“Leon, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Aerline saat menemui Leon di salah satu restoran. “Tentu saja liburan,” jawabnya dengan senyuman lebar. Aerline mengambil duduk dihadapan Leon. “Kamu bahkan tidak pernah datang ke Indonesia, kenapa kamu bisa datang jauh-jauh ke sini, Le? Aku tahu kamu, Le. Kamu tidak pernah sekalipun pergi berlibur keluar negara,” ujar Aerline menatap Leon dengan tatapan intimidasi. “Baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya. Saat mendengar kamu resign dari perusahaan dan kembali ke Indonesia, aku ingin menemuimu lagi dan memastikan kamu baik-baik saja, Lin. Hanya itu, tidak ada maksud lain, kok” jawab Leon dengan tatapan tajam, menunjukkan tidak ada kebohongan dimatanya.Aerline menghela napas panjang, menatap Leon dengan campuran emosi. “Kamu tidak perlu melakukan ini, Le. Aku baik-baik saja,” katanya pelan, meskipun nada suaranya mengisyaratkan kebalikannya.Leon menyandarkan punggungnya ke kursi, masih m
“Hei...” sapa Leon yang sudah berdiri di depan gerbang rumah Aerline. “Hei... Waw! Apa ini?” tanya Aerline terkejut melihat Leon menaiki sebuah motor sport di sana. “Bagaimana penampilanku? Menarik, bukan?” kekehnya dengan menaikkan bahunya penuh rasa bangga. “Oke, ya kau seperti anak muda sekarang,” kekeh Aerline. “Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kamu mendapatkan motor ini?” tanya Aerline menyentuh bagian depan motor. “Kau tidak mencurikannya, kan?”Leon tertawa keras, menunjukkan senyum lebarnya. “Tentu saja tidak, Nona detektif! Aku menyewanya. Ternyata cukup mudah mendapatkan motor sport seperti ini di sini. Dan, aku rasa ini cara terbaik untuk menikmati jalanan Indonesia,” ujarnya sambil menepuk jok motor dengan penuh rasa bangga.Aerline menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kau benar-benar serius ingin merasakan sensasi jadi anak motor di Indonesia, ya?” candanya.Leon menanggapi dengan anggukan percaya diri. “Tentu saja. Aku ingin merasakan seperti
“Aerline, kamu tolong wakilkan Kakak untuk memenuhi undangan pertunangan Joel.” Dan di sinilah gadis itu berada, di acara pertunangan mantan kekasih yang masih sangat dicintainya. Aerline memilih tempat duduk yang cukup jauh dari altar dan cukup tersembunyi. Di depan sana, dia bisa melihat dengan jelas pria yang selalu dirindukannya selama lima tahun ini sedang menyematkan cincin di jari manis wanita lain. Sekuat tenaga Aerline menahan tubuhnya yang bergetar, deru nafas yang berat dan sesak di dadanya. Dia merasa sesuatu yang besar sedang menghantam dadanya dengan sangat keras. Kedua matanya sudah memerah menahan air mata yang siap tumpah ruah membasahi pipi. ‘Kenapa? sampai akhirpun, aku tetap tidak bisa melupakan kamu, Joel. Dan aku pikir dengan melihatmu sekarang bersanding dengan wanita lain, aku bisa lebih ikhlas melepaskanmu. Tapi kenapa? rasanya sesakit ini?’ batin Aerline di mana air matanya luruh membasahi pipi setelah dia tahan sejak tadi.
“Jadi kamu sudah lulus S2? Waktu berlalu begitu cepat,” ucap Joel melihat CV milik Aerline. Wanita itu masih duduk diam berhadapan dengan Joel yang sibuk membaca CV-nya. Tatapan matanya terus tertuju pada pria di depannya. Tidak pernah terbayangkan kalau dia akan kembali bertemu dengan pria yang sudah membuatnya terluka kemarin. “Apa semua ini adalah rencanamu?” tanya Aerline membuat Joel mengalihkan pandangannya dari berkas cv di tangannya pada Aerline. “Apa maksudmu?” tanya Joel menaikkan sebelah alisnya. “Aku sempat berpikir, kenapa wawancara dan test di perusahaan raksasa seperti Deere GE and Company terkesan mudah. Orang berkata, supaya bisa masuk ke sini, setidaknya harus lulusan terbaik di kampus. Sedangkan, aku yang bermodal nekat, bisa dengan mudah lolos di beberapa tahapan. Apa semua ini perbuatanmu?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens. Sorot mata gadis itu menunjukkan kesedihan mendalam sekaligus kerinduan yang sudah di
“Ar, malam nanti, kamu temani aku memenuhi undangan makan malam dengan klien,” ucap Joel dengan perhatian terus tertuju pada layar laptopnya. Di depannya Aerline berdiri dengan sabar. Sejak tadi, Joel memanggilnya dan baru kali ini dia membuka suara. “Kenapa harus aku?” tanya Aerline sedikit keberatan. Sudah dua minggu dia bekerja di sini, dan Joel seakan terus menguji dirinya. Sekuat tenaga Aerline menjauhi pria itu dan fokus pada pekerjaan yang diberikan Maya. Tetapi Joel terus meminta Aerline yang mengerjakan tugas yang diberikannya, lebih tepatnya bukan pekerjaan melainkan melayani Joel dengan pekerjaan sepele. Seperti membuat kopi, merapikan berkas di ruangan Joel, meminta Aerline merapikan berkas di ruangan Joel dan semua pekerjaan itu benar-benar menyiksa dirinya. “Kenapa? kamu menolak perintahku?” tanya Joel seperti biasa menggunakan kalimat itu untuk menekan Aerline. “Bukankah yang biasa menemani kamu meeting di luar dan undan
Aerline membuka matanya perlahan setelah pergelutan panas di atas ranjang semalam bersama Joel. Wanita itu berangsur bangun dari posisinya dan menoleh ke sampingnya, di mana Joel masih terlelap dengan nyenyaknya. Tubuh mereka berdua sama-sama polos dan hanya tertutupi selimut di sana. “Jadi, semalam itu nyata, bukan hanya khayalanku,” batin Aerline. "Harusnya aku senang, tapi kenapa hatiku malah terasa begitu sakit?” Aerline bangkit menuruni ranjang, dengan gerakan perlahan dan menahan rasa ngilu di bagian pangkal pahanya. Dia memunguti pakaian yang berserakan di lantai dan bergegas ke kamar mandi. Karena kemejanya dirobek oleh Joel, akhirnya Aerline memakai jubah handuk yang ada di sana, dan dia tutupi dengan celana panjang miliknya juga jas kerjanya. Dia memunguti pakaian yang sudah koyak dan memasukannya ke dalam tong sampah di kamar mandi. dia mengambil pakaian milik Joel dan meletakkannya di atas sofa. Sebelum keluar dari kamar itu, Aerline
“A-apa maksud anda?” tanya Aerline memalingkan wajahnya. “Apa kamu pikir aku tidak akan mengingatnya karena aku sedang mabuk?” tanya Joel tepat sasaran. “Kalaupun kamu mengingatnya, lalu kenapa? Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun pada kita,” jawab Aerline mendorong pelan dada bidang Joel untuk bisa melepaskan dirinya. Tetapi dugaan Aerline salah, Joel malah semakin merapatkan tubuh mereka berdua. “Pak-?” “Panggil namaku seperti semalam, panggil aku, Joel,” bisiknya tepat di daun telinga Aerline, membuat wanita itu merasa geli. “Tolong lepaskan aku, masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” ujar Aerline. “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu, kenapa kamu kabur dan meninggalkanku sendiri di sana?” tanya Joel. “Aku sangat khawatir saat tidak menemukanmu di manapun, aku khawatir kamu terluka.” Joel menatap Aerline dengan tatapan lebih lembut, dan tidak bisa dipungkiri kalau hal itu bisa men
“Tunggu, Joel!” Aerline mendorong dada bidang Joel yang sudah membuatnya hampir kehilangan napas. Bisa-bisanya pria itu mencium Aerline dengan brutal. “Apa yang kamu lakukan?!” tanya Aerline. Wanita itu memekik kaget saat Joel mengangkat tubuh wanita itu dan mendudukannya di kepala sofa, dengan Joel yang masih berdiri dihadapannya. “Aku bilang, aku merindukanmu, Arlyn. Apa kamu tidak mengerti?” tanya Joel tersenyum simpul. “Ah, masakanku!” Aerline melepaskan diri dari Joel dan berlari ke arah pantry. Wanita itu segera mengambil spatula dan mengaduk masakannya di dalam wajan. Syukurlah tidak sampai gosong, dan masakan itu masih bisa di selamatkan. Aerline mematikan kompor dan hendak mengambil piring, tetapi Joel sudah berdiri di sampingnya dengan sebuah piring di tangan. “Kamu butuh piring, kan?” tanya Joel menunjukkan piring pada Aerline. “Oh, ya. Terima kasih,” jawab Aerline menerimanya dan mulai memindahkan masakan ke dalam piring tersebut. “Aku tidak tau kalau kamu bisa mas
“Hei...” sapa Leon yang sudah berdiri di depan gerbang rumah Aerline. “Hei... Waw! Apa ini?” tanya Aerline terkejut melihat Leon menaiki sebuah motor sport di sana. “Bagaimana penampilanku? Menarik, bukan?” kekehnya dengan menaikkan bahunya penuh rasa bangga. “Oke, ya kau seperti anak muda sekarang,” kekeh Aerline. “Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kamu mendapatkan motor ini?” tanya Aerline menyentuh bagian depan motor. “Kau tidak mencurikannya, kan?”Leon tertawa keras, menunjukkan senyum lebarnya. “Tentu saja tidak, Nona detektif! Aku menyewanya. Ternyata cukup mudah mendapatkan motor sport seperti ini di sini. Dan, aku rasa ini cara terbaik untuk menikmati jalanan Indonesia,” ujarnya sambil menepuk jok motor dengan penuh rasa bangga.Aerline menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kau benar-benar serius ingin merasakan sensasi jadi anak motor di Indonesia, ya?” candanya.Leon menanggapi dengan anggukan percaya diri. “Tentu saja. Aku ingin merasakan seperti
“Leon, apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanya Aerline saat menemui Leon di salah satu restoran. “Tentu saja liburan,” jawabnya dengan senyuman lebar. Aerline mengambil duduk dihadapan Leon. “Kamu bahkan tidak pernah datang ke Indonesia, kenapa kamu bisa datang jauh-jauh ke sini, Le? Aku tahu kamu, Le. Kamu tidak pernah sekalipun pergi berlibur keluar negara,” ujar Aerline menatap Leon dengan tatapan intimidasi. “Baiklah, aku akan mengatakan yang sejujurnya. Saat mendengar kamu resign dari perusahaan dan kembali ke Indonesia, aku ingin menemuimu lagi dan memastikan kamu baik-baik saja, Lin. Hanya itu, tidak ada maksud lain, kok” jawab Leon dengan tatapan tajam, menunjukkan tidak ada kebohongan dimatanya.Aerline menghela napas panjang, menatap Leon dengan campuran emosi. “Kamu tidak perlu melakukan ini, Le. Aku baik-baik saja,” katanya pelan, meskipun nada suaranya mengisyaratkan kebalikannya.Leon menyandarkan punggungnya ke kursi, masih m
Aerline merasa jenuh setelah beberapa minggu hanya berdiam di rumah. Ia memutuskan untuk mengunjungi rumah Abangnya, untuk mencari suasana baru. Dengan membawa tas kecil berisi beberapa barang, Aerline tiba di rumah Kaivan menjelang siang. Rumah itu tampak ramai dengan suara tawa anak-anak yang memecah keheningan.Begitu Aerline membuka pintu pagar, dua keponakannya, Saga dan Sasa, langsung berlari ke arahnya dengan penuh semangat.“Bibi Arlin datang! Bibi Arlin datang!” seru Saga sambil memeluk kaki Aerline erat-erat.“No! Aunt…” protes Aerline.“Bibi aja,” jawab Saga dengan kekehannya.“Dasar kalian ini,” keluh Aerline.Sasa tidak mau kalah, ia melompat-lompat sambil menarik tangan Aerline. “Bibi, ayo main sama kami! Kami sudah menunggu sejak pagi!”Aerline tertawa kecil, perasaan lelah dan jenuh yang sebelumnya membebani seketika menghilang melihat antusiasme dua bocah itu. “Sabar, sayang. Bibi baru saja datang. Biar Bibi istirahat sebentar, ya,” katanya sambil mengelus kepala mere
Aerline berdiri di balkon kamarnya, tangan memegang pagar besi dingin yang mulai berembun oleh udara malam. Matanya menatap kosong ke arah langit penuh bintang, tetapi pikirannya melayang jauh. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, seakan mencoba menghibur hati yang masih terluka.Pintu kamar terbuka perlahan, dan suara langkah lembut terdengar dari arah dalam. Genny muncul, mengenakan cardigan tipis dan tatapan penuh perhatian tertuju pada putrinya. Ia memperhatikan Aerline yang terlihat begitu rapuh, tenggelam dalam pikirannya.“Kamu di sini lagi, Lin,” ucap Genny lembut sambil melangkah mendekat. Suaranya penuh kehangatan seorang ibu yang merindukan tawa putrinya.Aerline tersenyum tipis tanpa menoleh, masih menatap langit malam. “Aku hanya butuh udara segar, Ma.”Genny berdiri di sampingnya, ikut memandang ke langit. Ia menyentuh lengan Aerline dengan lembut, memberi kehangatan di tengah dinginnya malam. “Sudah satu minggu kamu kembali ke rumah, tapi Mama tidak pernah melihat
Saat mobil yang dinaiki Kaivan dan Aerline memasuki halaman luas kediaman utama keluarga Dirgantara, Aerline merasakan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Tempat itu adalah rumahnya, tempat yang sudah lama dia tinggalkan dan penuh dengan kenangan masa kecilnya.Sopir menghentikan mobil di depan pintu utama kediaman Dirgantara. Aerline melihat sosok ibunya, Genny, berdiri di ambang pintu bersama Tommy, ayahnya, dan Khayra, kakak iparnya. Wajah mereka memancarkan kekhawatiran sekaligus rasa lega saat melihat Kaivan dan Aerline keluar dari mobil.Genny langsung berlari menghampiri Aerline. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia memeluk putrinya erat-erat. Aerline tak mampu menahan tangisnya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan ibunya, seperti seorang anak kecil yang mencari perlindungan.“Lin, sayang... kamu sudah pulang. Kamu sudah di rumah sekarang,” bisik Genny lembut sambil mengelus kepala Aerline. Air matanya pun ikut jatuh, merasakan kerinduan mendalam pada putrin
“Jadi, kamu benar-benar akan kembali ke Indonesia dan meninggalkan semua yang ada di sini?” tanya Freyya menatap ke arah Aerline yang sedang memasukkan beberapa barang dan buku ke dalam kardus. “Ya. Keputusan Bang Kaivan tidak bisa diganggu gugat,” jawab Aerline tersenyum kecil.Freyya terdiam, tangannya sibuk melipat pakaian Aerline dan menatanya ke dalam koper besar yang terbuka di atas tempat tidur. Sesekali ia melirik sahabatnya itu, yang tampak tenang meski suasana hatinya jelas terbaca dari senyum kecil yang ia paksakan."Lin..." Freyya memecah keheningan, suaranya penuh hati-hati. "Apa kamu benar-benar yakin ingin melakukan ini? Maksudku, pulang ke Indonesia bukan hal kecil. Apalagi... meninggalkan Joel."Aerline berhenti sejenak, ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku sudah memikirkannya, Frey. Aku harus pulang. Bang Kaivan sudah memberikan perintah, dan aku tidak bisa menolaknya. Lagipula, Joel sudah menyerah padaku,” jawab Aerline.“Menyerah? Ap
Joel duduk di sofa empuk di dalam ruangan private sebuah klub malam, dikelilingi oleh suasana yang temaram dan lantunan musik bass yang samar-samar terdengar dari luar. Lyman menuangkan minuman ke gelas Joel, sementara Richard berdiri di dekat jendela kecil yang menghadap lantai dansa di bawah. Ketiganya tampak tegang, meskipun mencoba untuk terlihat santai. “Kaivan benar-benar melarangmu bertemu dengan Aerline?” tanya Lyman, memecah keheningan. Joel mengangguk, wajahnya serius. “Dia bilang aku sudah cukup menyelamatkan Aerline, tapi dia nggak akan membiarkanku lebih jauh lagi. Katanya aku hanya akan menyakiti Aerline kalau terus dekat dengannya.” Richard terkekeh kecil, meski tidak terlalu terhibur. “Ck, itu sudah bisa ditebak. Kaivan terlalu protektif. Apalagi dia tahu soal hubunganmu dengan Gisela.” “Ini bukan tentang Gisela,” Joel mendesis, menatap tajam Richard. “Aku tahu aku salah, tapi perasaanku pada Aerline... itu nyata. Aku nggak pernah main-main soal dia.” Ly
Aerline membuka matanya perlahan, menyipitkan mata karena cahaya terang dari lampu di atas tempat tidurnya terasa menyilaukan. Kepala terasa berat dan berdenyut, seolah ribuan jarum menusuk kulit kepalanya. Dia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa lemah, hampir tidak memiliki energi untuk sekadar mengangkat tangannya.Suara mesin monitor detak jantung dan aroma antiseptik memberitahunya bahwa dia berada di rumah sakit. Aerline mengedarkan pandangannya dengan bingung hingga matanya bertemu dengan sosok yang duduk di sudut ruangan, menatapnya dengan tatapan tegang namun penuh perhatian."Bang Kaivan?" suara Aerline serak, hampir seperti bisikan.Kaivan segera berdiri dan berjalan cepat ke sisinya. "Aerline!" panggilnya, wajahnya bercampur antara lega dan marah. "Kamu sudah sadar. Syukurlah..."Aerline menatap kakaknya dengan bingung. "Kenapa Abang di sini? Apa yang terjadi? Aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba mengingat. Gambaran samar tentang air, tali yang melilit tubuhnya, dan r
Air dingin terus mengisi kolam dengan cepat, menyentuh leher Aerline yang semakin merasakan cengkeraman ketakutan. Dia menggertakkan giginya, berusaha menahan gemetar yang bukan hanya berasal dari suhu air, tetapi juga dari ketegangan situasi. Tekadnya untuk bertahan tetap menyala meski tubuhnya mulai kelelahan."Aku tidak akan menyerah di sini. Aku harus bertahan, untuk Joel, untuk diriku sendiri."Aerline menggerakkan tangannya sekuat tenaga, mencoba merasakan tekstur tali yang mengikatnya. Jemarinya yang kaku karena dingin berusaha mencari celah atau simpul yang longgar. Dalam pikiran, dia mengingat ulang semua detail perjalanan hingga dia terjebak di tempat ini, mencoba memahami celah kelemahan yang mungkin ditinggalkan oleh para penculiknya.“Ugh!” Aerline mulai merasa lelah, tapi dia tidak membiarkan pikirannya menyerah. Dia mencoba menundukkan kepalanya, menahan napasnya saat kepalanya masuk ke air dan memperhatikan tali di sekitar kakinya yang terendam air. Dia melihat sesuatu