AGAMA ADALAH BENTENG ALASAN SUAMIKU,"Jelas kan? Aku tak ada hubungan apa- apa dengan suamimu kok! Kamu itu terlalu berlebih- lebihan sekarang, kalau begini siapa yang malu? pakai kau datang membawa warga lagi, membuat reputasiku hancur saja, mending kalau di gosipkan dengan artis yang ganteng lah ini sama suamimu, kalau begini siapa yang mau memperbaiki nama baikku?" tanya bu Nafis."Kalau begitu kenapa kau sering menelpon suamiku? jika kau tak saling menelpon tentu aku tak memikirkan hal buruk itu dan menuduhmu sebagai pelakor di rumah tanggaku, sebenarnya apa yang kalian rencanakan tanpa sepengetahuanku?" tanya bu Damar masih penasaran."Itu karena aku ada bisnis penting dengan suamimu! Wes toh kamu ndak perlu tahu, yang jelas untuk apa, Sumpah demi Allah aku tak pernah ada hubungan dengan suamimu, jadi jangan cemburu lagi, aku sudah menggunakan sumpah tertinggi dalam agama Islam masih kau tak percaya juga, ini bisnis yang sangat menguntungkan pasti suamimu akan menceritakan jika s
TEROR LANJUTAN!"HASAN! DINDA!" teriak bu Nafis memotong ucapan Hasan di kamar."Asatagfirulloh!" teriak DInda terlonjak kaget."Ada apa, Mas? Ayo keluar!" perintah Dinda bergegas.Dinda dan Hasan segera keluar dari kamar. Mereka takut terjadi apa-apa dengan ibu Nafis. Sesaat setelah membuka pintu kamar, mereka tak mendapati bu Nafis di ruang tamu seperti saat terakhir mereka tadi. Dinda segera mencari ke kamar mertuanya, benar saja dia melihat pecahan kaca di kamar ibunya."Astaghfirullahaladzim, ada apa ini? Ibu mengapa bisa seperti ini?" tanya Dinda panik melihat pecahan kaca berserakan di lantai ruang kamar bu Nafis."Ibu tidak tahu, Ibu tadi mendengar suara 'prang' dari kamar, lalu Ibu masuk ke dalam rumah! Dan ternyata begitu Ibu datang sudah seperti ini," kata ini bu Nafis."Sudah, sudah biar Mas Hasan yang membersihkan pecahan beling dan kaca ini, kau dan Ibu minggir dulu! Ini bahaya jika terkena tubuh, biar Mas Hasan saja!" perintah Hasan.Dinda segera menggandeng lengan ibun
DI PALAK BU NAFIS SATU JUTA!"Benar apa yang di katakan Mbak Eva! Apakah aku harus menelpon Papa juga untuk ikut campur masalah ini? Mengingat Papa lebih punya kekuasaan dan uang, ini demi anak yang aku kandung, apa aku harus mengatakan jujur semuanya?" tanya Dinda dalam hati dengan bimbang."Baik Mbak, aku akan pertimbangkan lagi saran Mbak Eva! Makasih ya, Mbak! Sudah kalau begitu teleponnya Dinda tutup! Assalamualaikum," pamit Dinda.Setelah menelpon Eva Dinda keluar lagi. Dia menemui Bu Nafis, Hasan sudah kembali ke ruang tamu. Melihat istrinya keluar dari kamar."Bagaimana, Dek? Apakah Mas Zain sudah bisa di hubungi?" tanya Hasan."Belum Mas, kata Mbak Eva tadi sepertinya Mas Hasan masih ada pasien! Oh ya bungkusan itu Mas taruh mana?" tanya Dinda."Itu ada di luar," jawab Hasan."Apa sudah Mas buka? Isinya apa, Mas?" tanya Dinda"Belum, Mas belum berani membukanya, Dek! Mas takut kenapa- napa, apalagi kau hamil! Mas menunggu Mas Zain saja dulu," jelas Hasan."Tapi sudah Mas taru
VC DADAKAN!"Mas, benarkah kamu ikhlas aku pulang ke kediri?" tanya Dinda."Ya," sahut Hasan."Kenapa kamu sepertinya tidak ikhlas? Tidak suka dan tidak ridho, Mas?" tanya Dinda."Alah itu perasaan kamu saja, Dek!" jawab Hasan dengan nada tak suka."Wes sudah! Sudah! Ndak usah di perdebatkan lagi! Kayak anak kecil saja, ingat kalian ada anak! Masalah seperti ini saja untuk di perdebatkan," Omel bu Nafis.Hasan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sedangkan Dinda mendumel sendiri. Semenjak hamil dia memang sensitif pada semua orang. Untung bu Nafis saat ini sedang waras dan bijak. Sehingga bisa melerai pasangan suami istri itu."Oh iya Dinda, nanti ingat kalau di Kediri kau harus tetap jaga cucu Ibu! Baik-baik di sana, jangan berbuat dan makan sembarangan! Bawa gunting dan sesuatu yang tajam di tas, awas kalau terjadi apa- apa sama cucuku," ancam bu Nafis."Iya Bu, Iya! Dinda akan menjaga segenap hati dan sepenuh jiwa pada anak ini, cucu kesayangan
SUAMI ATAU KELUARGA SENDIRI?"Kau di mana, Fah? Cepat pulang!" perintah Hasan dengan tegas tak ingin di bantah."Suara siapa itu di belakangmu itu? Sepertinya ada suara lelaki? Ayo video call!" perintah Hasan."Oh itu ini Mas dia adalah teman Ifah Mas," dengan cepat Ifah menyahut walaupun kegugupan tampak jelas terlihat."Apakah itu adalah suara Arif?" tanya Hasan."Bukan," jawab Ifah mengelak dan langsung menunjukkan panggilan video call ke seluruh ruangan.Memang Ifah sedang ada di sebuah cafe hits di wilayahnya. Dia memang bersama temannya yang rata- rata berjenis kelamin lelaki. Membuat Dinda sedikit lega karena takut akan berujung hal-hal yang tak di inginkan. "Tuh, Mas lihat sendiri kan?" tanya Ifah setelah memperlihatkan semua ruangan cafe lewat VC."Hmm! Baiklah, kau pulang jam berapa?" tanya Hasan sedikit lega,Ternyata setelah VC dan Arif nampak tak ada di Cafe, Hasan sedikit lega dan menurunkan nada bicaranya tak emosi lagi. Hasan
MAS ZAIN ADALAH SOLUSIDinda memandangi suaminya dengaan tatapan mendalam. Sebenarnya dia juga tak tega meninggalkan Hasan sendiri saat posisi seperti ini. Tapi kali ini dia juga tak mau egois mementingkan cinta pada suami. Karena Dinda sadar ada bayi yang di kandungnya memerlukan mental dan psikis dari ibu yang tenang. Dinda pikir dia akan balik ke Kediri barang beberapa hari untuk menata hidupnya kembali. Dia ingin mencharge tenaganya yang selama ini habis di gunakan untuk menghadapi mertuanya sendiri."Itu emmmm.....""Paket!" teriak seorang dari luar membiarkan percakapan Dinda dan Hasan.Untunglah tukang paket datang di saat yang tepat. Membuat percakapan serius antara Dinda dan Hasan terputus. Dinda segera keluar menemui tukang paket itu. Dia yakin paket itu adalah paket miliknya yang berisi pesanannya CCTV kemarin. Dia harus segera mengamankannya. Karena dia tak ingin seorang pun tahu termasuk suaminya juga. Setelah berfoto tanda bukti penyerahan paket, D
MITOS DAN KLENIK"Astaghfirullahaladzim ini sudah tidak benar, jika itu memang lemparan buhul," sahut Zain."Apa yang seharusnya aku lakukan, Mas?" tanya Hasan."Sekarang kau harus segera membawanya keluar rumah dulu," perintah Mas Zain."Sudah Mas," jawab Hasan."Kau sudah membukannya? Apa isinya?" tanya Zain penasaran."Aku hanya membawanya keluar, Mas! Tapi aku belum berani membukanya langsung, hanya ku taruh di luar rumah belakag pawon dapur belakang," jelas Hasan."Baik sekarang kau dan Dinda dengarkan aku! Untuk mengusir gangguan sihir, santet, dan guna-guna baca Alfatihah, Al ikhlas, Annas, Albaqarah, Ayat kursi dan Sholawatan! Jangan putus dulu, itu adalah cara yang di anjurkan dalam agama kita untuk menangkal kekuatan gaib yang berniat buruk," kata Zain."Lalu untukmu Le, Hasan! Bakar batu itu, minta temani Ibu tak masalah, tapi pastikan kondisimu dan Ibu benar- benar fit dan sehat! Bukalah dulu lalu baca doa- doa sambil terus sholawat! Bakarlah semua barang yang di buat untu
TUGAS SEORANG ISTRI YANG SESUNGGUHNYA!"Iyo Mas, tapi Mas harus janji satu hal pada Dinda," ucap Dinda."Apa?" tanya Hasan heran, karena sekarang Dinda hobi sekali memberikan berbagai syarat padanya untuk mendapatkan balasan."Mas harus bisa untuk lebih sabar lagi dan lebih mengontrol emosi! Ingat Mas apa yang terjadi di dunia ini tidak semuanya bisa berjalan sesuai kemauan, keinginan dan rencana kita! Mas harus banyak- banyak mengontrol diri, jika seperti ini kan Mas sendiri yang rugi? Tak papa untuk kali ini Dinda membelikan Mas HP untuk pembelajaran juga toh, katanya sesuatu yang di dapat dari pembelajaran itu akan mahal! Ya sudah toh kita harus membeli HP untuk menebus pembelajaran kali ini," ujar Dinda sambil tertawa."Iya Dek, maafkan Mas ya! Akhir-akhir ini Mas memang banyak pikiran sehingga membuat Mas uring-uringan sendiri, padahal kau sudah banyak membantu Mas," sahut Hasan."Sekarang saja Mas, sudah tak pernah memikirkan biaya Ifah lagi, tapi rasa
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."