KESEHATAN MENTAL!
Ifah Hanya terdiam dan mengikuti kemana langkah kaki Dinda. Dinda mencet bel yang tersedia di depan pintu. Tak lama kemudian, keluar seorang ibu setengah baya berjilbab yang sangat anggun, cantik, dan lemah lembut. Ibu itu memperkenalkan dirinya sebagai Ibu Nur."Masya Allah, Dinda! Aduh lama tak bertemu, bagaimana sehat?" sapa bu Nur."Sehat, Bu! Ibu bagaimana? Tambah cantik saja lo," puji Dinda."Ah bisa saja, oh iya ini adik ipar yang kau ceritakan itu ya? Siapa namanya, Mbak Ifah ya kalau tak salah?" tanya ibu itu ramah."Iya Bu Nur, kenalkan ini adik saya ipar, namanya Ifah," ujar Dinda sambil merangkul Ifah. Ifah hanya membalas anggukan."Cantik sekali," puji bu Nur pada Ifah sambil mengelus lengan Ifah."Ayok mari masuk! Mari masuk," ajak Ibu Nur. Mereka berdua pun masuk ke dalam ruangan yang mirip seperti ruang tamu itu.Bagi Ifah itu bukan seperti ruang konsultasi yang ada di pikirannya selama ini. Ruangan itu sangat nyamanCINTA ABG LABIL!"Ceritakanlah pada Bu Nur, Dek! Insya Allah hatimu akan terasa lega, jangan kau pendam sendiri," pinta bu Nur dengan suara lemah lembut yang menenangkan. Dinda mengelus tangan Ifah memberikan dukungan agar Ifah mulai percaya kepada Bu Nur dan mau bercerita. Tanpak Ifah menghela nafasnya dalam- dalam. Mungkin benar ini adalah saatnya untuk bercerita membagikan semua beban yang ada di hatinya agar tak menekannya terlalu dalam. Selama ini dia memendam semua ini sendiri tanpa bisa bercerita kepada orang lain."Sebenarnya selama ini saya cukup tertekan dengan kehidupan yang saya alami, Bu." ucap Ifah sambil menahan suara bergetarnya. Dia nampak sekuat tenaga mencegah tangisnya agar tak pecah sekarang."Beban apa, Nduk? Beban itu di mulai dari mana? Boleh Ibu Nur tahu agar bebanmu sedikit berkurang? Jika kau nyaman ceritalah, jika kau butuh pelukan berkatalah, jika kau butuh saran bicaralah. Apapun yang kau mau akan Bu Nur lakukan selagi bisa dan mam
HIPNOTIS!"Ya Itu yang Ibu katakan, Mbak! Jadi Ifah takut untuk becerita semua pada Mbak Dinda! Nanti kalau Mbak Dinda bercerai dengan Mas Hasan bagaimana? Bisa- bisa Aib Ifah di umbar dong, lalu untuk cerita ke kakak kandung Ifah sendiri tak mungkin mereka semua sibuk," jawab Ifah polos."Apakah ibu berkata seperti itu, Dek? Kau yakin?" tanya Dinda.Ifah hanya menganggukkan kealanya. Dinda menghela nafasnya panjang. Apa maksud mertuanya itu sebenarnya. Padahal selama ini dia sudah selalu berusaha menjadi menantu terbaik versinya. Dia selalu peduli dengan keluarga suami, mau berkorban, menyayangi Ifah. Rasanya itu semua belum cukup bernilai di mata bu Nafis."Dek, dengarkan Mbak Dinda baik- baik ya! Tak ada yang namanya mantan kakak ipar! Mbak Dinda berjanji padamu, sampai kapanpun Mbak Dinda akan selalu menjadi satu- satunya Kakak Iparmu dari Mas Hasan! Kau bisa bercerita apapun pada Mbak Dinda tanpa takut lagi, mengerti?" tanya Dinda meyakinkan Ifah."Iya Mbak,
SELALU ADA HIKMAH DI BALIK MUSIBAH!"Apakah ini penyebab Ifah menyalahkan Dinda, Bu?" tanya Dinda."Benar sedikit banyak tentu itu mempengaruhi, Mbak! Fase pertama dia sudah di nyatakan gagal, kemudia dia masuk fase ke dua ini. Jadi dia berada di fase menyangkal, seseorang yang sedang berduka akan merasa marah dan tidak terima bahwa ia sedang mengalami peristiwa buruk. Hal ini juga bisa membuatnya menjadi frustasi, lebih sensitif, tidak sabaran, dan mengalami perubahan mood," jawab Bu Nur."Pada fase ini, Ifah mungkin juga akan mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti "Mengapa harus Abah yang meninggal?" atau “Apa salah Ifah, sehingga setelah kehilangan Abah aku harus kehilangan Mas Hasan, mengapa ini harus terjadi pada hidup saya?”. Amarah ini bisa di tujukan kepada siapa saja, baik pada diri sendiri, orang lain, benda di sekitar, atau bahkan kepada Tuhan! Kebetulan di Fase ini Ifah menunjuk Mbak Dinda sebagai penyebab utama akar permasalahan dalam hidupnya," samb
Maaf hati nuraniku masih berfungsi!"Nah sekarang Mbak Dinda ingin membuat Ifah ini bagaimana?" tanya bu Nur.Sebenarnya ini kesempatan terbaik bagi Dinda untuk membalas dendam ke keluarga Hasan. Dia bisa saja menyuruh Bu Nur untuk membentuk karakter Ifah sesuai dengan yang dia mau. Karena saat ini peluangnya lebih besar tetapi hati nurani Dinda masih berfungsi dengan sangat baik.Dia tak ingin menjadikan Ifah anak seperti itu. Dia tak ingin Ifah menjadi boneka nya yang bisa ikut terlibat lebih lanjut dan jauh terhadap masalahnya. Dinda berfikir tak seharusnya anak seperti Ifah ikut menjadi korban dalam persaingan menantu mertua yang terjadi di rumah itu."Walaupun ini kesempatan yang baik, tapi aku tak bisa memanfaatkannya! Aku tak boleh seperti manusia-manusia busuk di rumah itu! Aku harus tetap menjadi Dinda yang baik hati dan tak mengambil peluang pada suatu kejadian yang tak di inginkan Ifah," batin Dinda."Mbak Dinda," panggil Bu Nur yag sejak tadi melihat
BU NAFIS! OH BU NAFIS LAGI!"Mbak Dinda itu adalah orang yang merebut Mas Hasan dari Ifah,"Dinda cukup terkejut dan kaget mendengar ucapan Ifah. Apakah metode kali ini gagal? Padahal sugesti yang diberikan Bu Nur tadi sudah tepat. Apakah terapi psikologis bisa menemui hambatan dan tak berjalan sesuai rencana? Apa yang sebenarnya terjadi?"Bu," panggil Dinda untuk menanyakan kegagalan metode ini.Bu Nur mengangkat tangannya pada Dinda agar tak memotong pembicaraan Ifah dulu. Karena mungkin saat ini Ifah sedang mengumpulkan kesadarannya. Dia masih mencoba mencerna emua yang terjadi hari ini."Merebut Mas Hasan? Merebut dalam hal apa, Mbak Ifah?" tanya Bu Nur dengan pelan sambil terus mengusap lengan Ifah."Dia merebut kasih sayang yang pernah Mas Hasan berikan untuk Ifah, Bu! Ifah sangat benci sekali awalnya, tetapi sekarang Ifah menjadi sayang padanya," jawab Ifah."Karena Mbak Dinda rela berkorban banyak untuk kuliah Ifah! Dia bahkan rela menjual mobilnya demi Ifah, lalu sekarang dia
SERBA SALAH JADI MENANTU"Masak sih, Bu Nafis? Mbak Dinda seperti itu?" tanya Mbak Lina yang setengah tak percaya."Iyo, Mbak! Memang begitu anaknya itu ikrik! Alias sirikan ke makanan. Mulutnya itu ndak mau kalau bukan makanan enak. Maunya ya harus makan enak terus, Mbak! Ya ayam lah, ikan lah, daging! Kalau makanan seperti itu dia mau," sahut bu Nafis."Ya sudah suruh belanja sendiri to, Bu! Biar sampean ndak boros wong selama ini juga sudah ndak ada yang memberi uang beanja," ujar bu Damar."Halah wes sampek lumuten ayam di kulkas! Gak di sentuh! Males," hardik bu Nafis."Sudah dapet berapa bangkai, Bu?" tanya Dinda sambil menghampiri ibunya yang sedang berbelanja bersama orang-orang komplek. Melihat kedatangan Dinda semua orang saling sikut-sikutan. Mereka saling memberikan kode untuk tidak saling ikut campur masalah rumah Bu Nafis. Bu Nafis tampak salah tingkah juga tadi tetapi dia selalu berhasil menguasai keadaan dalam waktu sekejap."Apa sih
RENCANA MENGHADAPI NOVA"Iya, Mbak! Apalagi aku ini, sudahlah bawa mobil Pajero seperti keinginan mertua saja, nyatanya masih sering tak dianggap oleh ibu mertuaku sendiri! Masih di anggap benalu dan tak berguna, iya kan, Bu? Bahkan selalu dianggap selalu menyusahkan anaknya," sindir Dinda langsung.Semua orang terdiam mendengar ucapan Dinda, termasuk Bu Nafis. Dia sekarang sedang mencari cara untuk menaikkan pamornya lagi yang sudah kalah di mata teman-temannya. Image ibu mertua yang baik hati sudah hancur sekarang."Eh! Eh, wong Pajero itu yang memberikan siapa? Orang tuamu bukan punyamu sendiri, kau jangan menyombongkan harta orang tuamu! Sombongkan hartamu sendiri kalau harta orang tua bisa kau sombongkan mah contohnya juga banyak! Itu namanya kau pewaris bukan perintis," ucap Bu Nafis sewot."Ya mending kalau pewaris, Bu! Kalau tak di wariskan ke anaknya lalu hendak ke siapa lagi? Masa iya ke Ibu yang notabene hanya besannya?" ujar Dinda sambil mengambil kunir a
Peran kakak ipar sesungguhnyaDinda pun segera membenahi ruang makan selesai suami dan adiknya berangkat. Bu Nafis tampak belum pulang juga. Dia langsung masuk ke kamar dan mengerjakan beberapa file yang sudah dikirimkan oleh papanya. Saking sibuknya sampai tak terasa hari sudah siang, kemudian Dinda mendapat satu telepon masuk dari Nova. Dinda segera mengangkatnya."Halo selamat siang?" ujar Dinda sesaat setelah telepon digeser."Selamat siang Dinda ya?" tanya Nova."Iya Mbak Nova, gimana?" sahut balik Dinda."Oh ya Di, aku akan ke sana nanti habis maghrib ya! Bagaimana apakah bisa? Karena aku sekalian akan membawa anak-anakku, jadi tak bisa kalau pagi," ujar Nova."Baiklah, Mbak! Aku akan dengan senang hati menerima kedatangan sampean dan anak- anak," sahut Dinda."Oke kalau begitu, Din! See you," ucap Nova. Telepon langsung dimatikan sepihak oleh Nova tanpa ada ucapan apapun. Dinda segera keluar ke kamar dia mencari keberadaan ibu mertuanya untuk