Leon tertidur dalam pangkuan Agnia. AC mobil yang dingin membuat anak laki-lakinya tertidur pulas setelah beberapa kali bertanya tentang ayahnya. Namun, Agnia mencoba menjelaskan pada anak berusia lima tahun itu.
Agnia menatap jalanan ibu kota yang basah dengan guyuran hujan yang tiba-tiba saja membasahi tanah. Hatinya terasa pedih mengingat ucapan Agra yang begitu menyayat hati. Pria lembut yang menemaninya selama lima tahun itu kini sudah berbeda. Dia sudah tak lagi bersikap baik, ada saja yang mereka ributkan setiap hari.
Kedatangan Ibu mertuanya yang tinggal bersama mereka membuat rumah tangganya kini di ujung tanduk. Ada saja hal yang diadukan Bu Sukma pada Agra—anaknya. Mulai dari hal kecil, sampai hal yang besar.
“Mbak, kita sudah sampai di jalan kenangan,” ucap sopir taxi.
“Eh, i—iya. Maaf, Pak. Berapa?” tanya Agnia.
“Sudah dibayarkan lewat aplikasi.” Lagi, sopir itu menjawab.
Agnia mengangguk mengerti jika Agra sudah membayar lewat Online. Gegas ia menggendong Leon dan meminta Pak sopir membawakan koper miliknya.
“Terima kasih, Pak.” Agnia memberikan uang tambahan karena membantunya membawakan koper.
“Terima kasih kembali, Mbak.”
Sopir itu berlari kecil karena menghindari hujan yang masih rintik. Agnia belum juga mengetuk pintu, ia masih bergeming di depan pintu. Ia hanya membayangkan jika ibunya melihat dirinya dengan keadaan yang menyedihkan.
Dengan berat hati Agnia pun mengetuk pintu rumah. Tidak lama ke luar wanita tua dengan daster bunga-bunga dengan wajah bingung melihat anak dan cucunya datang tengah malam.
“Masuk, kasihan Leon jika terlalu lama di luar.” Bu Anggun—ibu Agni langsung membantu sang anak membawa dua kopernya.
Netranya memindahi dua koper itu, lalu beralih pandang ke sang anak. Bu Anggun menarik napas lalu mengambil alih Leon dari gendongan Agnia dan langsung membawanya ke kamar agar lebih nyaman tidurnya.
Setelah di selimuti Leon semakin nyaman tidurnya. Bu Anggun melangkah ke dapur untuk membuat teh hangat untuk sang anak. Di pikirannya masih penuh tanda tanya bagaimana bisa Agnia datang tengah malam ke rumahnya.
“Ada apa?” Bu Anggun bertanya sembari menyodorkan teh hangat untuk Agnia.
Agnia mengambil teh hangat yang diberikan Bu Anggun. Sedetik ia menyesap dan merasakan hangat di perutnya. Perlahan ia menarik napas panjang dan mencoba untuk tidak menumpahkan tumpukan bulir bening yang semakin terdesak hingga jatuh membasahi pipi.
“Mas Agra menceraikan aku,” ucap Agnia.
“Di—ceraikan?” Ibu Anggun mengulangi ucapannya.
“Ia, aku juga nggak mengerti. Sepulang kerja ... ya, begitu saja terjadi dengan cepat.” Agnia menahan napas.
Bu Anggun memeluk Agnia sembari mengelus lembut pundaknya sang anak. Ia bisa merasakan kepedihan yang amat teramat dalam. Ia pun menyuruh Agnia untuk istirahat karena besok harus bekerja.
Agnia bangkit dan melangkah ke kamar mengikuti apa yang dikatakan sang ibu.
“Kamu dulu seperti malaikatku, Mas. Namun, ada apa hingga kau membuat aku seperti sampah?” Agnia masih bergumam sendiri memikirkan penyebab perubahan Agra.
Agnia terdiam kembali membayangkan masa lalu. Saat Agra datang menjadi pahlawan untuknya.
“Aku tidak pantas untuk kamu, Ga.” Agnia menolak saat Agra akan melamarnya.
“Ni, kamu tahu aku selalu ada untuk kamu,” ujar Agra.
“Tapi, bukan dalam hal ini. Pilihan Ibumu lebih baik, lagi pula kamu dan Jesi sudah saling mengenal.”
“Tapi aku nggak cinta sama dia, tapi aku cinta sama kamu. Selama ini kita berteman, aku selalu berusaha menepis semua rasa, tapi itu sulit,” ucap Agra.
Agnia meremas ujung baju, sesekali ia merasa nyeri di bagian perut bawah. Kembeng yang ia gunakan sudah begitu sesak. Namun, ia harus menutupi itu demi masa depannya.
“Nggak, Ga. Aku nggak pantas, wanita kotor seperti aku nggak pantas menikah dengan kamu. Tolong jauhi aku,” pinta Agnia.
Agra memeluk Agnia yang semakin memberontak. Semua yang dilakukan Agra adalah tulus kala itu. Walau Agnia sedang mengandung benih yang ia juga tidak tahu siapa yang melakukan itu.
Lamunan Agnia terhenti saat Leon memanggil namanya. Anak itu hanya mengingat dan kembali tertidur. Paras tampan sang anak sering sekali menjadi perbincangan beberapa teman. Apalagi ia pun terkadang merasa tidak enak dengan Agra yang hanya berkulit hitam, tapi pria itu pun tak kalah tampan.
“Nak, kelak kamu juga pasti akan mempertanyakan mengapa kamu dan Padamu berbeda. Namun, mama hanya berharap kamu mengerti semua kehidupan yang sudah ditakdirkan untuk kita. Juga apa yang sedang terjadi dengan mama kali ini.”
Agnia mengusap lembut wajah sang anak yang bagai pangeran. Kulit putih hidung mancung pun ia sadari semua itu mirip dengan siapa. Namun, ia ingin menutup semua masa kelam itu. Semua kenangan buruk yang tidak mau ia ingat kembali, jika ingin mengulang waktu, ia pun tak mau berada di kondisi seperti kala itu.
***Sementara itu, Agra masih emosi saat melihat kedatangan Gio ke rumahnya. Tangan pria itu mengepal keras. Kemudian, masih dengan amarah ia menarik kerah baju Gio dan memukul perut sang adik.
“Bangsat kamu! Apa yang ada di pikiran kamu, hah?” Agra berteriak seperti kesetanan.
Tidak menyangka jika sang istri bisa melakukan hal keji dengan berselingkuh dengan sang adik.
“Sudah Agra.” Bu Sukma merelai kedua anaknya.
“Ka, istrimu yang merayuku. Asal Kakak tahu, dia yang mengajak makan malam karena Kakak tak pernah ada waktu untuknya,” ujar Gio.
“Halah!” Agra kembali menarik tubuh Gio dan melemparnya ke sudut tembok.
Lagi, Gio menjadi bulan-bulanan kemarahan Agra. Bu Sukma kembali meredamkan emosi anak pertamanya, tapi sayangnya Agra sangat emosi dan kembali membuat Gio babak belur.
“Agra, dengarkan adikmu. Agnia memang merayu Gio, tapi dia tidak meladeni, benar itu kan Gio?” Bu Sukma terus membela anak bontotnya.
“Nggak mungkin Agnia seperti itu.” Agra berteriak semakin kencang.
“Ibu pernah memergoki dia merayu Gio. Apa kamu tidak percaya dengan ibumu ini?” Fitnah kejam kembali terlontar dari mulut ibu mertua Agnia.
Agra memukul tembok kencang. Ia merasa tidak percaya jika istrinya bersifat seperti itu. Agnia yang lemah lembut dan penurut tidak mungkin melakukan hal konyol. Pria itu semakin kecewa saat melihat foto yang diberikan sang ibu.
Dengan langkah gontai, Agra meninggalkan ibu dan adiknya. Pintu terbuka dan tertutup dengan keras.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Bu Sukma sambil berbisik.
“Bagaimana nggak sakit, Bu. Perutku di hajar Ka Agra. Tapi, Agnia sudah ke luar bukan dari rumah ini?”
Bu Sukma tersenyum tipis. Butuh waktu lama untuk menyingkirkan menantunya itu. Sejak awal mereka menikah, dirinya orang yang pertama menentangnya mereka berdua menikah.
“Kamu pikir saja sendiri. Ibu akan menjalankan semua dengan rapi.” Senyum tipis Bu Sukma membuat Gio pun melebarkan senyumnya.
"Apa Ibu puas?" tanya Gio.
"Sangat puas, kamu memang berbakat menjadi aktor hebat."
"Tapi, tetap Ibulah yang menjadi pemenang best aktris ibu terjahat, bukan?"
"Maksud kamu apa Gio?"
Bu Sukma mengernyitkan kening saat Gio seolah-olah ingin melakukan hal yang di luar apa yang ia pikirkan.
***
bersambungMatahari sudah terlihat jelas, hawa panas kian menjalar memenuhi ruangan dengan kapasitas beberapa orang. Jefri Ardana—bos besar perusahaan Gemilang Emas melempar map pada beberapa pejabat cabang perusahaan itu.“Dana besar, tapi AC rusak tidak dibenari. Apa kerja kalian selama ini?” Teriakan Jefri membuat beberapa karyawan hanya bisa menunduk.Salah satu anak perusahaan PT Gemilang Emas itu sedang tidak baik. Beberapa karyawan tertangkap korupsi. Jefri murka saat mengetahui temuan itu.“Kalian buat iklan, cari karyawan baru dan tolong cari yang berpengalaman,” titah bos besar itu.“Baik, Pak.”Jefri langsung melangkah meninggalkan ruangan panas itu. Ia sampai membuka jas yang menutupi kemeja putihnya. Pria itu marah saat melihat keadaan perusahaan yang hampir bangkrut itu.Sekretaris Jefri kembali memberikan beberapa jadwal. Salah satunya adalah jadwal bertemu dengan brand ambasado
Agra bersalaman dengan Heru—orang suruhan Jefri yang sengaja diutus untuk menggantikan dirinya. Walau agak kecewa dengan Jefri, ia mencoba untuk mereda emosi. Setiap ada janji akan bertemu, Jefri selalu membatalkan atau mengubah jadwal. Seperti kali ini Heru yang datang menggantikan sang bos.“Pak Jefri sedang mengurus kantor cabang yang bermasalah. Mohon maaf, saya yang menghandel kali ini,” ucap Heru.“Baik, kita mulai sekarang?” tanya Agra.Mereka memulai berbincang untuk menentukan bagaimana kerja sama yang akan mereka jalankan. Sejak lama Agra memang mengincar perusahaan Gemilang Emas untuk membuat bisnisnya semakin meningkat.Keduanya berjabat tangan tanda semua sudah selesai dan Heru sudah menyetujui bekerja sama dengan pihak Agra. Perusahaan peninggalan sang ayah sudah maju lebih pesat setelah Agra memegangnya.Semua pun tidak lepas dari dukungan Agnia sebagai istri. Namun, kali ini saat ia sukses, Agnia terlem
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
[Leon sakit, bisa kamu jenguk dia? Leon pasti senang jika Papanya datang]Agra masih terus memandangi pesan masuk dari Agnia. Ia menahan agar tidak datang ke sana. Padahal ia sangat mencemaskan Leon yang sedang sakit. Agra sangat menyayangi anak laki-laki Agnia.Setiap pulang kerja, Leon selalu menyambutnya dengan semringah. Papa, biasanya anak itu lantang berteriak lalu memeluknya. Begitu sempurna hidup mereka kala belum ada badan yang menghantam.“Kamu sudah pulang?” tanya Bu Sukma.“Iya,” jawab Agra tanpa menoleh.“Kamu lihat apa, Ga?” Bu Sukma ingin tahu apa yang sedang di lakukan Agnia.“Agnia mengirim pesan, Leon sakit.” Agra mengambil teko dan menuangkannya di gelas. Ia meneguk air putih itu lalu menaruhnya kembali.Bu Sukma tidak suka mendengar nama Agnia dan Leon di sebut. Ia mengalihkan pembicaraan agar Agra tidak datang menemuinya.“Ibu sudah bicara sama Gio
Jefri mencari-cari Agnia, tapi ia kehilangan jejaknya. Sementara, Farha dan Chika ikut mengejarnya dengan napas tersengal-sengal. Sang kakak memukul punggung adiknya karena kesal pergi tanpa pamit dan membuat panik.“Kenapa lari begitu?” tanya Farha kesal.“Tahu Uncle, kaya lagi liat Tante Bianca selingkuh, ya?” Chika asal bicara.“Hus, eh tapi mungkin aja, Ka,” timpal sang mama.Keduanya malah tertawa, sedangkan Jefri tidak mungkin mengatakan jika ia mengejar Agnia dan anaknya. Refleks ia mengejar karena Chika dan Farha mengatakan wajah anak itu mirip dengannya.Jefri mencuil hidung mancung Chika—keponakannya. Sering kali Chika membuat Jefri terkikik karena usia anak itu masih terbilang kecil, tapi jika sudah berbicara maka tak akan pernah berhenti dengan gaya bicara orang dewasa. Seperti kali ini anak itu mengatakan Bianca—kekasihnya berselingkuh.“Kasihan Tante Bianca kamu fitnah, Ka,&
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.&ldqu
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&
Agnia terus memperhatikan Farha yang tersipu saat sedang berbincang dengan Agra. Walau Mereka sedang berkumpul bersama, Agnia masih bisa membedakan saat Farha dan Agra saling tatap. Bukan karena tidak suka dengan hubungan mereka, tapi lebih ke Agra yang baru saja bercerai dengan Hana.“Kamu kenapa?” tanya Jefri sedikit berbisik.“Aku, nggak kenapa-kenapa.” Agnia kembali fokus pada Leon yang sudah tertidur di pangkuannya. Ia memilih pamit untuk menaruh sang anak.Jefri pun mengikuti Agnia karena ada hal yang terlihat tidak baik. Wajah Agnia seperti sedang kebingungan, hal itu membuat sang suami gegas menghampirinya. Ia ingin tahu apa yang mengganggu pikiran Agnia.Setelah menaruh Leon, Agnia kembali beranjak ke luar. Namun, Jefri memintanya untuk tetap di kamar dengannya.“Ada apa?” tanya Agnia heran.“Kamu sedang memikirkan apa?”Walau berusaha menutupi, tapi Jefri sebagai seorang suami
Jefri menghampiri Agnia yang sedang membaca novel, ia duduk di sebelah sang istri. Stelah menidurkan Leon, pria itu gegas menemui Agnia untuk membahas kesalahan yang telah ia buat. Agnia terlihat sangat cantik dengan piyama sutra yang dikenakannya.“Kamu masih marah sama aku?” tanya Jefri.Agnia menutup bukunya, lalu beralih pandang ke sang suami. Ia teringat pesan sang mertua, sebuah kepercayaan adalah kunci dari langgengnya rumah tangga. Terlepas dari masalah yang memang berpatok pada logika.Tatapan sang istri membuat Jefri ketar-ketir, ia takut emosi Agnia belum stabil. Lalu, ia sepertinya mengurungkan niat untuk membahas masalah kemarin.“Mau ke mana?” tanya Agnia.Jefri duduk kembali saat Agnia menahan tangannya. Ia pikir wanita itu masih diam karena marah. Akan tetapi, Agnia sudah menegurnya.“Aku nggak mau ganggu kamu,” ujar Jefri.“Kamu pikir aku masih marah?” Agnia kembali bert
“Sudah papa katakan, jangan pernah gegabah. Buang rasa iba kamu pada wanita itu. Sadarlah, perbuatannya bukan kamu yang harus bertanggungjawab. Itu pilihan dia, jadi untuk apa kamu merasa karena dirimu dia menjadi seperti itu.” Jordi mengomel saat tahu Jefri sengaja datang ke sel untuk menemui Bianca.Jordi pun sudah mendengar gosip yang beredar di kalangan masyarakat tentang isu persekongkolan Jefri dengan Bianca untuk membunuh Remon. Keluarga itu pun sudah bersiap jika ada hal yang membuat nama baik keluarga itu tercemar.Jefri sudah mengaku salah, apalagi rasa ibanya malah menyakiti sang istri. Sebelum terlambat, ia gegas untuk memperbaiki diri.“Lebih baik kau pikirkan perasaan istrimu, jaga hatinya. Bukan malah memikirkan orang yang merusak keluarga.” Lagi, Jordi memberi nasihat pada sang anak.Jefri mengangguk, sebelumnya ia meminta maaf atas kelalaiannya. Pria itu pun berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Jefri kembal
Setelah menerima pesan masuk dari Agnia, Jefri gegas pulang dan menemui sang istri yang mungkin saat ini sedang kacau. Benar dugaannya, Agnia duduk dengan wajah penuh air mata.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Jefri saat menghampiri sang istri.“Kamu bilang tidak ada apa-apa?” Agnia mulai meninggikan suaranya.Jefri langsung memeluk Agnia, tapi sang istri menolaknya. Agnia meminta untuk sang suami jangan mendekatinya. Emosi memuncak saat menerima foto dari orang yang tak dikenalnya.“Untuk apa kamu menemuinya?” Agnia bertanya dengan napas memburu.“Aku hanya sedikit berbicara, tidak ada hal yang bisa membuat aku kembali padanya. Kamu tenang saja, Sayang.” Jefri mencoba menenangkan sang istri.Agnia masih sangat kecewa dengan sang suami karena janji Jefri tak ditepatinya. Pria itu menemui Bianca karena merasa iba dan bersalah. Namun, ia tidak memikirkan hal nanti yang akan diterimanya. Agnia cemburu
Farha menyambut pelukan Agnia, rasanya hanya dua Minggu saja seperti bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Kedua wanita itu kembali tertawa memikirkan betapa lebainya mereka saat ini. Agnia lalu gegas menemui sang anak yang sedang bermain dengan ibunya.Leon berlari dan memeluk sang ibu. Begitu juga Agnia yang menyambut sang anak ke dalam pelukannya. Yang paling dirindukannya adalah anak laki-lakinya yang selalu membuatnya sangat rindu.“Leon nggak kangen sama papa?” Jefri menghampiri sang anak yang berada di pelukan Agnia. Leon pun berpindah dan berada di pelukan sang ayah. Kembali cium sayang membasahi pipi merah anak laki-laki itu.Kepulangan Agnia dan Jefri di sambut bahagia kedua orang tuanya. Oleh-oleh pun sudah disiapkan keduanya untuk orang-orang terkasih. Terutama anak mereka yang sangat dirindukan sepanjang bulan madu.“Jef, Papa mau bicara.” Jordi mengajak sang anak masuk ke ruang kerjanya.Jefri berpamitan pada Ag
Farha belum tenang jika Bianca belum mendapat hukuman yang setimpal. Janda satu anak itu sudah berulang kali mengunjungi penjara dan mendiskusikan masalah pembunuhan sang paman. Belum lagi, ia harus mengurusi beberapa kasus sang adik. Sejak kejadian yang menimpanya, Jefri dan Agnia memutuskan untuk pergi bulan madu ke luar negeri dan menitipkan anak mereka pada kakek dan neneknya.Farha menyeruput milk shake yang ia pesan tadi. Duduk santai di kafe adalah hal yang paling ia suka untuk menghilangkan penat sembari menikmati beberapa makanan kesukaannya.“Bu Farha.”Farha menoleh sesaat kala ia mendengar seseorang memanggil namanya. Wajah wanita itu menjadi semringah melihat Agra datang menyapa.“Hai, kok bisa ketemu di sini?” tanya Farha.“Kebetulan habis diskusi dengan pengacara, suntuk kalau di kantor. Bu Farha sendiri, kok bisa ada di sini, sama siapa?” Agra bertanya sembari memerhatikan sekeliling.Farha
Merasa lelah, Jefri pun langsung tertidur saat sampai di rumah. Ia sama sekali tidak menyapa Agnia yang berada di kamar Leon. Pria itu datang, mandi dan terlelap. Agnia mendengar derap langkah saat seseorang memasuki kamar. Ia yakin itu sang suami, tapi Jefri tidak menghampirinya.Agnia menutup tubuh Leon dengan selimut, kemudian gegas pergi ke kamar untuk melihat suaminya. Pria itu begitu lelap tertidur hingga Agnia tidak mau mengganggunya. Ia duduk di samping ranjang sembari menatap wajah Jefri yang begitu jelas sangat lelah.Jefri bergerak, lalu kembali tertidur. Agnia hendak beranjak dari samping ranjang, tapi ia kembali terduduk dan mencoba mendengarkan sang suami mengingau.“Bi—Bi—Bianca!” Jefri terbangun lalu mengusap wajah. Tanpa sadar, ia langsung menoleh ke arah sang istri.Wanita mana yang tidak sakit hati saat sang suami menyebut nama mantan kekasihnya saat ia tertidur. Dada Agnia begitu sesak hingga ia memilih pe
Jefri terduduk lemas setelah menelepon Farha. Pria itu tidak bisa berbicara banyak karena merasa syok dengan kabar kematian Remon juga penyebab kematiannya. Sang istri menghampiri saat melihat wajah Jefri begitu pucat.“Ada apa?” Agnia bertanya pelan.Lidah pria itu begitu kelu untuk berbicara. Perasaannya bercampur aduk dengan berita tentang pembunuhan pamannya oleh Bianca. Jefri bergeming sejenak saat Agnia terus saja bertanya tentang Farha. Dia takut terjadi sesuatu dengan Farha—kakak iparnya.“Ada apa dengan Ka Farha?” Agnia tak sabar hingga mengguncangkan tubuh sang suami.“Farha nggak apa-apa. Tapi, Om Remon—“ Jefri kembali menjeda ucapannya.“Kenapa dengan Om Remon?”“Dia meninggal tertikam oleh—“Agnia semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Gegas ia merampas ponsel Jefri dan melihat pesan masuk dan berita tentang kematian Remon. Agnia menu
Cukup lama Bianca menunggu karyawan bank itu memeriksa hingga akhirnya memanggil namanya. Bianca menghampiri dengan cepat untuk mengambil beberapa uangnya.“Maaf, Mbak. Untuk dana ini tidak bisa dicairkan karena perusahaan Gading Putra milik Pak Remon sedang pailit. Tidak ada yang bisa ditarik.” Karyawan itu menjelaskan.“Setengahnya saja, Mbak, bisa kan? Coba cek ulang, takutnya Mbak salah.” Bianca terus memaksa karyawan itu kembali meneliti.“Maaf, tidak bisa. Mau berulang kali kamu mengeceknya pun hasilnya akan tetap sama. Cek ini tidak bisa dicairkan.Tubuh Bianca lemas seketika, uang bermiliar-miliar yang dijanjikan Remon hanya kebohongan semata. Ia melangkah goyah setelah kembali mencoba karyawan mengecek ulang. Hasilnya tetap sama, cek itu tidak bisa dicairkan. Habis sudah hidupnya, bayangan ke luar negeri pun kandas begitu saja. Karier yang ia bangun harus hancur karena keegoisannya.Bianca gegas ke kantor Remo