Mawar belum juga bisa memejamkan matanya. Ia hanya bolak-balik di atas balkon menatap langit malam itu. Cuaca nampak seirama dengan suasana hatinya yang sedang gelisah. Mawar mulai merasakan ada ketakutan jika suaminya tergoda."Kenapa ya Mas Barra belum pulang? Apa aku ke sana aja ya?" pikir Mawar.Di rumah kontrakannya, Bulan tengah menggoda mantan suami Bintang itu. Berbagai cara pun ditempuhnya agar Barra tergoda dan mau memadu kasih malam itu. Agar Barra tidak lagi bisa lepas dari genggamannya.Bulan pun tiba-tiba menyandar ke bahu Barra, dan Barra membalas dengan sebuah pelukan hangat."Mas Barra!" bentak Mawar.Bulan dan Barra pun terkejut melihat kedatangan Mawar yang tiba-tiba ke rumah kontrakannya. Barra pun bangkit dan melepaskan pelukannya."Keterlaluan kamu, Bintang. Kenapa kamu goda suami aku?" pekik Mawar.Bulan pun berusaha membela dirinya. Ia justru seolah menjadi korban atas tuduhan Mawar yang dianggapnya tidak mendasar."Mawar, ini nggak seperti yang kamu pikirkan.
"Safia pergi? Ini pasti gara-gara kemarin aku sakit. Kalau aku nggak sakit, Safia pasti nggak pergi ...." ucap Daffa ketika tahu Safia pergi.Tiba-tiba, Daffa kembali merasakan sakit dan ia jatuh pingsan. Bulan dan Barra pun seketika panik."Daffa, Daffa. Bangun, Daffa!" teriak Bulan.Bulan kembali menyalahkan Mawar yang dianggap menjadi penyebab Daffa kembali tumbang."Ini semua gara-gara kamu. Kamu senang kan. Kamu pasti sengaja biar Daffa begini!" bentak Bulan terisak."Aku nggak ngapa-ngapain Daffa," seru Mawar. Ia pun membela dirinya di hadapan Barra yang hanya diam membisu."Aku tahu, kamu sengaja memanfaatkan Safia menghilang, agar kondisi Daffa semakin memburuk, iya kan?" cecar Bulan."Ngaku kamu?!"Mawar yang terus dicecar mantan istri suaminya itu tidak terima. Ia yakin jika Bulan sengaja memanfaatkan sakitnya sang putra."Jangan salahkan orang!" pekik Mawar."Daffa drop seperti ini karena ulah kamu sendiri. Daffa hanya ingin ketemu Safia dan kamu melarangnya. Itu yang menye
"Ini semua kesalahanku, Bu. Kalau tadi aku nggak bawa Daffa ke sini, mungkin kejadiannya nggak akan begini. Semua gara-gara anak angkat itu dan Mawar!" gerutu Bulan ketika berbicara dengan Nyonya Cynthia.Barra pun nampak masih berbicara dengan dokter yang memeriksa kondisi kesehatan Daffa. Tanpa mereka sadari, jika Daffa sudah bangun dari pingsannya."Kamu tenang saja, Bintang. Biar saya yang akan memberi pelajaran pada Mawar dan anak angkatnya itu," balas Cynthia."Sebaiknya aku cari Safia sendiri aja. Mereka pasti nggak mau cari Safia," gumam Daffa dalam hati. Daffa pun berjalan mengendap-endap keluar dari kamarnya. Namun, Nyonya Cynthia pun menyadari kaburnya sang cucu."Barra, kejar Daffa!" teriak Cynthia, Barra pun langsung mengejar putra sulungnya itu."Daffa, tunggu. Kamu mau ke mana?" tanya Barra ketika berhasil mencegah kepergiannya."Aku mau cari Safia,Pa," sahut Daffa. Ia sedih karena tidak ada satupun yang perduli pada saudara kembarnya itu."Tapi kamu masih sakit. Daff
"Ini kan topinya Jihan?"Bu Laksmi kembali mengingat tiap kejadian hari itu. Hari di mana ia harus kehilangan Bintang untuk selamanya. Hari di mana Jihan menghilang dan hanya menemukan topi milik cucu perempuannya itu."Aku harus mencari anak perempuan itu. Aku nggak bisa berdiam diri saja di sini," gumam Nenek Daffa dan Jihan dalam hati.Dengan tertatih ia mencoba menggerakkan kakinya. Turun dari ranjang, untuk meraih kursi rodanya. Tapi, tiba-tiba ia terjatuh ke lantai."Ya Allah, kuatkan aku ...."Bu Laksmi tidak menyerah. Perlahan ia mencoba bangkit dan akhirnya meraih kursi rodanya. Akhirnya, Bu Laksmi pun berhasil keluar dengan kursi rodanya.Ketika sedang berjalan di koridor, ia melihat Barra memasuki sebuah ruangan. Ruang Anggrek, di mana Mawar tengah menjalani perawatan."Barra? Mau ngapain dia di sana?" gumam Bu Laksmi. Bu Laksmi mulai berpikir. Dengan kondisinya yang terbatas, ia tidak mungkin mencari Jihan sendirian. Bu Laksmi harus meminta bantuan Barra. Walau pada akhi
Mawar akhirnya keluar dari rumah sakit bersama Barra. Tapi, ia sudah memesan lebih dulu taksi online karena suaminya itu tetap enggan mengantarkannya ke rumah omanya."Mana sih taksinya kok belum datang?" gerutu Mawar saat menunggu di pintu gerbang rumah sakit.Barra masih tetap menunggu kepergian istrinya. Tidak lama, sebuah mobil Avanza berwarna putih berhenti di dekatnya."Atas nama Ibu Mawar?" tanya seorang pria yang keluar dari mobil berwarna putih itu."Iya. Bapak supir taksi online?""Iya, Bu.""Maaf, Bu, apa ibu sedang sakit? Biar saya bantu masuk ke dalam mobil," seru sang supir."Enggak usah,Pak. Saya baik-baik aja," jawab Mawar.Saat tengah berusaha menuju mobil, tiba-tiba kepala Mawar sakit dsn pandangannya kabur. Hingga supir itu berusaha membantunya."Bu, biar saya bantu," ujar si supir yang memapah Mawar.Barra yang masih belum beranjak pergi, langsung berteriak kencang dan memarahi sang supir taksi yang memapah istrinya itu."Heh! Main pegang aja. Biar saya yang urus!"
Mawar pun tersenyum bahagia mendengar suara Mbok Darmi. Artinya suaminya berada di rumah, bukan bersama Bintang.[Oh, kamu ada di rumah, Mas? Aku senang deh kamu mau mendengar kata-kata aku.][Oh ya, aku ijin ya malam ini menginap di rumah Oma. Biar besok aku bujuk Safia untuk pulang ke rumah.][Terserah deh. Ada nggak ada kamu juga sama aja!]Barra pun langsung mematikan teleponnya. Dengan ketus, ia memandang Mbok Darmi, ibu asuhnya sejak kecil itu."Ah, gara-gara Mbok Darmi, jadi ketahuan deh," gerutu Barra dalam hati."Ya begini deh. Kalau gede gengsi. Hati sama omongan berbeda," goda Mbok Darmi. Nyonya Cynthia pun memperhatikan asisten rumah tangganya itu sinis."Nanti kalau orangnya udah nggak ada, baru dicari," timpal Mbok Darmi."Enggak bakal, Mbok!" sahut Barra."Mbok, udah nggak usah banyak omong deh. Lebih baik sekarang pergi ke dapur, buatin saya teh!" suruh Cynthia."Baik, Nyonya." Mbok Darmi pun langsung mengerjakan apa yang diperintahkan majikannya itu.----"Barra, kamu
Sesuai perintah bosnya, pagi ini Andi mendatangi rumah sakit Cempaka. Mencari tahu keberadaan Ibu Laksmi. Ibu kandung Bulan dan Bintang. Ia harus menyelidiki semuanya.Saat memasuki koridor kamar perawatan, Andi pun bertanya pada seorang perawat yang ditemuinya."Sus, kamar atas nama Ibu Laksmi di mana ya?" tanya Andi."Bapak lurus aja, nanti belok kanan. Nomor 302," jawab si perawat."Baik, terimakasih."Bulan yang saat itu mau menjenguk ibunya pun langsung panik. Ia tidak menyangka jika orang kepercayaan Tuan Mark sudah mendatangi rumah sakit Cempaka."Aku harus segera ke sana. Jangan sampai Pak Andi bertemu ibu dan terbongkar semuanya," batin Bulan.Andi akhirnya masuk ke ruangan Ibu Laksmi. Ia nampak sedang berbaring di ranjangnya. Wajahnya nampak tegang. Ketakutan seperti sedang bertemu penjahat."Bu, perkenalkan saya Andi. Ibu tebang, nggak usah takut ya. Saya hanya ingin menanyakan beberapa pertanyaan," ujar Andi."Saya tahu kondisi kesehatan ibu. Jadi ibu cukup mengangguk atau
Bulan masih mondar-mandir di depan rumah Tuan Mark. Kecemasannya semakin menjadi ketika Nyonya Cynthia keluar dan menyambutnya dengan tatapan sinis.Cynthia yang sudah murka karena selama ini sudah ditipu pun akhirnya mendekati Bulan dan mencoba menampar kembaran Bintang itu. Namun, Bulan lebih sigap menangkap tangan Mama Barra itu."Bu, ada apa ini? Kenapa ibu mau menampar saya?" tanya Bulan panik. "Jangan pura-pura bodoh kamu. Kamu sudah menipu saya dan keluarga saya selama ini!" pekik Cynthia.Bulan pun terdiam. Ia akhirnya paham apa yang membuat Nyonya Cynthia itu marah. Kali ini, ia kalah cepat dari orang kepercayaan Tuan Mark itu."Kamu juga bukan ibu kandungnya Daffa. Kamu bukan Bintang, tapi kamu Bulan!" tegas Cynthia menatap Bulan dengan tajam. Bulan pun menatap Cynthia tidak kalah tajamnya."Benar kan, kalau kamu adalah Bulan dan kamu pernah masuk penjara!" pekik Cynthia sinis.Tidak pernah terbayangkan baginya memiliki menantu seorang mantan narapidana. Cynthia yang selama