Ruang gawat darurat di rumah sakit itu sibuk dengan aktivitas. Tim medis bergegas menangani pasien-pasien yang datang dengan berbagai kondisi darurat, tetapi suasana mendadak terasa lebih tegang ketika Adhinata dibawa masuk. Tubuhnya masih basah dan dingin, dengan wajah pucat yang nyaris tanpa warna.
Nadira berdiri tak jauh, tubuhnya bergetar dalam balutan hoodie miliknya. Mata gadis itu sembap, terus memandangi Adhinata yang dibawa masuk ke ruang penanganan dengan peralatan medis menyertainya.
Tadi, pelatih renangnya, Pak Baskara, yang tiba setelah mendapat telepon dari Regas, terkejut melihat apa yang terjadi di gelanggang renang. Dia sempat menenangkan Nadira. Pria paruh baya itu langsung memeriksa situasi, lalu menghubungi ambulans dengan nada panik setelah melihat keadaan Adhinata yang tak sadarkan diri dan wajahnya yang benar-benar pucat. Baskara bahkan harus menahan emosi saat mendengar penjelasan Nadira yang terpotong-potong karena tangis.
Kini,
Malam itu terasa panjang bagi semua orang di rumah sakit. Masing-masing larut dalam pikirannya, memikirkan bagaimana kondisi Adhinata yang terbaring di ICU. Namun, waktu tak pernah berhenti, dan ketika pagi mulai menyingsing, suasana perlahan berubah. Harapan kecil menyelinap di tengah kecemasan yang belum terjawab.Di dalam ICU, Adrian duduk di kursi dekat tempat tidur Adhinata. Mata dokter itu terlihat lelah setelah semalaman memantau keponakannya. Monitor di sebelah ranjang menunjukkan tanda-tanda stabil, tetapi Adrian tahu stabil tidak berarti aman. Kondisi Adhinata masih berada di titik rawan. Tekanan darahnya perlahan membaik, saturasi oksigen kembali ke angka normal, tetapi denyut jantungnya masih di bawah rata-rata. Trauma mental yang dia alami tentu tak akan mudah teratasi hanya dengan waktu semalam.Saat itu, Adrian mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan mendapati Haidar berdiri di ambang pintu ICU. Tatapan pria itu terlihat hampa, seolah seluruh beb
Pagi itu, rumah sakit masih lengang, tetapi berita tentang insiden di gelanggang renang sudah menyebar luas. Dari media sosial hingga obrolan di sekolah, nama Adhinata dan Nadira menjadi pembahasan utama. Meski insiden itu tidak diberitakan secara detail, cukup banyak yang tahu bahwa Adhinata pingsan karena berusaha menyelamatkan Nadira yang hampir tenggelam.Di koridor rumah sakit, beberapa guru dan murid yang datang untuk menjenguk berkumpul di depan ruang ICU. Wajah mereka menunjukkan keprihatinan mendalam."Saya tidak menyangka Pak Adhinata akan mengalami ini," gumam seorang guru olahraga dengan nada penuh simpati."Dia guru yang hebat. Selalu tenang, tapi jelas peduli dengan murid-muridnya. Kalau bukan karena dia, mungkin Nadira ...." Kalimat seorang guru lain terhenti, tampaknya tak tega menyelesaikan pikirannya.Beberapa murid, teman sekelas Nadira, juga berdiri di sana dengan ekspresi penuh rasa cemas. Tidak menyangka hal seperti itu terjadi pada
Hujan mengguyur deras di luar sana ketika Liana masuk ke dalam ruang rawat VIP tempat Adhinata baru saja dipindahkan. Adrian bilang, perkembangan Adhinata sudah cukup bagus, dan bisa dipindahkan ke ruang perawatan. Gemuruh deras terdengar jelas, dan cuaca gelap, padahal waktu masih menunjukkan pukul satu siang. Di tangan kirinya, ada setangkai bunga lily putih, dan ia masukkan hati-hati pada vas bunga di nakas samping brankar Adhinata.Wanita paruh baya itu menoleh. Adhinata terbaring di ranjang, dengan selang infus masih terpasang di tangan kirinya. Wajahnya tampak lebih segar meski, mata itu masih tertutup dengan setia. Masker oksigen sudah tidak dipasangkan, berganti dengan nasal canulla.Saat ia memperhatikan putranya itu, kelopak mata Adhinata menunjukkan pergerakan kecil, dan perlahan terbuka. Meski hanya segaris.Liana tak dapat menahan keterkejutan. Ia mengatur napas sebelum melangkah lebih dekat. Tatapan matanya penuh kasih dan lega bercampur khawatir.
Hujan mulai mereda ketika Nadira tiba di rumah sakit bersama Wirawan. Awan kelabu menggantung rendah, dan sesekali gemuruh terdengar di kejauhan. Wirawan, yang berjalan di samping Nadira, hanya diam sambil sesekali melirik putrinya. Nadira tampak gelisah. Tangannya meremas tali tas yang tersandang di bahu, sementara bibir bawahnya digigit ringan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang tak mampu ia atasi."Kamu yang tenang. Jangan tegang," ucap Wirawan pelan, suaranya terdengar lembut, tetapi tetap tegas seperti biasa.Nadira menoleh, menatap ayahnya dengan raut wajah yang masih menyimpan kecemasan. "Tapi aku kepikiran banget gimana kondisi Mas Nata sekarang, Yah."Harusnya aku enggak usah pulang dulu tadi. Harusnya aku ada di samping Mas Nata pas dia sadar," sambungnya."Tidak apa-apa. Sudah ada Dokter Adrian dan Nyonya Liana. Yang penting Nata sudah sadar. Lagi pula, justru bagus kamu sempat pulang tadi. Kamu sempat mandi. Lebih segar dan wangi. Coba kala
Pintu ruangan terbuka kian lebar, memunculkan seorang perawat muda yang mendorong troli kecil berisi makanan. Wajahnya tampak canggung begitu mendapati pemandangan Nadira dan Adhinata yang masih saling berpelukan. Ia tersenyum kikuk, seolah meminta maaf."Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengantarkan makan siang," ujar sang perawat sopan, lalu segera mendorong troli masuk dan meletakkan nampan makanan di meja kecil di samping tempat tidur.Perawat itu yang tadi lupa mengetuk dan langsung membuka pintu hingga terkejut dengan pemandangan yang menyambut. Dan seketika berseru, "Ups! Maaf mengganggu."Nadira menjauhkan diri dari Adhinata, wajahnya merah padam, begitu perawat itu mendekat. "T-terima kasih, Sus," ucapnya sambil berdiri dan merapikan bajunya.Adhinata tersenyum tipis, matanya menatap Nadira dengan lembut, seolah menikmati raut malu-malu gadis itu."Maaf makan siangnya baru diantar sekarang. Karena tadi saat baru saja sadar, dokte
Suara ketukan di pintu kembali terdengar, membuat keduanya menoleh bersamaan. Sebelum sempat memberi izin, pintu sudah terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Haidar di ambang pintu kamar rawat. Wajah pria paruh baya itu terlihat serius, tetapi ada jejak hangat yang tak biasa di sana."Boleh Papi masuk?" tanya Haidar, meskipun ia sudah melangkah lebih dulu sebelum Adhinata atau Nadira menyahut.Di belakangnya, muncul Wirawan, diikuti Liana dan Adrian. Kehadiran mereka membuat ruangan terasa lebih ramai, tetapi penuh kehangatan.Adhinata yang tadi terlihat santai, seketika menegang begitu melihat ayahnya. Ia mencoba duduk lebih tegak, meski gerakannya tertahan oleh nyeri yang masih terasa di beberapa bagian tubuhnya."Papi sudah lama di sini?" tanya Adhinata, sebatas formalitas, atau basa-basi.Haidar hanya mengangguk kecil. Wajahnya terlihat tenang, tetapi pandangannya tajam, seolah menilai kondisi putranya. "Belum lama. Baru selesai rapat. Mami bil
Adhinata dibawa ke batas kesadaran yang tak pasti, tubuhnya lunglai di atas ranjang, napasnya sesekali terdengar terputus-putus. Adrian bergerak cepat, memeriksa peralatan yang terhubung pada tubuh keponakannya, sementara tangannya yang cekatan menekan tombol panggil darurat di sisi ranjang.Haidar mengatur mereka yang bersamanya dengan efisiensi seorang pemimpin. Liana menggandeng Nadira keluar, mencoba menenangkan gadis itu meskipun dirinya sendiri hampir kehilangan kendali. Nadira tidak melawan, tetapi tubuhnya gemetar, dan matanya terus mengarah ke pintu kamar rawat yang kini tertutup rapat.Di dalam ruangan, perawat tiba beberapa menit kemudian dengan sebuah troli berisi peralatan portable untuk memonitor kondisi vital Adhinata. Adrian menyambut mereka dengan cepat."Ambil satu set monitor tambahan. Kita butuh data lengkap kondisi jantung, pernapasan, dan tekanan darah. Bawa juga ultrasound portable—saya khawatir ada trauma pada organ dalam," ujarnya
Adhinata membuka matanya perlahan. Cahaya putih dari lampu kamar rawat menyilaukan pandangannya sesaat. Setelah beberapa detik, ia mulai sadar sepenuhnya akan tempatnya berada, setelah tertidur beberapa jam. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar bunyi alat monitor yang terus berdetak."Nata?" Suara Adrian terdengar jelas dari sisi ranjang. Pria itu segera mendekat, memastikan keponakannya sudah bangun. "Bagaimana perasaanmu?"Adhinata mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat. Napasnya masih sedikit sesak, dan ada nyeri tumpul di punggung bawahnya."Seperti ... dihantam truk," jawabnya pelan.Adrian menghela napas, lalu memeriksa layar monitor. "Aku juga heran. Kamu itu terjatuh di pinggir kolam karena pingsan. Begitu laporan yang masuk ke tim dokter. Tapi kondisi kamu seperti habis dibanting dari lantai sepuluh."Syukurlah kamu sadar, setelah bolak-balik pingsan. Tapi dengar, kamu nggak boleh bergerak terlalu banyak. Kondisimu masih jauh dari ka
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad