadi, aku cuma bisa bangun tanpa ciuman penyelamat? Begitu kejamnya dunia ini..."Aerline tertawa kecil, hatinya terasa hangat melihat Joel kembali dengan candaan khasnya. "Ya, dunia memang kejam, Tuan. Lagipula, siapa yang bilang kamu butuh ciuman untuk bangun?"Joel mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Hei, bukanka
“Dad!” Gisela memasuki ruangan milik Garren dengan sorot mata penuh kekesalan. “Oh, Gisel. Ada apa?” tanya Garren di sana. Menoleh ke arah Gisela dengan santai. “Kenapa Kyle dilarang masuk ke rumah ini?” tanya Gisela dengan tatapan penuh rasa kesal. “Kyle? Siapa dia?” tanya Garren. “Dad!” Gisela sedikit merajuk di sana karena kesal. Garren tertawa kecil di sana. “Oh, pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Kenapa kamu harus bergaul dengan pria seperti itu, Gisel?” tanya Garren. “Dia pria yang baik, Dad. Dia temanku, biarkan dia masuk,” ucap Gisela. “No! tidak bisa, Gisela. Berhenti bergaul dengan pria tidak ada kejelasan itu. Kamu dan Joel memutuskan pernikahan, dan itu masih jadi perbincangan hangat di media, Darling. Kamu tidak boleh terkena skandal apa pun, Daddy ingin semua kesalahan ditimpakan pada Joelio, alasan kenapa pernikahan kalian dibatalkan,” ucap Garren. “Apa Dad mau menghancurkan r
“Oh, kamu sudah kembali, Lyman?” tanya Kaivan saat Lyman datang ke rumah sakit di mana Kaivan berada. “Ya, gimana Joel?” tanya Lyman. “Masih belum ada perubahan. Aerline masih menemaninya di ruang ICU,” jawab Kaivan. “Ada yang ingin aku katakan tentang penembakan itu. Kita bicara di ruangan Richard,” ucap Lyman. “Baiklah.” Kaivan memberi perintah pada bodyguard yang dibawanya untuk memastikan Aerline baik-baik saja. Dia masih khawatir, akan ada yang berusaha menyakiti adiknya.Kaivan menatap Lyman dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Ayo kita ke sana sekarang," katanya tanpa basa-basi. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Richard yang terletak di lantai berbeda dari ICU.Setibanya di ruangan tersebut, Richard yang mengenakan jas Dokter menunggu mereka dengan wajah penuh tanda tanya. "Apa terjadi sesuatu dengan Joel?" tanyanya segera."Bukan soal itu," ujar Lyman sambil menutup pintu rapat. "Ini soal penembakan yang hampir merenggut
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e
“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a