MENJUAL IFAH DENGAN HARGA LIMA RATUS RIBU!"Tapi kenapa kadang jahat?" tanya Dinda.Sebenarnya bu Nafis itu hatinya baik, cuma terkadang mulutnya kejam. Walaupun begitu jika sudah hafal wataknya tak akan mungkin bisa sakit hati. Karena percuma saja, bu Nafis akan mudah lupa tentang perkataannya yang mungkin menyinggung perasaan orang lain. Semisal hari ini dia membuat sakit hati anaknya, besok bu Nafis juga sudah melupakan dan tak merasa ada hal yang salah terjadi.Dinda sekarang mulai belajar beradaptasi dengan sifat dan watak Ibu mertuanya. Dia berharap supaya kedepannya bu Nafis memang bisa berubah lebih baik. Walaupun mulutnya tidak akan bisa berkata lembut. Dinda akan selalu menerima selama Hasan masih membelanya dan tidak menduakannya."Oh iya, terus kenapa tadi Ibu menyuruh Dinda menghubungi Ifah?" tanya Dinda yang hampir melupakan tujuan awal ghibah mereka."Astaga! gara- gara ngobrol denganmu lupa toh! Sekarang cepat kau telepon Ifah tanya dia sedang ada di mana lalu suruh ce
SEMOGA DEAL!"Tapi bu," ujar Dinda"Sudah sana! Cepat telepon Ifah!" perintah bu Nafis lagi memotong ucapan Dinda.Dinda segera masuk ke rumah dan menuju kamar. Dia mengambil hp-nya dan segera menghubungi Ifah. Panggilan pertama hanya memanggil, panggilan kedua menghubungkan, panggilan ke tiga baru di angkat."Halo! Assalamualaikum, iya Mbak Dinda! Kenapa sih telepon- telepon Ifah terus?" tanya suara di sebrang sesaat setelah telpon di angkat."Fah! di suruh pulang sama Ibu sekarang! Sebelum Mas hasan pulang!" omel Dinda."Memang Mas Hasan pulang kapan Mbak?" tanya Ifah."Assalamualaikum!" teriak seseorang lelaki dari ruang tamu."Mati kau Fah! Sepertinya Mas Hasan pulang! Cepat kau pulang sekarang," perintah Dinda sambil segera menutup telepon.Dinda berlari ke arah depan niatan menyambut suami pulang kerja."Waalaikumsalam.... eh Mas su...." belum selesai Dinda menyapa dia kaget bercampur malu.Dia terkejut karena ternyata yang datang bukan suaminya. Nampak seorang lelaki asing berd
MENTAL IBUMU KAU JAGA, MENTAL ISTRIMU KAU HABISKAN!"Mas, kalau memang mereka tak meminta potongan harga yang banyak, lebih baik lepaskan saja mobil itu! Insya Allah Dinda ikhlas, toh uang itu juga akan di gunakan untuk kepentingan Ifah membayar kuliah, insya Allah pasti nanti akan ada gantinya Mas," kata Dinda."Sebenarnya Mas kemarin menawarkan harga sembilan puluh lima juta, Dek! Tetapi ternyata mereka menawar dengan harga sembilan puluh empat juta," jawab Hasan."Lepaskan saja, Mas! Tak apalah, tak usah terlalu memberati uang satu juta! dari pada nanti tidak jadi dan Mas Hasan bingung lagi mencari pembeli, kasihan juga Ifah semua temannya sudah mendaftarkan kuliah tinggal dia yang belum Mas," ujar Dinda.Hasan mengelus kepala istrinya itu perlahan. Dia sangat bersyukur memiliki istri yang sangat pengertian. Jarang istri yang seperti Dinda."Terima kasih ya, Dek! Kau selalu mendahulukan keluargaku dari pada kepentingan pribadimu sendiri, doakan Mas ya! Semoga rezeki Mas makin banya
ANTARA BAKTI PADA IBU DAN ISTRI!"Dek tolong, Mas! Kali ini saja, kau mau mengerti," pinta Hasan.Dinda diam tak lagi menjawab semua perkataan suaminya. Dia memilih untuk berpura- pura tidur memejamkan matanya sambil membelakangi Hasan. Dia berharap semoga berhasil menenangkan pikirannya sendiri."Apakah ini tanda bahwa aku harus pulang ke rumahku Kediri?" tanya Dinda dalam hati.Dinda sangat sadar bahwa semua ini sumber masalah bukan terpusat pada Hasan. Logikanya berkata seperti itu, tetapi tidak dengan hatinya sebagai perempuan dan istri Hasan. Dia ingin membela suaminya, tetapi mengapa malah suaminya tidak pernah melihat usahanya. Hasan selalu saja mengatakan alasan berbakti pada ibunya, dia tak pernah mau memberontak pada bu Nafis."Dek, tidakkah kamu saat ini mengerti bahwa posisiku sangat lah sulit? Andai kau tahu Dek, begitu sulit menjadi aku! Satu posisi dia Ibuku, tapi di sisi lain kau juga Istriku! Hanya beliau yang aku miliki setelah aku harus kehilangan Abah! Jangankan ua
MENANTU BUKAN ANAK KANDUNG MERTUA!"Kan yang kecelakaan Ibu karena kecerobohan dan kelalaian Ibu sendiri! Lalu yang membayar semua tagihan bukan uang Ibu tapi uang Abah, yang Ifah pertanyakan mengapa harus Mbak Dinda yang menggantikan uang Ibu itu? Di mana salah Mbak Dinda dan Mas Hasan?" tanya Ifah dengan wajah polosnya."Ya, itukan anu," kat bu Nafis bingung menjelaskan jawaban ari pertanyaan Ifah."Karena Mas kamu Hasan sendiri yang menjanjikan itu pada Ibu, lagian seharusnya saat Ibu di rawat di rumah sakit itu, biayanya harusnya di tanggung kalian sebagai anak -anak Ibu! Kalian harusnya patungan untuk membayar biaa operasi, kamu, Hasan, Alif, juga Zain! Tetapi ibu sudah sadar diri kalian anak- anak Ibu tak ada yang punya uang! Makanya Ibu mau meminjami pakai uang pribadi Ibu dulu, " jelas bu Nafis."Mengapa kami harus berpatungan, Bu? Itukan uang Abah!" protes Ifah."Ah kau itu bodoh! Itu yang namanya bakti pada orang tua! Wes jangan banyak ngomong makan nih martabak!" perintah b
Masuk dalam jebakan Hasan"Hasan ingin mengatakan sesuatu pada Ibu, tapi Ibu jangan pernah marah ya," bujuk Hasan."Kenapa? Kau tak ingin mengembalikan uang itu? Pergilah dari kamar Ibu!" usir bu Nafis."Bukan, bu! Tapi Hasan ingin berkata bahwa uang itu akan Hasan kembalikan tapi nanti dulu ini Hasanah baru ada uang lima juta Ibu pegang ya yang tiga juta untuk Hasan nanti uangnya akan segera Hasan transfer ke rekening Ibu sudah jangan marah lagi ya Bu," bujuk Hasan sambil mengelus lengan ibunyaHasan tetap saja Tak tega untuk berlaku kejam pada ibunya seperti ucapan Zain tadi. Walaupun dia tahu saran Zain yang tadi tidak salah juga, namun saat Hasan memandang wajah ibunya membuat hatinya iba dan tak tega untuk mengatakan semua itu. Dia tetap memberikan uang yang di miliki sebesar lima juta itu untuk ibunya. Kemudian dia memberikan penjelasan pelan- pelan pada ibunya itu. Hanya itu cara satu-satunya dan penengah bagi Hasan agar dua wanitanya tak sakit hati."Kok cuma lima jutas aja, w
Surat cinta dari AllahHasan keluar dari kamar ibunya. Dia melihat keluar ke ruang tamu sudah sepi. Zain sudah tidak ada di tempat sana lagi. Hanya menyisakan dua bungkus martabak yang sudah tertutup. Hasan menghabiskan kopi di cangkirnya, sambil memakan martabak itu. Menunggu Ifah keluar dari kamar, baru dia akan masuk ke dalam.Hasan meminum kopi sambil melihat- lihat hp-nya. Dia melihat beberapa sosial medianya yang sudah lama tak di buka. Hasan adalah tipikal lelaki yang jarang bermain sosial media apalagi dengan Dinda, dia lebih parah darinya. Jika tak ada kepentingan maka dia tak pernah membuka sosial media rasanya.'krek' pintu di buka. Terlihat Ifah keluar dari kamar mereka. Dia keluar dengan posisi sudah melepas jilbabnya. Mungkin dia tadi sudah plong curhat dengan Dinda."Sudah selesai, Fah?" tanya Hasan."Sudah, tuh Mbak Dinda kasihan lho, Mas!" ujar Ifah."Kasihan kenapa?" tanya Hasan heran."Noh lihat sendiri!" perintah Ifah."Dasar Mas Hasan mah sama aja dengan laki- lak
IBU HAMIL BAUNYA WANGIHasan mengelus rambut Dinda. Betapa bersyukurnya Dia memiliki wanita seperti ini. Mereka bersiap- siap untuk pergi makan malam berdua di pinggir jalan. Saat keluar kamar mereka bertemu dengan bu Nafis. Dinda sedikit kecewa pasti akan batal jika urusan dengan mertuanya."Mau ke mana?" tanya bu Nafis."Em itu, Bu! Mau keluar sama Dinda sebentar," jawab Hasan sambil mengedipkan matanya pada bu Nafis. Bu Nafis langsung paham kode dari Hasan. Dia senang kali ini karena Hasan memang membuktikan jika dia berada di pihaknya. Tapi dia tak mau langsung berpura- pura mengizinkan akan terlalu mencolok nantinya."Keluar ke mana? Malam- malam loh, istrimu ini hamil nanti kalau sawan gimana?" tanya Bu Nafis menginterogasi."Ini lho, Bu! Cucu Ibu sedang ngidam, Dinda tiba- tiba kepengen makan bebek goreng! Tapi kami mau makan di kedainya saja langsung bu, jadi mumpung masih jam segini kami mau membelinya, boleh kan, Bu?" izin Hasan."Pasti akan gombreng Kanjeng Ratu," batin Di