“Kamu baru pulang?” tanya Aerline langsung menyambut kedatangan Joel di depan pintu. Joel tersenyum melihat Aerline yang menyambutnya dengan senyuman hangat. Pria itu berjalan mendekati Aerline dan mengusap kepala wanita itu dengan lembut. “Kenapa belum tidur? Kan aku sudah minta kamu untuk tidur,” ucap Joel dengan lembut. “Aku belum mengantuk. Selain itu, aku ingin menunggumu,” jawab Aerline. “Apa Bang Lyman sudah dapat penginapan?” tanya Aerline. “Ya, aku sudah menyewakan sebuah apartemen untuknya,” ucap Joel di mana mereka berdua berjalan bersama memasuki area rumah. “Apartemen? jadi, Bang Lyman akan lama di sini?” tanya Aerline. “Ya, begitulah,” jawab Joel. “Kamu sudah makan malam?” “Sudah. Sejak mengkonsumsi vitamin yang dokter berikan, aku gak bisa nahan laper lagi,” jawab Aerline terkekeh kecil. “Baguslah. Biar kamu tidak membiasakan diri untuk menahan lapar,” ucap Joel. “Kamu sendiri sud
“Sudah jam tiga dini hari dan dia tidak juga datang. Sebenarnya, ke mana dia,” gumam Aerline menatap keluar jendela yang masih sepi. Aerline menghela napasnya dan berjongkok di lantai. Tadi setelah menerima telepon, Joel pergi meninggalkannya dan hanya mengatakan kalau dia memiliki urusan yang sangat penting. “Sebenarnya, urusan penting apa, sampai dia pergi begitu lama?” gumam Aerline di sana. Dia melihat kontak di ponselnya, hingga melihat nama Lyman. Tanpa pikir panjang, Aerline pun mencoba menghubungi Lyman di sana. “Halo, Bang.” “Hm... ada apa? Apa kamu tahu jam berapa sekarang?” tanya Lyman di seberang sana dengan suara yang serak, khas orang baru bangun tidur.“Halo, Bang. Maaf kalau aku mengganggu tidur Abang,” ujar Aerline dengan nada menyesal, namun ada nada cemas yang sulit disembunyikan dari suaranya.Lyman menghela napas di telepon. "Kenapa, Lin? Kamu terdengar tidak tenang. Apa ada masalah?" tanyanya, suaranya kini lebih
“Jadi ini, apartemennya,” ucap Aerline menatap keseluruhan apartemen yang luas dan furnitur yang sudah lengkap di setiap ruangannya. “Kamu suka?” tanya Joel yang berdiri di sampingnya.Aerline mengangguk pelan sambil melangkah masuk lebih jauh, matanya menyapu setiap sudut apartemen. "Ini tempat yang sangat bagus. Nyaman, modern, dan pencahayaannya bagus. Aku suka," ucapnya jujur, sembari menyentuh meja dapur yang terlihat bersih dan elegan.Joel tersenyum, puas dengan respons Aerline. "Aku juga merasa ini pilihan terbaik. Tempat ini tenang, tapi tetap dekat dengan pusat kota."Aerline berbalik menatap Joel, menyilangkan tangan di depan dada. "Kamu yakin tidak ada alasan lain memilih apartemen ini? Seperti... balkon besar dengan pemandangan malam yang romantis?" godanya.Joel tertawa kecil. "Mungkin itu bagian bonusnya. Tapi serius, aku ingin kamu mendapatkan tempat yang cocok untuk memulai sesuatu yang baru. Selain itu, aku ingin kamu merasa nyaman di sini.”Aerli
“Semuanya selesia,” gumam Aerline menatap semua barangnya yang sudah dia rapikan sedikit demi sedikit. Dengan bantuan Joel, dia akhirnya bisa memindahkan semua barang yang ada di apartemen sebelumnya ke apartemen yang sekarang dia tempati. Wanita itu lalu mengambil ponselnya dan membuka layar ponselnya. Tidak ada notifikasi apa pun dari Joel di sana. “Dia sedang apa, ya?” gumamnya mencoba menghubungi Joel, tetapi pria itu kembali sibuk dan tidak bisa di hubungi. “Sebenarnya, akhir-akhir ini dia sibuk apa, sih? Kenapa sulit sekali dihubungi,” gumam Aerline termenung di sana. Dia hanya bisa menghela napasnya dan meletakkan ponselnya di atas meja nakas. Dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, dan mandi di bawah guyuran air shower yang cukup dingin. Setiap air yang jatuh mengguyur rambut dan tubuhnya, membuat Aerline memejamkan matanya dan kegelisahan semakin menjadi, dia memikirkan teror yang jelas membuatnya ketakutan setiap
Aerline mengeluarkan setiap butir obat dari tempatnya, kemudian meminumnya dengan meneguk segelas air. Ia berusaha menelan semua obat itu ke dalam kerongkongannya, sampai tanpa sadar air matanya ikut luruh membasahi pipinya. “Obatnya terlalu pahit,” gumamnya hanya bisa menangis dalam diam. Kenyataannya, ini bukan perkara obat. Aerline duduk di tepi tempat tidurnya, memandangi gelas air yang kini kosong. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa pahit obat itu mengaduk emosinya. Air mata terus mengalir, bukan karena rasa obat, tapi karena beban yang tak terlihat oleh siapa pun.Dia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, mencoba mengendalikan dirinya. "Kenapa rasanya berat sekali?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri.Berbagai hal berputar di kepalanya, teror yang tak berujung, kesehatan yang terus menurun, dan hubungan yang semakin terasa rapuh dengan Joel. Semuanya seperti menumpuk, menggerogoti keteguhan yang selama ini coba ia pertahankan.Aerline menarik napas dalam
“Apa makanannya sangat enak, sampai kamu begitu fokus pada makananmu?” tanya Joel menyadarkan Aerline yang terus menunduk dan terus menyuapkan soup ke mulutnya. “Ya, mungkin karena aku terlalu lapar,” jawab Aerline tersenyum kecil. Padahal, sekuat tenaga, Aerline menahan air matanya. Banyak hal yang ingin dia tanyakan pada pria di depannya, tetapi jawabannya tadi saja sudah tidak jujur, membuat Aerline merasa malas dan lelah untuk bertanya. “Apa lambungmu kembali sakit? Apa kita perlu bertemu dokter lagi?” tanya Joel di sana yang tidak menyentuh makanannya sama sekali. “Tidak perlu. Aku sudah pergi ke dokter kok kemarin,” ucap Aerline. “Dengan siapa?” tanya Joel cukup terkejut mendengarnya. “Siapa lagi. Aku pergi sendiri,” jawab Aerline dengan tenang. “Maafin aku, Aerly. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu, kemarin aku benar-benar sibuk,” ujar Joel. Aerline tersenyum di sana. “Tidak apa-apa, aku mengerti,” j
“Kenapa kamu datang lagi ke sini, Joel? Kamu masih berusaha mencari muka pada Ayahku?” tanya Gisela dengan nada sinis saat Joel masuk ke dalam ruang rawat Gisela. “Aku sudah katakan. Aku tidak peduli apa pun komentarmu, aku akan tetap datang setiap hari ke sini,” jawab Joel dengan nada dingin dan duduk di sofa. Gisela berdecak kesal di sana. “Kamu datang hanya untuk mempersulitku!” protesnya. “Harusnya, tetaplah bersama wanita simpananmu, kenapa tetap datang kemari?” Joel enggan untuk menjawabnya, pria itu menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa sambil memejamkan matanya. Pikirannya melayang memikirkan sikap Aerline dan wajahnya yang pucat. Joel sebenarnya, sangat ingin nemenin Aerline di sana dan merawatnya. Sayangnya, situasi sedang genting, Joel khawatir anak buah Bailee dan Ayahnya Gisella yang selalu mengawasi gerak-geriknya, akan membahayakan Aerline. “Kenapa harus menyiksa diri sendiri begini, sih?” tanya Gisela memperhatikan Jo
Dor! “Tidak!” Aerline terperanjat bangun dari tidurnya. Nafasnya terengah dan keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya. Dia melihat sekeliling ruangan, ternyata dia tertidur di sofa ruang tengah apartemennya. Cahaya matahari sudah menerobos masuk ke celah jendela apartemennya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.Aerline memegangi dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, seperti dia benar-benar terperangkap dalam kegelapan yang menyesakkan. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat apa yang baru saja dialaminya dalam tidur.Gambaran teror yang menakutkan, sampai muncul sosok berjubah hitam yang ingin membunuhnya. Mimpi itu membawa rasa sakit yang sulit dijelaskan, seolah-olah itu adalah cerminan dari semua yang mungkin akan terjadi padanya.Aerline menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan dari sofa. Dia berjalan ke dapur untuk meng
“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a
“Kok cepet banget udah balik?” tanya Lyman saat Joel sudah kembali ke apartemen temannya itu. Di sana juga ada Richard yang sedang duduk dan bermain kartu dengan Lyman. Mereka sama-sama memperhatikan Joel yang menghela napas panjang sambil duduk di sofa. “Kalian udah bicara? Kaivan sudah kasih izin, loh,” ucap Richard menimpali. “Dia gak mau bicara padaku dan memilih menghindar,” jawab Joel. “Dia benar-benar sudah menyerah padaku dan memutuskan untuk berkomunikasi lagi denganku,” Lyman dan Richard saling bertukar pandang. Keduanya memahami situasi sulit yang sedang dialami Joel, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Mereka tahu betapa keras kepala Joel dalam mempertahankan perasaannya untuk Aerline."Ya, setidaknya kamu udah coba, bro," ujar Lyman mencoba menenangkan. "Kalau dia butuh waktu atau emang gak bisa lagi, mungkin kamu harus belajar nerima."Joel menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen dengan pandanga
Aerline masih membeku di tempatnya saat Joel berjalan mendekatinya. Wanita itu merasa ini hanya khayalannya saja, tetapi sosoknya begitu nyata, bahkan debaran jantungnya berdebar sangat cepat sekali. “Hei...” sapa Joel saat sudah berdiri di hadapan Aerline yang masih menatapnya dengan tatapan terkejut. “Joel?” gumamnya. Joel tersenyum canggung di sana. Dan situasinya semakin menegangkan, tatapan keduanya menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. “Aku udah izin sama Abangmu, katanya tidak boleh lebih dari jam sembilan,” ucap Joel membuka suaranya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Masih ada waktu satu jam lagi.” Joel kembali melihat ke arah Aerline di hadapannya. “Apa kamu bisa memberiku waktu untukku, Aerly?” tanya Joel. Aerline memalingkan wajahnya, tanpa mengatakan apa pun dia berjalan mendekati bibir pantai. Dia masih berpikir, kalau sosok Joel hanya halusinasinya saja.Namun, langkah Aerl
Tiga Bulan Kemudian... Aerline tidak menyangka kalau dia akan melewati waktu selama ini dengan segala kesibukannya bekerja, tanpa mengenal lelah dan waktu. Dia ingin seluruh pikirannya, hanya terfokus pada apa yang sedang dia kerjakan sekarang, walau terkadang, dia merasa lelah dan kembali teringat tentang sosok Joel. Kadang, dia ingin sekali bertanya pada Kaivan, apa mereka benar-benar menikah. Atau dia ingin bertanya pada Lyman, bagaimana kabar Joel di sana, apa dia sehat, apa dia bahagia. Sayangnya, Aerline sudah bertekad untuk benar-benar menghilangkannya dari pikiran, walau sangat sulit untuk menghilangkan nama Joel dari hatinya. Saat ini, Aerline sedang berjalan seorang diri menyusuri bibir pantai dengan menenteng tas tangannya. Sepulang meeting di luar kantor dengan klien, dia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai dan menikmati waktu kesendiriannya. Aerline berjalan menyusuri dermaga yang terbuat dari kayu, berjalan sampai ke bagian u
“Gimana hari pertamamu, Lin?” tanya Kaivan sambil bersandar di pintu. Ini sudah jam pulang dan sebagian rekan kerjanya sudah pulang.Aerline menoleh dan tersenyum kecil. “Lelah, tapi aku menikmatinya.”“Bagus. Itu yang penting,” ujar Kaivan dengan bangga.Hari pertama Aerline di kantor berakhir dengan perasaan lega dan puas. Meski masih banyak yang harus dipelajari, dia tahu bahwa dia sudah mengambil langkah besar untuk keluar dari masa-masa sulitnya. Malam itu, saat dia pulang ke rumah, Aerline merasa lebih percaya diri dan penuh harapan untuk hari esok.“Kalau sudah selesai, ayo pulang. Kebetulan Khayra masak banyak, kamu makan malam di rumah Abang saja,” ucap Kaivan.“Dalam rangka apa nih?” tanya Aerline.“Tidak ada, hanya makan malam bersama saja,” jawabnya tersenyum merekah.“Baiklah.” Aerline membereskan meja kerjanya, mematikan laptop dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya, Kemudian dia bangkit dari duduknya.“Yuk, Bang.”Kaivan mengangguk dan berjalan di samping Aerline
Aerline berdiri di depan cermin besar di sudut kamarnya. Matanya menatap lekat pantulan dirinya, seolah mencari keyakinan di balik sosok yang tampak elegan namun sedikit gelisah. Kemeja putih dengan potongan simpel yang dipadukan blazer abu-abu terang membalut tubuhnya, memberikan kesan profesional yang biasa dia kenakan saat bekerja bersama Joel. Ya, sekali lagi nama Joelio terlintas di kepalanya.Dia menghela napasnya sambil merapikan helaian rambut yang tergerai di bahunya, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Sepatu hak rendah yang berwarna senada dengan blazernya sudah siap di kaki. Aerline menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadanya."Memulai aktivitas baru. Ya, aku harus fokus dan bisa beradaptasi dengan baik," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di ruangan yang sunyi. "Aku bisa melakukannya."Namun, di balik senyum tipis yang ia coba paksakan, ada perasaan ragu yang tak bisa sepenuhnya ia hilangkan. Apakah dia cukup mampu? Apa
“Jadi, harus kembali sekarang?” tanya Aerline yang saat ini berada di bandara mengantar Leon untuk kembali. “Ya, aku harus kembali sekarang. Aku harap Mr. Hainer memberiku tambahan cuti, sayangnya sejak kemarin dia terus menghubungiku,” keluh Leon dengan ekspresi berpura-pura sebal membuat Aerline tersenyum di sana. “Ya, jangan sampai kamu jadi pengangguran karena aku,” kekeh Aerline. “Mungkin aku bisa numpang hidup padamu, Nona besar,” goda Leon. Aerline terkekeh di sana. “Tapi aku tidak biasa memelihara seorang pria.”Leon tertawa kecil mendengar jawaban Aerline, lalu mengangkat bahu seolah tidak tersinggung. “Kamu benar, aku terlalu mahal untuk dipelihara,” balasnya dengan nada bercanda, membuat Aerline menggeleng pelan.“Tapi, serius, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemaniku. Rasanya seperti recharge penuh sebelum kembali ke rutinitas,” ujar Leon dengan nada tulus.Aerline tersenyum lembut. “Sama-sama. Aku juga senang b