Kesehatan Mental Ifah!
"Astagfirullah! Istighfar kau, Mas! Tak mungkin Ibu melakukan hal menjijikkan itu! Jangan aneh-aneh kau," tegur Mbak Alif yang tak terima ibunya di tuduh begitu oleh suaminya sendiri."Baca dan cermatilah ancaman ini! Lalu sambungkan dengan cerita-cerita sebelumnya pastilah begitu," ujar Mas Andri dengan wajah yang sangat serius."Istighfar, Mas! Kau jangan macam-macam. Dia Ibuku dan mertuamu! Awas saa kau mengucapkan begitu di depan semua orang," ancam Mbak Alif. Mendengar ancaman istrinya itu Mas Andri hanya menggarukkan kepalanya saja. Bagimana lagi dia juga takut kalau itrinya marah dan memilih pulang ke rumah bu Nafis. Akan panjang urusannya.Dinda teringat akan cctv yang di pasang beberapa hari lalu. Harusnya alat itu berfungsi dengan baik dan bisa merekam kejadian barusan. Dia segera masuk ke kamar diam- diam. Dia memastikan semua tak ada yang menguntitnya. Sang suami pun tak terlihat, mungkin Hasan sedang menyusul Mbak Alif dan MasMAS ANDRI SANG PEMBERANI!"Jangan, Dek! Nanti saja, aku tak ingin kamu menggunakan uang pribadimu lagi untuk biaya keluargaku! Aku malu dan tak punya muka juga berhadapan dengan Papa," kata Hasan memotong ucapan Dinda."Tidak bisa begitu! Kenapa kau menolak rezeki seperti itu? Memang kau punya duit?" Sahut Ibu Nafis yang tiba-tiba muncul dari belakang mereka. Semua menoleh ke arah Bu Nafis yang datang menghampiri dengan menggunakan daster andalannya, sambil membawa tongkat kayu."Astagfirullah, Ibu! Gantian dong, jangan mengagetkan semua kita yang di sini, kan tidak ada ibu tiba-tiba suara Ibu mengejutkan dan muncul dari situ, kenapa Ibu tak assalamualaikum dulu sih? Malah langsung membentak begitu," protes Dinda."Cerewet sekali kau! Lagian kenapa sih Hasan itu terlalu gengsian menerima bantuan dari istri sendiri? Hah? Jika yang membantu istri itu tak apa- apa dan halal saja! Toh ini demi kebaikan adikmu sendiri," tegur Bu Nafis."Kau tak perlu menjaga geng
PERSEKONGKOLAN DUA MENANTU!"Ibu sebenarnya tahu kan hal ini! Kenapa Ibu memilih diam bahkan tanpa Ibu sadari, Ibu rela mengorbankan mental anak perempuan Ibu sendiri Ifah! Sampai mental Ifah sekarang hancur seperti ini! Sampai kapan Ibu mau menyembunyikannya," tantang Mas Andri memancing amarah ibu mertuanya."Lancang mulutmu berkata seperti itu pada mertua! Tak akan damai hidupmu nanti," hardik Bu Nafis sambil terus berjalan tak memperdulikan ucapan Mas Andri.Mbak Alif segera berlari mengejar Bu Nafis. Dia takut Bu Nafis akan marah atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mengingat Bu Nafis itu tingkahnya tidak bisa diduga dan dapat melakukan tindakan di luar nalar mereka."Bu, Ibu! Tunggu, Bu!" tunggu teriak Mbak Alif mengejar Bu Nafis. Sedangkan Hasan sudah mengepalkan tangannya tanda marah. Dia sangat tersinggung dan terluka harga dirinya mendengar ucapan dari kakak iparnya yang mengatakan ibunya ada bermain api dengan lelaki lain di belakang. Rasanya bagi Hasan ucapan Mas A
BISIKAN?"Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Mbak Alif.Dinda dan masa Andri menoleh ke arah panggilan suara itu. Mbak Alif terlihat berdiri di depan pintu dapur. Nampak wajahnya memerah, menahan marah. Wajar saja dia marah karena suaminya berkata seperti itu pada ibu kandungnya. "Mas, Dinda ke kamar dulu ya. Semua akan Dinda kirim pada Mas Andri hasil CCTV nya nanti. Dinda percaya dengan Mas Andri, tolong jangan sampai semua ini bocor karena suami Dinda pun tak mengetahui hal ini," pamit Dinda sambil berpesan kepada Mas Andri. Karena dia tahu setelah ini akan ada geger paregreg antara Mbak Alif dan Mas Andri. Dinda hanya menganggukkan kepalanya menyapa Mbak Alif. Kemudian Dinda meninggalkan Mas Andri dan Mbak Alif di samping rumah. Dia melipir ke depan dan masuk ke dalam kamarnya, tapi dia tak melihat suaminya. Entah ke mana suaminya itu, matanya melihat pintu kamar ibu mertuanya terbuka. Dinda berjalan ke sana untuk mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi."Bu, Ibu,"
PSIKOLOG ATAU PSIKIATER?"Di teror bagaimana, Dek?" kata Dinda antusias. Ifa sudah masuk dalam pancingannya. Dia mulai bercerita tentang apa yang dia rasakan."Rasanya itu seperti ada yang berbisik, pasti aku akan disalahkan oleh Mas Hasan! Pasti Ifah nanti akan dikasari lagi oleh Mas Hasan, sehingga membuat Ifah menjadi ketakutan sendiri setiap melihat Mas Hasan datang," jawab Ifah."Dek, kau sudah tahu kita akan ke mana?" tanya Dinda."Tidak Mbak," sahut Ifah memandang wajah Dinda. Wanita yang dulu di anggapnya sebagai perebut kasih sayang kakaknya Hasan, justru sekarang dialah wanita yang paling mengerti apa maunya. Sebersit perasaan bersalah menyelimuti hati Ifah."Katanya Mas Hasan, Mbak Dinda ingin mengajak Ifah jalan-jalan saja," sambungnya."Iya kita akan jalan-jalan untuk bertemu dengan seorang temanku," jelas Dinda."Untuk apa, Mbak?" tanya Ifah bingung. Kakaknya tadi hanya bilang akan jalan- jalan, ternyata mereka akan menemui seseorang.
KESEHATAN MENTAL!Ifah Hanya terdiam dan mengikuti kemana langkah kaki Dinda. Dinda mencet bel yang tersedia di depan pintu. Tak lama kemudian, keluar seorang ibu setengah baya berjilbab yang sangat anggun, cantik, dan lemah lembut. Ibu itu memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Nur."Masya Allah, Dinda! Aduh lama tak bertemu, bagaimana sehat?" sapa bu Nur."Sehat, Bu! Ibu bagaimana? Tambah cantik saja lo," puji Dinda."Ah bisa saja, oh iya ini adik ipar yang kau ceritakan itu ya? Siapa namanya, Mbak Ifah ya kalau tak salah?" tanya ibu itu ramah."Iya Bu Nur, kenalkan ini adik saya ipar, namanya Ifah," ujar Dinda sambil merangkul Ifah. Ifah hanya membalas anggukan."Cantik sekali," puji bu Nur pada Ifah sambil mengelus lengan Ifah."Ayok mari masuk! Mari masuk," ajak Ibu Nur. Mereka berdua pun masuk ke dalam ruangan yang mirip seperti ruang tamu itu.Bagi Ifah itu bukan seperti ruang konsultasi yang ada di pikirannya selama ini. Ruangan itu sangat nyaman
CINTA ABG LABIL!"Ceritakanlah pada Bu Nur, Dek! Insya Allah hatimu akan terasa lega, jangan kau pendam sendiri," pinta bu Nur dengan suara lemah lembut yang menenangkan. Dinda mengelus tangan Ifah memberikan dukungan agar Ifah mulai percaya kepada Bu Nur dan mau bercerita. Tanpak Ifah menghela nafasnya dalam- dalam. Mungkin benar ini adalah saatnya untuk bercerita membagikan semua beban yang ada di hatinya agar tak menekannya terlalu dalam. Selama ini dia memendam semua ini sendiri tanpa bisa bercerita kepada orang lain."Sebenarnya selama ini saya cukup tertekan dengan kehidupan yang saya alami, Bu." ucap Ifah sambil menahan suara bergetarnya. Dia nampak sekuat tenaga mencegah tangisnya agar tak pecah sekarang."Beban apa, Nduk? Beban itu di mulai dari mana? Boleh Ibu Nur tahu agar bebanmu sedikit berkurang? Jika kau nyaman ceritalah, jika kau butuh pelukan berkatalah, jika kau butuh saran bicaralah. Apapun yang kau mau akan Bu Nur lakukan selagi bisa dan mam
HIPNOTIS!"Ya Itu yang Ibu katakan, Mbak! Jadi Ifah takut untuk becerita semua pada Mbak Dinda! Nanti kalau Mbak Dinda bercerai dengan Mas Hasan bagaimana? Bisa- bisa Aib Ifah di umbar dong, lalu untuk cerita ke kakak kandung Ifah sendiri tak mungkin mereka semua sibuk," jawab Ifah polos."Apakah ibu berkata seperti itu, Dek? Kau yakin?" tanya Dinda.Ifah hanya menganggukkan kealanya. Dinda menghela nafasnya panjang. Apa maksud mertuanya itu sebenarnya. Padahal selama ini dia sudah selalu berusaha menjadi menantu terbaik versinya. Dia selalu peduli dengan keluarga suami, mau berkorban, menyayangi Ifah. Rasanya itu semua belum cukup bernilai di mata bu Nafis."Dek, dengarkan Mbak Dinda baik- baik ya! Tak ada yang namanya mantan kakak ipar! Mbak Dinda berjanji padamu, sampai kapanpun Mbak Dinda akan selalu menjadi satu- satunya Kakak Iparmu dari Mas Hasan! Kau bisa bercerita apapun pada Mbak Dinda tanpa takut lagi, mengerti?" tanya Dinda meyakinkan Ifah."Iya Mbak,
SELALU ADA HIKMAH DI BALIK MUSIBAH!"Apakah ini penyebab Ifah menyalahkan Dinda, Bu?" tanya Dinda."Benar sedikit banyak tentu itu mempengaruhi, Mbak! Fase pertama dia sudah di nyatakan gagal, kemudia dia masuk fase ke dua ini. Jadi dia berada di fase menyangkal, seseorang yang sedang berduka akan merasa marah dan tidak terima bahwa ia sedang mengalami peristiwa buruk. Hal ini juga bisa membuatnya menjadi frustasi, lebih sensitif, tidak sabaran, dan mengalami perubahan mood," jawab Bu Nur."Pada fase ini, Ifah mungkin juga akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti "Mengapa harus Abah yang meninggal?" atau “Apa salah Ifah, sehingga setelah kehilangan Abah aku harus kehilangan Mas Hasan, mengapa ini harus terjadi pada hidup saya?”. Amarah ini bisa di tujukan kepada siapa saja, baik pada diri sendiri, orang lain, benda di sekitar, atau bahkan kepada Tuhan! Kebetulan di Fase ini Ifah menunjuk Mbak Dinda sebagai penyebab utama akar permasalahan dalam hidupnya," samb