Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, dan Adhinata tidak terlihat di sekolah. Nadira mulai merasa resah. Bahkan saat ia mencoba menghubungi pria itu melalui pesan singkat, tidak ada jawaban. Apa Adhinata benar-benar sakit? Atau ia sedang menghindar?
"Ra, lo gak denger apa-apa soal Pak Nata?" tanya Salsa, menyeruput sekotak jus mangga di tangannya.
Nadira yang sedang merapikan buku di meja hanya menggeleng pelan. "Gak ada. Tiga hari ini kan dia digantiin sama Bu Indri. Gak ada yang kasih info apa-apa, sih."
"Duh, padahal gue udah kangen berat. Pak Nata itu galak-galak memikat." Salsa menyesap lagi jusnya, lalu melanjutkan dengan nada bercanda, "Tapi serius, kalo dia lebih ramah dikit, gue udah nembak duluan, sih."
Nadira memutar mata, mencoba menyembunyikan kekikukannya. Ia tahu Salsa memang suka menggoda seperti itu, tetapi mendengar nama Adhinata disebut dengan nada bercanda saja rasanya membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
"Tembak aja sana
Suasana kelas XI IPS 4 kembali memanas setelah bel berbunyi, menandakan jam pelajaran berikutnya akan dimulai. Nadira duduk di bangkunya dengan resah. Pasalnya, pelajaran berikutnya adalah matematika, yang artinya dia akan bertemu dengan Adhinata.Meski merasa terintimidasi oleh tatapan Adhinata di kantin sebelumnya, Nadira tak bisa memungkiri ada sedikit rasa lega di hatinya. Setidaknya, pria itu sudah kembali ke sekolah dan kondisinya terlihat lebih baik. Jalannya juga tak lagi terpincang seperti beberapa hari lalu. Namun, tatapan dingin dan menusuk yang dilemparkan Adhinata tadi masih membekas, membuat Nadira gelisah.Sementara itu, Salsa di sebelahnya sibuk mengulang cerita tentang betapa serunya makan bareng Regas."Aduh, gue gak nyangka Kak Regas itu tipe cowok yang humble, ya. Padahal kan dia bintang sekolah, atlet renang pula. Tapi tetep, down to earth!" Salsa berbicara sambil merapikan rambutnya, seolah membayangkan Regas masih duduk d
"Pak Nata."Adhinata menoleh dengan gerakan malas, mendapati Nadira berdiri beberapa langkah di belakangnya. Wajah gadis itu terlihat ragu, tetapi penuh tekad. Menghela napas panjang, pria itu kembali memijat pelipisnya."Kenapa kamu ada di sini? Bukannya masih jam pelajaran?" tanyanya dengan nada tajam."Di kelas lagi jam kosong, Pak," jawab Nadira. Tentu saja dia bohong. Bukan jam kosong, hanya gurunya saja yang belum memasuki kelas. Gadis tersebut melangkah mendekat perlahan."Jam kosong bukan berarti boleh berkeliaran, apalagi membolos," balas Adhinata tanpa menatap Nadira. Lipatan di keningnya semakin dalam."Saya enggak membolos. Saya sengaja nyari Pak Nata," ucap Nadira tanpa rasa bersalah, matanya menatap langsung ke arah pria itu. Gadis ini tahu batasan untuk tetap berbicara sopan layaknya guru dan murid.Adhinata mengangkat alis. "Nyari saya? Untuk apa?""Saya cuma mau memastikan Pak Nata baik-baik saja," jawab Nadira, nadan
Nadira menghempaskan tubuhnya ke bangku kelas dengan wajah yang masih merah padam. Ia mencoba fokus pada buku pelajaran yang masih terbuka di meja, tetapi pikirannya terus-menerus kembali ke adegan di koridor tadi. Tangannya menyentuh bibir sendiri, mengingat bagaimana ia nekat mengecup pipi Adhinata."Apa yang barusan gue lakuin?!" pikir Nadira panik. Kedua tangannya bergerak menutupi wajah yang semakin memanas. Rasanya seperti ingin menggali lubang di tengah kelas dan mengubur diri sendiri.Di sampingnya, Salsa, yang baru kembali dari luar kelas, langsung memelototi Nadira. "Lo dari mana aja, sih, Ra? Satu jam pelajaran hilang entah ke mana! Gue kira lo diculik alien."Nadira hanya melirik sekilas, lalu pura-pura membuka bukunya dengan asal. "Alien dari Pluto?! Gue kan udah bilang mau ke toilet tadi.""Toilet yang mana? Barusan gue susulin, tahunya malah udah di sini. Lagian di toilet satu jam pelajaran?!" Salsa memekik. "Ngapain? Renovasi?" cecarnya de
Adhinata memarkirkan mobilnya di depan rumah sederhana yang sudah beberapa tahun ini ia tinggali. Pria tersebut sengaja pulang agak larut, karena ada pekerjaan lain yang harus ia urus, di luar profesinya sebagai guru.Malam begitu hening, hanya sesekali suara kendaraan melintas di jalan utama. Udara dingin menyelimuti tubuhnya saat ia keluar dari mobil, menenteng tas kerjanya. Tapi langkahnya terhenti begitu ia melihat seorang pemuda berdiri di depan pagar. Dia tak melihatnya tadi ketika melintas memasuki halaman.Wajah itu langsung dikenalnya, meskipun cahaya lampu jalan tidak begitu terang. Dengan hoodie abu-abu yang tudungnya tidak dikenakan, pemuda itu tampak menunggunya dengan ekspresi datar.Adhinata menghela napas panjang, lalu berucap datar sembari menutup pintu kendaraan. "Kalau lo mau nyuruh gue pulang, gak perlu repot-repot datang ke sini. Kemarin gue habis diseret pulang sama anak buah si Singa."Ya, mereka saling kenal. Dan orang yan
Regas berdiri mematung di depan rumah Adhinata, kedua tangan terkepal di dalam saku hoodie-nya. Suara Adhinata yang memanggilnya 'bocah' tadi terus terngiang di kepala, seperti ejekan yang tak bisa ia abaikan. Darahnya terasa berdesir, bercampur antara malu dan marah."Bersaing sehat?" gumamnya sambil mendengkus, melangkah menjauh dari pagar. "Dia pikir ini pertandingan olahraga atau apa?"Ia melangkah menuju motornya yang terparkir di seberang jalan, kepalanya terus dipenuhi pikiran. "Kalau tahu begini, gue tantang aja dia lomba renang. Gue pengen lihat sejauh mana dia bisa berdiri di atas kesombongan." Suaranya rendah, tapi penuh rasa kesal.Regas mengambil helm dari setang motor dan memakainya dengan kasar. Udara malam begitu dingin, tetapi kepalanya terasa panas. Entah kenapa, segala sesuatu tentang Adhinata selalu berhasil membuatnya kehilangan kendali. Cara bicaranya yang sinis, senyum kecil penuh ejekan, dan tatapan tajamnya yang seolah tidak pernah melih
Adhinata masih berdiri mematung di sisi pintu setelah Nadira melompat masuk dengan senyum lebar, setelah melepas sepatunya di luar. Tanpa ragu nyelonong ke ruang tamu, seolah rumah ini adalah miliknya."Apa yang kamu lakukan, Gadis Nakal? Setelah yang terjadi tadi siang dan kamu datang ke sini malam-malam? Kamu gak takut saya terkam?"Nadira memberi cibiran. "Mana berani? Yang diincar bibir aja geser ke pipi."Adhinata merasa seperti baru saja disuruh minum air cuka. Dia tidak tahu seperti apa ekspresi wajahnya sekarang. Buru-buru, saliva ia teguk kasar, lalu memalingkan pandang. Memilih tak memberi tanggapan. Dan hal itu membuat Nadira justru terkikik gemas."Mas. Aku butuh bantuan!" kata sang gadis penuh semangat, meski dengan sedikit nada memohon.Setelah berjam-jam meyakinkan hati untuk bisa membiasakan diri dengan hal-hal mengejutkan bersama Adhinata, gadis itu memutuskan untuk mendatangi sang pria. Jangan tanya, sebenarnya Nadira pun
Pintu rumah ditutup perlahan. Nadira menekan gagang pintu, memastikan tidak ada suara keras yang bisa membangunkan siapa pun. Meski rumah terlihat sepi karena Mbok Ras belum kembali, sang ayah ada di dalam sini—begitu kata Pak Supri di pos depan tadi. Keberadaan mobil Wirawan yang terparkir di garasi pun semakin membuat Nadira yakin bahwa satu-satunya orang tua yang ia miliki itu sudah pulang dari berkutat dengan kesibukan perusahaan. Lampu-lampu sudah dimatikan, menyisakan hanya remang cahaya dari beberapa sudut ruangan.Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas. "Bagus," lirihnya. "Ayah pasti sudah tidur."Ia melangkah dengan hati-hati, mengendap-endap agar tidak menimbulkan berisik. Sepatunya telah ia lepas dan diletakkan di rak teras tadi. Namun, langkahnya harus terhenti. Cahaya samar keluar dari ruang kerja di sebelah kamar utama. Ruang itu jarang digunakan, kecuali ketika ayahnya, Wirawan, sedang menangani urusan darurat.
Suasana malam begitu sunyi. Hanya sesekali suara anjing menggonggong di kejauhan yang memecah keheningan. Jalanan gelap yang dilalui Nadira tadi kini terasa begitu jauh dari tempat ia duduk, gemetaran di bawah pohon besar di ujung taman perumahan. Napasnya masih tersengal, bukan karena kelelahan, melainkan karena gemuruh di dadanya yang tak juga reda.Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk di sana. Pikiran Nadira berputar-putar pada satu hal. Utang. Kata itu bergema seperti palu godam di pikirannya.Aku harus menikah dengan orang itu, dan utang-utang ayah akan lunas?Pikiran Nadira mulai goyah. Pada satu sisi, ia benar-benar tidak ingin hal itu terjadi. Namun, di sisi lain, Nadira kasihan pada sang ayah.Seketika, wajah ayahnya muncul di benaknya. Sosok pria tegas, yang selama ini ia pikir hanya keras kepala soal perjodohan karena harga diri dan nama baik, kini memiliki wajah lain. Wajah seorang pria yang sedang terpojok.Tapi apakah itu
Hari berikutnya, Nadira tidak menyangka sang suami memberi kejutan lagi dengan perjalanan menuju pelabuhan Benoa. Adhinata mengajak Nadira naik kapal pesiar mewah yang akan membawa mereka mengarungi lautan selama tujuh hari tujuh malam."Mas?!" Nadira menatap suaminya dengan raut tak percaya.Adhinata tak berbicara. Ia menggenggam tangan Nadira erat saat mereka menaiki tangga menuju dek utama kapal pesiar. Kapal mewah itu bersandar di pelabuhan dengan megah, tampak seperti istana yang mengapung. Cahaya lampu kristal yang memancar dari dalam kapal membuat suasana semakin memukau. Laut di sekeliling mereka memantulkan cahaya bulan yang nyaris penuh, menciptakan pemandangan malam yang sulit dilupakan."Ini serius, Mas? Mas bawa aku naik kapal pesiar?" tanya Nadira sambil menatap suaminya dengan mata berbinar.Adhinata tersenyum kecil. "Kenapa tidak? Ini kan bulan madu kita. Kamu layak mendapatkan yang terbaik, Rara."Nadira tertawa kecil, ma
Pagi itu, Nadira terbangun dengan rasa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya matahari menyusup melalui tirai vila, menerangi kamar yang hangat dan nyaman. Suara debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan kicauan burung yang seperti lagu selamat pagi dari alam. Ia membuka mata perlahan, dan menyadari bahwa ia tengah berada dalam pelukan seseorang.Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana ia berada. Nadira mendongak, mendapati Adhinata masih tertidur dengan napas teratur dan mendekapnya. Wajah pria itu tampak lebih damai dari biasanya, garis-garis tegas di wajah, kini seolah melunak.Apakah semalam mereka sempat melakukan yang 'iya-iya'?Jawabannya adalah tidak. Adhinata sangat menghormati istrinya. Dia tidak akan lancang jika memang belum diizinkan. Jadi, dia akan bersabar.Nadira menatap suaminya lebih lama, merasa bersyukur atas semua yang telah mereka lalui hingga akhirnya bisa berada di tempat ini. Meski awalnya ti
Langit sore mulai merona jingga ketika Nadira mengikuti langkah Adhinata dengan penuh kebingungan. Pria itu menggenggam tangannya erat, membawanya menjauh dari keramaian rombongan SMA Cakrawala. Angin lembut menyapu wajah Nadira dan membawa aroma damai, tetapi rasa penasaran yang menyelimuti pikirannya terlalu kuat untuk menikmati suasana sekitar. Beberapa kali, Nadira menoleh ke belakang."Mas, ini kita mau ke mana? Rombongan udah mau berangkat itu," tanya Nadira akhirnya, suaranya penuh keingintahuan.Adhinata tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sebentar, menyunggingkan senyum tipis, lalu melanjutkan langkahnya. Nadira terpaksa menurut, meskipun hatinya dipenuhi berbagai spekulasi.Setelah beberapa saat, mereka berhenti di dekat sebuah mobil SUV hitam yang diparkir cukup jauh dari bus rombongan. Seorang pria berseragam rapi berdiri di samping kendaraan, dan segera membuka pintu penumpang begitu melihat mereka mendekat."Silakan, Tuan. Semu
Tur akhirnya mencapai penghujung. Semua lokasi tujuan telah dikunjungi, meninggalkan lelah bercampur puas di wajah para siswa dan guru. Saat ini, mereka berkumpul di sebuah restoran, menikmati makan bersama terakhir, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Terlalu lambat untuk disebut makan siang, dan terlalu awal untuk disebut makan malam, karena hari sudah cukup sore, saat mereka meninggalkan Desa Penglipuran.Meja-meja dipenuhi siswa yang bercanda riang. Tawa mereka sesekali pecah, terutama dari kelompok XI IPS 4, yang dikenal paling ramai. Beberapa guru, termasuk Adhinata, duduk sedikit terpisah, membentuk kelompok kecil di pojok ruangan.Di meja lainnya, Nadira terlihat duduk bersama teman-temannya, celana longgar warna krem yang membalut kakinya membuatnya tampak lebih santai meski gerakannya tetap hati-hati karena lututnya masih terluka."Celana lo baru, ya, Ra?" tanya salah seorang teman cewek, yang duduk di sebelahnya, bernama Intan. Gadis itu mena
Ketukan keras di pintu bilik membuat Adhinata dan Nadira sontak menoleh. Nadira yang masih duduk dan hanya mengenakan celana short, langsung gugup. Sementara Adhinata berdiri dengan ekspresi datar, namun ada sedikit kekesalan di wajahnya. Dengan gerakan tegas, ia menutup paha sang istri menggunakan jaketnya yang semula dipakai Nadira."Pak Nata! Saya tahu Anda di dalam! Jelaskan apa yang Anda lakukan!" Suara Pak Widodo menggema, terdengar tegang dan penuh kecurigaan.Adhinata menghela napas panjang, mencoba mengontrol emosinya. Dengan langkah santai, ia membuka pintu, memperlihatkan Pak Widodo yang sudah berdiri dengan wajah merah padam, sambil berkacak pinggang."Ada apa, Pak?" tanya Adhinata."Ada apa, ada apa?! Saya yang harusnya bertanya. Apa yang Anda lakukan di dalam?" Pak Widodo menunjuk ke arah bilik dengan gestur dramatis. Kacamata yang melorot ke ujung hidungnya semakin memperkuat ekspresi penuh amarah itu.Adhinata melirik Nadi
Adhinata membawa Nadira ke pos kesehatan tanpa memedulikan tatapan bingung dan bisik-bisik siswa serta guru lain. Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi kegelisahan di wajah Nadira membuat langkah Adhinata sedikit tergesa.Sesampainya di pos kesehatan, seorang petugas mendekat. "Loh, ada yang terluka? Mari saya bantu."Adhinata menggeleng halus. "Tidak perlu, Pak. Saya bisa menanganinya sendiri.""Menangani sendiri? Tapi—""Saya bertanggung jawab penuh atas dia, murid saya. Terima kasih untuk tawaran bantuannya, tapi biar saya saja," ujar Adhinata dengan nada tegas, membuat petugas itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengalah."Baiklah. Kalau begitu, biliknya di sana. Di dalam juga sudah ada peralatan dan obat-obatan lengkap. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja, Pak," ujar si petugas.Adhinata mengangguk dan membawa Nadira masuk ke bilik, membiarkan pintu tertutup rapat. Ia mendudukkan Nadira di kursi, lalu ber
"Nadira!"Panggilan itu datang dari Faiz, si ketua kelas. Nadira menoleh, dan melihat Faiz melambai di tengah keramaian Desa Penglipuran yang penuh wisatawan.Ya, destinasi terakhir mereka hari ini adalah Desa Penglipuran, desa adat yang terkenal karena keindahan dan kerapian rumah-rumahnya.Desa adat itu memang memukau. Jalan berbatu membelah rumah-rumah tradisional dengan atap rumbia yang seragam. Bunga-bunga warna-warni bermekaran di sepanjang tepi jalan, membuat suasana terasa damai dan indah.Nadira langsung terpikat begitu melihat jalan berbatu yang bersih dengan deretan rumah tradisional yang seragam di kedua sisi tersebut. Tak sadar, dia sampai berhenti dan terpisah dari kelompoknya tadi. Untung saja Faiz memanggil.Nadira berjalan cepat, mendekat ke Faiz yang berdiri bersama beberapa teman mereka di sana, juga guru pendamping pengganti Adhinata—tidak main-main bahkan sang kepala sekolah sendiri yang mengambil alih tugas Pak Nata.
Rombongan SMA Cakrawala tiba di Bali Bird Park sekitar pukul 09.00 pagi, saat embun di daun-daun masih segar dihembus angin pagi Gianyar. Suara kicauan burung menyambut mereka di gerbang masuk, memadukan semarak warna bulu-bulu cerah dengan aroma dedaunan basah. Murid-murid berlarian kecil, terpesona dengan burung merak yang melenggang anggun di pelataran taman.Nadira berjalan sedikit di belakang Adhinata, matanya terus sibuk mengamati sekitar. Selain Salsa, dia memang tak begitu dekat dengan teman lain di kelas. Wajar jika kini setelah Salsa pindah sekolah, dia lebih sering sendirian.Langkah Nadira terhenti saat melihat burung kakaktua putih dengan paruh melengkung berdiri tenang di atas sebuah batang pohon kecil."Pak Nata, lihat itu!" Nadira menunjuk penuh semangat, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan kesukaannya. Lupa, bahwa sekarang dia sudah menjadi istri dari laki-laki di depannya itu.Adhinata mengikuti arah telunjuknya, lalu t
"Mas Nata?"Suara Nadira terdengar pelan saat ia membuka mata dan mendapati tempat tidur di sisi sebelahnya kosong. Ia mengerjap beberapa kali, lalu duduk sambil mengucek matanya. Perasaan sedikit hampa menyelip di dadanya karena sang suami tidak ada di sisi. Namun, sebelum pikirannya melayang jauh, ponselnya berbunyi.Ia mengangkatnya tanpa melihat layar, mengenali nama sang penelepon dari nada dering khusus. "Mas Nata?" sapanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur."Sudah bangun?" Suara Adhinata terdengar di ujung sana, hangat dan rendah seperti biasa."Iya. Mas di mana?" Nadira bertanya, lalu melihat jam di ponselnya. Masih pukul enam pagi, tapi Adhinata sudah entah di mana."Sedang kumpul dengan guru-guru pendamping. Kita harus segera berangkat ke destinasi terakhir hari ini," jawab Adhinata. "Kamu sudah mandi?"Nadira terkekeh kecil. "Baru bangun, Mas. Mana sempat mandi. Mas Nata, sih, gak bangunin aku sekalian tad