KEPULANGAN KE RUMAH ORANG TUA MALAM HARIDi sisi lain, sebenarnya Hasan sekarang sedang menangis. Ya, Ini pertama kalinya Hasan menangis di hadapan orang yang bisa di bilang asing. Dia menangis di hadapan Pak Hendi, itupun setelah Dinda pergi. Baru sekarang Hasan bisa mengeluarkan semua unek- uneknya. Dia seperti hank beberapa waktu, setelah Dinda pergi."Sudah, Le! Sudah," pinta Pak Hendi menepuk pundak Hasan perlahan."Tak apa- apa, Le. Istrimu hanya emosi saja, dia hanya memerlukan waktu untuk sendiri. Kalian harus sama- sama saling intropeksi diri masing -masing," sambungnya.Hasan punhanya mampu menganggukka kepalanya. Sekarang dia menurut perintah Pak Hendi, dengan tidak mengejar Dinda sekarang. Kalau di pikir- pikir lagi pun benar juga, kalau mengejar sekarang tak akan menyelesaikan masalah. Mereka membutuhkan waktu untuk sendiri masing-masing sementara waktu, saling intropeksi kesalahan dan mengambil keputusan ke mana rumah tangga mereka akan dibawa selanjutnya."Le, percaya
KEJUJURAN DINDA DALAM MEMBANGUN RUMAH TANGGA"Assalamualaikum! Assalamualaikum, Pak," teriak Dinda."Waalaikumsalam," kata Pak Bukhori sambil membuka pintu."Astagfirulloh, Nduk. Mengapa kau malam-malam bisa ke sini. Kau dengan siapa datang?" tanyanya lagi.Dinda tak menjawab semua ucapan Bapaknya. Dia hanya masuk lalu terduduk di sofa sambil menangis. Pak Bukhari yang melihat putrinya seperti ini pun otomatis bingung juga. Dia melihat ke arah luar, celinguk ke kanan dan kiri.Dia celingukan ke luar, memastikan apakah sang putri datang sendiri atau dengan suaminya. Dia lalu masuk ke dalam rumah, melihat putrinya menangis seperti itu membuat hatinya sakit juga. Dia hanya bisa merangkul dan menenangkan Dinda sambil memanggil istrinya yang ada di kamar dan sudah terlelap tidur."Mah! Mah! Mah," panggil Pak Bukhori berkali-kali membangunkan sang istri.Untung saja ibu Dinda pun sangat peka, wanita itu segera bangun setelah mendengar suara teriakan Pak Bukhori. Dia takut jika Pak Bukhar
RIBET SEKALI KELUARGA MERTUAMU!"Kalau kau tak berkata secara terus terang dari mana kami tahu?" kata Pak Bukhari yang penasaran. Dinda menghela nafas panjang. Dia harus menceritakan semua dengan details dan jelas. Namun jika dia menceritakan semua kejadian dengan runtut bukankah itu artinya dia akn membuka aib mertuanya. Tapi jika tidak bagaimana mengibaratkan Pak Hendi?"Bismillah, aku tak ingin menceritakan aibnya namun ini untuk bercerita dan menjelaskan pada orang tuaku," batin Dinda dalam hati."Apakah Dinda sudah pernah bercerita bahwa ibu mertua Dinda tergila-gila dengan lelaki samping ruma, Pah?" tanya Dinda. Pak Bukhari dan istrinya menggelengkan kepalanya. Karena memang selama ini Dinda lumayan tertutup perihal masalah rumah tangga dan masalah keluarga mertua. Dinda menghela nafas panjang."Seingat Papa tidak, Nduk. Kau kan jarang dan tak pernah bercerita masalah rumah tanggamu," jawab Pak Bukhori."Sebenarnya ibu itu pernah di gerebek o
BESAN YANG MENYUSAHKAN!"Dan yang lebih parah Mas Zain justru bertindak gila, dia pergi dari rumah. Karena dia hampir diserikan oleh istrinya, bukannya malah sadar justru Mas Zain menurut Dinda justru dia malah bertindak lewat batas. Dia pulang ke Madiun dengan wajah frustasinya itu, lalu memelas kepada ibunya," terang Dinda."Istri Zain tak salah," tegas Mama Dinda."Iya, Papa setuju dengan ucapan Mamamu, Nduk. Di sini kita tak bisa menyalahkan istrinya Zain. Justru istrinya Zain itu sudah bagus, membantu sang suami. Namun jika ini sampai sang suami tak menjalankan amanah sang istri, bahkan mertua rasanya yang tak tahu diri adalah suaminya alias si Zain itu," jelas Pak Bukhori."Iya, Pah. Tapi Dinda yakin pasti Ibu mertua akan menyalahkan Mbak Eva, menyudutkannya. Itu sudah tabiatnya, pasti mengatakan Mbak Eva wanita tak tahu diri, menceraikan sang suami saat seperti ini," ujar Dinda."Padahal Mbak Eva istri Mas Zain sekarang yang justru berjualan gorengan dan mengajar, di mencari na
AKIBAT TAK PATUH ORANG TUA!"Ma, kau mau kemana?" tanya Pak Bukhori."Ambil Hp menelpon Hasan!" tegasnya. Tanpa banyak bicara lagi pak Bukhori berdiri dan memeluk istrinya itu. Dia mencoba mencegah istrinya yang emosi memperkeruh keadaan. Dinda menangis melihat orang tuanya harus merasakan ini semua karena ulah nya, ulah keluarga suaminya."Istigfar, Ma. Istigfar. Jangan menuruti semua emosimu, Ma," tegur Pak Bukhori."Sakit hatiku, Pa! Sakit. Aku membesarkan Dinda dan anakku- anakku lainnya dengan penuh kasih sayang, aku memberikan semuanya demi anak- anakku nyaman. Kok bisa- bisanya dia menggadaikan tanpa izin! Banda dan harta siapa yang dia gadaikan itu," bentak Mama Dinda."Ma, sudah. Ayok duduk," ajak Pak Bukhori. mama Dinda mengikuti langkah kaki suaminya. Pak Bukhori mengelus pundaknya perlahan, dia menyadari sepenuhnya bahwa yang namanya pernikahan memang bukan hanya dengan sang pasangan saja, namun pernikahan akan menyatukan dua keluarga yang berbeda. Pernikahan bertujuan u
LAPOR POLISI?"Sungguh aku tidak pernah bisa menalar bagaimana maksud mertuamu itu. Otakku ini tak sampai rasanya. Tak tahu malu sudah tak pantas lagi untuknya. Apa sebenarnya kata yang pantas untuk mertua semacam mertuamu itu? Dari awal Mama sudah pernah mengingatkan to, Din. Selidiki keluarganya, Hasan baik. Oke! Kalau ibunya begitu bagaimana? Siapa yang susah?" tegur Mama Dinda."Mah, sudahlah. Percuma saja kau marah- marah, tak akan menyelesaikan masalah," tegur Pak Bukhori."Papa selalu begitu, memanjakan anak sampai terlewat batas!" jawab Mama Dinda sewot. Pak Bukhori hanya menghela nafanya panjang, dia sebenarnya juga marah pada keluarga Hasan pada putrinya. Namun tak ingin terlalu marah pada Dinda, bukan karena apa- apa, dia tahu posisi anaknya hamil. Dia takut Dinda terlalu memikirkan semua itu, lalu setress dan mengalami keguguran."Papa dulu juga sama kok denganmu, Ma. Papa juga tak begitu srek dengan perilaku keluarga Hasan. Makanya kalau Mama ingat dulu Papa pernah menen
SOMASI!"Besan? Besan kan sama dengan mertua kan, Pak? Mertua di sini maksudnya mertua Mbak Dinda, Pak?" tanya Willy pada Pak Bukhori memastikan."Ya kenapa? Kau kagetkan? Memang aku pun sama, tapi inilah kenyataannya. Lalu aku harus bagaimana Mas Willy? Apa yang harus aku perbuat?" tanya Pak Bukhori."Tentu, Pak. Mungkin terdengar sedikit tak sopan, hanya saja aku ingin jujur kepada Bapak. Hehehe," sahut Willy."Yah bagaimana lagi, Mas Willy. Memang begitu kenyataannya, tadi nya sku juga tak ingin berburuk sangka tapi kenyataannya begitu apa adanya. Bagaimana menurutmu Mas Willy dari segi hukumnya?" tanya Pak Bukhor."Semua kembali kepada Bapak. Bagaimana dengan Bapak? Apa yang Pak Bukhari inginkan sekarang pasti akan saya lakukan. Terserah Bapak saja mau bagaimana, jika memang Bapak tak sungkan dengan besannya dan tetap ingin melajutkan masalah dan kasus ini sampai pelaporan polisi, BAP, lalu sampai ke meja hijau persidangan akan saya bantu, namun Bapak harus tahu konsekuensinya jan
PUNGGUNG YANG PANAS"Jujur saja Bapak itu juga tega tak tega melakukannya. Ini pertama yang Papa pandang itu jelas Hasan, bagaimanapun juga Papa menghormati dia sebagai suamimu dan Papa ingin dalam solusinya nanti membuat Hasan pindah saja dari rumah itu. Entahlah kalian nanti ingin mengekost atau kalian akan ke sini tapi jangan satu rumah lagi karena Papa merasa Ibumu itu sudah tidak beres, Nduk," jelas Pak Bukhori."Apakah somasi tidak membahayakan, Mas? Tak urusan dengan polisi kan?" tanya Dinda."Tidak dong, somasi memiliki manfaat yang signifikan dalam penyelesaian sengketa, antara lain sebagai pemenuhan kewajiban yang memberikan peringatan atau perintah kepada pihak yang akan digugat untuk segera memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, dapat mendorong pemenuhan kewajiban secara sukarela sebelum masalah tersebut berlanjut ke proses hukum. Bisa juga sebagai peringatan atau perintah kepada pihak yang akan digugat untuk menghentikan suatu perbuatan yang dianggap melanggar hak-hak pi