"Kenapa kalau aku pacarnya?" Akhirnya Nindya mengeluarkan suaranya.Nindya tertegun melihat gadis yang duduk di sebelah Dio. Ia tak dapat memungkiri, wanita itu tampak begitu sempurna. Tak ada kekurangan yang tampak di mata Nindya. Kulit putih, rambut lurus panjang, wajahnya mulus bersih, matanya bulat sempurna, benar-benar cantik."Enggak kenapa sih, hanya aneh saja. Kok bisa Dio pacaran sama cewek kayak kamu," ucap gadis itu. Ia menatap Nindya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki."Perkenalkan, aku Raisa, mantannya Dio. Kami pernah pacaran selama 2 tahun," ucapnya bangga."Ya ampun, ternyata cuman mantan, tapi kok bangga banget ya? Aku yang jadi pacar dia saja biasa-biasa saja tuh." Nindya melipat tangannya di depan dada, ia mendelik menatap Raisa."Lihat Dio, cewek macam apa yang kamu jadikan pacar? Bicaranya tidak punya etika sama sekali." Raisa menatap ke arah Dio, kemudian ia menunjuk Nindya."Maaf ya, Raisa. Dia pacar aku, jadi aku jelas membela dia. Kamu bukan siapa-siapa ak
Ulang tahun mama Almira.Pagi ini Nindya diingatkam oleh kejadian beberapa tahun silam. Di mana ia memberikan kejutan untuk mamanya sebagai ucapan selamat ulang tahun. Gadis itu teringat, bagaimana ia dan papanya memberikan kejutan kepada sang mama."Ma ... Papa sudah punya keluarga baru. Aku tidak tahu, apakah papa masih mengingat ulang tahun mama hari ini," gumam Nindya dalam hati.Hari ini adalah hari minggu. Nindya tidak memiliki jadwal kuliah di hari libur. Rencananya ia akan merayakan hari ulang tahun mama Almira dengan mengunjungi makam wanita yang sudah melahirkanya itu.Gadis itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri, kemudian berganti pakaian dan memoles make up tipis di wajah cantiknya. Ia menggendong tas kecil di punggungnya kemudian memasukkan ponsel di saku celana, Nindya bergegas keluar dari kamar dan menuju meja makan.Papa dan mama sambungnya sudah duduk di sana. Ada Raya juga di meja yang sama."Selamat pagi, Pa, Ma," sapa Nindya pada kedua oran
"Nindya? Kamu ngapain di sini?"Dio kekasih Nindya, ia kebetulan tengah menghabiskan waktunya untuk berenang di pantai. Tanpa sengaja ia melihat Nindya bersama Andy di sana. Pria itu bergegas menghampiri dan menegurnya."Dio? Kamu kok ada di sini? Sedang apa?" Nindya malah balik bertanya."Seharusnya aku yang bertanya. Kamu ngapain di sini? Terus, kok bisa kamu sama dia?" Dio menunjuk ke arah Andy."Aku baru saja pulang dari makam mamaku, nah ... kebetulan ada Om Andy juga, jadi aku pergi ke sini bareng Om Andy, ia yang memang ingin menemaniku. Hatiku sedang kacau," jawab Nindya.Dio lebih mendekat lagi ke arah Nindya. Sebenarnya ia ingin marah. Namun, pria itu mencoba menahan nya. "Kamu pergi ke makam mamamu dengan pria ini? Pria yang bukan siapa-siapamu? Dia adalah pacar kakak mu, kenapa kamu harus mengharapkannya? Kamu lupa kalau sudah punya aku? Untuk apa aku ada di sisimu kalau kamu lebih memilih orang lain yang menemanimu?" tanya Dio perlahan."Bukan begitu maksudku, Dio. Tadi a
Rendy menyempatkan waktunya untuk berbincang dengan Nindya setelah tadi ia menegur kedua putrinya bersama Kiara. Kini mereka tengah duduk empat mata di kamar milik Nindya. Gadis itu terdiam, menunggu Rendy mengeluarkan kata-kata."Sebelumnya, papa minta maaf, papa tahu kamu kecewa karena pagi tadi papa tidak menemani kamu ke makam mama. Kamu sudah dewasa, papa harap kamu sudah mengerti. Bukan masalah papa tidak cinta sama mama lagi, sampai kapan pun mama tetap ada di hati papa. Hanya saja sekarang papa sudah menikah. Bukankah akan lebih baik jika papa harus berusaha menjaga perasaan mama Kiara, istri papa. Sekarang papa yakin, mama Almira pasti mengerti di sana."Maafkan Nindya ya, Pa? Aku tahu mungkin aku egois. Aku hanya ingin Papa juga menyayangi aku. Jujur aku merasa Papa pilih kasih, Papa seakan-akan lebih mementingkan mama Kiara dan Raya. Padahal aku anak kandung Papa."Sayang, kenapa kamu berpikiran seperti itu? Kamu salah besar, kamu itu harta papa satu-satunya, tidak mungkin
"Heh ... kamu disuruh pulang cepat sama papa dan mama! Enggak usah kelayapan, dasar cewek nakal!"Nindya terperanjat mendengar suara perempuan yang mengumpatnya. Siapa lagi kalau bukan Raya. Entah apa yang membuat gadis itu begitu benci kepadanya. Padahal jelas-jelas ia sudah berusaha untuk menjauhi Andy."Ya ampun, kakak'ku yang manis. Marah-marah mulu, nggak capek ya marah-marah? Awas lho nanti kamu cepat tua," sindir Nindya."Apa kamu bilang? Jaga mulut kamu ya! Tolong sopan sedikit sama orang yang lebih tua, aku ini kakakmu! Hormati aku!!""Wah ... ngaku ya, udah tua? Kasihan ... makanya jangan suka marah-marah. Marah-marah itu tidak baik untuk kesehatan, oke, Kakak? Terserahlah mau bilang apa, aku harus kerja mencari uang, itu lebih baik daripada harus meladeni kamu."Nindya sudah berlalu bersama Dio, sang kekasih, ia meninggalkan gadis itu sendirian."Dasar cewek ga punya akhlak! Aku aduin kamu sama papa dan mama, biar tahu rasa," ucap Raya sekali lagi dalam hatinya. Ia menatap
"Ma, Nindya kok belum keluar ya? Coba tengok dulu ke kamarnya," ucap Rendy. Sudah berapa lama mereka menunggu di meja makan, namun, ia tak juga kunjung keluar."Sebentar, biar mama tengok dulu," jawab Kiara.Kiara beranjak dari duduknya, perlahan ia berjalan menuju ke kamar milik Nindya.Tok ... tok ... tok ... beberapa kali Kiara mengetuk pintu kamar Nindya. Namun, gadis itu tak bergeming."Sayang, kamu sudah bangun, Nak? Yuk, kita sarapan," ucap Kiara menyapa putri tirinya.Tak terdengar jawaban dari dalam sana, Kiara mencoba mendekatkan telinganya ke arah pintu, berharap mendengar sesuatu. Namun, sama saja semua masih sepi."Nindya, kamu dengar mama, nggak, Nak?""Tok ... tok ... tok ... pintu kembali diketuk, tapi masih sama seperti semula, tak ada respon dari si pemilik kamar."Kamu sedang apa di dalam, Nin? Kamu baik-baik saja kan? Nindya, jawab mama." Kiara sudah mulai cemas. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan putri tirinya di dalam sana, ia mencoba membuka pintu kamar Nindya,
"Permisi, Nindya aku masuk ya?"Nindya terpaku melihat siapa yang datang menjenguknya. Seorang pria yang sudah ia kenal lama. Siapa lagi kalau bukan Andy. Namun, pria itu tak datang sendiri ada Raya di sebelahnya yang memasang wajah cemberut dan tanda tak suka."Masuk, Om," jawab Nindya singkat."Kok sendiri, Nin? Bang Rendy dan tante Kiara mana?" tanya Andy."Kok masih aja kamu manggil papanya si cunguk itu dengan sebutan bang? Walau ia papa tiriku, tapi ia juga calon papa mertua kamu, panggilnya om, bukan bang!" ucap Raya protes.Andy menoleh kearah Raya. Pria itu tersenyum menatap ke arah gadis yang sudah beberapa tahun menjadi kekasihnya itu. Ia kemudian mengelus pucuk kepala Raya lembut. "Iya, Sayang ... maaf aku lupa, soalnya udah lama, kebiasaan manggil papa kalian itu dengan sebutan bang Rendy.""Kalau mau ke sini cuman mau pamer kemesraan, kalian nggak usah datang. Mendingan kalian pulang aja." Nindya terlihat emosi, ia sedikit kesal melihat pasangan yang tak tahu tempat berm
"Nindya ...." Suara cempreng Bella dan Wina masuk ke ruang rawat Nindya. Gadis yang terbaring lemah itu membentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan para sahabatnya."Kok tiba-tiba sakit sih?" tanya Wina penasaran."Nggak tahu, dari semalam itu aku sudah demam. Aku sudah minum obat sih, tapi kayaknya tidak mempan. Ya sudah, sampai pagi demamnya makin tinggi, untuk bangun saja susah. Akhirnya papa sama mama ajak aku ke rumah sakit."Bella sudah duduk di sisi kiri Nindya, setelah meletakkan bingkisan untuk gadis itu."Maaf ya, Nindya, aku cuma bawa oleh-oleh sekedar buatmu, semoga suka," ucap Wina."Iya, makasih, kamu udah repot-repot banget bawa oleh-oleh segala. Padahal datang aja ke sini aku udah senang.""Oh ya, Dio udah ke sini?" tanya Bella."Belum, tapi tadi aku sempat membalas pesannya dan dia tidak ada mengucapkan apa pun padaku lagi.""Ini teman-temannya Nindya ya? diminum dulu. Maaf ya, Tante cuman sediakan air putih saja." Kiara masuk ke dalam kamar setelah tadi pergi
Satu bulan kemudian ....Hiruk pikuk para tamu undangan memenuhi hotel tempat berlangsungnya pernikahan Andy dan Nindya, Keduanya tampak anggun dan cantik dengan menggunakan busana elegan buatan dari design ternama Ivan Guntur. Sementara itu, Wina, Bella dan Raya sibuk menyambut para tamu yang berdatangan secara terus menerus. Begitu juga dengan kedua orang tua dari mempelai.Sampai akhirnya moment melemparkan buket bunga pengantin pun tiba."Siap-siap ya, kira-kira siapa nih, yang bakalan nyusul setelah aku ...." teriak Nindya yang sudah bersiap hendak melemparkan bunga."Nin, lempar ke arahku!" teriak Wina."Ke arahku saja, Nin." Raya juga turut berteriak."1 ... 2 ... 3 ...." Nindya melempar bunganya dengan sangat kencang dan hap! Yang pertama meraih bunga adalah Bella. Gadis yang tak pernah diduga-duga.Setelah beberapa jam acara pernikahan dan resepsi yang sekaligus dilaksanakan dalam satu waktu itu Akhirnya selesai saat itu juga Nindya langsung dihajar untuk tinggal di rumah An
"Kenapa semua diam? Benar? Jadi, Om Andy bersedia menikahi Raya walau yang ada di perutnya itu bukan anak, Om?"5 menit kemudian ...."Happy birthday to you ... happy birthday to you ... happy birthday, happy birthday, happy birthday Nindya ...."Kedua orang tua Andy masuk seraya membawa kue ulang tahun yang sudah dihiasi dengan lilin untuk Nindya. Semua ikut bernyanyi termasuk Raya dan Andy."Selamat ulang tahun calon mantu mama yang paling cantik," ucap Mama Andy setelah ia berada tepat di hadapan Nindya."Selamat ulang tahun ya, Sayang. Sebentar lagi kamu jadi menantu papa," lanjut papa Andy.Posisi Nindya masih dalam keadaan bingung. Ia lalu menoleh ke arah orang tuanya kemudian menatap Andy juga Raya secara bergantian. Mereka semua sudah mulai mendekat ke arah Nindya seraya bertepuk tangan."Selamat ulang tahun!" ucap Andy seraya berjongkok di hadapan Nindya. Ia lalu membuka kotak kecil yang ia pegang."Ini apa-apaan?" tanya Nindya masih bingung."Prank!!" teriak Raya dengan pen
Isak tangis mengiringi kepergian Dio. Seperti permintaan terakhirnya, ia dimakamkan di pemakaman setempat. Nindya merasa menyesal. Beberapa waktu ia memang ada di sisi Dio. Namun, Nindya sama sekali tak memahami akan keadaannya.Gadis itu masih tertunduk lemah, bahkan matanya terlihat bengkak karena terlalu banyaknya menangis. Andy yang setia menemani, tak henti-henti berusaha menenangkan hati Nindya."Kita pulang ya? Biarkan Dio beristirahat dengan tenang. Berhentilah menangis, agar ia tidak merasa bersalah telah pergi meninggalkan kita semua."Nindya tidak menjawab apa pun. Namun, gadis itu berusaha menghapuskan air matanya lalu berdiri membalikkan badannya menoleh kearah Andy yang berada di belakangnya."Kita pulang ya?" ajak Andy sekali lagi."Iya, Om," jawab Nindya lirih."Om, sebentar ya, aku pengen pipis. Mau ke toilet dulu." Nindya bergegas menuju ke toilet umum yang tidak jauh dari pemakaman. Andy menunggu di luar pintu seraya memainkan ponselnya."Aku sudah selesai, Om," uca
"Minum dulu, Om. Om, kok bisa pingsan sih?" tanya Nindya seraya memberikan air putih kepada Andy.Pria itu sudah duduk di salah satu kursi cafe ditemani oleh Nindya. Wajahnya bersemu merah menahan malu, bahkan banyak pasang mata yang memandang ke arahnya.Andy meneguk air putih yang diberikan oleh Nindya. Pria itu menghela napas sesaat, kemudian menghembuskannya perlahan."Berapa lama aku pingsan?" tanya Andy menatap Nindya.Nindya berpikir sejenak, ia menyentuh keningnya beberapa kali, menggunakan jari telunjuk kanannya. "Kayaknya 15 menit, Om. Om, kenapa pingsan? Belum makan ya? Emangnya tadi di rumahku, Om nggak minta makan? Nggak ditawari makan sama mama papaku?""Nindya kamu paham nggak? Aku itu grogi, apa lagi nyanyi di depan umum. Ditonton banyak orang, aku syok, makanya pingsan.""Dihhh ... Om Andy, berlebihan deh. Gitu aja kok pingsan? Om kan udah biasa tampil di depan umum, contohnya mengajar! Ya kan?""Itu beda, Nindya. Udah ayo, kita pergi dari sini. Coba tuh kamu lihat,
Memulai hari yang baru.Pagi ini Nindya masih mengurung diri di dalam kamar. Sementara Wina dan Bella sudah pamit pulang. Gadis itu sudah melewatkan sarapannya, ia tak menyentuh sedikit pun apa yang diantar oleh asisten rumah tangga di rumahnya. Hatinya masih terluka, ia tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Semua seperti mimpi, mimpi buruk baginya.Di ruang tamu, keluarga Nindya tengah berlangsung pembicaraan serius antara Rendy, Kiara dan Andy. sementara Raya sudah pergi sejak tadi."Ada apa, An? Kok tumben kamu pagi-pagi begini sudah ke sini?" tanya Rendy kepada Andy."Aku ingin berbicara serius.""Tentang apa?" tanya Rendy lagi."Jadi begini ... sebenarnya sudah beberapa lama, aku menyadari perasaan aku. Aku menyadari kalau sebenarnya aku sudah jatuh cinta kepada Nindya. Semua sudah sempat aku utarakan, tapi Nindya menolakku dengan alasan ia sudah memiliki Dio dan akan segera bertunangan.""Lalu?" Kali ini Kiara yang bertanya."Aku ingin minta izin ke Om dan Tante, untuk ke
"Dio!!" teriak NindyaGadis itu hampir saja tak sadarkan diri melihat pria yang ia cintai tengah tergeletak bersimbah darah. Nindya histeris, ia berteriak kencang sembari menangis. Beberapa orang berusaha menenangkannya.Tak lama kemudian mobil ambulan datang. Dio segera dilarikan ke rumah sakit. Pria itu masih bernapas. Nindya menyusul dengan menggunakan sepeda motornya, ia mencoba tenang dan percaya jika pria yang ia cintai dalam keadaan baik-baik saja.Tidak butuh waktu lama, ambulan sudah tiba di rumah sakit disusul dengan Nindya yang mengikuti dari belakang. Dio segera dimasukkan ke ruang UGD, sementara Nindya menunggu di luar. Gadis itu berusaha menghubungi keluarga Dio."Apa yang terjadi, Nin?" tanya Gio yang baru saja tiba di rumah sakit bersama kedua orang tuanya."Maafkan aku, Gio. Semua salahku," jawab Nindya seraya terisak."Ada apa sebenarnya?" tanya Syla."Om, Tante, Gio. Sebelumnya aku minta maaf. Aku rasa Dio salah paham ...." Nindya pun menceritakan semua yang terjad
"Menikahlah denganku!"Nindya terdiam. Ia masih belum percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari bibir Andy. "Om Andy bilang apa?" tanya Nindya kemudian."Menikahlah denganku, Nindya!" Andy mengulang ucapannya."Om Andy bercanda ya? Kok tiba-tiba gini sih?""Aku nggak bercanda, Nindya. Sebelumnya aku minta maaf, mungkin selama ini aku sudah mengecewakan kamu, mungkin karena aku belum menyadari perasaanku, tapi saat aku dengar kamu akan bertunangan, kok rasanya hatiku sakit banget. Rasanya aku tidak terima jika kamu akan dimiliki oleh orang lain. Semalam suntuk aku memikirkan itu semua dan aku sadar kalau sebenarnya aku mencintaimu.""Maaf, Om. Sepertinya aku tidak bisa memenuhi permintaan Om. Lagipula Om juga sudah tahu jelas kalau aku akan segera bertunangan dengan Dio.""Kamu yakin kalau kamu mencintai Dio? Aku merasa sebenarnya perasaanmu masih ada sama aku.""Sekali lagi aku minta maaf, Om. Untuk perasaanku saat ini sepenuhnya aku mencintai Dio. Om hanyalah masa laluku dan a
"Dio!" pekik Nindya.Gadis itu segera berjongkok kemudian meletakkan kepala Dio di atas tumpuan kedua kakinya, sedangkan yang lain seketika berdiri lalu menghampiri mereka."Dio ... bangun, Sayang! Bangun!" Syla berusaha membangunkan putranya yang sudah tidak sadarkan diri."Kita bawa ke rumah sakit," ucap Robert yang kemudian membopong putranya dibantu oleh Rendy dan Gio.Semua ikut serta ke rumah sakit, walau pada kenyataannya Rendy, Kiara juga Nindya sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Dio.Kondisi Dio cukup lemah. Ia mendapat penanganan secara cepat setelah tiba di rumah sakit. Robert dan Syla tampak mondar-mandir karena panik, mengkhawatirkan keadaan Dio, begitu pula dengan Gio. Pria itu bahkan masih merasa menyesal karena hampir saja pernah merebut Nindya dari Dio.Nindya dan kedua orang tuanya ingin sekali bertanya, menanyakan apa sebenarnya yang terjadi pada diri Dio. Namun, mereka mencoba menahannya setelah melihat kondisi keluarga Dio yang sedang ti
Malam hari, seperti yang dijanjikan oleh Dio. Pria itu benar-benar datang bersama dengan kedua orang tuanya, Robert dan Syla, Gio juga turut serta ikut bersama mereka."Silahkan masuk." Asisten rumah tangga di rumah Nindya mempersilahkan tamu tuannya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Sementara Rendy dan Kiara baru saja ke luar dari kamarnya setelah bersiap."Maaf ... sudah membuat kalian menunggu begitu lama," ucap Rendy kepada tamunya seraya tersenyum, lalu ia duduk di hadapan mereka bersama istrinya."Sebentar ya, saya panggilkan Nindya dulu," ucap Kiara yang kembali berdiri setelah menyadari anaknya tidak ada di sana."Iya ... silakan," jawab Robert, Ayah Dio.Perbincangan-perbincangan kecil terjadi. Gio yang pada awalnya tidak merestui hubungan saudara kembarnya dengan Nindya mulai mengiklaskan semuanya. Ia sadar jika Dio lebih membutuhkan Nindya dibandingkan dirinya."Halo ... Om, Tante," ucap Nindya kemudian mencium punggung tangan kedua orang tua Dio dan Gio.Gadis itu kini