“Mama,” gumam Brata tertahan. Bagaimana dia tidak terkejut saat melihat seorang wanita berumur enam puluh tahun itu berada tepat di hadapannya. Setelah sekian lama tidak bertemu, dia mendapati begitu banyak perubahan dari seorang wanita yang pernah melahirkannya itu. Wanita dengan kehidupan glamournya tanpa memperdulikan dirinya itu terlihat sangat kumal. Mirip gembel.“Brata, Ini Mama Sayang,” ungkap Jesica. Langkahnya yang tidak begitu tegap karena umurnya yang menua itu menghampiri Brata. Sedangkan Brata hanya membuang wajahnya acuh. Tadi, begitu dia mengetahui siapa yang datang, langsung saja dia turun ke lobby dan benar saja ada Jesica di sana, seorang ibu yang Brata tidak merasakan kasih sayang darinya.Kemelut mendera batin Brata. Sedalam apapun kebencian Brata terhadap wanita itu, tak pelak nalurinya sebagai seorang anak juga masih menyayanginya, terlebih yang membuatnya bertanya-tanya adalah kenapa penampilan ibunya itu tidak lebih dari gelandangan yang sering dia temui di
“Mas, ada apa?” tanya Septi tatkala Brata menerobos masuk ke dalam kamar. Septi dengan tertatih memegang perutnya untuk mengikuti langkah suami. Bisa dipastikan suaminya itu sedang di rundung masalah.Brata melemparkan tasnya serampangan di atas sofa dan menghempaskan dirinya. Dasinya yang sudah tidak tertata rapi dengan rambut yang acak-acakan, membuat khawatir Septi. Sekacau apapun kondisi suaminya sepulang bekerja, tidak pernah dia mendapati sang suami sampai seperti ini.Septi meninggalkan suaminya sebentar ke belakang. Memberikan jeda supaya gejolak yang melanda suaminya sedikit mereda. Tidak berapa lama dia kembali dengan membawa segelas teh hijau.Septi meletakannya di atas meja, dia mengambil posisi duduk berjarak dengan suaminya. Memandang wajah tegas itu dengan penuh pengertian.“Mas, diminum dulu tehnya.” Septi mengelus lutut Brata. Pria itu menegakan badan dan menoleh ke arah istrinya. Tatapan teduh itu bagaikan butiran salju yang menerpa batinnya. Brata tersenyum tipis. D
Brata mengandeng tangan Septi dan Bagus di sepanjang koridor menuju Apartemennya. Jantungnya berdegup kencang. Dia bisa membayangkan betapa senangnya Jesica saat dia menghadirkan Menantu dan cucunya.Dan juga Brata yang sedari tadi memikirkan kata-kata yang tepat untuk memaafkan ibunya. Merelakan apa yang terjadi di masa lalu dan membuka lembaran baru. Tidak mudah memang. Tapi, dia melakukannya demi Septi dan juga Bagus.Sampailah di depan pintu apartemennya, Brata memegang sebuah kartu untuk membuka pintunya. Dia bahkan terlupa untuk meninggalkan kunci cadangan jika sewaktu-waktu Jesica ingin keluar. Sungguh dirinya sangat keterlaluan.Ketika akan men-tap kartunya, dia menengok ke arah Septi. Terlihat wanita itu mengangguk pelan. Pertanda dia mendukung penuh keputusan baik suaminya. Brata menghela nafas lega. Setelah men-tap kartu, dengan perasaan berdebar, dia membuka pintunya.Brata mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda-tanda Jesica. Dia pun membuka pintu selebar-lebarnya. Mempers
Jesica menatap lemah ke Brata yang sedang menggenggam tangannya. Sudut pipinya terangkat melihat wajah Brata yang tersenyum ke arahnya. Menyejukan hatinya.“Mama, maafkan aku, Ma.” Mata Jesica sembab. Tidak menyangka kalau permintaan maaf terlontar dari mulut anak semata wayang. Apalagi, saat dirinya dipanggil Mama.“Buat apa minta maaf, kamu tidak salah Nak. Mama yang salah karena tidak perduli denganmu,” lirih Jesica. Lihatlah Jesica begitu membuka hatinya kepada Brata, kenapa Brata tidak melakukan sebaliknya. Maka dengan begitu hubungan mereka akan membaik.“Kita mulai dari awal ya, Ma,” ucap Brata dengan sepenuh hati. Mamanya mengangguk perlahan. Brata merentangkan pelukannya di atas Jesica.Septi menatap haru. Akhirnya sang suami bisa berdamai dengan masa lalunya. Memang tidak mudah mengiklaskan masa lalu, tapi Septi tahu kalau suaminya itu berusaha keras untuk menghapus semuanya.“Oh, iya. Kenalin Ma, ini Septi menantu Mama,” ucap Brata setelah melepas pelukannya. Septi mengangg
“Tolong, buatkan saya kopi,” ucap Brata di ujung telfon. Terdengar suara merdu yang membalas. Tidak salah lagi itu adalah suara Dinda.Setelah memastikan Jesica terlelap, dia langsung mengambil laptopnya. Mengerjakan laporan mengenai kinerja perusahaan untuk disampaikan kepada Pemegang saham. Dia mengerjakannya di kamar itu. Sembari mengerjakan, juga bisa mengawasi ibundanya.Brata melepas bajunya dan meletakannya di punggung sofa. Suhu ruangan yang lebih tinggi dari biasa, membuatnya kegerahan. Kemudian, baru dia bisa tenang mengerjakan laporan.Suara ketukan terdengar, Brata menghentikan kegiatannya dan mengendap menuju pintu. Dia menyimpan suara lantangnya supaya tidak mengusik ibunya yang sedang terlelap.Seorang gadis bak bidadari berdiri di ambang pintu. Dinda terlalu cantik memakai pakaian seperti itu, batin Brata selalu, kalau bertemu dengan Dinda.Sedangkan Dinda terlihat salah tingkah. Wajahnya bersemu merah ketika mengingat kejadian waktu itu. Dinda yang larut akan kerindu
Kondisi kesehatan Jesica semakin membaik. Hal itu tentu menjadi kabar gembira untuk Brata dan sekeluarga. Benar apa kata Septi, tidak membutuhkan waktu lama bagi Jesica untuk pulih karena berada dalam kehangatan keluarga. Terbukti, Jesica sudah pulih seperti sedia kala.Ini berarti, Brata harus menyiapkan semuanya untuk segera terbang ke Australia. Sungguh berat bagi Brata untuk meninggalkan Septi. Tetapi apa boleh buat, dia harus mengantarkan Ayahnya sampai ke liang lahat.Brata mencari Septi untuk berpamitan. Dia mencari ke seluruh penjuru mansion. Namun tidak kunjung menemukannya, sampai telinganya mendengar percakapan di kamar Dinda,“Kenapa kamu tidak menggoda suami saya untuk bercinta.” Suara lembut nan berwibawa adalah istrinya. Dahinya berkerut. Apa maksud dari perkataan istrinya.“Maaf Nyonya, saya tidak mau berbuat seperti itu. Saya sudah menganggap Pak Brata sebagai ayah saya sendiri.”Brata langsung muncul di ambang pintu, mengagetkan mereka berdua.“Apa maksud perkataanmu
“Nyonya, maafkan saya,” ucap Dinda setelah diizinkan masuk oleh Septi di dalam kamarnya. Sedari pagi tadi, Septi mengurung diri di dalam kamar. Tidak berhasrat untuk melakukan kegiatan apapun.“Enggak apa-apa, Dinda. Aku yang salah. Tidak seharusnya aku meminta kamu melakukan hal itu. Aku memang orang yang egois,” bibir Septi bergetar. Dia terlalu kalang kabut pada saat itu. Takut kalau Brata sampai selingkuh. Maka daripada dia selingkuh dengan orang yang tidak jelas di luar sana, dengan ceroboh ia meminta Dinda untuk menggoda suaminya yang justru berakibat fatal. Brata menjadi sangat kecewa, juga dia yang hampir merenggut masa depan Dinda.“Tidak, Nyonya. Saya tahu niat Nyonya sangat baik kepada Pak Brata, Tapi, saya memang tidak sanggup melakukannya karena Pak Brata sudah kuanggap sebagai ayah sendiri,” sahut Dinda polos. Septi menatap dua manik yang terlihat sangat indah di usia ranumnya. Ya Ampun, dia terlalu jahat kalau mengira Dinda adalah wanita-wanita di luar sana yang gampang
Perth,“Thanks a lot, Honey. You made my day.” Delinda bergelayut manja di pundak kekar Brata. Di tangannya ada dua buah botol Wine versi mereka. Delinda tampak puas karena ikut meracik Wine itu bersama Brata tersayang. Keinginan yang lama terpendam terkabul berkat Brata. Mengunjungi indahnya perkebunan Anggur yang menjadi asal muasal Wine terbaik di dunia, dan yang paling mengesankan adalah kesempatan untuk ikut kecimpung dalam pembuatannya.“Everything I do for you, Honey,” balas Brata. Dia senang karena bisa meluangkan waktu dibalik kesibukannya sebagai design interior. Kepercayaan client yang begitu tinggi, membuat jadwalnya selalu padat. Konsekuensinya adalah kebersamaan yang kurang dengan Delinda.“Maafkan aku, Honey. Baru bisa menemanimu sekarang,” lirih Brata. Mendengar suara yang terdengar sendu, Delinda menegakkan badan. Meletakan kedua botol Wine di jok belakang mobil, dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada Brata. “Brata, tidak perlu meminta maaf. I know you have a goo
“Bayinya cantik sekali, Bu,” ucap Dokter sambil mendekatkan bayi yang bersih dan sudah terbalut dengan kain di dekat Septi. Septi yang sudah tidak sabar mengulurkan kedua tangannya, sehingga bayi itu beralih ke gendongannya. Dokter itu pun pergi meninggalkan mereka sementara.Septi tidak kuasa menahan haru melihat seorang putri mungil yang sedang menggeliat kecil. Gerakan kehidupan yang menambah kebahagiaan bagi keluarganya. Ekspektasi suaminya terkabul. Bayi yang sekarang ada dalam gendongannya adalah perempuan. Dan wajahnya cantik sekali mewarisi dirinya.“Pratiwi Nagara,” sebut Septi, sesuai dengan nama yang telah disiapkan Brata. Seakan merasakan batin sang ibu, bayi itu menangis. Septi segera menimangnya dan mencium pipi bayi kemerahan itu. Airmatanya tertumpah di sana.Sedangkan Alex memandangnya penuh keharuan. Sebuas apapun dirinya, kalau dihadapkan dengan pemandangan seperti ini pasti luluh juga. Dia yang tadi menyaksikan Septi yang berjuang bertaruh nyawa, hingga lahirlah ke
Brata kembali meringkuk di balik jeruji besi. Pakaian yang dia kenakan adalah tahanan. Dia tidak menyangka seorang predir yang begitu terhormat sekarang tidak ubahnya sampah masyarakat yang tidak berguna. Imbas dari sikapnya yang terlalu arogan.Dalam diamnya, dia menyesali atas semua yang terjadi. Kepalanya dipenuhi oleh pengandaian yang tidak mungkin terjadi. Perasaannya terlalu tertutup oleh bayang-bayang Delinda. Entah kenapa dia sulit untuk melepas bayang-bayang wanita itu.Kejadian di restoran itu kembali tergiang di benaknya. Wanita yang mengaku Merlinda itu sangat mirip dengan Delinda. Kalau dipikir secara logika, apa yang diucapkan Merlinda itu cukup masuk akal. Dia menikah dengan Warren setelah sekian lama sampai mempunyai seorang anak, Jelas sangat mustahil kalau dia adalah Delinda yang masih selamat dari kecelakaan dan kemudian amnesia. Dan dia sudah seringkali mengecek di sebuah situs penerbangan kalau tidak ada korban yang berhasil ditemukan lagi, bahkan jasadnya tidak.
“Pak Brata, Halo. Halo,” ucap Rangga saat panggilannya berhenti secara sepihak. Dia mendecak kesal pandangannya tertuju ke arah ruang bersalin di mana di dalamnya sudah ada Alex yang ikut masuk ke dalam ruangan tersebut.Beberapa saat yang lalu, suster keluar dan bertanya siapa suami dari Septi, Alex yang tidak tahu diri langsung menerobos masuk. Bahkan, sebelum dia bisa mencegah. Alhasil, sekarang Septi berjuang ditemani dengan cecunguk bedebah itu.Rangga tahu kalau tidak mungkin Brata datang hari itu juga karena sedang berada di dalam penjara. Maka perlindungan terhadap Septi jatuh kepadanya sebagai orang kepercayaannya. Persoalan rumah tangga memang rumit dan Rangga justru sering berkecimpung dalam urusan rumah tangga majikannya.“Pak Rangga,” ucap Dinda yang mengejutkannya, dia muncul sembari merangkul Bagas di sampingnya yang terlihat mengantuk.Rangga memaksakan untuk tersenyum. Dia menurunkan tubuhnya hingga sejajar dengan Bagas,”Kamu mengantuk ya? Om minta anak buah om untuk
“Ya Ampun, Brata kamu kenapa?” tanya Jesica khawatir saat melihat Brata duduk di hadapannya. Dia baru bisa bertemu dengan Brata setelah menunggunya sadar dari pingsan, sampai sebuah insiden yang membuat Brata babak belur seperti ini.“Ini gara-gara para bedebah yang ada di dalam penjara itu, Ma. Awas saja kalau aku sudah keluar dari penjara. Akan kulenyapkan mereka dalam sekejap,” gerutunya dengan gusar. Jesica menghela nafas. Lagi-lagi Brata berbuat ulah seakan merasa dialah yang terbaik. Arogansi yang cenderung merugikan dirinya sendiri.“Brata, Stop it! Itu mungkin karena kamu yang membuat ulah duluan, makanya kamu bisa babak belur seperti ini.”Brata menatap Mamanya tidak percaya,”Kok Mama belain mereka. Aku Ini Presdir. Seharusnya pada begundal itu hormat kepada saya, bukannya berbuat kurang ajar!”Jesica menggeleng-gelengkan kepala. Dia mengurut dada melihat anaknya yang masih keras kepala atas kesalahannya. Tidak mau kalah dan mengalah.“Sekarang, Lebih baik Mama bilang kepada
Brata terbangun dari tidurnya. Begitu merasa berada di tempat yang asing, dia terhenyak. Dia memegang kepalanya yang masih terasa pusing.“Jeruji besi?” gumamnya. Dia mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Astaga apa mungkin karena kesuruhan itu, dia dijebloskan penjara.“Woi! Get me out from this fucking place!” teriak Brata sambil memegang dua tabung besi. Menghardik petugas yang kebetulan lewat.“Shut up!” pekik tahanan yang lain. Brata menengok ke belakang. Terlihat lima tahanan tengah berdiri dengan raut wajah yang sangat. Demi apapun, tidak pernah terlintas di benaknya berada satu sel dengan para berandal. Dia adalah pria yang sangat terhormat. Sangat tidak selevel berada di tengah-tengah mereka.“Apa? Berani kalian dengan Saya!” hardik Brata dengan arogan. Merasa tersinggung dengan kelakukan penghuni baru itu, mereka saling pandang. Baru kemudian, mereka langsung sikap untuk menghajar Brata.“Heh! Apa-apaan ini!” ujar Brata panik saat kedua tangannya dicekal oleh dua pria bertu
Selepas makan malam, Septi termenung di atas ranjang. Sesekali, dia menengok ke samping di mana suaminya biasanya terbaring. Sudah beberapa malam ini, dia melaluinya tanpa terlelap. Tidurnya tidak tenang bahkan sering terbangun. Kalau sudah begitu dia teringat dengan Brata dan menangis sepanjang malam.Septi adalah wanita yang kuat. Tapi, sekuat apapun wanita pasti akan lemah karena kehilangan sosok pria yang biasa menaunginya. Seperti malam ini, dia sangat rindu mengoceh di depan Brata, sedangkan Brata mendengarkannya dengan tatapan seksama. Juga di kala dia mengantuk, maka Brata dengan sigap memberikan tangannya sebagai bantal dan Septi bisa memeluknya dengan leluasa, mencium aroma suaminya yang menenangkan sampai dirinya terlelap.Matanya menghangat. Namun, dia mencoba sekuat tenaga untuk menghalau tangisnya lagi. Ingin rasanya salah faham ini cepat selesai supaya hubungannya dengan Brata kembali seperti yang dulu. Tetapi, bagaimana mungkin bisa? Sementara Brata berada nun jauh di
“Maafkan saya, Nyonya,” ucap Rangga sambil melirik dari kaca spion tengah. Septi hanya tersenyum mafhum.“Ngapain kamu minta maaf. Justru saya berterima kasih sama kamu. Karena kamu sigap melindungi kami. Tapi, yang saya heran. Kenapa sikap Alex mendadak bisa semanis itu.” Septi terkekeh sambil menoleh ke arah Dinda yang semerah tomat.“Sebenernya dia siapa Ma?” tanya Dinda.Ketika Rangga akan menyahut dengan nada tinggi, Septi sudah terlebih dahulu bicara,”Cuma rekan bisnis saja kok.”Rangga mendengus sebal. Kenapa Majikannya justru malah menutupi siapa sejatinya Alex yang sangat berbahaya itu.“Iya, tapi Non Dinda harus hati-hati dengan Alex. Dia orang jahat,” sambar Rangga tanpa memperdulikan Septi protes atau tidak. Dia sudah terlanjur kesal dengan kebiadapan Alex selama ini.Septi menahan tawa, bukan karena Rangga yang masih kesal dengan Alex. tapi, Lihatlah rona wajah Dinda yang semerah tomat. Sikapnya yang malu-malu membuat Septi gemas. Mungkin Septi tidak bisa membaca pikiran
“Rangga, tolong temani saya di taman pusat kota. Saya ingin jalan-jalan ke sana,” pinta Septi. Rangga terdiam sejenak. Bukannya mau menolak. Tadi ketika akan sampai ke mansion, dia sempat melihat mobil jeep yang terparkir dari jalan masuk menuju mansion. Rangga tidak melakukan apa-apa karena mobil itu jeep itu hanya diam dan tidak melakukan gerakan mengancam. Tetapi dia sangat yakin kalau ada yang mereka rencanakan.“Rangga, kok diam?”“Enggak apa-apa, Nyonya. Baik kalau begitu pakai mobil saya saja,” ucap Rangga. Dia tidak ingin membicarakan hal macam-macam di depan majikannya yang sedang hamil. Terlebih, kondisi majikannya yang memang sedang stress mengingat pertengkaran dengan sang suami.“Sebentar, saya panggil Dinda dulu,” Baru saja akan memanggil, Gadis itu muncul dari belakang.“Iya, Mama.”“Temani Mama ke taman pusat kota yuk.”“Boleh, Ma. sebentar aku bangunin PraBrata dulu.”“Jangan! Kasihan dia kecapekan karena kegiatan outdoor di sekolah. Biarkan saja. Lagian, Cuma sebenta
Perth,“Thanks a lot, Honey. You made my day.” Delinda bergelayut manja di pundak kekar Brata. Di tangannya ada dua buah botol Wine versi mereka. Delinda tampak puas karena ikut meracik Wine itu bersama Brata tersayang. Keinginan yang lama terpendam terkabul berkat Brata. Mengunjungi indahnya perkebunan Anggur yang menjadi asal muasal Wine terbaik di dunia, dan yang paling mengesankan adalah kesempatan untuk ikut kecimpung dalam pembuatannya.“Everything I do for you, Honey,” balas Brata. Dia senang karena bisa meluangkan waktu dibalik kesibukannya sebagai design interior. Kepercayaan client yang begitu tinggi, membuat jadwalnya selalu padat. Konsekuensinya adalah kebersamaan yang kurang dengan Delinda.“Maafkan aku, Honey. Baru bisa menemanimu sekarang,” lirih Brata. Mendengar suara yang terdengar sendu, Delinda menegakkan badan. Meletakan kedua botol Wine di jok belakang mobil, dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada Brata. “Brata, tidak perlu meminta maaf. I know you have a goo