Ponsel Adhinata yang tergeletak di meja kantornya bergetar pelan. Ia baru saja menandatangani halaman terakhir dari setumpuk laporan keuangan PT Wana Elektronika ketika sebuah pesan masuk. Jemarinya berhenti sejenak, pandangannya beralih ke layar ponsel.
Nadira:[Mas, aku sudah di gelanggang. Doakan aku, ya]Pesan singkat dari Nadira itu terasa seperti pukulan lembut di dadanya, menimbulkan debaran yang tak bisa ia abaikan. Tangannya bergetar kecil saat membaca pesan itu berulang-ulang. Ia tahu hari ini penting bagi Nadira. Kompetisi renang antar-SMA yang digelar di Gelanggang Renang Nasional bukan sekadar pertandingan biasa—ini adalah momen besar, batu loncatan untuk Nadira mengejar impiannya.Namun, bagi Adhinata, tempat itu adalah pusat traumanya. Gelanggang Renang Nasional, dengan kemegahannya yang selalu dielu-elukan, adalah saksi bisu dari peristiwa kelam yang hampir menghancurkannya dulu.Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan geloNadira berdiri di tepi kolam renang, jari-jarinya gemetar ketika merapikan topi renang yang sudah ia kenakan. Pakaian renang sekolahnya melekat sempurna, menonjolkan postur tubuh atletis yang ia banggakan. Kakinya menyentuh ubin dingin di sekitar kolam, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya terasa kaku—itu semua karena gemuruh sorakan penonton di tribun. Suara mereka menggema, bercampur dengan aba-aba panitia. Pandangan Nadira melintas ke tribun. Ia mencoba mencari-cari, berharap menemukan wajah yang sebenarnya ia larang untuk datang. Nadira bodoh. Enggak mungkin Mas Nata datang. Bahkan kamu sendiri yang meminta dia untuk tidak ke sini, 'kan? Kamu bilang cukup doanya saja, batin Nadira menguatkan diri, meskipun ada sudut kecil di hatinya yang berkhianat, diam-diam merindukan dan mengharap kehadiran Adhinata.Matanya terus menyisir tribun—sampai pandangannya tertumbuk pada sekumpulan wajah yang tak asing. Teman-teman sekelasnya, dengan kaus seragam dan spa
Gemuruh tepuk tangan memenuhi sisi lain tepian kolam tempat kompetisi renang digelar. Nadira, yang baru saja naik podium, menerima medali dengan senyuman penuh kebanggaan. Meski hanya juara tiga, perjuangannya melewati babak demi babak kompetisi ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kemampuannya. Sertifikat penghargaan, dan simbolis hadiah uang tunai menjadi pelengkap penghormatan atas usahanya.Di antara kerumunan penonton, Adhinata berdiri dengan mata berbinar. Dia menyaksikan Nadira menerima penghargaannya dengan bangga, tetapi jauh di dalam hatinya, ada rasa lain yang menghangatkan dadanya. Ia tidak pernah menyangka, perasaan terhadap gadis itu akan berkembang secepat ini—bahkan jauh melampaui logika dan kendali dirinya.Setelah prosesi selesai, Adhinata menahan diri untuk tidak langsung menghampiri Nadira yang masih sibuk menerima ucapan selamat dari teman-teman dan beberapa guru. Nadira bahkan menyempatkan berfoto dengan ayahnya. Lalu, dilanjutkan meng
"Si ... siapa kamu?"Suara Nadira bergetar ketika ia menatap pria yang berdiri di ambang pintu.Pria itu membungkukkan badan dengan sopan. Rambutnya hitam, rapi, dan setelan sederhana yang ia kenakan memberi kesan profesional."Saya suruhan Tuan Adhinata, Nona," ucapnya dengan nada tenang seraya menegakkan badan. "Saya datang untuk memastikan Anda bersiap. Tuan Adhinata sedang menunggu Anda."Nadira menatap pria itu dengan bingung, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Bersiap untuk apa? Mas Nata di mana sekarang?"Pria itu tidak menjawab pertanyaan terakhir, hanya tersenyum kecil. "Nanti Anda akan tahu, Nona. Sekarang, saya akan memanggil seseorang untuk membantu Anda."Ia melangkah ke samping, dan seorang wanita muncul dari belakangnya. Penampilannya menarik perhatian Nadira. Rambut wanita tersebut yang ditata rapi, seragam hitam dengan apron putih bersih, dan senyum hangat yang menyapa Nadira dengan ramah. Wanita itu
"Mas Nata."Nadira memanggilnya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan. Ia melangkah maju, seakan-akan kaki kecilnya ditarik oleh magnet yang tak terlihat. Adhinata, yang masih duduk di balik piano, memandangnya dengan lembut. Senyumnya samar tetapi penuh makna."Sudah selesai, mengagumi ketampanan saya?" Adhinata berdiri perlahan. Tubuhnya tegap di bawah sinar lampu kecil yang menggantung di atas mereka. Smirk di sudut bibir menggambarkan betapa ia puas melihat reaksi gadisnya.Nadira tertawa kecil, lebih karena gugup daripada lucu. "Maaf, aku masih nggak nyangka Mas ngelakuin semua ini buat aku.""Buat siapa lagi?" Adhinata menyandarkan tangan di pinggir piano, memiringkan kepala sedikit. "Kalau bukan untuk kamu, saya tidak akan pernah terpikir untuk melakukan sesuatu yang bukan cerminan karakter saya."Kata-katanya sederhana, tapi caranya bicara membuat jantung Nadira berdebar lebih kencang. Ia berdiri beberapa langkah darinya seka
"Mas, sebenarnya ada apa?"Suara Nadira memecah keheningan tegang di dalam mobil. Ia menatap Adhinata yang duduk di kursi kemudi, wajahnya tampak serius, bahkan lebih serius daripada biasanya. Tidak ada jawaban. Hanya deru mesin yang menggema di telinganya.Adhinata memegang kemudi dengan erat, jemarinya hampir memutih. Napasnya sedikit tersengal, sisa dari kepanikan yang ia coba redam. Matanya terpaku ke jalan di depannya, sementara kakinya menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju dengan kecepatan tinggi."Mas!" Nadira kembali memanggil, kini dengan nada yang lebih keras.Adhinata akhirnya berbicara, tapi bukan jawaban yang Nadira harapkan. "Saya tidak bisa mengantar kamu sampai rumah.""Apa? Kenapa, Mas?" Nadira memandangnya dengan alis terangkat, bingung sekaligus cemas."Saya minta tolong, kamu hubungi Pak Supri. Minta dia jemput kamu di dekat lampu merah simpang kota."Nadira terdiam sejenak, tetapi han
Adhinata duduk, menatap dua tangannya yang bergetar. Noda hitam masih melekat di sana, bahkan di pakaian dan wajahnya. Ada luka terbuka di lengan kanan, yang tidak ia hiraukan. Luka bakar dan goresan yang cukup dalam. Dia mendapatkan luka itu saat seorang petugas penyelamat menariknya menjauh ketika terjadi ledakan dan dia terjatuh di antara puing bangunan.Mata Adhinata kosong. Seperti jiwa di dalamnya telah melayang pergi. Di sekitar area evakuasi, suara ambulans memecah kesunyian malam. Bersahut-sahutan dengan isak tangis korban selamat. Cahaya merah biru dari lampu kendaraan darurat, menari di wajahnya. Memantulkan jejak air mata dari tangis tanpa suara."Nata."Suara Pak Wirawan memecah lamunannya. Pria paruh baya itu berjalan mendekat dengan langkah berat. Matanya mengisyaratkan kelelahan dan duka yang mendalam. Ia berjongkok di hadapan Adhinata. Menatap langsung ke mata pemuda yang selama ini ia anggap sebagai calon menantu sekaligus pewaris masa de
"Mas Nata, ini sakit."Nadira meringis kecil, lalu bibirnya sedikit mengerucut. Dia duduk meluruskan kaki di atas ranjang rumah sakit dengan kaki kanan yang terbalut perban tebal. Meski luka bakar dan goresannya tergolong ringan, sikap manjanya tidak ketulungan.Adhinata yang duduk di samping brankar, langsung berdiri panik. "Sakit di bagian mana? Saya panggilkan dokter, ya."Nadira menggeleng. "Maunya Mas Nata aja."Adhinata menghela napas, lalu duduk di pinggir ranjang. Matanya lekat menatap wajah Nadira. Namun, setelah itu, ia justru memalingkan pandang dan diam.Saat malam kebakaran, Adhinata berlari ke area puing-puing bangunan. Dan benar saja, Nadira di sana. Terperangkap di antara puing panas yang runtuh dari atas. Beruntung Nadira sempat menghindar, dan tidak seutuhnya tertimpa. Meski begitu, kakinya sempat tergores dan panas dari benda yang mengenainya membuat sebagian kulit melepuh dan mengelupas. Untungnya dokter bilang, kulit
"Papi, maaf ...."Suara Adhinata terdengar bergetar. Dia berdiri di depan Haidar, di bawah langit yang masih diseliputi asap tipis dari sisa puing-puing kebakaran semalam. Aroma hangus dan udara pengap mengisi setiap helaan napas. Adhinata menunduk, wajahnya penuh beban.Ya, yang tadi datang ke ruang rapat adalah Haidar, ayah Adhinata."Aku mengecewakan," lirih Nata kemudian. Menunduk penuh sesal.Haidar mengangkat pandangannya dari puing-puing di depannya, lalu menatap sang putra. Sosok pria paruh baya dengan garis-garis tegas di wajah itu mendekat, tangan terlipat di dada. Tidak ada kemarahan dalam tatapannya, meskipun Adhinata jelas bersiap menerima ledakan."Kamu bilang apa? Mengecewakan?" Haidar mengulang kata-kata itu, nadanya rendah, penuh kendali. "Dari mana kamu mendapatkan pemikiran seperti itu?"Adhinata mendongak perlahan, matanya yang memerah karena kurang tidur bertemu dengan tatapan ayahnya. "Aku gagal, Papi. Aku
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad