KEJUJURAN DINDA DALAM MEMBANGUN RUMAH TANGGA"Assalamualaikum! Assalamualaikum, Pak," teriak Dinda."Waalaikumsalam," kata Pak Bukhori sambil membuka pintu."Astagfirulloh, Nduk. Mengapa kau malam-malam bisa ke sini. Kau dengan siapa datang?" tanyanya lagi.Dinda tak menjawab semua ucapan Bapaknya. Dia hanya masuk lalu terduduk di sofa sambil menangis. Pak Bukhari yang melihat putrinya seperti ini pun otomatis bingung juga. Dia melihat ke arah luar, celinguk ke kanan dan kiri.Dia celingukan ke luar, memastikan apakah sang putri datang sendiri atau dengan suaminya. Dia lalu masuk ke dalam rumah, melihat putrinya menangis seperti itu membuat hatinya sakit juga. Dia hanya bisa merangkul dan menenangkan Dinda sambil memanggil istrinya yang ada di kamar dan sudah terlelap tidur."Mah! Mah! Mah," panggil Pak Bukhori berkali-kali membangunkan sang istri.Untung saja ibu Dinda pun sangat peka, wanita itu segera bangun setelah mendengar suara teriakan Pak Bukhori. Dia takut jika Pak Bukhar
RIBET SEKALI KELUARGA MERTUAMU!"Kalau kau tak berkata secara terus terang dari mana kami tahu?" kata Pak Bukhari yang penasaran. Dinda menghela nafas panjang. Dia harus menceritakan semua dengan details dan jelas. Namun jika dia menceritakan semua kejadian dengan runtut bukankah itu artinya dia akn membuka aib mertuanya. Tapi jika tidak bagaimana mengibaratkan Pak Hendi?"Bismillah, aku tak ingin menceritakan aibnya namun ini untuk bercerita dan menjelaskan pada orang tuaku," batin Dinda dalam hati."Apakah Dinda sudah pernah bercerita bahwa ibu mertua Dinda tergila-gila dengan lelaki samping ruma, Pah?" tanya Dinda. Pak Bukhari dan istrinya menggelengkan kepalanya. Karena memang selama ini Dinda lumayan tertutup perihal masalah rumah tangga dan masalah keluarga mertua. Dinda menghela nafas panjang."Seingat Papa tidak, Nduk. Kau kan jarang dan tak pernah bercerita masalah rumah tanggamu," jawab Pak Bukhori."Sebenarnya ibu itu pernah di gerebek o
BESAN YANG MENYUSAHKAN!"Dan yang lebih parah Mas Zain justru bertindak gila, dia pergi dari rumah. Karena dia hampir diserikan oleh istrinya, bukannya malah sadar justru Mas Zain menurut Dinda justru dia malah bertindak lewat batas. Dia pulang ke Madiun dengan wajah frustasinya itu, lalu memelas kepada ibunya," terang Dinda."Istri Zain tak salah," tegas Mama Dinda."Iya, Papa setuju dengan ucapan Mamamu, Nduk. Di sini kita tak bisa menyalahkan istrinya Zain. Justru istrinya Zain itu sudah bagus, membantu sang suami. Namun jika ini sampai sang suami tak menjalankan amanah sang istri, bahkan mertua rasanya yang tak tahu diri adalah suaminya alias si Zain itu," jelas Pak Bukhori."Iya, Pah. Tapi Dinda yakin pasti Ibu mertua akan menyalahkan Mbak Eva, menyudutkannya. Itu sudah tabiatnya, pasti mengatakan Mbak Eva wanita tak tahu diri, menceraikan sang suami saat seperti ini," ujar Dinda."Padahal Mbak Eva istri Mas Zain sekarang yang justru berjualan gorengan dan mengajar, di mencari na
AKIBAT TAK PATUH ORANG TUA!"Ma, kau mau kemana?" tanya Pak Bukhori."Ambil Hp menelpon Hasan!" tegasnya. Tanpa banyak bicara lagi pak Bukhori berdiri dan memeluk istrinya itu. Dia mencoba mencegah istrinya yang emosi memperkeruh keadaan. Dinda menangis melihat orang tuanya harus merasakan ini semua karena ulah nya, ulah keluarga suaminya."Istigfar, Ma. Istigfar. Jangan menuruti semua emosimu, Ma," tegur Pak Bukhori."Sakit hatiku, Pa! Sakit. Aku membesarkan Dinda dan anakku- anakku lainnya dengan penuh kasih sayang, aku memberikan semuanya demi anak- anakku nyaman. Kok bisa- bisanya dia menggadaikan tanpa izin! Banda dan harta siapa yang dia gadaikan itu," bentak Mama Dinda."Ma, sudah. Ayok duduk," ajak Pak Bukhori. mama Dinda mengikuti langkah kaki suaminya. Pak Bukhori mengelus pundaknya perlahan, dia menyadari sepenuhnya bahwa yang namanya pernikahan memang bukan hanya dengan sang pasangan saja, namun pernikahan akan menyatukan dua keluarga yang berbeda. Pernikahan bertujuan u
LAPOR POLISI?"Sungguh aku tidak pernah bisa menalar bagaimana maksud mertuamu itu. Otakku ini tak sampai rasanya. Tak tahu malu sudah tak pantas lagi untuknya. Apa sebenarnya kata yang pantas untuk mertua semacam mertuamu itu? Dari awal Mama sudah pernah mengingatkan to, Din. Selidiki keluarganya, Hasan baik. Oke! Kalau ibunya begitu bagaimana? Siapa yang susah?" tegur Mama Dinda."Mah, sudahlah. Percuma saja kau marah- marah, tak akan menyelesaikan masalah," tegur Pak Bukhori."Papa selalu begitu, memanjakan anak sampai terlewat batas!" jawab Mama Dinda sewot. Pak Bukhori hanya menghela nafanya panjang, dia sebenarnya juga marah pada keluarga Hasan pada putrinya. Namun tak ingin terlalu marah pada Dinda, bukan karena apa- apa, dia tahu posisi anaknya hamil. Dia takut Dinda terlalu memikirkan semua itu, lalu setress dan mengalami keguguran."Papa dulu juga sama kok denganmu, Ma. Papa juga tak begitu srek dengan perilaku keluarga Hasan. Makanya kalau Mama ingat dulu Papa pernah menen
SOMASI!"Besan? Besan kan sama dengan mertua kan, Pak? Mertua di sini maksudnya mertua Mbak Dinda, Pak?" tanya Willy pada Pak Bukhori memastikan."Ya kenapa? Kau kagetkan? Memang aku pun sama, tapi inilah kenyataannya. Lalu aku harus bagaimana Mas Willy? Apa yang harus aku perbuat?" tanya Pak Bukhori."Tentu, Pak. Mungkin terdengar sedikit tak sopan, hanya saja aku ingin jujur kepada Bapak. Hehehe," sahut Willy."Yah bagaimana lagi, Mas Willy. Memang begitu kenyataannya, tadi nya sku juga tak ingin berburuk sangka tapi kenyataannya begitu apa adanya. Bagaimana menurutmu Mas Willy dari segi hukumnya?" tanya Pak Bukhor."Semua kembali kepada Bapak. Bagaimana dengan Bapak? Apa yang Pak Bukhari inginkan sekarang pasti akan saya lakukan. Terserah Bapak saja mau bagaimana, jika memang Bapak tak sungkan dengan besannya dan tetap ingin melajutkan masalah dan kasus ini sampai pelaporan polisi, BAP, lalu sampai ke meja hijau persidangan akan saya bantu, namun Bapak harus tahu konsekuensinya jan
PUNGGUNG YANG PANAS"Jujur saja Bapak itu juga tega tak tega melakukannya. Ini pertama yang Papa pandang itu jelas Hasan, bagaimanapun juga Papa menghormati dia sebagai suamimu dan Papa ingin dalam solusinya nanti membuat Hasan pindah saja dari rumah itu. Entahlah kalian nanti ingin mengekost atau kalian akan ke sini tapi jangan satu rumah lagi karena Papa merasa Ibumu itu sudah tidak beres, Nduk," jelas Pak Bukhori."Apakah somasi tidak membahayakan, Mas? Tak urusan dengan polisi kan?" tanya Dinda."Tidak dong, somasi memiliki manfaat yang signifikan dalam penyelesaian sengketa, antara lain sebagai pemenuhan kewajiban yang memberikan peringatan atau perintah kepada pihak yang akan digugat untuk segera memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, dapat mendorong pemenuhan kewajiban secara sukarela sebelum masalah tersebut berlanjut ke proses hukum. Bisa juga sebagai peringatan atau perintah kepada pihak yang akan digugat untuk menghentikan suatu perbuatan yang dianggap melanggar hak-hak pi
CITOOOO! CITO!!!!"Ayo kita bawa ke dokter sekarang juga! Sekarang! Harus sekarang juga! Papa tak mau menunda lagi, Papa tak mau kalau terjadi apa-apa dengan kandungan Dinda," perintah Pak Bukhari.Mama Dinda pun segera bersiap untuk segera pergi ke rumah sakit tanpa berganti baju. Suasana sangat panik saat itu. Pak Bukhari segera mengebut, sesampainya di rumah sakit Dinda langsung dilarikan ke UGD. Salah satu kondisi yang harus diwaspadai pada kehamilan yaitu keluarnya perdarahan atau flek darah. Keluarnya perdarahan sebelum usia kandungan cukup bulan dapat menjadi tanda berbahaya. Salah satu penyebab dari keluarnya perdarahan yaitu mengalami ancaman keguguran. Mengingat Dinda yang memiliki riwayat keguguran membuat mereka semua panik. Keguguran merupakan suatu kondisi dimana berhentinya kehamilan yang dapat disebabkan karena berbagai hal baik karena faktor dari ibu maupun janin. Perlu diketahui bahwa keguguran tersebut dapat terbagi ke dalam beberapa jenis yaitu berupa ancaman ke
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."