Ddrrttt... Aerline menatap layar ponselnya saat ponselnya berdering dan nomor asing muncul di sana. “Siapa, ya?” gumamnya. Aerline pun menerima panggilan tersebut tanpa menaruh kecurigaan apa pun. "Halo... " "Tinggalkan Joelio, atau kau akan mati!" Degh! Aerline tertegun di sana saat mendengar suara pria menakutkan di seberang sana. Tubuhnya bergetar hebat dan jantung berdebar sangat cepat.Aerline terdiam, tangannya yang memegang ponsel gemetar. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, meskipun suara ancaman itu masih terngiang di telinganya.“Siapa ini? Apa maksudmu?” tanya Aerline, suaranya bergetar namun tetap mencoba terdengar tegas.“Bukan urusanmu siapa aku. Ini peringatan terakhir. Tinggalkan Joelio, atau aku pastikan kau tidak akan selamat,” suara itu kembali terdengar, tajam dan penuh ancaman, sebelum sambungan terputus begitu saja.Aerline menatap ponselnya dengan mata meleba
“Hai, Lin… “ Leon menyapa Aerline yang hendak pergi ke mejanya. “Hai, Le.” Aerline hanya melihat sekilas dan memalingkan wajahnya. Tanpa kata, Aerline berjalan melewati Leon, tetapi pria itu menahan pergelangan tangan Aerline di sana. “Ada apa?” tanya Aerline masih berusaha menghindari tatapan Leon. Pria itu menyampaikan rambut Aerline yang menutupi area pipinya dan terlihat memar di sana. “Siapa yang melakukannya, Lin?” tanya Leon. “Bukan urusanmu!” ucap Aerline menepis tangan Leon dan berusaha pergi tetapi Leon tidak menyerah dan kembali memegang lengan Aerline. “Aku tanya sekali lagi, siapa yang melakukannya?” tanya Leon penuh penekanan. Aerline terdiam sejenak, menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan ekspresi yang sulit ia kendalikan. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Leon, lepaskan aku. Aku tidak ingin membicarakan ini,” ujarnya dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan.Leon menghela napas, menatap Aerline dengan sorot mata y
“Gimana kabarmu, Lin?” tanya Lyman yang saat ini sedang ada di cafetaria kantor. “Kabarku baik. Abang, kenapa bisa datang ke sini? Bukannya, Abang di Indonesia?” tanya Lyman. “Hmm... sebenarnya Joel menghubungiku beberapa waktu lalu dan memintaku datang,” ucap Lyman. “Apa terjadi sesuatu?” tanya Aerline menatap Lyman. Bukannya menjawab, Lyman malah menatap Aerline intens dan mulai membuka suaranya. “Sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Joel?” tanya Lyman dengan serius.Aerline terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia menatap Lyman dengan mata yang sedikit melebar, seolah mempertanyakan apakah dia harus menjawabnya. Meskipun begitu, Aerline tahu bahwa Lyman tidak akan berhenti bertanya sampai ia mendapatkan jawaban.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gelisah yang mulai muncul di dadanya. “Aku sendiri tidak tahu ada hal apa. Dia merahasiakannya dariku. Aku juga penasaran, kenapa dia menghubungi kamu?” tanya Aerline, berusaha meng
“Kamu baru pulang?” tanya Aerline langsung menyambut kedatangan Joel di depan pintu. Joel tersenyum melihat Aerline yang menyambutnya dengan senyuman hangat. Pria itu berjalan mendekati Aerline dan mengusap kepala wanita itu dengan lembut. “Kenapa belum tidur? Kan aku sudah minta kamu untuk tidur,” ucap Joel dengan lembut. “Aku belum mengantuk. Selain itu, aku ingin menunggumu,” jawab Aerline. “Apa Bang Lyman sudah dapat penginapan?” tanya Aerline. “Ya, aku sudah menyewakan sebuah apartemen untuknya,” ucap Joel di mana mereka berdua berjalan bersama memasuki area rumah. “Apartemen? jadi, Bang Lyman akan lama di sini?” tanya Aerline. “Ya, begitulah,” jawab Joel. “Kamu sudah makan malam?” “Sudah. Sejak mengkonsumsi vitamin yang dokter berikan, aku gak bisa nahan laper lagi,” jawab Aerline terkekeh kecil. “Baguslah. Biar kamu tidak membiasakan diri untuk menahan lapar,” ucap Joel. “Kamu sendiri sud
“Sudah jam tiga dini hari dan dia tidak juga datang. Sebenarnya, ke mana dia,” gumam Aerline menatap keluar jendela yang masih sepi. Aerline menghela napasnya dan berjongkok di lantai. Tadi setelah menerima telepon, Joel pergi meninggalkannya dan hanya mengatakan kalau dia memiliki urusan yang sangat penting. “Sebenarnya, urusan penting apa, sampai dia pergi begitu lama?” gumam Aerline di sana. Dia melihat kontak di ponselnya, hingga melihat nama Lyman. Tanpa pikir panjang, Aerline pun mencoba menghubungi Lyman di sana. “Halo, Bang.” “Hm... ada apa? Apa kamu tahu jam berapa sekarang?” tanya Lyman di seberang sana dengan suara yang serak, khas orang baru bangun tidur.“Halo, Bang. Maaf kalau aku mengganggu tidur Abang,” ujar Aerline dengan nada menyesal, namun ada nada cemas yang sulit disembunyikan dari suaranya.Lyman menghela napas di telepon. "Kenapa, Lin? Kamu terdengar tidak tenang. Apa ada masalah?" tanyanya, suaranya kini lebih
“Jadi ini, apartemennya,” ucap Aerline menatap keseluruhan apartemen yang luas dan furnitur yang sudah lengkap di setiap ruangannya. “Kamu suka?” tanya Joel yang berdiri di sampingnya.Aerline mengangguk pelan sambil melangkah masuk lebih jauh, matanya menyapu setiap sudut apartemen. "Ini tempat yang sangat bagus. Nyaman, modern, dan pencahayaannya bagus. Aku suka," ucapnya jujur, sembari menyentuh meja dapur yang terlihat bersih dan elegan.Joel tersenyum, puas dengan respons Aerline. "Aku juga merasa ini pilihan terbaik. Tempat ini tenang, tapi tetap dekat dengan pusat kota."Aerline berbalik menatap Joel, menyilangkan tangan di depan dada. "Kamu yakin tidak ada alasan lain memilih apartemen ini? Seperti... balkon besar dengan pemandangan malam yang romantis?" godanya.Joel tertawa kecil. "Mungkin itu bagian bonusnya. Tapi serius, aku ingin kamu mendapatkan tempat yang cocok untuk memulai sesuatu yang baru. Selain itu, aku ingin kamu merasa nyaman di sini.”Aerli
“Semuanya selesia,” gumam Aerline menatap semua barangnya yang sudah dia rapikan sedikit demi sedikit. Dengan bantuan Joel, dia akhirnya bisa memindahkan semua barang yang ada di apartemen sebelumnya ke apartemen yang sekarang dia tempati. Wanita itu lalu mengambil ponselnya dan membuka layar ponselnya. Tidak ada notifikasi apa pun dari Joel di sana. “Dia sedang apa, ya?” gumamnya mencoba menghubungi Joel, tetapi pria itu kembali sibuk dan tidak bisa di hubungi. “Sebenarnya, akhir-akhir ini dia sibuk apa, sih? Kenapa sulit sekali dihubungi,” gumam Aerline termenung di sana. Dia hanya bisa menghela napasnya dan meletakkan ponselnya di atas meja nakas. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, dan mandi di bawah guyuran air shower yang cukup dingin. Setiap air yang jatuh mengguyur rambut dan tubuhnya, membuat Aerline memejamkan matanya dan kegelisahan semakin menjadi, dia memikirkan teror yang jelas membuatnya ketakutan setiap
Aerline mengeluarkan setiap butir obat dari tempatnya, kemudian meminumnya dengan meneguk segelas air. Ia berusaha menelan semua obat itu ke dalam kerongkongannya, sampai tanpa sadar air matanya ikut luruh membasahi pipinya. “Obatnya terlalu pahit,” gumamnya hanya bisa menangis dalam diam. Kenyataannya, ini bukan perkara obat. Aerline duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi gelas air yang kini kosong. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa pahit obat itu mengaduk emosinya. Air mata terus mengalir, bukan karena rasa obat, tapi karena beban yang tak terlihat oleh siapa pun.Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba mengendalikan dirinya. "Kenapa rasanya berat sekali?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri.Berbagai hal berputar di kepalanya, teror yang tak berujung, kesehatan yang terus menurun, dan hubungan yang semakin terasa rapuh dengan Joel. Semuanya seperti menumpuk, menggerogoti keteguhan yang selama ini coba ia pertahankan.Aerline menarik napas dalam
“Lin?” Lyman masuk ke dalam ruang rawat Aerline. “Bang?” jawab Aerline melihat ke arah Lyman. Lyman berjalan mendekati Aerline yang duduk terbaring di atas ranjang rumah sakit. “Kenapa malam itu tidak tunggu Abang sih?” tanya Lyman terlihat begitu khawatir. “Aku baik-baik saja, Bang,” ujar Aerline di sana. “Kamu itu,” ucap Lyman sampai tidak bisa berkata apa-apa. “Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Abang sangat mencemaskanmu, Lin. Semalaman Abang keliling cari kamu,” ucap Lyman. “Maaf, Bang.” “Kalau terjadi sesuatu padamu, bagaimana Abang jelasin ke Kaivan? Kamu berharga untuk keluargamu, Lin. Jangan merasa sendiri, Abang di sini untuk jaga kamu,” ucap Lyman mengusap kepala Aerline dengan lembut.Aerline menunduk, merasa hangat mendengar kata-kata Lyman. Dia tidak menyangka Lyman begitu peduli padanya, bahkan rela mencari dirinya sepanjang malam."Maafkan aku, Bang. Aku nggak bermaksud bikin abang khawat
“Um... “ Aerline perlahan membuka matanya dan melihat sekeliling ruangan. Dia meringis kecil sambil memegang kepalanya yang terasa berat. Dia menoleh ke arah punggung tangannya yang dipasang infusan di sana. “Apa aku ada di rumah sakit?” gumamnya berusaha mengingat apa yang terjadi. “Kamu sudah siuman, Lin?” pertanyaan itu membuat Aerline menoleh ke sumber suara dan melihat sosok Leon di sana dan terlihat pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. “Leon?” tanya Aerline. “Aku melihatmu pingsan dan tergeletak di pinggir jalan. Jadi, aku bawa kamu ke rumah sakit, menurut dokter kamu terkena usus buntu dan harus segera di operasi,” jawab Leon. “Operasi?” Aerline mengernyitkan dahinya. “Ponselmu mati, jadi aku tidak punya pilihan lain selain menandatangani surat persetujuannya. Aku sangat khawatir padamu,” ucap Leon. Aerline tersenyum di sana. “Terima kasih, Leon. Berkatmu, aku bisa selamat,” ujarnya
“Apa semuanya sudah sesuai?” tanya Aerline pada pelayan di restoran yang sudah dia booking jauh-jauh hari untuk acara ulang tahun Joel. Dia ingin memberikan kejutan spesial untuk Joel. “Semua sudah disiapkan dengan sangat baik, Nona. Kami hanya tinggal menunggu kode dari anda,” ucap pelayan itu. “Baiklah, terima kasih.” Aerline tersenyum lebar di sana. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit pelayan tersebut. Aerline merapikan gaun cantik yang dikenakannya. Dia sengaja memakai gaun warna violet, karena menurut Joel, dia selalu cantik kalau memakai warna itu. Wanita itu duduk di kursi sambil melihat jam tangannya. “Masih ada 20 menitan lagi sampai Joel datang. Astaga, aku deg-degan sekali. Semoga saja, acaranya berjalan dengan lancar,” gumam Aerline tersenyum lebar. Dia sengaja membooking area rooftop sebuah restoran untuk merayakan ulang tahun Joel. Dia juga sudah menyiapkan beberapa kejutan kecil, di mana mereka akan memotong kue
“Jangan lupa dengan wine yang akan jadi pelengkap makan malam kita,” ucap Joel.“Aku akan mengambilkan wine kualitas terbaik, sebentar.” Tambah pria itu berlalu pergi dari sana meninggalkan Aerline yang masih menikmati makanannya.Joel kembali beberapa saat kemudian dengan sebotol wine berlabel premium di tangannya. “Ini dia, wine terbaik untuk melengkapi makan malam kita,” ucapnya sambil tersenyum.Aerline menatap botol itu dengan kagum. “Kamu benar-benar mempersiapkan semuanya dengan sempurna, Joel. Aku terkesan.”Joel hanya tersenyum kecil sambil membuka botol wine tersebut dengan anggun. Ia menuangkan wine ke dua gelas, lalu menyerahkan salah satunya kepada Aerline. “Untuk malam yang tidak akan pernah kita lupakan.”Aerline menerima gelas itu sambil menatap Joel dengan lembut. “Untuk malam ini, dan untuk kita,” ujarnya sambil mengangkat gelasnya untuk bersulang.Mereka berdua menyeruput wine itu dengan perlahan, menikmati rasa anggur yang lembut dan kaya. Angin pantai yang sepoi-s
“Wah, apakah ini vila yang kamu maksud?” tanya Aerline saat dia menuruni mobil dan melihat suasana vila di bibir pantai. “Ya, ini adalah vila pribadi. Aku sengaja membookingnya. Jadi, tidak akan ada orang lain lagi selain kita berdua di sini,” ucap Joel memeluk Aerline dari belakang. Wanita itu tersenyum hangat dan memegang tangan Joel yang melingkar di perutnya."Tempat ini indah sekali, Joel," ucap Aerline, memandang hamparan pantai dengan pasir putih yang berkilauan diterpa sinar matahari. Suara ombak yang tenang dan angin laut yang sejuk memberikan suasana damai yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Joel menunduk sedikit, menyandarkan dagunya di bahu Aerline. "Aku ingin kamu merasa tenang dan melupakan semua beban yang ada," ucapnya lembut.Aerline menolehkan wajahnya sedikit, menatap Joel dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Joel. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Ini lebih dari cukup."Joel melepaskan pelukan itu perlahan, mengambil tangan Aerline dan membawanya ma
“Kamu masih marah padaku?” tanya Joel mendekati Aerline yang masih kerja di meja kerjanya. Hari sudah malam, semua rekan kerjanya sudah pulang lebih dulu. Sedangkan Aerline harus lembur karena sempat tidak masuk, membuat pekerjaannya cukup menumpuk. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan menatap Joel di depannya. "Aku tidak marah padamu, Joel,” jawab Aerline. “Aku paham posisimu, dan aku coba mengerti.” “Tapi kamu terus menghindariku seharian ini, apa kamu akan terus bersikap begitu? Padahal aku sangat merindukanmu,” ujar Joel yang duduk dihadapan Aerline sambil memegang tangan wanita itu. “Akhir-akhir ini, hubungan kita semakin renggang dan jauh, aku sangat merindukanmu.” Joel tersenyum di sana.Aerline menarik tangannya perlahan dari genggaman Joel, lalu menghela napas dalam-dalam. Ia menatap Joel dengan sorot mata yang bercampur antara lelah dan keraguan.“Joel, aku tidak menghindarimu,” ucapnya pelan, suaranya terdengar
“Aerline… “Semua rekan kerjanya kembali menyambut kedatangannya di kantor setelah tidak masuk kerja selama tiga hari. “Kamu baik-baik saja, Lin?” tanya Lita. “Kamu sakit apa sebenarnya? Kami khawatir banget, tau.” Kali ini Agnes yang berbicara. “Sakit asam lambung,” jawab Aerline tidak mengatakan yang sebenarnya kalau dia sakit Gerd. Aerline berusaha tersenyum pada rekan-rekannya yang tampak benar-benar khawatir. “Maaf ya, bikin kalian khawatir. Aku sudah lebih baik sekarang,” katanya sambil menepuk bahu Lita dengan lembut.“Kamu harus lebih jaga kesehatan, Lin,” ujar Maya dengan nada penuh perhatian.“Iya, jangan terlalu memaksakan diri di kantor,” tambah Agnes, menatap Aerline dengan pandangan serius.Aerline mengangguk kecil. “Aku akan lebih hati-hati. Terima kasih sudah peduli,” jawabnya tulus. Meski mencoba terdengar ringan, hatinya sedikit berat karena tahu mereka tidak mengetahui sepenuhnya apa yang ia alami belakangan ini.“Ngomong-ngomong, Leon nyariin kamu tadi pagi,”
Gisela sedang duduk di atas kursi roda, Joel mendorong kursi rodanya berjalan-jalan ke taman rumah sakit. “Kenapa sih, masih ngurusin aku? Kamu gak paham, seberapa susuahnya aku menahan diri untuk tidak terbawa perasaan dengan aktingmu itu.” keluh Gisela. Joel masih diam membisu di sana, dia hanya bisa menghela napasnya. “Mata-mata Ayahmu ada di mana-mana,” ucapnya. “Aku ingin kamu tahan sebentar saja, karena situasi ini pun tidak menyenangkan bagiku. Aku ingin memastikan orang-orang yang kucintai aman, maka aku tidak akan mengganggumu lagi,” ujar Joel berkata dengan kejamnya membuat Gisela terdiam, hatinya sakit bukan main mendengar perkataan kasar Joel di sana. Dia tahu, semua ini hanya akting saja, dia juga tahu kalau Joel tidak bersungguh-sungguh padanya. Tapi dengan bodohnya, dia masih tetap berharap dan terbawa perasaan oleh perhatian Joel yang tidak nyata itu. Gisela bodoh, saat berkenalan dengan Joel dan sikapnya yang kadang baik padanya
Dor! “Tidak!” Aerline terperanjat bangun dari tidurnya. Nafasnya terengah dan keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya. Dia melihat sekeliling ruangan, ternyata dia tertidur di sofa ruang tengah apartemennya. Cahaya matahari sudah menerobos masuk ke celah jendela apartemennya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.Aerline memegangi dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, seperti dia benar-benar terperangkap dalam kegelapan yang menyesakkan. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat apa yang baru saja dialaminya dalam tidur.Gambaran teror yang menakutkan, sampai muncul sosok berjubah hitam yang ingin membunuhnya. Mimpi itu membawa rasa sakit yang sulit dijelaskan, seolah-olah itu adalah cerminan dari semua yang mungkin akan terjadi padanya.Aerline menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan dari sofa. Dia berjalan ke dapur untuk meng