Telepon yang terputus membuat Adhinata terguncang. Pikirannya langsung dipenuhi serangkaian kemungkinan buruk. Ia ingin segera berlari ke tempat Nadira, tetapi tahu itu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Dunia telah bergerak lebih cepat dari yang ia duga. Ia mendongak ke arah Regas dan Hilman yang masih berdiri di dekatnya.
"Gue harus ke rumah Nadira. Gue harus tenangin dia," gumam Adhinata, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Regas segera memegang bahu sepupunya. "Enggak bisa, Kak. Ini sudah malam, dan lo enggak mungkin nekat ke sana tanpa rencana. Lagian, lo lagi kacau sekarang."
Adhinata menepis tangan Regas, wajahnya penuh amarah bercampur frustasi. "Dia butuh gue, Gas! Lo tahu kan apa yang bisa terjadi kalau dia enggak kuat mental? Lo ngerti enggak?! Perkara perjodohan aja dia bisa kabur dari rumah. Apalagi ini wajahnya viral di mana-mana. Gue takut Nadira nekat berbuat macam-macam."
Regas menahan napas, berusaha tetap tenang meski melihat
Langit di luar sudah berubah keabu-abuan, tanda bahwa malam semakin larut. Namun, di dalam ruangan itu, atmosfer masih sama tegangnya. Hilman terus mengetik di depan komputer, sementara Regas memandangi Adhinata yang terlihat semakin gelisah.Adhinata memegang ponselnya erat, pesan terakhir dari pengirim anonim itu berulang kali muncul dalam pikirannya.Sedang menikmati kejutan dariku? Ini baru permulaan. Siap-siap untuk kejutan berikutnya, ya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk, menyiratkan ancaman lebih besar yang sedang menanti."Lo kenal seseorang yang mungkin dendam sama lo, Kak?" tanya Regas akhirnya, memecah keheningan.Adhinata menggeleng perlahan. "Enggak ada. Maksud gue, gue enggak pernah punya masalah yang serius sama siapa pun."Hilman berhenti mengetik dan menatap Adhinata. "Bisa jadi ini bukan cuma tentang lo. Bisa aja soal cewek lo, atau bahkan sepupu lo ini. Malah, ada kemungkinan, cewek lo target utamanya, dan
Mentari pagi menembus kaca-kaca jendela besar SMA Cakrawala, tetapi suasana hari itu jauh dari cerah. Sepanjang koridor, tatapan penuh tuduhan mengiringi langkah Nadira, yang hari ini datang bersama sang ayah. Pak Wirawan mendapat panggilan oleh kepala sekolah.Awalnya Adhinata ingin datang menjemput, tetapi Pak Wirawan melarang. Pria paruh baya itu sudah paham kasus apa yang menimpa putrinya dan tak ingin masalah semakin runyam jika Adhinata dan Nadira datang ke sekolah bersamaan."Itu Nadira, 'kan? Yang fotonya nyebar itu?" bisik-bisik para siswa yang sebelumnya tak begitu mengenal Nadira."Iya, gak tahu malu banget. Berani-beraninya begituan sama Pak Nata. Sama Regas juga," sahut lainnya."Iya, loh. Pakai pelet apa itu anak bisa-bisanya ngegaet guru favorit sama bintang sekolah.""Gue rasa dia kasih badan dia kali. Gak bisa nyalahin cowoknya kalau kayak gitu. Kucing mana yang bakal nolak kalau dikasih ikan asin."Nadira berjalan menunduk,
Di dalam kamar mewah bernuansa krem keemasan, Salsa duduk di tepi tempat tidurnya. Kain satin gaun rumahnya berkilau halus tertimpa sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela besar. Tangannya menggenggam ponsel, menempel di telinga, dengan nada bicara yang santai namun penuh arti."Terima kasih, Kak. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu," katanya, suaranya terdengar ringan tetapi penuh maksud tersembunyi.Di seberang, suara pria dewasa menjawab, tegas namun lembut, "Apa pun untuk adik kecilku. Kamu tahu, aku selalu ada untukmu, Salsa."Salsa tersenyum lebar, membayangkan wajah kakaknya, Evan, yang sudah bertahun-tahun menetap di luar negeri untuk mengelola perusahaan keluarga mereka. Evan adalah orang yang selalu menjadi tempatnya bergantung, baik untuk sekadar curhat hingga permintaan yang sulit ditolak. Meski hanya seorang kakak angkat, tetapi Evan akan memberikan segalanya untuk Salsa."Jadi ...." Evan melanjutkan, "akun itu sudah
Adhinata berbaring pada sofa kecil di sudut kamar Nadira, berusaha menyesuaikan posisi tubuh agar bisa beristirahat. Matanya terasa berat setelah sehari penuh menghadapi permasalahan yang tak kunjung reda.Ini saja dia bisa berada di sini karena permintaan Pak Wirawan. Nadira butuh didampingi setelah sangat syok karena mengetahui Salsa—sang sahabat, adalah dalang dari permasalahan ini. Akhirnya, Adhinata mengurungkan niat untuk turut serta ke kantor polisi. Biar Regas saja yang mengambil alih. Toh, dia sudah menyerahkan bukti dan keterangan yang dirasa penting.Pandangan mata Adhinata melayang pada Nadira yang terlelap di atas ranjang, wajahnya tampak damai meski tadi sempat menangis hebat. Adhinata tahu gadis itu kelelahan—secara fisik dan mental. Perasaannya bercampur antara kasihan dan bersalah. Bagaimana mungkin ia bisa membiarkan semua ini terjadi?Adhinata baru saja hampir telelap, ketika ponselnya yang tergenggam di tangan tiba-tiba bergetar,
Suasana di kantor polisi pagi itu masih terasa sibuk meski hujan terus mengguyur kota. Adhinata melangkah masuk ke dalam gedung, disambut oleh suasana yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia datang atas panggilan pihak kepolisian untuk memberikan keterangan tambahan, sekaligus mendapatkan informasi terbaru tentang perkembangan kasus yang melibatkan Salsa.Petugas di meja depan menyambutnya dengan ramah. "Selamat pagi, Pak Adhinata. Silakan masuk. Bapak sudah ditunggu oleh penyidik di ruangan Reskrim," ujar petugas dengan sopan, setelah memeriksa identitasnya.Adhinata mengangguk dan mengikuti petugas menuju ruangan yang dimaksud. Dalam perjalanan, ia melihat berbagai aktivitas polisi yang tengah bekerja menangani beragam kasus. Suara mesin tik, telepon berdering, dan percakapan serius terdengar di mana-mana.Di ruangan Reskrim, seorang perwira muda bernama Inspektur Eka menyambutnya. Inspektur Eka adalah penyidik utama dalam kasus yang melibatkan Salsa. Waja
Nadira memandang cermin di kamar tidurnya dengan napas tertahan. Gaun sederhana berwarna lavender yang dikirimkan Adhinata, membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya ia biarkan tergerai, hanya dihiasi jepit mutiara kecil di sisi kanan. Meski enggan, Nadira tak ingin mengecewakan Adhinata yang berkata akan memberikan kejutan malam ini.Namun, hatinya masih bergetar. Trauma atas kejadian kemarin masih menyisakan jejak. Pandangan sinis yang ia terima di sekolah, komentar tajam di media sosial sebelum video klarifikasi Salsa diunggah, membuatnya enggan keluar rumah terlalu lama. Ia bahkan menghindari pusat perhatian, termasuk restoran.Karena itu, Adhinata menjanjikan akan membawanya ke tempat spesial, jauh dari keramaian.Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. "Rara, Adhinata sudah datang." Itu suara ayahnya, Pak Wirawan.Nadira menarik napas panjang sebelum menjawab, "Iya, Ayah. Aku turun."Saat ia menuruni tangga, matanya langsung bertemu dengan
"Jam berapa, Mas?" Nadira bertanya pelan, masih bersandar di dada Adhinata.Adhinata melirik jam tangannya. "Sebelas malam, lebih sedikit."Nadira langsung menegakkan tubuhnya. "Ya ampun, sudah malam banget. Aku harus pulang sekarang, Mas."Adhinata tersenyum kecil, lalu memandang ke arah jendela. Hujan masih turun deras, suara gemericiknya memantul di dinding-dinding rumah. "Sepertinya tidak sekarang, Nadira. Lihat itu, hujannya malah tambah deras."Nadira berdiri dan melangkah ke arah pintu depan. Saat membuka pintu, angin dingin menerpa wajahnya, dan suara hujan semakin terdengar jelas. Air hujan yang turun begitu deras membasahi teras, bahkan hampir masuk ke dalam rumah. Nadira menarik napas panjang dan kembali menutup pintu."Gimana? Mau nekat lari ke mobil?" tanya Adhinata sambil menyilangkan tangan di depan dada, nada bicaranya menggoda.Nadira mendelik. "Mas, sih. Mobilnya tadi diparkir jauh. Mana mungkin kita lari ke sana tanpa basa
Adhinata melangkah masuk ke ruang rapat besar PT Wana Elektronika dengan semangat yang jarang terlihat. Wajahnya berseri, senyum kecil tersungging sejak pagi. Hujan semalam hingga pagi yang memaksa dirinya dan Nadira tinggal di rumah kecil itu menjadi pengalaman tak terlupakan. Setiap kali membayangkan wajah Nadira yang merona sepanjang malam, dada Adhinata terasa hangat.Sekretarisnya yang sedang menata dokumen presentasi, menatap Adhinata dengan takjub. "Pak Adhinata, pagi ini kelihatannya cerah sekali, ya," komentarnya ragu.Adhinata menoleh, tersenyum ramah. "Iya, pagi yang indah, kan? Ayo kita mulai."Rapat pagi itu berlangsung dengan suasana yang berbeda. Biasanya, Adhinata dikenal tegas dan kaku, tetapi hari ini ia lebih santai, bahkan menyisipkan beberapa candaan kecil yang membuat para staf tersenyum."Jadi, untuk target kuartal ini, kita fokus pada peningkatan produksi komponen elektronik dengan efisiensi lebih baik. Ada usulan?" tanyanya sambil
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad