Regas berdiri mematung di depan rumah Adhinata, kedua tangan terkepal di dalam saku hoodie-nya. Suara Adhinata yang memanggilnya 'bocah' tadi terus terngiang di kepala, seperti ejekan yang tak bisa ia abaikan. Darahnya terasa berdesir, bercampur antara malu dan marah.
"Bersaing sehat?" gumamnya sambil mendengkus, melangkah menjauh dari pagar. "Dia pikir ini pertandingan olahraga atau apa?"
Ia melangkah menuju motornya yang terparkir di seberang jalan, kepalanya terus dipenuhi pikiran. "Kalau tahu begini, gue tantang aja dia lomba renang. Gue pengen lihat sejauh mana dia bisa berdiri di atas kesombongan." Suaranya rendah, tapi penuh rasa kesal.
Regas mengambil helm dari setang motor dan memakainya dengan kasar. Udara malam begitu dingin, tetapi kepalanya terasa panas. Entah kenapa, segala sesuatu tentang Adhinata selalu berhasil membuatnya kehilangan kendali. Cara bicaranya yang sinis, senyum kecil penuh ejekan, dan tatapan tajamnya yang seolah tidak pernah melih
Adhinata masih berdiri mematung di sisi pintu setelah Nadira melompat masuk dengan senyum lebar, setelah melepas sepatunya di luar. Tanpa ragu nyelonong ke ruang tamu, seolah rumah ini adalah miliknya."Apa yang kamu lakukan, Gadis Nakal? Setelah yang terjadi tadi siang dan kamu datang ke sini malam-malam? Kamu gak takut saya terkam?"Nadira memberi cibiran. "Mana berani? Yang diincar bibir aja geser ke pipi."Adhinata merasa seperti baru saja disuruh minum air cuka. Dia tidak tahu seperti apa ekspresi wajahnya sekarang. Buru-buru, saliva ia teguk kasar, lalu memalingkan pandang. Memilih tak memberi tanggapan. Dan hal itu membuat Nadira justru terkikik gemas."Mas. Aku butuh bantuan!" kata sang gadis penuh semangat, meski dengan sedikit nada memohon.Setelah berjam-jam meyakinkan hati untuk bisa membiasakan diri dengan hal-hal mengejutkan bersama Adhinata, gadis itu memutuskan untuk mendatangi sang pria. Jangan tanya, sebenarnya Nadira pun
Pintu rumah ditutup perlahan. Nadira menekan gagang pintu, memastikan tidak ada suara keras yang bisa membangunkan siapa pun. Meski rumah terlihat sepi karena Mbok Ras belum kembali, sang ayah ada di dalam sini—begitu kata Pak Supri di pos depan tadi. Keberadaan mobil Wirawan yang terparkir di garasi pun semakin membuat Nadira yakin bahwa satu-satunya orang tua yang ia miliki itu sudah pulang dari berkutat dengan kesibukan perusahaan. Lampu-lampu sudah dimatikan, menyisakan hanya remang cahaya dari beberapa sudut ruangan.Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas. "Bagus," lirihnya. "Ayah pasti sudah tidur."Ia melangkah dengan hati-hati, mengendap-endap agar tidak menimbulkan berisik. Sepatunya telah ia lepas dan diletakkan di rak teras tadi. Namun, langkahnya harus terhenti. Cahaya samar keluar dari ruang kerja di sebelah kamar utama. Ruang itu jarang digunakan, kecuali ketika ayahnya, Wirawan, sedang menangani urusan darurat.
Suasana malam begitu sunyi. Hanya sesekali suara anjing menggonggong di kejauhan yang memecah keheningan. Jalanan gelap yang dilalui Nadira tadi kini terasa begitu jauh dari tempat ia duduk, gemetaran di bawah pohon besar di ujung taman perumahan. Napasnya masih tersengal, bukan karena kelelahan, melainkan karena gemuruh di dadanya yang tak juga reda.Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana. Pikiran Nadira berputar-putar pada satu hal. Utang. Kata itu bergema seperti palu godam di pikirannya.Aku harus menikah dengan orang itu, dan utang-utang ayah akan lunas?Pikiran Nadira mulai goyah. Pada satu sisi, ia benar-benar tidak ingin hal itu terjadi. Namun, di sisi lain, Nadira kasihan pada sang ayah.Seketika, wajah ayahnya muncul di benaknya. Sosok pria tegas, yang selama ini ia pikir hanya keras kepala soal perjodohan karena harga diri dan nama baik, kini memiliki wajah lain. Wajah seorang pria yang sedang terpojok.Tapi apakah itu
Malam itu terasa lebih dingin daripada biasanya. Udara lembap masuk melalui celah kecil jendela rumah Adhinata, membawa aroma khas rumput basah. Nadira duduk di sofa, memeluk lututnya, tubuhnya masih mengenakan kaos kebesaran yang Adhinata berikan. Ia terlihat canggung, meskipun tempat ini sudah tidak asing lagi baginya.Beberapa jam lalu, ia baru saja keluar dari rumah ini setelah belajar. Tapi keadaan berubah begitu cepat. Nadira, yang kala itu berharap bisa menghindari konflik dengan ayahnya, justru berakhir melarikan diri dan kembali ke tempat yang paling membuatnya merasa aman, rumah Adhinata.Adhinata berdiri di dapur kecil, menuangkan air panas ke dalam cangkir. Tatapannya sesekali melirik ke arah Nadira yang terlihat semakin gelisah. Setelah menaruh dua cangkir teh di atas meja kecil di depan sofa, ia akhirnya duduk di kursi dekat rak buku, menjaga jarak, tetapi tetap memperhatikan."Kamu harus istirahat, Rara," ujarnya sambil menyandarkan tubuh.
Mentari pagi menyusup pelan melalui celah tirai rumah Adhinata, membangunkan Nadira yang terlelap di sofa. Sisa malam yang tenang telah membantunya mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari yang baru, meskipun pikirannya masih kusut dengan berbagai masalah yang menggantung.Pria misterius yang datang malam tadi, Adhinata tak mau membahas lagi. Intinya, kata Adhinata, hal tersebut bukan sesuatu yang perlu Nadira urusi. Gadis itu pun tahu diri. Mengingat perjanjian nomor dua antara dirinya dan Adhinata Rahagi.Gadis itu menggeliat pelan, mendapati ruangan kosong tanpa kehadiran Adhinata. Pria itu sudah berangkat kerja, meninggalkan secarik catatan di meja.Rara, saya ke sekolah dulu. Sarapan sudah saya siapkan. Jangan kemana-mana. Hari ini saya pulang cepat. Jadi, tunggu saya, ya.Nadira membaca pesan itu sambil tersenyum kecil. Seolah dia bisa melihat wajah datar dan suara rendah Adhinata ketika mengatakannya. Kekhawatiran dan pengertian sang pr
Langit malam sudah menggantung pekat saat Adhinata tiba kembali di rumahnya. Suasana kota yang semula dipenuhi hiruk pikuk kendaraan kini terasa hening, namun tidak dengan pikirannya. Wajah Nadira yang tampak begitu bahagia saat bersama Regas tadi terus terbayang di benaknya.Ia memarkir mobil dengan tenang, langkahnya menyusuri jalan setapak menuju pintu depan tanpa tergesa. Namun, hati kecilnya terasa seperti terbakar. Tidak ada hak baginya untuk merasa terganggu, apalagi cemburu. Nadira bukan siapa-siapa baginya—hanya murid yang kebetulan ia selamatkan dengan sebuah kesepakatan. Benar begitu, bukan?!Akan tetapi, kenapa rasanya tidak sesederhana itu?Adhinata menghela napas panjang setelah menutup pintu. Rumahnya gelap dan sunyi. Tanpa menyalakan lampu, dia, meletakkan tas kerja di atas meja. Selanjutnya, pria itu berjalan menuju kamar tidurnya. Hanya untuk sekadar mengambil pakaian ganti.Sejurus kemudian, Adhinata sudah berada di kamar mandi un
Pagi datang perlahan, cahaya keemasan menyelinap dari sela-sela tirai ruang tamu. Nadira menggeliat di sofa, tubuhnya terasa kaku karena tidur tanpa posisi nyaman. Saat matanya terbuka, ia menyadari ada selimut lembut melapisi tubuhnya.Ia tidak ingat mengambil selimut tadi malam. Dalam benaknya hanya ada satu nama, Adhinata.Menyadari betapa perhatian pria itu, Nadira tak mampu menahan senyum kecil di wajahnya. Ia bangkit perlahan, mengusap sisa kantuk di matanya. Ia melangkah ke dapur, dengan niat mendahului Adhinata untuk membuat sarapan. Walau hanya telur dadar sederhana, ia ingin menunjukkan sedikit terima kasihnya. Namun, saat sampai di sana, ia dibuat tertegun.Di meja makan sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, ditambah segelas susu hangat yang masih mengepul. Harum bawang goreng menguar, membuat perutnya keroncongan.Nadira mengerutkan kening, menoleh ke arah kamar mandi di ujung ruangan. Suara gemericik air terdengar dar
Adhinata sedang menyusuri jalan raya dengan kecepatan sedang. Matanya fokus ke depan, tetapi isi kepalanya penuh dengan keruwetan. Udara dingin AC mobil tidak mampu meredakan panas di dadanya setelah pertemuan dengan Wirawan yang menguras tenaga dan pikiran. Semua detail rencana kini terasa jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.Tiba-tiba, ponsel yang ia letakkan di samping jok kemudi, bergetar. Ia melirik layar sebentar. Nama Nadira tertera di sana. Adhinata menghela napas panjang sebelum menjawab panggilan itu dan mengaktifkan mode loudspeaker."Ya, Rara," sapanya singkat, berusaha agar suaranya tetap stabil, padahal sebenarnya sedikit bergetar karena meredam panik.Hening sejenak sebelum suara Nadira terdengar, tak terlalu lantang. "Pak Nata, saya dengar semuanya."Gadis itu kembali memanggilnya 'Pak Nata'. Terasa sekali kecanggungan yang tercipta.Adhinata mengernyit, mencoba memahami maksud ucapan itu. "Maksud kamu?"
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad