CUPANG ATAU TOMCAT?Bu Nafis keluar dari kamar. Mendengar suara ribut dari ruang makan. Dia keluar tanpa menggunakan jilbab. Mengenakan daster yang cukup seksi menurut Dinda. Apalagi bu Nafis sepertinya juga berdandan."Kenapa sih ini ribut- ribut?" tanya bu Nafis."Tumben sekali Ibu berpakaian seperti itu, mengapa ibu berdandan? Apakah selama ini aku salah duga?" batin Dinda."Ada yang SMS masuk ke Hasan, Bu! Dan ucapannya tak enak," sahut Hasan."SMS apa?" tanya bu Nafis."Dia berkata kalau di rumah ini ada pelacur jilbab! Itulah sebabnya Hasan mencurigai Ifah yang di maksud oleh orang itu, siapa lagi bu kalau bukan Ifah? Yang memakai jilbab di rumah ini?" tanya Hasan."Astagfirullah! Apakah benar? Sudah... sudah! Mungkin itu hanya salah paham saja, sudah tak usah di perpanjang lagi, tak usah di ambil pusing! Mungkin itu tadi hanya sekedar orang iseng atau orang yang tak suka dengan keluarga kita, dia ingin memfitnah dan menghancurkan keluarga kita," ujar bu Nafis."Wow! Bijak sekal
KUNCI BAHAGIA RUMAH TANGGA."Apa iya mertuaku masih bernafsu? Wahhh Ibu memang ajaib kalau memang iya dia pelakunya," gumam Dinda sendiri."Kenapa Ibu, Dek?" tanya Hasan yang tiba- tiba masuk ke dalam kamar."Hah?" tanya Dinda."Kenapa kau sebut Ibu sambil tertawa?' tanya Hasan."Ohhh itu.... anu karena Ibu mendadak memakai daster seksi Mas, ya itu! Makanya Dinda tertawa geli! Masa umur Ibu masih bisa puber ke dua," kata Dinda mencari alasan."Oh," jawab Hasan simpel sambil berjalan ke kamar mandi di dalam kamar mereka.Dinda berbaring di ranjang, ritual mereka sebelum tidur adalah pillow talk bersama. Seorang psikologis pernah berkata jika tidur bersama pasangan dan mengobrol sebelumnya dapat menyatukan rasa. Saling memahami dan memperkuat hubungan suami istri."Dek?" panggil Hasan."kenapa Mas?" tanya Dinda."Maaf ya, sudah kaget! Ini pertama kalinya Mas sangat emosi sampai mengatakan seperti itu pada Ifah," ujar Hasan menyesali sikapnya tadi."Minta maaflah pada Ifah, Mas! Bukan pa
MENJADI KONSELOR ABG LABIL!"Itu karena Istri Mas Arif belum tahu hubungan Ifah dan Mas Arif, Mbak! Lucu rasanya jika tiba- tiba tahu, Mbak! Itu satu," kata Ifah."Ke dua, rasanya Ifah ragu jika istrinya tahu keluarga ini! Gimana ya Mbak rasanya masih musahil!" jawab ifah."Lalu siapa, Fah? Di rumah ini hanya dua orang yang berjilbab, hanya kamu dan Ibu," jelas Dinda."Aku tak ingin menuduh Mbak, tapi memang aku memilikI ke curigaan ke arah sana," ujar Ifah lirih."Mengapa kau memiliki kecurigaan ke arah sana, Fah? Beliau kan Ibu kandungmu sendiri?" tanya Dinda heran.Bagaimana mungkin seorang anak justru mencurigai ibu kandungnya sendiri, jika memiliki hubungan dengan lelaki lain. Mengingat dulu Abah adalah orang yang di segani karena sangat alim di gang rumahnya. Dia kira ibu mertuanya seperti itu, tapi ternyata tidak. Mengingat betapa kejamnya mulut Bu Nafis juga menghina Dinda dan menghina anak-anaknya tanpa pandang bulu."Tak ada alasan khusus, Mbak! Mungkin insting anak! Entah m
BELANTIK SAPI ITU IMAM NAMANYA!"Mbak Dinda sudah tau mantan istrinya?" tanya Ifah."Belum sih, Fah!" jawab Dinda."Lalu Mbak Dinda tahu dari mana?" tanya Ifah lagi."Em setahu Mbak Dinda dia agak freak! Kan Istri Mas Aris dulu temannya Mbak Alif, Fah! Pas di rumah sakit itu, Mbak Alif pernah membahas sedikit cerita tentang mantan istri Mas Arif, Mbak rasa itu wajar sih, Fah! Namanya wanita kan mengedepankan perasaan dari pada logika, kadang masih sering tak terima dengan hubungan mantan dan selalu ingin tahu, kepo begitu," jawab Dinda.Ifah menghela nafas dalam. Berat rasanya sekarang menjadi dia. Ini kali pertama ia dekat dengan lelaki. Tapi justru yang membuatnya nyaman justru duda punya mantan istri. Kini dia tak tahu lagi siapa keluarganya yang mau mendukung hubungannya dengan Mas Arif kecuali Ibunya yang mau mendukung karena Mas Arif PNS dan sering memberinya uang. Andaikata Mas ARif lelaki miskin tentu saja mungkin nasibnya akan sama dengan kakak iparnya yang lain. Menjadi mis
CARI MUKA?Imam pun langsung salah tingkah medengar ucapan Dinda. Awalnya dia ingin menggoda gadis itu justru kini malu sendiri karena di samakan dengan Jaja Miharja. Padahal menurut istri dan anaknya dia itu ganteng tiada tara."Oh tidak! Anu, ini kena debu di jalan jadinya kelilipan," ujar Imam malu melihat Dinda memergokinya dan menganggapnya bintitan."Oh saya kira bintitan! Ya sudah saya ke belakang dulu ya, Pak! Saya tanya ibu dulu," ujar Dinda segera berjalan ke dapur mencari bu Nafis yang terlihat asyik mengkepaki sayuran matang miliknya yang sudah di pesan.Bu Nafis mulai menggunakan saran Dinda, malam hari dia update status di WA menu apa saya yang tersedi untuk besok. Jika ada beberapa orang yang tertarik memesan, bu Nafis akan menambahi jumlah porsinya dan menyendirikannya. Saran Dinda sudah di pakai mulai beberapa hari lalu. Bu Nafi sekarang membuka open order sayuran matang rantangan juga namun sekarang masih dalam bungkusan plastik. Harga mulai dari tiga ribuan sampai l
SUNDAL??"Tumben rajin! lagi cari muka ya?" sindir orang yang datang itu tanpa mengucap salam."Astagfirulloh......."Ternyata Mbak Sun datang sambil menenteng tas belanjaan yang besar. Dinda mengelus dadanya pelan karena kaget. Memang orang ini sangat amat ajaib tidak kenal tetapi sudah menganggap Dinda musuh bebuyutan hanya perkara dia istri Hasan."Amit- amit jabang bayi," kata Dinda mengusap perutnya."Cari muka? Cari muka apa sih, Mbak Sun?" tanya Dinda."Nih lihat, muka saya sudah ada sisi nih, Mbak! Satu aja cukup! Nggak mau cari lagi kayak situ jadi dua," sahut Dinda lagi sambil melanjutkan mengepel."Eh, menantu yang tak tahu diri! Sudah berani jawab rupanya sekarang," sahut Mbak Sun."Eh ada pembantu juga yang suka sama Mas Hasan tapi cintanya bertepuk sebelah tangan, sudah datang Mbak Sun? Tuh di tunggu sama sayuran," jawab Dinda. "Dasar kurang ajar, awas aja kau!" ujar Mbak Sun dengan marah-marah.Dinda tertawa cekikikan melihat Mbak Sun yang marah-marah sendiri. Padahal
PELAKOR BERJILBAB ITU IBU?"Apalagi yang kau pertahankan di sana, jika suamimu saja sudah tak bisa membela harga dirimu kau akan semakin diinjak-injak oleh mertua dan suamimu! Papa tak rela hal itu terjadi," ujar Papa Dinda."Insya Allah, Pah! Itu tidak akan terjadi, Mas Hasan selalu membela Dinda," ujar Dinda."KELUAR KAU WANITA SUNDALLLLL! DASAR PELAKOR! PELACUR!" teriak wanita dari luar."Siapa itu, Nduk?" tanya Papa Dinda."Dinda tak tahu, Pah! Dinda tutup dulu telponnya, assalamualaikum," kata DIndaDinda langsung keluar. Dia melihat rumahnya sudah kosong. Mbak Sun mungkin sudah berangkat. Pintu ruang tamunya untung suda di kunci. Dinda segera membuka mengintip dari balik gorden. Dinda melihat ke arah luar tampak seorang wanita sudah marah- marah. Dia sampai menyipitkan matanya, wanita dengan dandanan yang khas sekali.Baju macan ketat khas bu- ibu senam di tambah celana legging ketat dengan membawa sapu. Dinda segera merekam kejadian itu untuk di tunjukkan pada Hasan. Wanita itu
MURKANYA PAK BUKHORI (PAPA DINDA)"Jika benar Ibu Nafis yang salah maka dengan sadar dia akan meminta maaf pada Ibu! Tetapi apabila keluarga kami tak salah, maka kami akan menuntut balik maf Ibu! biarkan nanti warga yang menjadi saksinya! Bagaimana?" tantang Dinda."Setuju," teriak warga."Tidak, bagaimana jika kau melarikan mertuamu ke rumah kediri?" tanya bu Damar."Astagfirulloh! Saya jaminannya! Ibu mertua saya tak akan pernah lari," jawab Dinda."Baik! Aku akan datang ke sini lagi bersama suami dan anakku, biar semuanya jelas! Pelakor harus di musnahkan dari gang ini! Tak ada ampunan baginya," kata bu Damar sambil berlalu pergi.Warga pun pergi membubarkan diri masing- masing. Mereka berjanji akan kembali ke rumah Hasan lagi sehabis magrib nanti. Dinda langsung ndeprok meluruhkan dirinya di teras bu Nafis bersama pot- pot yang telah hancur. Tangan Dinda dingin, dia baru pertama kalinya langsung menghadapi warga dalam jumlah banyak yang melabraknya.Ifah keluar dari dalam rumah. D
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."