“Aerly!” panggil Joel saat berhasil masuk ke dalam apartemen Aerline di mana pintunya terbuka sedikit. “Aerly!” panggil Joel dengan perasaan tak menentu dan penuh rasa khawatir. Dia memasuki setiap ruangan yang ada di apartemen mencari keberadaan Aerline, sayangnya tak kunjung dia temukan. Sampai saat dia masuk ke dalam kamar, ada jejak pemberontakan di sana, dan ponsel Aerline di mana layarnya sudah hancur. Melihat itu, tubuh Joel terduduk di dekatnya sambil mengambil ponsel itu. Hatinya gelisah bukan main mengetahui Aerline dalam bahaya.“To...tolong... aku takut! Ada orang di apartemen.” Itulah kalimat terakhir yang di dengar Joel, sebelum semuanya hilang. Joel memegang ponsel itu dengan gemuruh amarah yang tak tertahankan lagi.Joel mengepalkan tangan, rahangnya mengeras saat menatap ponsel Aerline yang rusak di genggamannya."Aerly, di mana kamu?" gumamnya, suaranya hampir serak oleh emosi yang memuncak.Hatinya dipenuhi rasa takut sekaligu
“Apa maksudmu kalau Aerline hilang?” tanya Lyman terkejut saat mendengar ucapan Joel. “Aku sendiri yang mengantarnya pulang ke apartemen. Dan semuanya baik-baik saja, tidak ada yang mencurigakan. Kemudian, Joel menceritakan apa yang terjadi, dimulai dari Aerline yang menghubunginya, kemudian kondisi apartemen yang cukup berantakan dan ponsel Aerline yang ditemukan remuk dan hancur. Semuanya berantakan dan Aerline tidak ditemukan di mana pun. “Aku sudah menemui Ayahku, dan dia tidak tahu apa pun. Aku curiga ini ulah Garren, Ayah dari Gisela,” ucap Joel menatap Lyman dengan tatapan serius.Lyman menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya meski hatinya diliputi kegelisahan."Garren? Kenapa kamu berpikir itu ulah dia? Aerline tidak ada hubungannya dengan orang seperti dia, Joel."Joel mengangguk, namun ekspresi wajahnya tetap serius. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi Garren punya alasan untuk menargetkan Aerline. Dia tahu aku peduli padanya. Selama ini, dia
“Ugh...” Perlahan Aerline membuka matanya, dia meringis saat bagian pelipis dna tengkuknya terasa sakit dan ngilu. Kemudian dia mempertajam pandangannya yang masih sedikit kabur. Saat pandangannya sudah lebih baik, dia melihat sekeliling dan Aerline baru menyadari kalau tubuhnya terikat di sebuah kursi. Kedua tangan, tubuh dan kakinya terikat di sebuah kursi yang berada di dalam sebuah kolam kosong setinggi lima meter. “Ini di mana?” gumamnya karena bibirnya pun dibekap di sana. Gadis itu gelisah dan melihat sekeliling bangunan tinggi yang kosong dan usang, bahkan bangunan itu sudah rusak dengan bagian atapnya yang sudah hilang sebagian. Ini adalah tempat renang indoor yang sudah tak terpakai lama. "Apa yang terjadi padaku? Siapa orang-orang yang menculikku, bagaimana aku bisa ada di sini?” batin Aerline bertanya banyak hal yang tidak kunjung dia temukan jawabannya. “Joel...? apa kamu mencariku? Bang Lyman? Siapa pu
“Jadi, kemana kau akan membawa kami?” tanya Kaivan dengan sarkas. “Aku akan menemui Gisela. Sebelumnya, aku sudah meminta bantuan dia untuk mengawasi gerak-gerik Ayahnya,” jawab Joel yang menyetir mobil. “Ck... kau yakin, tunanganmu itu bisa dipercaya?” tanya Kaivan masih dengan nada sarkas. “Ya, aku yakin,” jawab Joel. “Kamu begitu percaya pada tunanganmu. Kenapa harus menggoda adikku!” cibirnya dengan kesal. “Kai, udahlah. Kita fokus pada Aerline saja,” ucap Lyman menengahi. “Kalian berdua sama saja.” Ucap Kaivan melirik Lyman dan Richard di sana. “Kalian menyembunyikan hubungan pria brengsek itu dengan adikku sejak lama!” Kaivan benar-benar marah dan tidak bisa menerimanya. Lyman dan Richard tidak bisa mengatakan apa pun selain hanya tersenyum masam karena rasa bersalah. Tak butuh waktu lama, mobil berhenti di sekitaran rumah Gisela. “Aku tidak mau Garren curiga. Aku akan masuk sendirian, kali
Air dingin terus mengisi kolam dengan cepat, menyentuh leher Aerline yang semakin merasakan cengkeraman ketakutan. Dia menggertakkan giginya, berusaha menahan gemetar yang bukan hanya berasal dari suhu air, tetapi juga dari ketegangan situasi. Tekadnya untuk bertahan tetap menyala meski tubuhnya mulai kelelahan."Aku tidak akan menyerah di sini. Aku harus bertahan, untuk Joel, untuk diriku sendiri."Aerline menggerakkan tangannya sekuat tenaga, mencoba merasakan tekstur tali yang mengikatnya. Jemarinya yang kaku karena dingin berusaha mencari celah atau simpul yang longgar. Dalam pikiran, dia mengingat ulang semua detail perjalanan hingga dia terjebak di tempat ini, mencoba memahami celah kelemahan yang mungkin ditinggalkan oleh para penculiknya.“Ugh!” Aerline mulai merasa lelah, tapi dia tidak membiarkan pikirannya menyerah. Dia mencoba menundukkan kepalanya, menahan napasnya saat kepalanya masuk ke air dan memperhatikan tali di sekitar kakinya yang terendam air. Dia melihat sesuatu
Aerline membuka matanya perlahan, menyipitkan mata karena cahaya terang dari lampu di atas tempat tidurnya terasa menyilaukan. Kepala terasa berat dan berdenyut, seolah ribuan jarum menusuk kulit kepalanya. Dia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa lemah, hampir tidak memiliki energi untuk sekadar mengangkat tangannya.Suara mesin monitor detak jantung dan aroma antiseptik memberitahunya bahwa dia berada di rumah sakit. Aerline mengedarkan pandangannya dengan bingung hingga matanya bertemu dengan sosok yang duduk di sudut ruangan, menatapnya dengan tatapan tegang namun penuh perhatian."Bang Kaivan?" suara Aerline serak, hampir seperti bisikan.Kaivan segera berdiri dan berjalan cepat ke sisinya. "Aerline!" panggilnya, wajahnya bercampur antara lega dan marah. "Kamu sudah sadar. Syukurlah..."Aerline menatap kakaknya dengan bingung. "Kenapa Abang di sini? Apa yang terjadi? Aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba mengingat. Gambaran samar tentang air, tali yang melilit tubuhnya, dan r
Joel duduk di sofa empuk di dalam ruangan private sebuah klub malam, dikelilingi oleh suasana yang temaram dan lantunan musik bass yang samar-samar terdengar dari luar. Lyman menuangkan minuman ke gelas Joel, sementara Richard berdiri di dekat jendela kecil yang menghadap lantai dansa di bawah. Ketiganya tampak tegang, meskipun mencoba untuk terlihat santai. “Kaivan benar-benar melarangmu bertemu dengan Aerline?” tanya Lyman, memecah keheningan. Joel mengangguk, wajahnya serius. “Dia bilang aku sudah cukup menyelamatkan Aerline, tapi dia nggak akan membiarkanku lebih jauh lagi. Katanya aku hanya akan menyakiti Aerline kalau terus dekat dengannya.” Richard terkekeh kecil, meski tidak terlalu terhibur. “Ck, itu sudah bisa ditebak. Kaivan terlalu protektif. Apalagi dia tahu soal hubunganmu dengan Gisela.” “Ini bukan tentang Gisela,” Joel mendesis, menatap tajam Richard. “Aku tahu aku salah, tapi perasaanku pada Aerline... itu nyata. Aku nggak pernah main-main soal dia.” Ly
“Jadi, kamu benar-benar akan kembali ke Indonesia dan meninggalkan semua yang ada di sini?” tanya Freyya menatap ke arah Aerline yang sedang memasukkan beberapa barang dan buku ke dalam kardus. “Ya. Keputusan Bang Kaivan tidak bisa diganggu gugat,” jawab Aerline tersenyum kecil.Freyya terdiam, tangannya sibuk melipat pakaian Aerline dan menatanya ke dalam koper besar yang terbuka di atas tempat tidur. Sesekali ia melirik sahabatnya itu, yang tampak tenang meski suasana hatinya jelas terbaca dari senyum kecil yang ia paksakan."Lin..." Freyya memecah keheningan, suaranya penuh hati-hati. "Apa kamu benar-benar yakin ingin melakukan ini? Maksudku, pulang ke Indonesia bukan hal kecil. Apalagi... meninggalkan Joel."Aerline berhenti sejenak, ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku sudah memikirkannya, Frey. Aku harus pulang. Bang Kaivan sudah memberikan perintah, dan aku tidak bisa menolaknya. Lagipula, Joel sudah menyerah padaku,” jawab Aerline.“Menyerah? Ap
“Jadi, Joelio sudah siuman?” tanya Garren saat menerima laporan langsung dari anak buahnya. “Benar, Tuan. Dan sepertinya, mereka tahu kalau kejadian kemarin itu ulah Anda,” tambahnya. “Kurang ajar! Rencana kita jadi kacau, kenapa bukan wanita itu saja yang tertembak dan mati!” keluh Garren merasa sangat kesal sekali di sana. “Dan sepertinya, Kainan Dirgantara, sedang menyiapkan sesuatu yang besar untuk melawan kita membantu Joelio,” jelasnya. Garren menatap pria di depannya dengan intens. “Apa saja yang orang suruhan kita lihat dari gerak gerik mereka?” tanya Garren. “Tidak ada laporan gerak-geriknya bagaimana. Hanya saja, dia meyakini kalau mereka sedang merencanakan sesuatu untuk melawan kita,” jelas pria itu.Garren menghela napas panjang, amarahnya semakin membara. "Mereka mulai berani menantangku, ya?" gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Terutama bocah sialan bernama Joelio itu. Seharusnya dia mati saja kemarin."Pria di depann
“Jadi, apa menurutmu, cerita putri dan pangeran itu sangat cocok untuk di dongengkan padaku?” gurau Joel membuat Aerline tersenyum. “Ya, biasanya sang pangeran akan terbangun. Dan ternyata benar bangun, kan?” ucap Aerline di sana. “Putri terbangun karena dicium pangeran. Dan The beast bangun hingga berubah jadi manusia normal karena ciuman beauty,” ujar Joel. “Aku bahkan tidak menerima ciuman apa pun. Ck... malang sekali, padahal aku berharap sekali ada adegan ciuman saat kamu menyelesaikan dongengnya.” “Maaf, Tuan. Karena ekspektasimu berbeda jauh dengan realita,” ucap Aerline di sana.Joel pura-pura memasang wajah kecewa. "Jadi, aku cuma bisa bangun tanpa ciuman penyelamat? Begitu kejamnya dunia ini..."Aerline tertawa kecil, hatinya terasa hangat melihat Joel kembali dengan candaan khasnya. "Ya, dunia memang kejam, Tuan. Lagipula, siapa yang bilang kamu butuh ciuman untuk bangun?"Joel mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Hei, bukanka
“Dad!” Gisela memasuki ruangan milik Garren dengan sorot mata penuh kekesalan. “Oh, Gisel. Ada apa?” tanya Garren di sana. Menoleh ke arah Gisela dengan santai. “Kenapa Kyle dilarang masuk ke rumah ini?” tanya Gisela dengan tatapan penuh rasa kesal. “Kyle? Siapa dia?” tanya Garren. “Dad!” Gisela sedikit merajuk di sana karena kesal. Garren tertawa kecil di sana. “Oh, pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Kenapa kamu harus bergaul dengan pria seperti itu, Gisel?” tanya Garren. “Dia pria yang baik, Dad. Dia temanku, biarkan dia masuk,” ucap Gisela. “No! tidak bisa, Gisela. Berhenti bergaul dengan pria tidak ada kejelasan itu. Kamu dan Joel memutuskan pernikahan, dan itu masih jadi perbincangan hangat di media, Darling. Kamu tidak boleh terkena skandal apa pun, Daddy ingin semua kesalahan ditimpakan pada Joelio, alasan kenapa pernikahan kalian dibatalkan,” ucap Garren. “Apa Dad mau menghancurkan r
“Oh, kamu sudah kembali, Lyman?” tanya Kaivan saat Lyman datang ke rumah sakit di mana Kaivan berada. “Ya, gimana Joel?” tanya Lyman. “Masih belum ada perubahan. Aerline masih menemaninya di ruang ICU,” jawab Kaivan. “Ada yang ingin aku katakan tentang penembakan itu. Kita bicara di ruangan Richard,” ucap Lyman. “Baiklah.” Kaivan memberi perintah pada bodyguard yang dibawanya untuk memastikan Aerline baik-baik saja. Dia masih khawatir, akan ada yang berusaha menyakiti adiknya.Kaivan menatap Lyman dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Ayo kita ke sana sekarang," katanya tanpa basa-basi. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Richard yang terletak di lantai berbeda dari ICU.Setibanya di ruangan tersebut, Richard yang mengenakan jas Dokter menunggu mereka dengan wajah penuh tanda tanya. "Apa terjadi sesuatu dengan Joel?" tanyanya segera."Bukan soal itu," ujar Lyman sambil menutup pintu rapat. "Ini soal penembakan yang hampir merenggut
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e
“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a