Jangkrik semakin terdengar jelas mengerik. Beradu saling sahut dengan binatang malam lain. Lampu semprong di dalam pondok sudah dikecilkan. Semua orang sudah terlelap dalam pelukan mimpi masing-masing. Kecuali Mayang, ia perlahan keluar dari pondok Husin, berjingkat agar tak mengeluarkan suara yang membuat orang terbangun.Di luar, ia bertengadah sebentar menatap langit pekat bertabur bintang tanpa bulan. Kemudian ia menyalakan obor dengan korek kayu yang sudah ia siapkan. Lalu, tanpa memperhatikan sekitar ia melangkah cepat merobek kegelapan malam dengan cahaya di tangannya.Mayang tak tahu, seperginya ia dari pondok. Pemilik sepasang mata yang menatap dari balik celah pintu menghela napas curiga. Pondok yang Mayang tuju serasa lebih jauh dari sebelumnya. Juga lebih seram jika dilihat pada malam hari begini. Tapi, bagi Mayang tak ada hal lain yang lebih menakutkan dari pada dirinya sekarang. Wanita kuyang itu mulai menyibak alang-alang yang tumbuh tinggi menghalangi langkahnya. Lalu
Mayang harus segera mengatur rencana. Ia tak bisa lagi menunggu Husin dan keluarganya untuk pulang. Semestinya ia bergerak lebih cepat, sebelum semakin menyesal.Ya, menyesal karena bisa saja Edi akan pergi semakin jauh dari jangkauannya. Jika lelaki itu sampai keluar pulau, Mayang tak akan memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang seharusnya. Beruntungnya, sore ini bukan cuma dia yang tinggal di pondok, tapi Ari anak sulung Husin juga. Pemuda itu tak ikut ke ladang, sebab tengah menganyam bakul kecil bertali yang akan diikatkan ke pinggang saat musim mengatam, memanen padi yang sebentar lagi tiba.Dengan wajah Mayang yang lebih Muda sekarang, tak mungkin sulit membujuk Ari untuk mengantarnya pulang lebih dulu, kan? Seandainya gagal pun, Mayang pasti akan berusaha melalukan hal lain agar anak dari Husin itu setuju membantunya. Awalnya Mayang duduk tepat di sebelah Ari. Meski begitu mepet, Pemuda itu tetap tenang. Ia seolah membiarkan Mayang mendekatinya. Meski awalnya Mayang jug
Terletak tak jauh dari pondok tempat tinggal Husin, ada juga pondok yang dihuni satu keluarga dengan beranggota empat orang. Mereka, Herman beserta istri dan dua anaknya. Yang bungsu bernama Dewi. Usianya baru genap enam tahun saat ini.Dewi sejak sore sudah diare, oleh Mamaknya hanya diberi air rebusan daun pucuk jambu biji. Meski anak perempuan itu mengeluhkan rasa kelatnya dan harus dipaksa agar mau minum. Namun, ramuan itu seeprtinya lumayan ampuh. Beberapa jam lalu ia merasa sudah lebih baik. Katanya juga, perutnya sudah tak merasakan mulas lagi. Entah kenapa, malam ini, saat semua anggota keluarganya sudah tidur nyenyak, perut Dewi kembali melilit."Pak, Bapak!" Dewi berulang kali menggoyang-goyang tubuh lelaki yang tidur di sampingnya sambil meringis memegangi perut dan pantat bergantian. Ia terlihat benar-benar tersiksa dengan hal itu. "Pak. Bangun Pak. Antar Dewi ke jamban sekarang yuk, Pak. Aku mulas lagi." Kini lebih keras ia mengguncang bahu Bapaknya. Dewi sudah sangat ta
Dari kejauhan, Herman yang baru saja sampai di pondok Husin, melihat cahaya obor bergerak mendekat. Sejenak lelaki itu membatalkan niat mengetuk pintu, ia bertanya sebentar pada putranya. "Apa kau juga melihat cahaya itu, Din?"Udin menoleh ke arah yang ditunjuk Bapaknya. "Siapa yang datang saat larut malam begini?"Bapaknya hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga tak tahu. Mengabaikan kebingungan mereka, Herman melanjutkan niat awalnya datang ke pondok Husin. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu berderit dibuka dari dalam. "Husin! Ayo siap-siap sekarang, nyalakan obormu. Kita mencari tubuh kuyang!" Herman tak ingin berbasa-basiHusin yang baru saja bangun masih terlihat linglung, ia tak mengerti sama sekali dengan perkataan yang diucapkan tetangganya tersebut. "Kuyang?""Bapak sama Dewi tadi melihat Kuyang, Paman. Ayo kita cari badannya sama-sama. Barang kali ia menyimpannya tak jauh dari sekitar sini." Kali ini Udin yang menjelaskan. "Apa kira-kira itu kuyang yang berada di
Mayang sudah lebih segar hari ini. Badan lemas dan pusing yang dideritanya sudah sirna. Dalam dua malam berturut-turut ia sudah mendapat Mangsa. Minyak dalam botol sepertinya juga sedikit bertambah. Pantas saja meski digunakan dalam rentang waktu puluhan tahun oleh pemilik sebelumnya, isinya tak habis-habis. Mayang baru tahu, begitu rupanya cara kerja minyak tersebut. Jika Mayang berhasil mendapatkan darah Bayi dan ibu yang melahirkan, maka minyak kuyang tak akan berkurang, tapi malah sebaliknya. Kali ini wanita kuyang itu menatap wajahnya di cermin. Tak ada lagi kerutan yang tersisa. Ia sekilas tersenyum, merasa puas dengan perubahannya sekarang. Walau Mayang tahu, kecantikannya itu nanti tak akan bertahan lebih lama. Ya, setidaknya saat ini wanita tersebut menikmati masa wajah terbaiknya. Sesaat kemudian, Mayang mengalihkan pandangan, mengangkat tas yang sudah ia siapkan dan menyampirkan selendang warna jingga di bahu. Ia harus secepatnya menemukan Edi dan mencari solusi agar ia
Seorang lelaki tengah mondar-mandir dengan gelisah di beranda rumah. Berulang kali ia melipat jari-jarinya hingga menimbulkan bunyi berkeretek. Dia khawatir sebab tak biasanya sang istri begitu lama pergi ke pasar.Selain berdecak berulang-ulang, lelaki tersebut juga menghela napas penuh sesal. Istrinya tadi sempat berucap minta ditemani, namun ia dengan alasan yang tak jelas langsung menolak. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada sang istri? Ia tak bisa membayangkannya. Begitu hampir satu setengah jam berlalu dihitung tepat saat istrinya pergi, saat lelaki tersebut memutuskan untuk menyusul, istrinya datang bersama seorang tamu yang mengenakan selendang jingga. Wajahnya menyuratkan kelegaan. Namun, saat tamu yang menyertai istrinya membuka penutup kepala, lelaki itu serta-merta membeliak.Mayang langsung mengenali lelaki yang kini menatapnya sambil melotot itu. Meski begitu, wanita tersebut masih berusaha menahan diri. Mayamg terlihat tenang, ia harus tahu segalanya dengan perlahan, t
"Baru seumur jagung, kak. Ini tahun ketiga pernikahan kami," sahutnya sambil mengelap telapak tangan Mayang yang baret. Benar rupanya, Mayang sudah menduga, ia cuma istri yang dimanfaatkan. Midan sudah dua tahun lebih dulu menikahi Liyah. Tentunya mereka menjalin ikatan dengan perasaan yang sama. Sama-sama mencintai, tak seperti dirinya. Mendadak terbersit rasa iri di benak Mayang. Ia tersenyum miris. Liyah menarik napas dalam dan melepasnya dengan berat, seakan ada beban di dadanya."Kenapa?" tentu saja Mayang penasaran dibuatnya."Sebenarnya kami hampir saja berpisah, Kak. Ada kabar angin mengatakan Bang Dan menikahi janda di kampung seberang. Bahkan, ia sering berminggu-minggu tak pulang. Saat itu aku ingin minta talak saja. Namun, Wawan, teman kerjanya mengatakan kalau Bang Dan diminta pemilik gudang untuk mengurusi kebun rotannya yang ada di sungai Lantabu. Aku sempat berpikir untuk menggagalkan kehamilan yang baru berusia dua bulan waktu itu. Untungnya kebenaran akhirnya terun
Sejak pulang dari sungai Lantabu, beberapa minggu ini perilaku Dewi mulai aneh. Ia sering terlihat melamun. Penyendiri dan enggan bergaul. Tak ada lagi kebiasaannya yang sering pulang pergi bermain ke tempat teman sebaya. Bahkna yang lebih parah dari itu, Dewi enggan pergi ke sekolah. Jika tidur, Dewi sering kali mengigau. Ia selalu berteriak memanggil Bapaknya berulang-ulang hingga suaranya serak. Jika dibangunkan, gadia kecil tersebut akan menangis. Wajahnya mendadak pucat manai dan tampak kelelahan.Pagi ini, Nyai memaksa anak gadisnya itu untuk pergi sekolah. Sebab sudah cukup lama ia absen setelah libur caturwulan. Dewi bersikeras menolak. Dan Nyai pun tak kalah keras memaksa anaknya. Wanita itu khawatir putrinya tinggal kelas. "Takut sama apa Wi, sampai tak ingin sekolah. Mau jadi bodoh kamu? Sampai caturwulan satu ini pun, kau belum bisa membaca. Nanti uang saku Mak tambah seratus perak asal kau mau masuk hari ini." Dewi tetap duduk tertunduk dan diam. Ia hanya memainkan ja
Langit sudah terang, Bapak memutuskan pulang lebih dulu untuk mempersiapkan pemakaman Adikku. Sedangkan aku, duduk seperti orang tak bernyawa di samping ranjang pasien dengan Umak yang baru saja dipindahkan ke ruang rawat kebidanan.Sudah lebih dari tiga jam Umak keluar dari ruang operasi, namun hingga detik ini, ia belum juga membuka matanya. Aku sangat takut, kalau-kalau Umak juga akan menyusul Adikku.Aku bahkan sangat benci dengan pikiranku sendiri, tapi sungguh, aku benar-benar takut. Terlebih saat melihat wajah Umak yang pucat dan tak bergerak sama sekali itu.Sesekali aku menghela napas berat, menghalau isi kepala yang semakin liar tak terkendali sambil memerhatikan cairan infus yang jatuh setetes demi setetes.Bagaimana dengan aku jika ditinggal Umak nanti? Kalimat itu sulit ditahan, ia terus saja muncul di benakku. Hingga tanpa sadar, bulir bening dari kelopak mata jatuh begitu saja.Sesaat berikutnya, terdengar erangan lemah. Aku segera bangkit dari duduk dan mendekatkan waj
Keluar dari halaman rumah Bu bidan, aku langsung menuju ke RS. Dari ambulans yang membawa Umak tadi, aku tahu rumah sakit tersebut berada di jalan Pelita. Dari arah Panjaitan, aku terus melajukan motor ke arah selatan.Sepanjang jalan yang sepi, tengkukku merinding. Namun aku berusaha berpikir positif, barangkali hawa dingin yang membuatku merasa seperti ini. Meski begitu, ingatan tentang kuyang yang terbang di depan rumah tadi masih saja membayangi. Makhluk itu tak mungkin membuntutiku, kan? Aku kembali bergidik.Konyolnya, sesekali aku bertengadah untuk memastikan. Kata orang-orang, kuyang terbang dengan jantungnya yang menyala merah. Syukurlah aku tak melihat adanya benda seperti itu.Sampai di rumah sakit, ambulans tadi sudah terparkir di depan pintu UGD. Setelah mesin motor mati, aku lekas berlari ke arah sana.Umak tak ada! Aku sudah memastikan dengan mengintip di beberapa tirai pasien yang tertutup.“Cari siapa?” Seorang perawat menanyaiku.“Apa ada pasien hamil yang baru saja
Aku sesenggukan di samping Umak yang terlihat sedang menahan rasa sakit. Perutnya yang membuncit dan dua lututnya mengangkat sambil berbaring. Sesekali wanita dengan pelipis penuh keringat itu berkata lirih memintaku untuk tak khawatir.Mana bisa? Melihat wajahnya yang pucat pasi dengan kondisi proses melahirkan yang tampak bermasalah itu, aku tak khawatir? Lebih dari apa pun! Aku sangat takut.Sementara itu, Ninik Geren, dukun beranak yang latah itu, sedang mengorek-ngorek bagian jalan lahir. Ia sedang memasukkan kembali tali pusar bayi yang tadinya terjulur dari sana."Mahape hindai Bapakmu! Kakueh kah iye maka dia dumah-dumah, nah?" Wanita tua yang tengah menolong persalinan Umak mulai panik. Ia memintaku kembali menghubungi Bapak yang tak pulang-pulang sejak pamit memanggil bidan praktik.Kuseka air mata, kemudian mengatur napas. Sebelum menekan tombol panggil pada ikon di ponsel. Aku memeriksa jam terlebih dulu. Sudah pukul 22.40, lebih dari setengah jam Bapak meninggalkan rumah.
Beberapa tahun berlalu. Musim hujan di penghujung tahun tiba. Rumah kayu yang ditinggali Midan sudah lapuk termakan usia. Sebenarnya bukan cuma kediamannya yang tampak rapuh sekarang. Lelaki yang seluruh rambutnya sudah bertukar menjadi putih itu pun, mulai terbungkuk-bungkuk saat melangkahkan kaki. Otot-otot lemahnya membuat dia melangkah lebih pelan. Midan juga tak sesehat dulu, tubuhnya sering sakit-sakitan, badan tuanya sudah ringkih. Intensitas curah air yang terbilang lebat selama berhari-hari jadi penyebab banjir yang menggenang hingga ke dalam rumah. Midan yang tak lagi muda itu, tampak kesulitan mengamankan beberapa barang yang ia anggap masih berharga. Ya. Meski banjir baru semata kaki, ia mulai memindahkan sisa pakaian istrinya dari tumpukan lemari paling bawah ke bagian teratas. Baju Liyah salah satu peninggalan berharga baginya. Sejak istrinya itu pergi untuk selamanya beberapa tahun lalu, hanya pakaiannya itu lah yang menjadi obat penawar jika ia sedang rindu. Tubu
Sebuah tas kulit warna coklat dalam pangkuan Rindi, yang masih lengkap dengan isinya ditatap nanar sedari tadi oleh wanita tersebut.Benar, itu tas yang dipinta Masnya, Irawan untuk dibakar dulu, masih ia simpan di bawah ranjangnya selama ini. Rindi tak membuangnya atau bahkan membakarnya persis seperti yang diperintahkan Kakaknya dulu. Wanita itu kini terlihat menarik napas dalam. Memegang benda pipih yang ia pungut dari lantai kamar Irawan dulu. Belum usang, hanya pudar. Lalu, sesaat setelah itu ia mengelus perutnya dengan perasaan yang tak bisa digambarkan. Menyesal, takut, dan penuh harapan. Rindi tak tahu. "Inilah alasannya mengapa aku tak ingin minta pertanggung jawaban Haris. Aku takut akan bernasib sama seperti pemilik tas ini," katanya lirih.Beberapa waktu lalu sempat beredar kabar ada anak lurah yang menghilang dari desa yang cukup jauh dari kota mereka tinggal. Rindi menerka bisa saja dia Mbak yang jasadnya dibuang Irawan dulu. Namun, karena sudah perasaan tertekan bahkn
Listrik tiba-tiba padam saat Irawan tengah memperbaiki tatanan rambut yang habis diacak-acaknya di depan cermin."Lagi," gumamnya.Pelan, selangkah demi selangkah lelaki itu mundur. Tapi, tatapannya tak pernah beralih dari cermin yang memantulkan sedikit bias cahaya.Tak lama berselang, samar siluet gadis dengan rambut berkucir kuda muncul tepat di belakang Irawan."Antar aku pulang, Mas!" Matanya nyalang menatap Irawan dari pantulan cermin. Blaaar!Petir yang menyambar dengan suara gelegar membuat kepala seorang lelaki yang tertelungkup di meja tersentak keras. Seluruh ruangan putih, menyadarkan ia bahwa saat ini bukan sedang di rumah.Irawan meraup wajahnya dan menyeka keringat dingin yang membanjiri pelipis. Degup jantungnya melebihi aktivitas normal. Ia sedikit terengah namun dengan cepat menarik dan menghembuskan napasnya melalui mulut agar suasana menegangkan itu tak menguasai benaknya. "Lagi," gumamnya.Entah sudah kali ke-berapa, mimpi yang membuatnya sport jantung itu data
"Wi? Kok malah melamun?" Maknya bersuara lagi. Dewi mengangkat wajah ketika rasa sakit kepalanya perlahan menghilang. "Loh? Mak kok belanja banyak begitu?" Kini gadis itu heran melihat tentengan dua keresek besar di tangan Maknya. Belum lagi beberapa bungkusan yang dibantu tukang becak menurunkannya sampai depan pintu.Nyai bukannya menjelaskan malah mengela napas. "Minggir dulu. Mak mau masuk ini.""Eh. I-iya." Dewi gelagapan dan masuk lebih dulu kemudian bersila di lantai.Setelah semua barang belanjaan di masukkan ke dalam rumah. Nyai terduduk sambil mengipas leher dengan baju bagian dada yang di tarik berulang. Ia kelihatan sedang kegerahan. Keringat besar-besar di pelipisnya memperjelas hal itu. "Mau ada acara syukuran Mak?" Dewi masih bingung. Memang tak pernah Maknya belanja keperluan dapur sebanyak ini.Wanita yang sebagian rambutnya sudah memutih itu mengangguk. "Cucunya Kai Mas'ah yang dari kota itu mau melamarmu besok. Sebenarnya sepulang dari pasar ini, Mak mau menelepo
Dewi masih meringkuk di balik selimut saat matahari mulai menampakkan cahaya jingganya di timur. Ada rasa perih menyayat hingga membuat tubuhnya gemetar dan menggigil. Ia menahan sakit luar biasa di dalam perutnya usai Salat subuh tadi. Matanya juga sembap sebab tak hentinya meratap sejak pulang dari rumah sakit semalam. Gadis itu bingung. Apa yang selanjutnya ia lakukan? Ia tak mungkin menuruti naluri iblis yang memangsa darah dari bayi dan ibu yang tak berdosa. Dewi penolong bagi mereka sebelum ini, tapi sekarang ia malah akan menjadi kebalikannya. Makhluk mengerikan yang menyantap darah mereka. Membayangkannya saja Dewi sudah tak tahan. "Argh!" Dewi duduk menyingkap selimut. Tubuhnya sedikit terbungkuk sedangkan kedua tangannya terlingkar di depan perut."Aku tak boleh gegabah lagi. Semuanya harus terencana. Ya. Seharusnya aku berusaha berjuang mencari jalan keluar agar bisa melepaskan minyak laknat ini. Bukan diam saja dan mengeluh. Apalagi pasrah!" Dewi menyemangati diri.Satu
Dokter Irawan pulang lebih pagi dari hari biasanya. Masuk kontrakan dengan perasaan dongkol, membanting pintu dengan keras hingga suara berdegum yang ditimbulkannya mendapat sahutan berupa teriakan dari pemilik kontrakan yang kebetulan lewat. Lelaki paruh baya berjanggut itu mematikan sepeda motornya tepat di depan pintu kontrakan yang katanya disewa oleh seorang dokter. "Woy! kalo pintunya rusak ganti sendiri! Jangan komplen ke tuan rumah! Awas aja kau!"Ia menggeleng sebentar setelah tak mendapat sahutan, "Anak zaman sekarang, sudah hilang sopan santunnya pada yang tua. Cih! Dokter apanya kelakuan brutal seperti itu," gerutunya sesaat setelah motornya kembali melaju meninggalkan kontrakan. Irawan memang sengaja tak menanggapi suara protes di luar sana, ia malah melempar tas kerja di ranjang. Menghempaskan pantat, duduk dengan kaki menjuntai. Kemudian penuh amarah meremas rambut klimisnya dengan kedua tangan. Dia terlihat begitu putus asa. "Ini semua gara-gara Dewi. Sial! Kenapa g