"Mas, sebenarnya ada apa?"
Suara Nadira memecah keheningan tegang di dalam mobil. Ia menatap Adhinata yang duduk di kursi kemudi, wajahnya tampak serius, bahkan lebih serius daripada biasanya. Tidak ada jawaban. Hanya deru mesin yang menggema di telinganya.Adhinata memegang kemudi dengan erat, jemarinya hampir memutih. Napasnya sedikit tersengal, sisa dari kepanikan yang ia coba redam. Matanya terpaku ke jalan di depannya, sementara kakinya menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju dengan kecepatan tinggi."Mas!" Nadira kembali memanggil, kini dengan nada yang lebih keras.Adhinata akhirnya berbicara, tapi bukan jawaban yang Nadira harapkan. "Saya tidak bisa mengantar kamu sampai rumah.""Apa? Kenapa, Mas?" Nadira memandangnya dengan alis terangkat, bingung sekaligus cemas."Saya minta tolong, kamu hubungi Pak Supri. Minta dia jemput kamu di dekat lampu merah simpang kota."Nadira terdiam sejenak, tetapi hanAdhinata duduk, menatap dua tangannya yang bergetar. Noda hitam masih melekat di sana, bahkan di pakaian dan wajahnya. Ada luka terbuka di lengan kanan, yang tidak ia hiraukan. Luka bakar dan goresan yang cukup dalam. Dia mendapatkan luka itu saat seorang petugas penyelamat menariknya menjauh ketika terjadi ledakan dan dia terjatuh di antara puing bangunan.Mata Adhinata kosong. Seperti jiwa di dalamnya telah melayang pergi. Di sekitar area evakuasi, suara ambulans memecah kesunyian malam. Bersahut-sahutan dengan isak tangis korban selamat. Cahaya merah biru dari lampu kendaraan darurat, menari di wajahnya. Memantulkan jejak air mata dari tangis tanpa suara."Nata."Suara Pak Wirawan memecah lamunannya. Pria paruh baya itu berjalan mendekat dengan langkah berat. Matanya mengisyaratkan kelelahan dan duka yang mendalam. Ia berjongkok di hadapan Adhinata. Menatap langsung ke mata pemuda yang selama ini ia anggap sebagai calon menantu sekaligus pewaris masa de
"Mas Nata, ini sakit."Nadira meringis kecil, lalu bibirnya sedikit mengerucut. Dia duduk meluruskan kaki di atas ranjang rumah sakit dengan kaki kanan yang terbalut perban tebal. Meski luka bakar dan goresannya tergolong ringan, sikap manjanya tidak ketulungan.Adhinata yang duduk di samping brankar, langsung berdiri panik. "Sakit di bagian mana? Saya panggilkan dokter, ya."Nadira menggeleng. "Maunya Mas Nata aja."Adhinata menghela napas, lalu duduk di pinggir ranjang. Matanya lekat menatap wajah Nadira. Namun, setelah itu, ia justru memalingkan pandang dan diam.Saat malam kebakaran, Adhinata berlari ke area puing-puing bangunan. Dan benar saja, Nadira di sana. Terperangkap di antara puing panas yang runtuh dari atas. Beruntung Nadira sempat menghindar, dan tidak seutuhnya tertimpa. Meski begitu, kakinya sempat tergores dan panas dari benda yang mengenainya membuat sebagian kulit melepuh dan mengelupas. Untungnya dokter bilang, kulit
"Papi, maaf ...."Suara Adhinata terdengar bergetar. Dia berdiri di depan Haidar, di bawah langit yang masih diseliputi asap tipis dari sisa puing-puing kebakaran semalam. Aroma hangus dan udara pengap mengisi setiap helaan napas. Adhinata menunduk, wajahnya penuh beban.Ya, yang tadi datang ke ruang rapat adalah Haidar, ayah Adhinata."Aku mengecewakan," lirih Nata kemudian. Menunduk penuh sesal.Haidar mengangkat pandangannya dari puing-puing di depannya, lalu menatap sang putra. Sosok pria paruh baya dengan garis-garis tegas di wajah itu mendekat, tangan terlipat di dada. Tidak ada kemarahan dalam tatapannya, meskipun Adhinata jelas bersiap menerima ledakan."Kamu bilang apa? Mengecewakan?" Haidar mengulang kata-kata itu, nadanya rendah, penuh kendali. "Dari mana kamu mendapatkan pemikiran seperti itu?"Adhinata mendongak perlahan, matanya yang memerah karena kurang tidur bertemu dengan tatapan ayahnya. "Aku gagal, Papi. Aku
Adhinata dan Nadira serempak menoleh ke arah suara yang tiba-tiba muncul. Haidar berdiri di ambang pintu dengan tangan diselipkan di saku celana. Pria paruh baya itu memandang mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak—tidak sepenuhnya serius, tapi juga tidak sepenuhnya santai."Papi?" Suara Adhinata pecah dalam keheningan. Ia dengan cepat duduk tegak, melepaskan pelukan pada Nadira, yang kini wajahnya memerah seperti tomat matang.Haidar melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Suara derit pintu yang nyaris tak terdengar terasa lebih menegangkan daripada kata-kata. "Tenang saja," ujar Haidar dengan nada datar. "Papi hanya mampir untuk memastikan keadaan kalian."Nadira menunduk, menatap tangan yang saling menggenggam di pangkuannya. Adhinata menggigit bibirnya, berusaha menata pikiran."Papi seharusnya istirahat. Kenapa malah ke sini?" Adhinata mencoba mengalihkan. Ia berdiri dari ranjang, mendekati ayahnya.Haidar menyeringai tipis. "Seh
"Kita sudah sampai, Nadira."Suara Adhinata memecah keheningan di dalam mobil. Nadira yang sejak tadi menyandarkan kepalanya di kursi mengerjap pelan, mencoba mengusir rasa kantuk."Kita sudah sampai," ulang Adhinata dengan suara lembut.Gadis itu menoleh ke luar, mendapati gerbang besar rumahnya sudah terbuka lebar. Pak Supri berdiri di sana dengan senyum ramah sambil mengangguk sopan ke arah mereka."Selamat datang, Non Nadira. Akhirnya pulang juga, ya," sapa Pak Supri hangat.Nadira membalas dengan senyum tipis. "Terima kasih, Pak Supri."Adhinata melajukan kendaraan, memasuki halaman. Memarkirkan mobil dengan hati-hati, lalu mematikan mesin. Ia berbalik, menatap Nadira yang masih mengenakan sabuk pengaman. "Tunggu sebentar," ucapnya pelan.Sebelum Nadira sempat menolak, Adhinata sudah membungkuk mendekat, tangan terampilnya melepas sabuk pengaman dengan satu gerakan halus. Nadira mengangkat pandang, dan tanpa sengaj
Hari itu, ruang tamu rumah Pak Wirawan terasa penuh meski hanya ada segelintir orang. Nadira duduk di sudut sofa dengan wajah menunduk. Tangannya yang gemetar memilin ujung baju.Di sisi lain, Adhinata duduk di single sofa. Punggungnya tegap, tetapi matanya memperlihatkan kelelahan. Ia mengusap wajahnya sekali, lalu melirik ke arah ayahnya, Haidar, yang berdiri di samping Pak Wirawan."Pak Wirawan." Suara Haidar terdengar tenang, tetapi tegas, "saya tahu ini mendadak, tetapi melihat situasi yang terjadi, kami rasa ini keputusan terbaik. Adhinata bertanggung jawab untuk ini."Pak Wirawan tidak langsung menjawab. Ia menatap Nadira yang masih terdiam. Ada gurat kebingungan, marah, dan cemas di wajah pria tua itu. Ia sudah kehilangan istri sejak lama, dan kini harus menghadapi kenyataan bahwa anak gadisnya yang masih remaja harus menikah.Jujur saja, dulu dia memang jarang menunjukkan perhatian pada putrinya. Namun, kasih sayang seorang ayah tak perna
Pagi itu, kelas XI IPS 4 penuh dengan riuh rendah suara siswa yang bercanda, bercengkerama, atau sekadar mengobrol ringan. Masih suasana liburan, tetapi mereka diminta datang karena adanya pengumuman dari pihak sekolah.Suasana yang tercipta, seperti hari sekolah biasanya. Namun, ada yang berbeda di hati Nadira. Dia duduk di bangkunya dengan pandangan sesekali melirik ke arah pintu, ia merasa perutnya seperti diaduk. Bukan rasa takut yang melanda, melainkan canggung yang tak berkesudahan.Pintu kelas terbuka perlahan. Sosok tinggi dengan kemeja putih yang digulung hingga siku dan celana kain hitam masuk dengan langkah santai. Adhinata Rahagi—guru matematika, wali kelas, sekaligus ... ah, suaminya. Pikiran itu membuat wajah Nadira memerah seketika."Selamat pagi, semuanya," sapa Adhinata sambil meletakkan setumpuk kertas di meja guru. Suaranya tidak dingin seperti biasa, tetapi kali ini hangat dan penuh wibawa."Pagi, Pak Nata!" sahut serentak selu
Nadira masuk ke kamarnya dengan langkah terburu, lalu menutup pintu perlahan. Ia bersandar di pintu, menarik napas panjang. Wajahnya masih merah, entah karena malu atau gugup."Aduh ... kenapa aku jadi begini? Habis nikah malah jadi sering salah tingkah." Nadira berbicara sendiri sambil sesekali menggigit bibir bawahnya. "Kenapa rasanya canggung sekali kalau ada dia?"Ia berjalan pelan ke arah ranjang, lalu duduk di tepinya sambil memandangi selebaran yang baru ditandatangani oleh Adhinata. Sekilas ia teringat tatapan suaminya tadi—hangat, penuh arti, tapi juga menggoda."Aduh, Mas Nata. Kenapa Mas harus seperti itu sih? Senyum sedikit saja bikin aku salah tingkah. Gimana bisa bersikap biasa kalau kamunya terus-terusan menggoda?" Nadira menggumam pelan, menutupi wajah dengan kedua tangan.Pasalnya, Adhinata yang dulu itu jarang sekali tersenyum. Namun, semenjak sah kemarin, wajah pria itu jadi kaya akan ekspresi. Nadira jadi kikuk sendiri.Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Nadira
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad