Seperti kebiasaan, Dimas sudah pulang dari masjid pukul 5 pagi. Namun, kondisi rumah masih sepi. Tak ada pergerakan. Biasanya, di rumah Bu Handoyo, Mama Dimas, jam 5 pagi semua orang sudah bersiap melakukan aktiftas pagi. “Dik, sudah hampir jam enam. Bangun. Kamu nggak sholat kah?” tanya Dimas ke Sarah yang masih bergelung di kasur. “Sudah tadi, Mas. Aku tidur lagi,” jawab Sarah sambil bermalas-malasan, lalu ia menarik selimutnya kembali. “Dik, Mas mau siap-siap ke kantor. Bangun dulu. Siapin sarapan buat mama dan papa,” perintah Dimas. Ada rasa nyeri di dadanya melihat suasana rumah seperti itu. Sarah yang masih di dalam kamar, begitu juga dnegan mertuanya. Padahal, hari sudah terang. Hal yang tidak pernah ditemui di rumahnya dahulu. Mama dan Papanya selalu bangun pagi. Bahkan seisi rumah. Tak ada istilah malas di pagi hari. Rejeki bisa dipatok ayam, begitu mamanya bilang. Meski Pak Handoyo tidak membantu di da
Sabtu pagi, Sarah sudah bersiap-siap berangkat ke rumah mertuanya. “Mas, kalau aku nanti berubah pikiran nggak mau nginap, jangan dipaksa, ya?” kata Sarah sambil menutup resleting tas jinjing yang sudah diisi dengan baju ganti. “Kenapa? Kamu belum sanggup ketemu Adit?” tanya Dimas sambil tersenyum. Dimas mengerti, tak banyak orang yang dengan cepat dapat move on dari sang mantan. “Tenang, Adit itu sifatnya memang begitu. Dingin sama perempuan. Si Intan tuh, yang sudah kenal dari kecil saja, dia masih jutek. Apalagi kamu yang baru kemaren dikenalnya,” jelas Dimas. “Intan?” guman Sarah. Keningnya berkerut mendengar nama itu lagi. Sebegitu pentingkah dia di keluarga Handoyo? Bukankah dia hanya anak teman mamanya Dimas? Tapi Sarah segera menepis penasarannya. Nanti lama kelamaan juga akan tahu sendiri, rahasia di balik semua ini, gumannya dalam hati. “Tapi, dulu awal-awal kenal aku, dia nggak begitu. Setelah tahu ma
Sarah sejak datang ke rumah keluarga Handoyo, hatinya diliputi keresahan. Ingin rasanya segera pulang dari rumah itu. Aditya yang berubah, membuatnya merasa tak nyaman. Mama mertuanya yang masih belum mengajaknya bicara, membuatnya menjadi canggung. Dia merasa tak dapat menjadi dirinya sendiri. Bahkan, memegang ponsel saja, dia tak berani. Dalam benak Sarah, dia sedikit heran. Mengapa tak ada penghuni rumah itu yang memegang ponsel selama dia di sana? Apakah karena dia sudah kecanduan ponsel, sehingga menjadi kebiasaannya setiap saat tak dapat meninggalkan benda pipih itu. Ada rasa keinginan yang kuat mengecek ponselnya, tapi rasa canggung membuatnya urung. Sejak resign dari kantor dan hanya mengurus papa dan mamanya yang belum sehat di rumah, Sarah memang banyak menghabiskan waktu dengan ponselnya. Dia merasa jenuh dengan hidupnya. Melihat benda pipih itu, membuatnya dapat menhilangkan kepenatan, meski sejenak. Baru beberapa jam saja, Sarah sudah mulai rindu dengan benda pipih it
Sarah mengerjapkan matanya. Dia kesiangan bangun! Ini gara-gara semalam dia tidak bisa tidur. Dimas sudah tidak ada di sebelahnya. Pasti dia sudah ke masjid. Tapi, kenapa Dimas tidak membangunkannya? Bukannya tiap habis dari masjid pria itu selalu membangunkannya. Ah, Sarah jadi malu jika nanti ketauan bangun kesiangan di rumah Aditya ini. Sarah segera bangkit. Menyisir rambutnya yang berantakan, lalu mengendap-endap ke kamar mandi. Dalam hati, dia berharap tidak ada yang melihat muka bantalnya. Saat tiba di depan pintu kamar mandi. Sial! Terkunci. Sebenarnya di lantai bawah ada kamar mandi juga. Namun, Sarah sudah mendengar suara ramai dari lantai satu. Artinya semua penghuni di rumah ini Sudah bangun, kecuali dia. Padahal waktu baru menunjukkan pukul setengah enam pagi! Clek, Sarah yang masih berdiri di depan pintu, menahan napasnya. Seorang pemuda berwajah dingin yang memak
Meski Aditya pernah bertutur kalau Intan adalah anak sahabat mamanya, tapi entah kenapa, di benak Sarah lebih terpatri kalau Intan adalah anak teman mamanya Aditya yang disekolahkan oleh keluarga itu, asal, mau membantu pekerjaan rumah. Sarah sebenarnya tak terlalu menikmati acara sarapan bersama. Batinnya tertekan karena tak dapat menjadi dirinya sendiri. Dia ragu untuk ikut berbicara. Ada kecemasan jika ucapannya tak ada yang menanggapi. Usai sarapan, Sarah bergegas ke kamar setelah Intan mendapatkan persetujuan Dimas. “Lebih baik, Mbak Sarah siap-siap saja. Sebentar lagi, Mas Danang datang,” ucap Intan tatkala Sarah hendak menawarkan diri membantunya. Lagi pula, perkakas sarapan tidak sebanyak kalau makan malam. Usai mandi, Sarah bersiap-siap akan ber-make up saat Dimas masuk kamar. “Kamu tidak tertarik untuk memakai jilbab, Dik?” tanya Dimas hati-hati. Sarah menatap Dimas penuh tanya. Pi
Intan memang tidak ingin segera membuka status pernikahannya di hadapan teman-temannya. Ia bingung mau mengawalinya bagaimana.Pernikahan ini terlalu mendadak baginya. Kalau sampai teman-temannya tahu, dan dia tidak mengundang temannya hadir, bisa-bisa dia menjadi musuh bersama di kampus. Huff. Intan mendengus. Tapi, tak ada pilihan lain. Jangankan mengundang teman-temannya. Dia sendiri saja tak menyangka akan menikah secepat itu. Semua tak pernah diduga. Bahkan, dia saja kaget kalau ternyata mempelainya adalah Aditya, orang serumahnya. Ditambah tahu-tahu sudah ada penghulu di rumah tanpa pembahasan pendahuluan. Padahal malamnya, Ayahnya cuma bilang mau dilamar. Kenapa jadinya menikah. Bingung. Sungguh membingungkan. Bisa-bisanya ayahnya terhipnotis dengan pesona Aditya. Ya, dilihat dari mana pun, pasti banyak yang mendambakan sosok semacam Aditya jadi menantunya. Secara fisik, nggak mengecewakan. Secara otak, encer brilian, lulusan luar negeri. Secara pekerjaan, meski masih merin
Aditya, sudah berdiri di depannya. Pria itu baru selesai meeting di sekitar kampus Intan.“Kamu habis ngapain keluar ruangannya sampe kringetan kayak gitu?” tanya Aditya penuh kecurigaan.Intan mencoba mengendalikan diri. Tentu saja dia kaget. Baru semalam kena ceramah nggak boleh lihat lelaki lain kecuali dirinya. Sekarang malah tertangkap basah keluar dari ruangan dosen tergantengnya.“Lagian darimana Mas Aditya tahu kalau aku baru dari ruangan Pak Huda,” pikir Intan.“Lha emang nggak boleh kringetan?” kilah Intan sambil mendelik kesal.Aditya terdiam, namun bibirnya tersenyum mengejek.“Emang nggak ada AC-nya sampe kringetan?” tanya Aditya menyelidik.Belum selesai Aditya menginterograsi istrinya tiba-tiba ada suara datang menyapa.“Hai, Dit. Apa kabar?” tiba-tiba Bu Nurul, salah satu dosen yang satu kantor dengan Pak Hud
“Maaf, Intan sedang siap-siap. Kami mau ada acara,” ujar Aditya saat menemui Huda di ruang tamu.Sementara Intan sedang berganti baju di kamar.Intan tak habis pikir, dari mana dosennya itu tahu rumahnya? Mau apa dia datang? Apa dia benar-benar sedang mencari calon istri? Kenapa harus ke sini? Bukannya mahasiswinya yang cantik-cantik bejibun?“Ah, itu tak penting. Yang penting aku bisa jalan-jalan sama Mas Adit,” batin Intan sambil tersenyum penuh kemenangan.Akhirnya, apa yang dinanti selama ini pun jadi kenyataan. Jalan keluar dengan Aditya. Sudah beberapa hari menikah, tapi tak sekalipun mereka pacaran layaknya pasangan muda. Kali ini, Intan harus berterima kasih dengan Huda. Andaikan dia tidak tiba-tiba muncul di rumah ini, bisa jadi Aditya tak mau beranjak dari depan layar komputernya.Aditya segera memarkir motornya di parkiran mall itu. Kini, dia kembali terbiasa dengan debu ibukota. P