Memeluk Ifah!"Apakah aku harus membunuhnya, Dek? Agar kau tak merasakan sakit hati lagi?" tanya Hasan.'Prang' suara gelas jatuh. Itu adalah gelas yang di pegang Dinda untuk membuatkan teh adik iparnya. Gelas itu pecah lepas dari pegangan nya karena kaget mendengar suaminya mengatakan untuk berniat membunuh seperti itu. Padahal tak perlu mengatakan hal-hal buruk seperti itu. Karena dia memiliki seorang istri yang wajib dijaga dan dilindungi bukan seorang adik ipar saja."Astaga, apa sih, Din! Kau situasi seperti ini masih sempat- sempatnya berlaku ceroboh!" tegur bu Nafis yang terlonjak kaget. Begitupun semua orang di sana cukup terkejut mendengar suara gelas pecah."Kau kenapa, Dek?" tanya Mbak Alif mendekati Dinda yang berdiri tertegun menatap Hasan yang berpelukan dengan Ifah. Matanya nyalang mengisyaratkan semburat kemarahan."Mas istighfar kau! Jangan meracuni pikiran Ifah dengan mengatakan hal-hal buruk seperti itu! Apa maksudmu dengan berkata eperti itu? Kau tak mikir jangka p
Daddy Issues!"Kita berobat ya, Dek! Kita ke Bu Nur," ajak Dinda."Untuk apa, Mbak? Ifah tidak lah sakit, mengapa kita harus ke sana?" tanya Ifah menolak."Kau memang tidak sakit, Dek! Siapa yang mengatakan kau sakit? Kita akan ke rumah Bu Nur untuk saling curhat dan bercerita saja. Seperti kemarin, bukankah kau merasa nyaman kalau curhat dengan Bu Nur?" tanya Dinda berusaha membujuk adik iparnya itu."Iya Mbak Dinda, Ifah merasa nyaman sekali saat curhat dengan Bu Nur. Ifah merasa lebih lega saja jika dengan beliau dan beliau sarannya baik-baik," kata Ifah menyetujui bujukan Dinda."Baiklah kalau begitu, mari kita ke Bu Nur! Mbak Dinda sudah memberikan pesan padanya lalu kau tahu kan tadi Bu Nur bersedia kita datang ke sana. Kau kuat tidak berjalan sendiri, Fah? Kalau tidak kuat biar di papah Mbak Dinda dengan Mas Hasan ya," ajak Dinda yang membuat semua orang tertegun karena aura keibuan nya sangat terlihat.Dinda membujuk Ifah dengan lembut sampai Ifah mau pergi ke psikolog. Ifah j
BEDA SAYANG DAN NYAMAN!"Loh jangan salah nanti Mbak Ifah hanya mengalami Daddy issues," jelas B Nur."Apa itu Daddy Issue?" tanya Dinda yang baru mendengar penyakit mental ini."Jadi, Daddy issues adalah efek psikologis yang di alami seseorang karena ia memiliki hubungan yang tidak sehat dan kurang harmonis dengan ayahnya, atau bahkan tidak merasakan kehadiran sosok ayah dalam hidupnya. Meski dapat dialami oleh siapa saja, daddy issues lebih sering terjadi pada wanita," jelas Bu Nur."Daddy issues memang bukan masalah kesehatan mental, tetapi kondisi ini bisa memengaruhi pola pikir, sikap, karakter, dan perilaku seseorang. Daddy issues juga bisa memengaruhi hubungan romantis atau percintaan orang yang mengalaminya, biasanya dia akan tertarik pada orang yang lebih tua karena seseorang yang mengalami daddy issues biasanya cenderung lebih tertarik untuk menjalin hubungan romantis, baik pacaran atau menikah, dengan orang yang usianya lebih tua. Ini karena mereka mendambakan kehadiran sos
AWAL KEHARMONISAN KELUARGA!"Mau keadaan sadar atau mau dalam kondisi rileks?" tanya Bu Nur."Sadar saja, Bu! Ifah memang benar- benar ingin mengatakan dan mengungkapkan langsung permohonan maaf itu," ujar Ifah."Memang siapa orangnya, Nduk?" tanya Bu Nur."Mas Hasan," gumam Ifah lirih sambil memandang ke arah kakaknya yang sedari tadi masih asik melamun saja."Hah! Ada apa, Dek?" sahut Hasan otomatis ketika namanya di panggil."Apakah Mas Hasan kakakmu ini?" tanya Bu Nur lagi."Benar, Bu!" jawab Ifah tegas,"Ada apa sih, Dek?" bisik Hasan pada Ifah. Karena dia sudah bertanya tapi tak ada seorang pun yang menghiraukannya. Dia menyenggol kaki Dinda berkali-kali. Karena Hasan tak paham mengapa sejak tadi Ifah memanggil namanya dan mengapa namanya di bawa-bawa saat ini. Setahu Hasan, Ifah ke sini karena putus cinta dengan Arif bukan ada masalah dengannya. Tetapi kenapa malah dia di panggil Bu Nur. Perasaan masalah Ifah trauma dengannya dulu sudah clear. "Apakah penyakit seperti itu bisa
Mulai Ulah LagiSetelah Dinda membayarkan semua biaya konsultasi kepada Bu Nur lewat transfer m bangking mereka segera berpamitan. Akhirnya mereka memutuskan untuk segera pulang, karena tak enak hari sudah tengah malam mereka masih bertamu. Mereka pulang pukul sebelas malam, tak terasa dua jam sudah mereka curhat ngobrol ngalor ngidul dengan Bu Nur. Dinda sengaja mengajak mereka makan malam, karena sedari tadi mereka memang belum makan malam. Apalagi bisa di pastikan bahwa makanan di rumah habis.'Mas kita beli makan dulu yuk bertiga, jarang- jarang kita bisa andok atau makan di sana bersama," pinta Dinda."Boleh juga idemu itu, Dek! Kau mau makan apa, Dek?" tanya Hasan."Mau makan apa?" tanya balik Dinda kepada adik iparnya."Kita cari sebat saja bagaimana, Mbak? Kok aku pengen makan sebat malam- malam! Kan pedes banget sambel nya, masih ada nggak yajam segini?" pinta Ifah yang mendadak ingin memakan pedas.Sebat adalah nasi babat. Nasi khas Surabaya yang terdiri dari nasi putih, sam
PERKARA NAFKAH DALAM RUMAH TANGGA"Kau sudah bilang Dinda kan?" tanya nya lagi."Pesan apa, Mas?" tanya Dinda yang tak paham. Karena semalam Hasan tak mengatakan apapun."Tidak kok, Dek! Tak apa- apa," jawab Hasan masih tak mau jujur kepada Dinda.Dinda hanya menganggukkan kepalanya. Dia tak mau ambil pusing lagi dengan urusan sang suami. Dari pada semakin mencari tahu justru dia yang akan sakit hati sendiri. Jika suaminya sendiri tak ingin dia mengetahuinya. Hasan berdiri dan berangkat kerja seperti biasa.Sampai sore hari tak ada kejadian menarik. Sampai dengan kepulangan Hasan, hari ini adalah hari gajian. Biasanya Hasan akan memberikan jatah Dinda satu juta, apalagi Hasan tahu sendiri bahwa Dinda mengeluarkan uang banyak untuk biaya pengobatan terapi adiknya dalam sebulan ini. Saat Hasan pulang masih Dinda masih di dalam kamar. Dinda segera menyelesaikan pekerjaannya lewat laptop dan bergegas untuk segera keluar dari dalam menemui suaminya Hasan yang tak kunjung masuk kamar."Tumb
KEMANAKAH PERGINYA BU NAFIS?"Tidak, Mas! Aku ingin kau menjawab pertanyaan ku, jika seorang suami mempunyai ibu yang butuh uang dan memiliki istri yang juga butuh makan, siapa yang lebih di utamakan? Istrinya atau ibunya?" tanya Dinda menatap Hasan dengan tatapan tajam."Apa maksudmu, Dek?" tanya Hasan mengernyitkan keningnya bingung."Ini masalah nafkah, Mas! Bukankah yang wajib lebih dulu itu Istri? Jadi yang lebih berhak adalah seorang istri. Suami itu wajib memberikan nafkah kepada istrinya, walaupun istrinya kaya, itu sifatnya sangat wajib! Wajib kasih nafkah dan di situlah kedudukan seorang suami, dia tetap harus memberikan nafkah kepada istrinya. Tapi kalau kepada orang tua, kalau orangnya kaya nggak wajib dia kasih nafkah, tapi kalau kepada istri wajib! Kalau menyebutnya bagaimana kalau istrinya butuh makan dan ibunya butuh makan ini? Sedangkan makan cuma cukup untuk satu orang istri, para ulama sepakat istri," jelas Dinda."Kenapa? Karena itu kewajibannya d
MASA LALU TERKUAK KARENA SEGO BERKAT!"Entahlah, Mas! Ibu pergi begitu saja tadi, Dinda juga sedang mencarinya tetapi tidak ketemu," jawabnya."Apakah mungkin Ibu ke rumah pak Hendi mengingat acara hari ini kan kenduri," ujar Dinda lagi"Rasanya tidak mungkin deh, Dek! Ibu itu tidak pernah pernahnya berhubungan dengan Pak Hendi, bahkan selama mendiang istri pak Hendi dulu masih hidup mereka juga tak berhubungan, karena sejak dulu Ibu kurang cocok dengan istri Pak Hendi itu yang meninggal," jawab Hasan."Tidak cocok? Memangnya kenapa masalahnya, Mas?" tanya Dinda penasaran. Karena selama ini dia tidak tahu cerita di balik keluarga Pak Hendi. Walaupun mereka saling bersebelahan dan bertetangga selain. Hal itu, karena Pak Hendi sendiri juga jarang pulang. Dia bekerja di luar kota, Dinda juga tak pernah bermain ke rumah tetangga. Karena selama ini dia hanya menghabiskan waktu di rumah saja."Karena dulu Ibu pernah di curigai oleh istri Pak Hendi, Dek! Mereka berdua p
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."