SELALU ADA HIKMAH DI BALIK MUSIBAH!
"Apakah ini penyebab Ifah menyalahkan Dinda, Bu?" tanya Dinda."Benar sedikit banyak tentu itu mempengaruhi, Mbak! Fase pertama dia sudah di nyatakan gagal, kemudia dia masuk fase ke dua ini. Jadi dia berada di fase menyangkal, seseorang yang sedang berduka akan merasa marah dan tidak terima bahwa ia sedang mengalami peristiwa buruk. Hal ini juga bisa membuatnya menjadi frustasi, lebih sensitif, tidak sabaran, dan mengalami perubahan mood," jawab Bu Nur."Pada fase ini, Ifah mungkin juga akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti "Mengapa harus Abah yang meninggal?" atau “Apa salah Ifah, sehingga setelah kehilangan Abah aku harus kehilangan Mas Hasan, mengapa ini harus terjadi pada hidup saya?”. Amarah ini bisa di tujukan kepada siapa saja, baik pada diri sendiri, orang lain, benda di sekitar, atau bahkan kepada Tuhan! Kebetulan di Fase ini Ifah menunjuk Mbak Dinda sebagai penyebab utama akar permasalahan dalam hidupnya," sambMaaf hati nuraniku masih berfungsi!"Nah sekarang Mbak Dinda ingin membuat Ifah ini bagaimana?" tanya bu Nur.Sebenarnya ini kesempatan terbaik bagi Dinda untuk membalas dendam ke keluarga Hasan. Dia bisa saja menyuruh Bu Nur untuk membentuk karakter Ifah sesuai dengan yang dia mau. Karena saat ini peluangnya lebih besar tetapi hati nurani Dinda masih berfungsi dengan sangat baik.Dia tak ingin menjadikan Ifah anak seperti itu. Dia tak ingin Ifah menjadi boneka nya yang bisa ikut terlibat lebih lanjut dan jauh terhadap masalahnya. Dinda berfikir tak seharusnya anak seperti Ifah ikut menjadi korban dalam persaingan menantu mertua yang terjadi di rumah itu."Walaupun ini kesempatan yang baik, tapi aku tak bisa memanfaatkannya! Aku tak boleh seperti manusia-manusia busuk di rumah itu! Aku harus tetap menjadi Dinda yang baik hati dan tak mengambil peluang pada suatu kejadian yang tak di inginkan Ifah," batin Dinda."Mbak Dinda," panggil Bu Nur yag sejak tadi melihat
BU NAFIS! OH BU NAFIS LAGI!"Mbak Dinda itu adalah orang yang merebut Mas Hasan dari Ifah,"Dinda cukup terkejut dan kaget mendengar ucapan Ifah. Apakah metode kali ini gagal? Padahal sugesti yang diberikan Bu Nur tadi sudah tepat. Apakah terapi psikologis bisa menemui hambatan dan tak berjalan sesuai rencana? Apa yang sebenarnya terjadi?"Bu," panggil Dinda untuk menanyakan kegagalan metode ini.Bu Nur mengangkat tangannya pada Dinda agar tak memotong pembicaraan Ifah dulu. Karena mungkin saat ini Ifah sedang mengumpulkan kesadarannya. Dia masih mencoba mencerna emua yang terjadi hari ini."Merebut Mas Hasan? Merebut dalam hal apa, Mbak Ifah?" tanya Bu Nur dengan pelan sambil terus mengusap lengan Ifah."Dia merebut kasih sayang yang pernah Mas Hasan berikan untuk Ifah, Bu! Ifah sangat benci sekali awalnya, tetapi sekarang Ifah menjadi sayang padanya," jawab Ifah."Karena Mbak Dinda rela berkorban banyak untuk kuliah Ifah! Dia bahkan rela menjual mobilnya demi Ifah, lalu sekarang dia
SERBA SALAH JADI MENANTU"Masak sih, Bu Nafis? Mbak Dinda seperti itu?" tanya Mbak Lina yang setengah tak percaya."Iyo, Mbak! Memang begitu anaknya itu ikrik! Alias sirikan ke makanan. Mulutnya itu ndak mau kalau bukan makanan enak. Maunya ya harus makan enak terus, Mbak! Ya ayam lah, ikan lah, daging! Kalau makanan seperti itu dia mau," sahut bu Nafis."Ya sudah suruh belanja sendiri to, Bu! Biar sampean ndak boros wong selama ini juga sudah ndak ada yang memberi uang beanja," ujar bu Damar."Halah wes sampek lumuten ayam di kulkas! Gak di sentuh! Males," hardik bu Nafis."Sudah dapet berapa bangkai, Bu?" tanya Dinda sambil menghampiri ibunya yang sedang berbelanja bersama orang-orang komplek. Melihat kedatangan Dinda semua orang saling sikut-sikutan. Mereka saling memberikan kode untuk tidak saling ikut campur masalah rumah Bu Nafis. Bu Nafis tampak salah tingkah juga tadi tetapi dia selalu berhasil menguasai keadaan dalam waktu sekejap."Apa sih
RENCANA MENGHADAPI NOVA"Iya, Mbak! Apalagi aku ini, sudahlah bawa mobil Pajero seperti keinginan mertua saja, nyatanya masih sering tak dianggap oleh ibu mertuaku sendiri! Masih di anggap benalu dan tak berguna, iya kan, Bu? Bahkan selalu dianggap selalu menyusahkan anaknya," sindir Dinda langsung.Semua orang terdiam mendengar ucapan Dinda, termasuk Bu Nafis. Dia sekarang sedang mencari cara untuk menaikkan pamornya lagi yang sudah kalah di mata teman-temannya. Image ibu mertua yang baik hati sudah hancur sekarang."Eh! Eh, wong Pajero itu yang memberikan siapa? Orang tuamu bukan punyamu sendiri, kau jangan menyombongkan harta orang tuamu! Sombongkan hartamu sendiri kalau harta orang tua bisa kau sombongkan mah contohnya juga banyak! Itu namanya kau pewaris bukan perintis," ucap Bu Nafis sewot."Ya mending kalau pewaris, Bu! Kalau tak di wariskan ke anaknya lalu hendak ke siapa lagi? Masa iya ke Ibu yang notabene hanya besannya?" ujar Dinda sambil mengambil kunir a
Peran kakak ipar sesungguhnyaDinda pun segera membenahi ruang makan selesai suami dan adiknya berangkat. Bu Nafis tampak belum pulang juga. Dia langsung masuk ke kamar dan mengerjakan beberapa file yang sudah dikirimkan oleh papanya. Saking sibuknya sampai tak terasa hari sudah siang, kemudian Dinda mendapat satu telepon masuk dari Nova. Dinda segera mengangkatnya."Halo selamat siang?" ujar Dinda sesaat setelah telepon digeser."Selamat siang Dinda ya?" tanya Nova."Iya Mbak Nova, gimana?" sahut balik Dinda."Oh ya Di, aku akan ke sana nanti habis maghrib ya! Bagaimana apakah bisa? Karena aku sekalian akan membawa anak-anakku, jadi tak bisa kalau pagi," ujar Nova."Baiklah, Mbak! Aku akan dengan senang hati menerima kedatangan sampean dan anak- anak," sahut Dinda."Oke kalau begitu, Din! See you," ucap Nova. Telepon langsung dimatikan sepihak oleh Nova tanpa ada ucapan apapun. Dinda segera keluar ke kamar dia mencari keberadaan ibu mertuanya untuk
MENANTU SOK KAYA!"Apa jawabanmu?" tanya Dinda."Nanti Mbak Dinda bisa lihat sendiri! Ini akan menjadi kejutan, pokoknya Ifah akan membuktikan ketegasan Ifah untuk kali ini! Ifah Ingin membuktikan ke kalian semua bahwa Ifah bukanlah anak kecil lagi dan bisa tegas dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah Ifah sendiri, Mbak," ujar Ifah bersemangat.Dinda merangkul adik iparnya itu. Dia salut sekali pada niatan yang Ifah miliki. Ternyata tak salah langkah yang Dinda ambil untuk segera mengajak Ifah ke psikologi. Untungnya lagi untuk keputusan itu, keluarga suaminya tak banyak protes dan memaklumi bahkan mendukung usul Dinda. Tak perlu menjadi gila untuk berkunjung ke psikologi, justru dengan mendatangi ahli nya akan mencegah kita untuk tak jadi gila sesungguhnya. Karena kita bisa curhat ke tempat yang sebenarnya dan mendapatkan motivasi serta sugesti yang baik, bukan malah sebaliknya."Mbak salut padamu, Fah!" ujar Dinda memuji.Tak terasa magrib sudah datang, art
TUDUHAN IBU NOVA!"Apakah ini yang namanya Ifah?" tanya Bapak itu sambil memandangi Dinda."Kok rasanya aneh sekali, Arif meninggalkan Nova yang cantik demi dia?" tanya Ibu- ibu yang duduk di samping Nova lirih, tetapi masih terdengar di telinga Dinda."Kurang ajar sekali! Kalau bukan tamu pasti aku akan melawanmu," batin Dinda kesal dalam hati."Dek, ambilkan kursi! Duduk di sini," perintah Hasan sekali lagi dengan tegas.Walaupun masih kesal dengan tamunya, namun Dinda segera ke belakang untuk mengambil kursi tambahan di ruang makan. Dia melihat sang ibu mertua yang sebenarnya sudah selesai salat tetapi justru tidak keluar. Ibu mertuanya malah menunggu di ruang makan. Dinda mengerutkan keningnya heran."Bu kok tidak keluar? Noh dah dateng loh tamunya," ucap Dinda."Sttt! Sudah! Sudah kau temui saja, Ibu tak mau nama baik ibu tercemar gara- gara Ifah! Aku tak mau di kenali mereka! Kau hendle saja itu! Kan tugasmu sebagai kakak ipar membela adik ipr yang sedang di terpa masalah," sahu
KELEMBUTAN HATI ARIF!"Kau yang menjadikan adikmu ini pelacur cabe- cabean?" tanya Ibu Nova."Astagfirulloh! Jaga mulut Ibu ya!" bentak Ifah yang membuat semua orang terkejut dan kaget.Apalagi Dinda, dia sampai bengong melihat adik iparnya sekarang berani membentak orang. Tapi dia juga tak mau menylahkan Ifah, karena dia memang tak bersalah. Apalagi saat ini dia sedang mempertahankan harga dirinya."Dari tadi saya hanya diam saja ya! Itu saya lakukan karena sangat amat menghormati Ibu sebagai orang tua dan tuan rumah yang baik! Didikan dari ke dua orang tua saya, tetapi jika mulut Ibu terus berkata seperti itu, saya juga memiliki batas kesabaran! Bukannya saya tak mengajari atau menghormati orang lebih tua, tetapi Ibu sendiri yang tidak bisa dihormati," bentak Ifah mulai meninggikan suaranya."Tuh lihat, tuh! Didikan macam apa itu? Tak punya sopan santun," hardik Ibu Nova."Hahaha! Ibu berbicara sopan santun sekarang? Lucu sekali! Saya tanya sekarang, siapa yang tak sopan dan tak pun
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."