Share

Jadi Miskin Di Hadapan Mertua
Jadi Miskin Di Hadapan Mertua
Author: Secilia Abigail Hariono

GUBUK MERTUA

Author: Secilia Abigail Hariono
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Dinda...Dindaaa...! Keluar kamu!” teriak bu Nafis mertuanya.

Gedoran pintu yang keras dari luar, membuat Dinda segera berdiri. Dia mengusap air mata. Dinda tak ingin mertuanya tahu jika dia menangis.

“Nggih (ya),” kata Dinda,

“Kau mengadu lagi pada Hasan? Iyakan? Hahahaha! Dinda... Dinda sampai kapanpun Hasan itu surganya ada di telapak kakiku! Dia akan selalu menuruti semua perkataanku sebagai seorang Ibu yang telah melahirkannya, kau hanya wanita asing yang baru di nikahi kemarin sore, jadi jangan harap kau bisa mempengaruhi anakku, mengerti!” bentak bu Nafis.

Bu Nafis berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu. Dinda hanya mampu beristigfar dalam hati dan berkali-kali sambil mengelus dada, kemana perginya Hasan. Andai saja Hasan mengetahui semua perlakuan ibunya, mungkin dia akan membela Dinda. Mungkin, karena semakin ke sini Dinda juga ragu dengan ketegasan suaminya.

“Sudah, sana kau cuci semua perkakas kotor di dapur bekas memasak tadi pagi! Kau pikir hidup itu gratis, semua butuh duit, cepat cuci! Menumpang seperti benalu tak tahu diri!” teriak bu Nafis.

Dia bergegas pergi meninggalkan Dinda yang berdiri mematung. Bu Nafis tak pernah menjaga lisan.

“Oh ya, kalau Ifah mencari aku sepulang mengajar les nanti, bilang saja sedang ikut senam PKK di kantor kecamatan! Jangan bilang Hasan, kalau ikut senam, awas kau! Heran si Hasan dapat istri kok males, semua orang di rumah ini bisa cari duit, hanya dia yang menganggur di rumah!” kata bu Nafis.

Bu Nafis berbalik badan pergi mengendarai sepeda motor. Rasanya telinga Dinda sudah kebal dengan semua perkataan menyakitkan dari Ibu mertua. Bu Nafis selalu menganggap menantu sama dengan benalu di rumah. Bukan mau Dinda tak bekerja seperti ini. Hasan melarang Dinda bekerja, dan mertuanya tahu hal itu. Tetapi bu Nafis berpura- pura lupa jika anaknya yang harus di salahkan.

“Astagfirulloh,” gumam Dinda.

Dia segera pergi ke dapur, mencuci semua perabot dan perkakas yang di gunakan bu Nafis untuk berjualan tadi pagi. Ibunya memang bekerja membuat aneka sayur, nasi, dan jajanan yang di jual ke salah satu Kantin Rumah Sakit di kotanya. Sedangkan yang bertugas untuk menjaga jualan di kantin adalah kakak perempuan Hasan, Alif.

“Dek, Ibu dimana? Kok sepi? Pergi senam lagi ya?” tanya Hasan.

Dinda yang sibuk mencuci perkakas kotor kaget dengan kemunculan Hasan yang tiba- tiba di hadapannya.

“Astagfirulloh, Mas! Kenapa tiba- tiba kau muncul dari situ? Untung Dinda ndak jantungan,” gumam Dinda sebal.

Berkali-kali dia mengelus dada dengan lengan tangan agar tak membasahi baju.

“Hehehe, habis memanen pisang di belakang rumah Dek, Ibu kemana? Apa ikut senam lagi?” tanya Hasan.

“Itu... emmmm... memang kenapa Mas tiba- tiba menanyakan Ibu?” tanya Dinda tergagap mengalihkan pertanyaan Hasan.

Apa yang harus Dinda katakan, dia tak berani berbohong pada suaminya. Tetapi jika jujur tentu Bu Nafis akan memarahinnya habis- habisan dengan perkataan yang menyakitkan hati.

"Lihat pisang ini mendadak Mas ingin di buatkan bolu pisang sama Ibu, Mas sudah cari ke depan tapi Ibu tak sada, sampai Mas balik ke belakang lagi Ibu juga tak ada, kemana ya Ibu Dek?" tanya Hasan.

Dinda gelisah, tak bisa menjawab. Bibirnya terkatup rapat.

"Dek? Mengapa kau menjadi gelisah begitu?" tanya Hasan heran.

"Emmm... Tak apa Mas, bagaimana kalo Dinda buatkan pisang goreng saja dulu dari pada mencari Ibu," ujar Dinda.

"Bolehlah, ini kau buat nanti saja Dek! Setelah pekerjaanmu selesai, tapi Mas tadi lihat motor di depan tak ada, jika Ibu keluar pasti dia akan pamit padamu, benar kan Dek? Apa tadi Ibu langsung pergi begitu saja?" tanya Hasan.

Dinda bingung harus memberikan jawaban apa pada suaminya. Jika dia jujur maka ibu mertuanya akan murka, jika berbohong dia juga masih takut dosa.

"Assalmualaikum, jamaah! Oh jamaah! Pada kemana? Fatimah pulang!" teriak seorang wanita dengan suara cemprengnya.

"Waalaikumsalam," jawab Hasan dan Dinda bersamaan.

"Itu si Ifah pulang, Mas," kata Dinda.

"Di belakang! Kemarilah," teriak Hasan.

Untung saja Ifah adik iparnya pulang, jika tidak apa yang akan di katakan pada Hasan.

"Ibu mana, Mas?" tanya Ifah.

"Ah, mengapa semua orang hari ini mencari Ibu mertuanya," gerutu Dinda dalam hati.

"Coba kau telpon," usul Hasan.

Ifah mengangguk, dia mengambil HP di dalam tas dan menghubungi sang Ibu.

"Assalamualaikum, Ibu di mana? Hati- hati ya, Bu," kata Ifah sambil menutup panggilan.

"Di mana Ibu, Dek?" tanya Hasan penasaran.

"Ekhm! Ehhkkkkmmm!" suara Dinda berdehem dengan keras.

Dinda berusaha memberi kode Ifah agar tak mengatakan dengan jujur keberadaan Ibunya.

"Oh, Ibu sedang di..."

BERSAMBUNG

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Adinda
Seruuuuuuuuuuuuuu bangettt sukaaaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ARTI SEBUAH KEPERCAYAAN

    "Oh Ibu sedang ikut senam PKK di Kecamatan paling bareng sama teman gengnya itu lo Mas! Mbak Dinda tolong buatin telur goreng dong, Ifah capek banget abis endors," ujar Ifah satai. "Aduh mengapa Ifah tak tanggap pada kodenya," gumam Dinda lirih.Sayang sekali Ifah tak menyadari deheman Dinda yang memiliki arti tadi. Sekarang Dinda hanya bisa berdoa semoga mertuanya tak ngamuk saat pulang senam nanti. "Mbakmu kan sedang mencuci piring, ketimbang goreng telur masak harus menyuruh Mbak Dinda, kau kan anak perempuan belajarlah memasak untuk suamimu nanti," tegur Hasan. "Halah Ifah masih SMA Mas, masih pengen kuliah! Lagian Ifah tuh capek Mas! Endors dari pagi, lanjut sekolah belum lagi ngajar les, untuk tambahan uang saku! Mbak Dinda lo nganggur di rumah jadi wajar dong kalau Ifah minta tolong, ya kan Mbak?" rengek Ifah dengan suara manja pada Dinda. "Sudahlah Mas, cuma menggoreng telur saja bukan hal yang sulit, istirahatlah Fah! nanti Mbak panggil, sana pergi dari pada Masmu marah!"

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   BIMBANG

    “Bukankah itu sama artinya kau meragukan perkataanku Mas?” tanya Dinda dengan mata berkaca-kaca.“Aku tidak bermaksud begitu Dek, itu tadi hanya reflek dari tubuhku! Maaf jika itu membuatmu tersinggung, sekarang coba kau ceritakan semuanya, Mas akan mendengarkan dengan seksama,” jelas Hasan perlahan sambil duduk di hadapan istrinya."Ibu menuduhku mengadu pada Mas, jika beliau pergi senam, Dinda sudah mengatakan bahwa Ifah yang memberitahu, tapi malah Dinda yang di kira memfitnah Ifah, Dinda sudah berusaha menjelaskan Mas, tetapi Ibu pergi tanpa mendengarkan semuanya," ungkap Dinda.Hasan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya memeluk istrinya agar tenang. Dinda terisak di dekapan Hasan, batinnya bertanya mengapa suaminya tak bisa bijak dalam mengambil keputusan? Mengapa suaminya hanya diam jika itu berkaitan dengan Ibunya?Hasan diam dengan sejuta pikiran. Satu sisi Dinda adalah istri yang ingin di belanya, namun di sisi lain ada ibu kandung yang akan menjadi musuhnya. Si

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   PILIHAN SULIT ANAK LELAKI

    “Nduk? Apa kau yakin tak sedang menangis?” tanya papa Dinda. “Tidak Pah, mungkin speaker Dinda bermasalah, tumben Papa telpon pagi sekali?” tanya Dinda mengalihkan pembicaraan. “Entah kenapa hati Papa tak tenang sejak semalam, teringat padamu! Apa sekarang kau baik-baik saja? Bagaimana perlakuan Hasan dan keluarganya?” tanya Papa Dinda. “Dinda baik-baik saja kok Pa, jadi Papa tak perlu khawatir,” jawab Dinda. “Baik, kabari Papa jika mereka memperlakukanmu dengan buruk! Ya walaupun Papa tak setuju kau menikah dengan Hasan tetapi kau harus ingat di sana ikut dengan mertua! Jaga sikap dan bicaramu, ingatlah kau bukan sedang di rumah sendiri, jangan menyamakan keadaan di sana seperti rumah sendiri, ujar papa Dinda. “Dinda selalu ingat pesan Papa,” jawab Dinda. “Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ! Assalamualaikum,” kata papa Dinda. ‘Tut’ telpon terputus, Dinda mendekap erat Hpnya. Air mata yang sedari tadi di tahannya jatuh lagi, mengapa pernikahan yang di impikannya menjadi sep

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   BUKAN SELERA MERTUA

    “Tapi Bu, aku sudah menikah dengan Dinda! Tak mungkin Hasan tega menduakannya,” jelas Hasan. “Siapa suruh kau memilih Dinda? Dia bukan selera Ibu!” bentak Bu Nafis. “Bukankah Ibu dulu juga merestui? Bahkan Ibu yang menyuruh Hasan cepat menikahi Dinda,” “Ya karena Ibu dulu salah sangka, rumah gedong itu Ibu pikir milik Dinda ternyata bukan, apalagi Ibu kira Dinda dulu tetap kerja nyatanya keluar, kesini hanya bawa mobil buntut!” jelas bu Nafis. “Hasan Bu yang melarangnya bekerja,” “Sudah-sudah, selera Ibu punya mantu PNS seperti ini, bagaimana mau kan?” bujuk bu Nafis. “Istigfar Bu!” perintah Hasan sambil meninggalkan ibunya. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, jam di mana Dinda selalu bangun untuk sholat tahajud. ‘Tring...tring’ notif alarm HP Hasan berbunyi berkali kali. Dinda menoleh, dia melihat Hasan masih tertidur lelap, pasti dia lelah setelah pulang bekerja harus membantu Dinda mengemasi madumongso jualan bu Nafis. Dinda sudah melarangnya tetapi Hasan ingin membant

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   MENANTU ATAU MERTUA DAKJAL?

    MENANTU ATAU MERTUA DAKJAL? “Hey Mantu Dakjal kau ya! Berani membentak Ibu Mertuamu sendiri!” teriak Ibu- ibu berbaju kolaborasi macan dan jilbab zebra. “Lihatkan, kalian bisa lihat sendiri sekarang, aku tak mengada- ada ya memang begitulah Dinda menantuku ini, huhuhu” isak bu Nafis. Dinda begitu muak melihat kelakuan Ibu mertuanya. “Dinda, maafkan Ibu Nak! Maafkan Ibu,” ujar bu Nafis dengan acting menangis. “Bu! Hentikan! Mengapa Ibu bersandiwara?” tanya Dinda berjalan mendekat menuju ibu mertuanya. “Heh berhenti menantu Dakjal! Tak akan ku biarkan kau menyiksa anggota- ku! Sini lawan aku!” tantang ibu- ibu lain. “Apa yang sebenarnya Ibu katakana pada mereka? Mengapa mereka begitu membenciku padahal sama sekali aku tak mengenal mereka!” seru Dinda. “Heh Dakjal!” seru ibu- ibu baju macan. “Namaku Dinda! Dasar norak baju corak kebun binatang!” sanggah Dinda tak kalah lantang. “Namaku Ibu Ningsih bukan kebun binatang! Bagaimana kami tak membenci menantu modelan seperti dirimu!

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   STRUk BELANJA

    "Waalaikumsalam Dek, tumben telpon jam segini ada apa?" tanya Hasan heran.Tak biasanya Dinda menelpon di jam kerja. Mengapa suara Dinda serak dan parau? Ah pastilah dia bertengkar lagi dengan ibunya. Hasan menarik nafas panjang."Kau kenapa Dek?" Hasan mengulangi pertanyaannya lagi."Huhuhu, Mas marilah kita pindah, apa aku saja yang ngekos jika Mas keberatan pindah! Dinda tak masalah kok Mas asal tak tinggal satu atap dengan ibu lagi, dulu aku juga terbiasa hidup sendiri di Kos," dengan terbata- bata Dinda menyampaikannya."Kenapa lagi dengan Ibu, Dek? Apa kau tadi sudah membelikan Ibu hadiah atau roti, bagaimana belanjamu?" Hasan masih terus mencoba mengalihkan pembicaraan Dinda."Mas, tolonglah Dinda, rasanya Dinda tak kuat lagi sekarang... huhuhu" isak tangis Dinda makin menjadi."Tunggulah," ujar Hasan mematikan telpon tanpa mengucapkan salam.Hasan segera mengambil kunci mobil dan bergegas pulang."Her aku izin keluar sebentar ya, jika ada yang mencariku katakan suruh tunggu sa

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   DRAMA SIDANG AKBAR

    “Apa maksud ini semua Dek?” tanya Hasan sambil menyerahkan kertas bukti struk pembelanjaan. “Kau lebih peduli pada struk itu Mas dari pada keadaan Istrimu sendiri?” tatap Dinda setengah tak percaya mendapati suaminya melakukan hal ini. Dinda pikir Hasan datang akan menenangkannya. Sebelumnya Dinda begitu bangga saat Hasan membela dirinya di hadapan ibu- ibu geng mertua. Lagi dia ternyata terlalu berharap pada Hasan. “Bukan itu maksudku,” Hasan menoleh sekelilingnya. Semua mata ibu- ibu menuju ke arahnya dan Dinda. Tak baik rasanya jika menanyakan masalah keuangan saat ini. “Maafkan aku, mari kita keluar dan menyelesaikan semuanya Dek! Agar tak ada kesalapahaman lagi, tenanglah Mas akan berada di posisimu selama kau benar,” ucap Hasan menenangkan perasaan Dinda. Dinda mengangguk patuh. Dia keluar dengan mengandeng lengan suaminya. Bukan untuk memamerkan kemesraan tetapi mencari sumber kekuatan. “Baiklah Ibu- ibu mari kita duduk dulu,” perintah Hasan. Mereka semua duduk melingkar

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   DUA MENANTU

    "Oh, itu ini, em Mas uang Dinda," jawab Dinda dengan gugup dan terbata- bata."Iya Mas Hasan tahu Dek itu uangmu, tapi yang Mas Hasan pertanyaka dari mana Dinda mendapatkan uang itu?" tanya Hasan sekali lagi."Kan dari jatah bulanan yang Mas Hasan berikan selama ini," ujar Dinda."Dek, Mas bukanlah orang yang kaya sehingga mampu memberikanmu uang puluhan juta dalam satu bulan, Mas hanya bisa memberikanmu uang satu juta rupiah perbulan, kita menikah baru dua bulan itu artinya hanya dua juta rupiah, di tambah dua ratus ribu yang Mas berikan tadi pagi totalnya jadi dua juta dua ratus ribu rupiah, sedangkan nota belanjamu berapa Dek? Empat juta tujuh ratus ribu Dek," kata Hasan.Dia menghela nafas panjang."Dek Mas hanya ingin kejujuranmu," sambung Hasan."Jangan takut Mas, uang itu halal, selama ini Dinda bekerja, maafkan Dinda yang tak jujur pada Mas Hasan," jawab Dinda sambil menunduk."Kerja? Kau kerja apa Dek?" Hasan bingung selama ini Dinda selalu di rumah tak pernah keluar tanpa i

Latest chapter

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ENDING YANG BAHAGIA!

    ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   Hamil?

    HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   AWAL BARU KEBAHAGIAAN

    AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   HADIAH DARI SUAMI BARU

    HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA

    ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS

    MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!

    RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   Izin Pergi Dari Rumah

    IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep

  • Jadi Miskin Di Hadapan Mertua   MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?

    MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."

DMCA.com Protection Status