“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Boleh aku menggendongnya?” tanya Jefri.
“Gendong? Siapa?” Agni masih sangat gugup.
Jefri tertawa mendengar jawaban Agnia. Pria itu menggeleng karena ia melihat wanita di depannya sudah berbeda.
“Mengendong Leonlah, masa kamu,” ucap Jefri.
Bu Anggun ikut terkikik mendengar ucapan Jefri. Ia langsung menghampiri Leon sesaat Agnia mengangguk menyetujui. Leon yang tertidur pun tidak bangun, hanya mengulat karena berpindah tangan.
Jefri memejamkan mata saat ia mengayun Leon. Ia kembali berpikir apa anak itu yang ada di mimpinya? Entah karena ia sering memikirkan Agnia yang sulit ia temukan hingga ia memimpikannya.
“Permisi, Pak, anaknya mau kita bawa untuk di pasang infus,” ujar Suster.
“Sus, bisa nggak kalau nggak di infus, saya yang besar aja sakit, bagaimana anak kecil.” Jefri melirik ke arah Agnia, sedangkan Suster hanya tersenyum.
“Nggak, bisa, Pak. Ada beberapa obat yang harus melewati infus.” Lagi Suster menjelaskan.
Setelah mengerti, Jefri menyerahkan Leon. Ia merasa hatinya tidak tega, entah mengapa bisa seperti itu. Padahal, ia terkenal sebagai bos paling dingin dan kaku. Namun, saat ia bertemu dengan Leon dan Agnia semua berbeda.
“Mau ke mana, Pak Jef?” tanya Agnia.
“Masuk,” ucapnya.
“Di sini aja, jangan ke sana.”
Jefri memundurkan tubuhnya, ia menggaruk tekuk lehernya karena merasa tidak enak dengan Bu Anggun. Ia lupa jika Leon belum jelas juga statusnya, apa anaknya atau bukan. Akan tetapi, ia sudah berlaku seperti ayah siaga.
“Ibunya Agnia?” tanya Jefri saat bertatapan dengan Bu Anggun.
“Iya, saya neneknya Leon, ibunya Agnia,” ucap Bu Anggun.
“Saya Jefri, bos Agnia.” Jefri memperkenalkan diri, ia merasa bersalah pada ibu Anggun jika mengingat kejadian lalu.
Dering ponsel Jefri membuat pria itu menyingkir agak jauh dari Agnia. Ia mengangkat panggilan telepon dari Bianca. Jefri menepuk kening karena lupa ada janji untuk menjemput kekasihnya itu.
Gegas ia pamit pada Agnia dan Bu Anggun. Namun, ia masih merasa berat untuk meninggal Leon. Langkahnya pun sangat berat, tapi ia tak mau Bianca marah padanya.
Setelah Jefri pergi, Agnia duduk dengan di kursi. Ia menarik napas lega saat pria itu pergi. Bu Anggun menghampiri dengan penuh beberapa pertanyaan. Ada apa dengan Agnia pikir wanita itu.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Bu Anggun.
“Ba—baik, Ma.”
Bu Anggun tidak mau membahasnya sekarang karena suster sudah membawa Leon yang menangis kejer. Ia langsung menghampiri sang cucu dan menggendongnya agar tenang.
***
Agra terbangun sejak pagi tadi. Ia langsung mengecek ponsel yang sengaja ia matikan dari semalam. Benar dugaannya, banyak pesan masuk dari Agnia tentang Leon.
[Angkat teleponnya, Pa.]
[Demam Leon semakin tinggi, aku harus bagaimana?]
[Leon di rawat di rumah sakit]
[Terserah kamu mau datang atau tidak]
Agra mulai cemas, ia gegas ke kamar mandi dan bersiap untuk ke rumah sakit. Walau bukan ayah kandungnya, ia memang dekat dengan Leon.
Sementara, Bu Sukma bersama Gio berada di ruang tamu. Wanita tua itu marah saat sang anak baru pulang petang itu dengan alasan syuting sampai pagi. Ia cemas terjadi sesuatu dengan anaknya itu.
“Gi, jangan sering pulang pagi. Ibu nggak suka,” ucap Bu Sukma.
“Bu, aku syuting. Masa ia seenaknya pulang duluan, lagian aku juga nggak apa-apa,” papar Gio.
“Ibu sudah bilang kalau kamu lebih baik jadi pengusaha seperti Kakak kamu. Lagian, jadi artis uangnya juga nggak banyak,” ucap Bu Sukma.
“Bu, sudah, ya, jangan mengatur Gio. Aku sudah besar, lagi pula aku juga sudah mengikuti kemauan ibu untuk menjebak Mba Agnia. Dia orang baik, Bu.”
“Halah, ibu nggak suka sama dia. Lagian, ibu nggak mau ya harta kekayaan jatuh ke tangan anak laki-laki Agnia. Dia itu sengaja nggak hamil karena takut anak haramnya nanti nggak dapat harta kekayaan Agra.” Penuturan sang ibu membuat Gio hanya menggeleng.
Bu Sukma tidak ingin Leon mendapatkan harta dari Agra karena anak itu buka darah dagingnya. Lagi pula ia sebelum Agra menikahi Agnia sudah mempunyai calon untuknya. Namun, semua gagal karena Agra sudah menikah dengan Agnia. Awal menikah Agra mengatakan jika Leon anaknya, tapi berjalan waktu akhirnya Bu Sukma tahu jika Leon anak Agnia dari pria lain.
Sejak itu Bu Sukma mulai mencari cara agar Agra menceraikan Agnia. Dengan bantuan Hana yang menyumbang ide untuk membuat Agra langsung mentalak Agnia.
Bu Sukma terdiam saat suara pintu kamar Agra terbuka. Ia memilih untuk tidak melanjutkan perkataannya. Sementara, Gio langsung beranjak ke kamar karena Agra pasti masih sangat marah padanya.
“Kamu mau ke mana, Ga?” tanya sang ibu.
“Ke rumah sakit. Leon di rawat,” jawab Agra.
“Untuk apa? Sudah jangan pedulikan lagi wanita tidak baik itu. Kemarin merayu Gio, sekarang, ah, ibu bingung juga mau cerita apa nggak sama kamu,” ujar sang ibu.
Agra menjadi penasaran dengan apa yang akan disampaikan oleh sang ibu. Ia memaksa Bu Sukma untuk bicara. Namun, sang ibu malah memberikan sebuah foto yang memperlihatkan Leon hendak di gendong seseorang hingga sudah digendong. Akan tetapi, ia hanya melihat punggung kekar pria itu dari belakang.
Agra meremas foto itu dan melemparnya. Ia kembali emosi saat melihat apa yang di perlihatkan sang ibu.
“Jangan-jangan itu ayah kandungnya Leon, Ga. Selama ini berbohong sama kamu tentang tidak tahunya pria itu di mana. Atau memang mereka sengaja berbohong?”
Agra sepertinya masuk perangkap Bu Sukma. Ia mulai panas dengan apa yang ditudingkan sang ibu pada Agnia—menantunya.
***
Agnia terbangun sejak tadi saat Leon terus mengigau memanggil sang ayah. Ia merasa tidak tega dengan Leon. Bagaimana pun, ia harus menemui Agra di kantornya. Menelepon pun tidak ada tanggapan. Biasanya ia mencoba menghubungi Gio, tapi sejak fitnah kejam yang dituduhkan padanya, ia mulai menutup diri dari adik iparnya.“Kamu mau ke kantor Gio?” tanya sang ibu.“Sepertinya, Bu. Aku masuk kantor dulu, pulangnya nanti aku ke kantor Mas Agra. Atau pas jam makan siang, kebetulan kantor kami tidak jauh. Aku titip Leon, ya, Bu,” ujar Agnia.“Iya, tenang saja. Biar Leon ibu yang jaga, lagi pula dia sudah membaik.”“Iya, Alhamdullilah.”“Ini juga karena bos kamu yang baru. Dia baik memberikan fasilitas VIP untuk Leon, kemungkinan obat pun pasti terjamin.”Agnia hanya tersenyum, entah benar atau tidak apa yang dikatakan Jefri jika ia harus mencicil biaya kamar dengan gajinya. Akan tetapi, jika
Agnia datang ke ruangan Jefri karena Aina memintanya untuk menemui Jefri. Namun, pria di hadapannya itu masih berkutat dengan ponselnya.“Sial!”Agnia terkesiap saat tiba-tiba saja Jefri mengumpat. Sang bos pun lupa jika Agnia sudah berada di depannya. Jefri langsung meminta maaf dan fokus pada Agnia. Sejak tadi ia mencoba menghubungi Bianca—kekasihnya, tapi tak ada jawaban. Sejak semalam Bianca tak mau menerima telepon darinya karena marah akibat ia lupa menjemputnya.“Maaf, ada sesuatu yang membuat saya kesal. Bagaimana kondisi Leon?” tanya Jefri.“Sudah lebih baik, demam sudah turun.” Agnia menjelaskan.Agnia terdiam sesaat, Agra saja tidak peduli dengan Leon. Akan tetapi, Jefri terus saja bertanya dengan keadaan Leon. Apa itu yang di namakan ikatan batin pikir Agnia.“Syukurlah kalau begitu. Di sana siapa yang menjaga?”“Mamaku dan akan ada suster yang dulu merawat Leon.&
Jefri sudah sampai di rumah sakit untuk mencocokkan DNA dirinya dan Leon. Ia melihat dari kaca ibu Anggun tertidur di sofa dan Leon bermain bersama suster Sarah. Niatnya untuk masuk ke dalam ia urungkan karena takut membuat Bu Anggun bertanya-tanya. Ia kembali melangkah meninggalkan ruang inap.Pria berjas itu langsung beranjak ke ruang di mana dirinya akan melakukan tes DNA. Di sana seorang perempuan sudah menunggunya untuk melakukan tes itu.“Saya sudah mendapatkan darah anak itu, tidak banyak, tapi setidaknya bisa untuk mencocokkan dengan Anda,” ujar wanita dengan baju putih itu.“Baik, terima kasih.”“Kebetulan tadi suster mengambil darah Leon untuk kembali menjalankan tes.”Jefri hanya mengangguk dan langsung mengikuti arahan untuk tes kali itu. Ia meringis saat darahnya diambil. Walau sedikit juga ia masih trauma jika melihat darah di mana saja. Sebelum pulang, Jefri kembali melihat kamar Leon. Anak itu ter
Farha kembali menenangkan sang ayah yang murka saat Jefri datang. Pria tua dengan wajah berkerut itu tak segan melempar sang anak dengan gelas plastik yang ada di meja. Sementara, sang ibu pun ikut memisahkan mereka.“Pa, Jefri bukan anak kecil lagi,” ucap Jefri.“Bukan anak kecil tapi nggak nikah-nikah. Sudah Papa bilang, menikah dan beri aku cucu. Jangan berharap pada artis gadungan itu,” ujar Surya.“Pa, dia punya nama. Bianca namanya.” Jefri membela Bianca.Surya tahu sang anak hanya tinggal menunggu Bianca mengatakan iya. Namun, sampai detik yang ditentukan ia belum juga menikah. Jefri tidak mengerti sampai sang ayah marah besar seperti itu.“Kamu tahu, jika kamu tidak memiliki keturunan laki-laki, harta dan kekayaan perusahaan akan jatuh ke tangan Yoga. Apa itu yang kamu mau?” Surya menaikkan suaranya.Jefri seperti anak kecil yang sedang diomeli ayahnya setelah pulang sekolah. Pak Surya
Jefri memarkirkan mobil setelah sampai di apartemen Bianca. Pria berjas hitam itu dengan mudah masuk ke dalam karena ia yang memberikan apartemen itu untuk sang kekasih. Jefri mengabarkan Bianca jika ia sudah tiba.Bianca menghampirinya Jefri, kebetulan juga ia baru saja datang. Tangannya satu menjinjing makanan dan tangan satunya lagi membawa belanjaan.“Belanja lagi?” tanya Jefri. Netranya tidak berpaling dari kedua belanjaan yang ada di tangan Bianca.“Iya, dong, Sayang. Kamu tahu, kan aku model. Jadi, harus banyak stok baju baru,” ungkap Bianca. Bianca termaksud orang yang begitu boros, banyak barang yang selalu ia beli dan jatuhnya jarang di pakaiJefri tak bertanya lagi, ia langsung masuk ke dalam. Ia menghempaskan tubuh di sofa, sedangkan Bianca mengambilkan minum untuknya.“Bi, aku mau bicara,” ucap Jefri.“Aku juga mau bicara sama kamu, Sayang. Kabar baik, pokoknya.”Jefri memai
“Mama, Papa mana? Kok kita nggak pulang ke rumah Papa?” tanya Leon.Sepulang dari rumah sakit, anak laki-laki Agnia terus bertanyalah tentang ayahnya. Namun, sang ibu mencoba menjelaskan kalau ayahnya sedang ke luar kota jadi mereka sementara menemani nenek Anggun.Leon sedikit kecewa, bicaranya sudah sangat pintar walau masih agak sedikit cadel. Tangannya masih biru bekas cabutan infus, ia meringis saat tak sengaja menyenggol mainan.“Mama, kalau Om itu kapan datang?” Lagi, sang anak bertanya.“Om siapa?” Dahi Agnia berkerut.Agnia menatap sang ibu, ia berharap wanita itu memiliki jawaban. Bu Anggun menghampiri Leon yang bermain mobil-mobilan.“Bos kamu yang di maksud Leon. Kemarin dia datang lagi saat Leon hampir saja mengamuk. Pria itu baik, tapi apa hanya ibu yang berpikiran ini, ya.”“Apa yang ibu pikirkan?” tanya Agnia.“Hanya berpikir jika mereka berdua, L
Agnia di perintahkan ke ruang meeting untuk bertemu dengan seseorang. Ia beranjak ke sana untuk menemui orang itu. Keduanya saling berhadapan.Pria dengan kumis tebal memperkenalkan diri pada Agnia sebagai pengacara yang diutus Jefri untuk mendampinginya di persidangan perceraiannya. Agni sendiri bingung dengan semua yang terjadi begitu saja di hidupnya.Bahkan ia tak berpikir jika akan menggandeng pengacara untuk persidangannya. Sore nanti jadwal sidang pertama.“Tapi saya nggak perlu di dampingi,” ujar Agnia.“Tidak usah menolak. Perceraian kamu harus segera selesai.” Agnia menoleh saat suara Jefri terdengar begitu jelas.Lagi, Agnia dibuat tercengang dengan apa yang dilakukan Jefri. Dirinya hanya bisa terdiam tanpa kata.“Untuk apa semua ini, Pak Jef. Biarkan saya menyelesaikan semua masalah saya. Pak Jefri tidak usah ikut campur.” Agnia menolak semua yang dilakukan Jefri.
Agra mencoba mencari tahu tentang Jefri. Pengusaha muda yang berdiri di dalam sebuah perusahaan megah yang begitu terkenal. Ia pun lebih penasaran ada apa dengan Agnia, bagaimana bisa ia menggunakan pengacara sehebat itu.Pria dengan tubuh tegap itu menatap jalan ibu kita dari jendela kantor. Ia melirik jam di tangan, seperti ada yang terlupakan. Ia merindukan Leon, anak laki-laki Agnia yang selalu membuatnya semangat untuk pulang ke rumah kala itu.Agra kembali membuka pesan Agnia. Ia membacanya pelan, apalagi saat Agnia memintanya untuk menemui sang anak. Namun, ia bersikeras tak mau bertemu.“Bagaimana dia sekarang?” Agra bergumam sendiri.Sekali lagi dia terkejut melihat iklan di ponselnya. Adiknya menjadi brand ambassador perusahaan Gemilang Emas. Semua serba kebetulan dan membuat Agra terkejut.Hana datang memberikan informasi untuk meeting dengan perusahaan Valina Mutia untuk memperebutkan tender besar. Ia berencana a
Agnia terus memperhatikan Farha yang tersipu saat sedang berbincang dengan Agra. Walau Mereka sedang berkumpul bersama, Agnia masih bisa membedakan saat Farha dan Agra saling tatap. Bukan karena tidak suka dengan hubungan mereka, tapi lebih ke Agra yang baru saja bercerai dengan Hana.“Kamu kenapa?” tanya Jefri sedikit berbisik.“Aku, nggak kenapa-kenapa.” Agnia kembali fokus pada Leon yang sudah tertidur di pangkuannya. Ia memilih pamit untuk menaruh sang anak.Jefri pun mengikuti Agnia karena ada hal yang terlihat tidak baik. Wajah Agnia seperti sedang kebingungan, hal itu membuat sang suami gegas menghampirinya. Ia ingin tahu apa yang mengganggu pikiran Agnia.Setelah menaruh Leon, Agnia kembali beranjak ke luar. Namun, Jefri memintanya untuk tetap di kamar dengannya.“Ada apa?” tanya Agnia heran.“Kamu sedang memikirkan apa?”Walau berusaha menutupi, tapi Jefri sebagai seorang suami
Jefri menghampiri Agnia yang sedang membaca novel, ia duduk di sebelah sang istri. Stelah menidurkan Leon, pria itu gegas menemui Agnia untuk membahas kesalahan yang telah ia buat. Agnia terlihat sangat cantik dengan piyama sutra yang dikenakannya.“Kamu masih marah sama aku?” tanya Jefri.Agnia menutup bukunya, lalu beralih pandang ke sang suami. Ia teringat pesan sang mertua, sebuah kepercayaan adalah kunci dari langgengnya rumah tangga. Terlepas dari masalah yang memang berpatok pada logika.Tatapan sang istri membuat Jefri ketar-ketir, ia takut emosi Agnia belum stabil. Lalu, ia sepertinya mengurungkan niat untuk membahas masalah kemarin.“Mau ke mana?” tanya Agnia.Jefri duduk kembali saat Agnia menahan tangannya. Ia pikir wanita itu masih diam karena marah. Akan tetapi, Agnia sudah menegurnya.“Aku nggak mau ganggu kamu,” ujar Jefri.“Kamu pikir aku masih marah?” Agnia kembali bert
“Sudah papa katakan, jangan pernah gegabah. Buang rasa iba kamu pada wanita itu. Sadarlah, perbuatannya bukan kamu yang harus bertanggungjawab. Itu pilihan dia, jadi untuk apa kamu merasa karena dirimu dia menjadi seperti itu.” Jordi mengomel saat tahu Jefri sengaja datang ke sel untuk menemui Bianca.Jordi pun sudah mendengar gosip yang beredar di kalangan masyarakat tentang isu persekongkolan Jefri dengan Bianca untuk membunuh Remon. Keluarga itu pun sudah bersiap jika ada hal yang membuat nama baik keluarga itu tercemar.Jefri sudah mengaku salah, apalagi rasa ibanya malah menyakiti sang istri. Sebelum terlambat, ia gegas untuk memperbaiki diri.“Lebih baik kau pikirkan perasaan istrimu, jaga hatinya. Bukan malah memikirkan orang yang merusak keluarga.” Lagi, Jordi memberi nasihat pada sang anak.Jefri mengangguk, sebelumnya ia meminta maaf atas kelalaiannya. Pria itu pun berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Jefri kembal
Setelah menerima pesan masuk dari Agnia, Jefri gegas pulang dan menemui sang istri yang mungkin saat ini sedang kacau. Benar dugaannya, Agnia duduk dengan wajah penuh air mata.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Jefri saat menghampiri sang istri.“Kamu bilang tidak ada apa-apa?” Agnia mulai meninggikan suaranya.Jefri langsung memeluk Agnia, tapi sang istri menolaknya. Agnia meminta untuk sang suami jangan mendekatinya. Emosi memuncak saat menerima foto dari orang yang tak dikenalnya.“Untuk apa kamu menemuinya?” Agnia bertanya dengan napas memburu.“Aku hanya sedikit berbicara, tidak ada hal yang bisa membuat aku kembali padanya. Kamu tenang saja, Sayang.” Jefri mencoba menenangkan sang istri.Agnia masih sangat kecewa dengan sang suami karena janji Jefri tak ditepatinya. Pria itu menemui Bianca karena merasa iba dan bersalah. Namun, ia tidak memikirkan hal nanti yang akan diterimanya. Agnia cemburu
Farha menyambut pelukan Agnia, rasanya hanya dua Minggu saja seperti bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Kedua wanita itu kembali tertawa memikirkan betapa lebainya mereka saat ini. Agnia lalu gegas menemui sang anak yang sedang bermain dengan ibunya.Leon berlari dan memeluk sang ibu. Begitu juga Agnia yang menyambut sang anak ke dalam pelukannya. Yang paling dirindukannya adalah anak laki-lakinya yang selalu membuatnya sangat rindu.“Leon nggak kangen sama papa?” Jefri menghampiri sang anak yang berada di pelukan Agnia. Leon pun berpindah dan berada di pelukan sang ayah. Kembali cium sayang membasahi pipi merah anak laki-laki itu.Kepulangan Agnia dan Jefri di sambut bahagia kedua orang tuanya. Oleh-oleh pun sudah disiapkan keduanya untuk orang-orang terkasih. Terutama anak mereka yang sangat dirindukan sepanjang bulan madu.“Jef, Papa mau bicara.” Jordi mengajak sang anak masuk ke ruang kerjanya.Jefri berpamitan pada Ag
Farha belum tenang jika Bianca belum mendapat hukuman yang setimpal. Janda satu anak itu sudah berulang kali mengunjungi penjara dan mendiskusikan masalah pembunuhan sang paman. Belum lagi, ia harus mengurusi beberapa kasus sang adik. Sejak kejadian yang menimpanya, Jefri dan Agnia memutuskan untuk pergi bulan madu ke luar negeri dan menitipkan anak mereka pada kakek dan neneknya.Farha menyeruput milk shake yang ia pesan tadi. Duduk santai di kafe adalah hal yang paling ia suka untuk menghilangkan penat sembari menikmati beberapa makanan kesukaannya.“Bu Farha.”Farha menoleh sesaat kala ia mendengar seseorang memanggil namanya. Wajah wanita itu menjadi semringah melihat Agra datang menyapa.“Hai, kok bisa ketemu di sini?” tanya Farha.“Kebetulan habis diskusi dengan pengacara, suntuk kalau di kantor. Bu Farha sendiri, kok bisa ada di sini, sama siapa?” Agra bertanya sembari memerhatikan sekeliling.Farha
Merasa lelah, Jefri pun langsung tertidur saat sampai di rumah. Ia sama sekali tidak menyapa Agnia yang berada di kamar Leon. Pria itu datang, mandi dan terlelap. Agnia mendengar derap langkah saat seseorang memasuki kamar. Ia yakin itu sang suami, tapi Jefri tidak menghampirinya.Agnia menutup tubuh Leon dengan selimut, kemudian gegas pergi ke kamar untuk melihat suaminya. Pria itu begitu lelap tertidur hingga Agnia tidak mau mengganggunya. Ia duduk di samping ranjang sembari menatap wajah Jefri yang begitu jelas sangat lelah.Jefri bergerak, lalu kembali tertidur. Agnia hendak beranjak dari samping ranjang, tapi ia kembali terduduk dan mencoba mendengarkan sang suami mengingau.“Bi—Bi—Bianca!” Jefri terbangun lalu mengusap wajah. Tanpa sadar, ia langsung menoleh ke arah sang istri.Wanita mana yang tidak sakit hati saat sang suami menyebut nama mantan kekasihnya saat ia tertidur. Dada Agnia begitu sesak hingga ia memilih pe
Jefri terduduk lemas setelah menelepon Farha. Pria itu tidak bisa berbicara banyak karena merasa syok dengan kabar kematian Remon juga penyebab kematiannya. Sang istri menghampiri saat melihat wajah Jefri begitu pucat.“Ada apa?” Agnia bertanya pelan.Lidah pria itu begitu kelu untuk berbicara. Perasaannya bercampur aduk dengan berita tentang pembunuhan pamannya oleh Bianca. Jefri bergeming sejenak saat Agnia terus saja bertanya tentang Farha. Dia takut terjadi sesuatu dengan Farha—kakak iparnya.“Ada apa dengan Ka Farha?” Agnia tak sabar hingga mengguncangkan tubuh sang suami.“Farha nggak apa-apa. Tapi, Om Remon—“ Jefri kembali menjeda ucapannya.“Kenapa dengan Om Remon?”“Dia meninggal tertikam oleh—“Agnia semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Gegas ia merampas ponsel Jefri dan melihat pesan masuk dan berita tentang kematian Remon. Agnia menu
Cukup lama Bianca menunggu karyawan bank itu memeriksa hingga akhirnya memanggil namanya. Bianca menghampiri dengan cepat untuk mengambil beberapa uangnya.“Maaf, Mbak. Untuk dana ini tidak bisa dicairkan karena perusahaan Gading Putra milik Pak Remon sedang pailit. Tidak ada yang bisa ditarik.” Karyawan itu menjelaskan.“Setengahnya saja, Mbak, bisa kan? Coba cek ulang, takutnya Mbak salah.” Bianca terus memaksa karyawan itu kembali meneliti.“Maaf, tidak bisa. Mau berulang kali kamu mengeceknya pun hasilnya akan tetap sama. Cek ini tidak bisa dicairkan.Tubuh Bianca lemas seketika, uang bermiliar-miliar yang dijanjikan Remon hanya kebohongan semata. Ia melangkah goyah setelah kembali mencoba karyawan mengecek ulang. Hasilnya tetap sama, cek itu tidak bisa dicairkan. Habis sudah hidupnya, bayangan ke luar negeri pun kandas begitu saja. Karier yang ia bangun harus hancur karena keegoisannya.Bianca gegas ke kantor Remo