MASIH TENTANG KONDOM'Ku Menangis, merasakan betapa kejamnya dirimu pada diriku'Dinda segera kembali ke kamar mencari Hpnya yang sedang berbunyi. Di layar terlihat jelas panggilan dari Eva kakak Iparnya. Dinda segera mengangkatnya."Hallo, Assalamualaikum Mbak!" sapa Dinda ramah."Waalaikumsalam, halo bagaimana Din? Ada berita apa? Maaf ya, Mbak Eva baru sempat menelponmu, maklum kalau pagi harus menyiapkan ponakanmu dulu untuk bersekolah sekarang sudah ikut kelas bermain," jelas Eva."Wah, Alhamdulillah kalau bocil sudah ikut kelas bermain, jadi Mbak Eva tak kesusahan lagi untuk membagi waktu mengajar," jawab Dinda."Hehehe, Dinda ada sesuatu yang ingin di tanyakan pada Mbak Eva, tapi apakah ini tidak mengganggu jam mengajar Mbak Eva?" tanya Dinda lagi."Tidak Din, Mbak nanti ada jadwal mengajar jam sebelas siang. Ini Mbak sedang santai sambil mengoreksi beberapa pekerjaan rumah yang Mbak berikan kepada anak-anak. Ada apa toh, Din?" tanya Eva."Oh ya, Mas Zain tidak jadi pulang hari
TELPON DARI LELAKI ASING"Sudah dulu ya, Mbak! Kanjeng ratu sudah meneriaki aku," pamit Dinda."Kanjeng ratu? Siapa Kanjeng ratu itu, Din?" tanya Eva tak paham."Ya masak Mbak Eva lupa? Itu kan mertuamu,""Loh kamu bagaimana mertua aku kan yo mertuamu juga, hahaha," sahut Eva."Wis, wis sudah! Dinda mau ke Kanjung ratu dulu Mbak, kasihan nanti kalau teriak- teriak malah tambah kena penyakit darah tinggi! Jalannya saja masih pakai krek sekarang, sudah ke tambah darah tinggi," kata Dinda."Wooo! Menantu semprul kau itu, ya sudah matikan dulu teleponnya, assalamualaikum," ujar Eva sambil mematikan telponnya."Waalaikumsalam," kata Dinda."Din! Dinda, budeg kamu ya!" teriak bu Nafis lagi."Iya... Bu! iya ada apa toh, sampai teriak- teriak begitu," ujar Dinda keluar dari kamar."Buta matamu? Lihat apa ini," bentak bu Nafis sambil menunjuk lantai rumah yang sudah basah semua."Astagfirullah! Mengapa ini bisa terjadi ya, Bu?" tanya Dinda sambil menggaruk kepalanya.Dinda heran melihat akuari
BU SUN!"Kau lupa Din? Aku adalah Surya! Kakak kelasmu dulu," jawab suara di sebrang."Bukankah kau dulu sangat tergila- gila padaku? Bagaimana kabarmu sekarang? Aku dengar kau udah punya suami ya?" tanya Surya lagi.Surya adalah lelaki kakak kelas Dinda saat kuliah dulu. Dinda dulu sempat menyukainya karena dia pintar dan banyak relasi. Mereka sempat dekat, ternyata Surya hanya mempermainkan Dinda saja. Dia hanya menginginkan harta Dinda dan tidak mencintai Dinda. Bahkan Dinda pernah melihat secara langsung Surya memiliki pacar lain. Dia sangat sakit hati, walaupun sebenarnya Dinda juga tak pernah berpacaran dengan Surya. Status mereka hanya dekat saja."Ah! Sayang sekali sepertinya aku datang terlambat," ujar Surya lagi."Dari mana kau mendapatkan nomorku?" tanya Dinda."Apakah kau lupa? Ketika aku ingin mencari seseorang, maka dengan mudah saja aku akan mendapatkan apa yang aku mau, Dinda!" ujar Surya dengan nada tegas dan mengancam.Dinda bergidik ngeri mendengar perkataan itu dar
MERTUAKU UNIK, SELAMA ADA DUIT SEMUA BISA DI BICARAKAN BAIK- BAIK!"Ya itu dulu ceritanya suka sama Hasan! Tapi jelas di tolak sama Hasan, wong wes tua seperti itu janda tiga anak pula," jelas bu Nafis."Hahaha! Amit- amit jabang bayi," ujar Dinda sambil mengusap perutnya."Kenapa kau gembira seperti itu? Apa ada yang lucu?" tanya bu Nafis sambil terus memetiki daun bayam di bawah Dinda."Pantaslah dari tadi kok sepertinya dia itu sewot sekali dengan Dinda, Bu! Sekarang Dinda paham apa alasannya," jawab Dinda.Bu Nafis tak menanggapi ucapan Dinda lagi. Dia segeramempercepat gerakannya untuk mengambil aneka daun untuk di olah menjadi sayur besok. Karena hari sudah menginjak sore. Sedangkan Dinda menikmati semilir angin di kebun sambil memetik bunga pepaya dari batangnya."Din ayok masuk! Bersihkan semuanya di rumah saja," perintah bu Nafis sambil menggendong sayurannya."Kita bawa ke dapur! Kita pindah saja hari mulai petang, terlalu gelap di sini! Nanti kalau ada ular bahaya, karena t
MENJUAL IFAH DENGAN HARGA LIMA RATUS RIBU!"Tapi kenapa kadang jahat?" tanya Dinda.Sebenarnya bu Nafis itu hatinya baik, cuma terkadang mulutnya kejam. Walaupun begitu jika sudah hafal wataknya tak akan mungkin bisa sakit hati. Karena percuma saja, bu Nafis akan mudah lupa tentang perkataannya yang mungkin menyinggung perasaan orang lain. Semisal hari ini dia membuat sakit hati anaknya, besok bu Nafis juga sudah melupakan dan tak merasa ada hal yang salah terjadi.Dinda sekarang mulai belajar beradaptasi dengan sifat dan watak Ibu mertuanya. Dia berharap supaya kedepannya bu Nafis memang bisa berubah lebih baik. Walaupun mulutnya tidak akan bisa berkata lembut. Dinda akan selalu menerima selama Hasan masih membelanya dan tidak menduakannya."Oh iya, terus kenapa tadi Ibu menyuruh Dinda menghubungi Ifah?" tanya Dinda yang hampir melupakan tujuan awal ghibah mereka."Astaga! gara- gara ngobrol denganmu lupa toh! Sekarang cepat kau telepon Ifah tanya dia sedang ada di mana lalu suruh ce
SEMOGA DEAL!"Tapi bu," ujar Dinda"Sudah sana! Cepat telepon Ifah!" perintah bu Nafis lagi memotong ucapan Dinda.Dinda segera masuk ke rumah dan menuju kamar. Dia mengambil hp-nya dan segera menghubungi Ifah. Panggilan pertama hanya memanggil, panggilan kedua menghubungkan, panggilan ke tiga baru di angkat."Halo! Assalamualaikum, iya Mbak Dinda! Kenapa sih telepon- telepon Ifah terus?" tanya suara di sebrang sesaat setelah telpon di angkat."Fah! di suruh pulang sama Ibu sekarang! Sebelum Mas hasan pulang!" omel Dinda."Memang Mas Hasan pulang kapan Mbak?" tanya Ifah."Assalamualaikum!" teriak seseorang lelaki dari ruang tamu."Mati kau Fah! Sepertinya Mas Hasan pulang! Cepat kau pulang sekarang," perintah Dinda sambil segera menutup telepon.Dinda berlari ke arah depan niatan menyambut suami pulang kerja."Waalaikumsalam.... eh Mas su...." belum selesai Dinda menyapa dia kaget bercampur malu.Dia terkejut karena ternyata yang datang bukan suaminya. Nampak seorang lelaki asing berd
MENTAL IBUMU KAU JAGA, MENTAL ISTRIMU KAU HABISKAN!"Mas, kalau memang mereka tak meminta potongan harga yang banyak, lebih baik lepaskan saja mobil itu! Insya Allah Dinda ikhlas, toh uang itu juga akan di gunakan untuk kepentingan Ifah membayar kuliah, insya Allah pasti nanti akan ada gantinya Mas," kata Dinda."Sebenarnya Mas kemarin menawarkan harga sembilan puluh lima juta, Dek! Tetapi ternyata mereka menawar dengan harga sembilan puluh empat juta," jawab Hasan."Lepaskan saja, Mas! Tak apalah, tak usah terlalu memberati uang satu juta! dari pada nanti tidak jadi dan Mas Hasan bingung lagi mencari pembeli, kasihan juga Ifah semua temannya sudah mendaftarkan kuliah tinggal dia yang belum Mas," ujar Dinda.Hasan mengelus kepala istrinya itu perlahan. Dia sangat bersyukur memiliki istri yang sangat pengertian. Jarang istri yang seperti Dinda."Terima kasih ya, Dek! Kau selalu mendahulukan keluargaku dari pada kepentingan pribadimu sendiri, doakan Mas ya! Semoga rezeki Mas makin banya
ANTARA BAKTI PADA IBU DAN ISTRI!"Dek tolong, Mas! Kali ini saja, kau mau mengerti," pinta Hasan.Dinda diam tak lagi menjawab semua perkataan suaminya. Dia memilih untuk berpura- pura tidur memejamkan matanya sambil membelakangi Hasan. Dia berharap semoga berhasil menenangkan pikirannya sendiri."Apakah ini tanda bahwa aku harus pulang ke rumahku Kediri?" tanya Dinda dalam hati.Dinda sangat sadar bahwa semua ini sumber masalah bukan terpusat pada Hasan. Logikanya berkata seperti itu, tetapi tidak dengan hatinya sebagai perempuan dan istri Hasan. Dia ingin membela suaminya, tetapi mengapa malah suaminya tidak pernah melihat usahanya. Hasan selalu saja mengatakan alasan berbakti pada ibunya, dia tak pernah mau memberontak pada bu Nafis."Dek, tidakkah kamu saat ini mengerti bahwa posisiku sangat lah sulit? Andai kau tahu Dek, begitu sulit menjadi aku! Satu posisi dia Ibuku, tapi di sisi lain kau juga Istriku! Hanya beliau yang aku miliki setelah aku harus kehilangan Abah! Jangankan ua