POV AlyaMasih seperti hari pertama lebaran, hari ke dua pun di rumah ini tetap sibuk. Pagi-pagi membuat sarapan, lalu sarapan bersama. Pokonya suasana selalu ramai dan menyenangkan. Hari ini, kami akan silaturahmi ke keluarga jauh, ada adik dan kakak dari pihak Emak, adik dan kakak dari Bapak. Lalu pergi ke rumah orangtuanya emak dan Bapak atau bagi kami, mereka adalah nenek dan kakek. Begitu yang aku dengar dari adik iparku, Fitriana. Kami hanya akan berangkat tiga keluarga plus Fitriana, Bapak dan Emak tidak ikut. Katanya di hari kedua lebaran masih banyak tamu yang akan datang, jadi ke-dua mertuaku itu tetap menjaga rumah. Setelah sarapan, semua orang bersiap-siap. Aku dan Kak Harun menaiki mobil kami sendiri, ditambah Fitriana bersama kami. Sedangkan Ustadz Hamid dan Mbak Mayang ditambah keluarga Mas Bayu, naik mobil Ustadz Hamid. Jika mau menggunakan mobil satu saja memang tidak akan muat. Kami berkendara beriringan depan belakang. Mobil yang dikendarai Kak Harun ada di bela
POV AlyaAku terus melangkahkan kaki menuju ruang depan, saat sampai di ruang tamu dan sedikit lagi sudah keluar ke teras, Fitriana meraih tanganku dan menariknya hingga tubuhku ikut tertarik juga. "Sstt ...." Gadis itu meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. "Jangan dilabrak, Mbak. Biarin saja, kita menguping saja pembicaraan mereka," ucap Fitriana. Aku tidak mengerti dengan perkataannya, menguping bagaimana maksudnya? "Ayo!" Ajaknya seraya menarik tanganku.Aku mengikuti langkah kaki nya menuju kursi yang ada di dekat jendela yang memisahkan ruangan dalam rumah dengan teras. Saat malam begini, orang yang di dalam bisa melihat bagian luar dengan jelas tapi dari luar tidak bisa melihat bagian dalam sama sekali. "Kita intip dan dengarkan pembicaraan mereka dari sini," bisik adik iparku itu. Aku duduk mengikuti Fitriana yang sudah duduk di kursi terlebih dahulu. Di luar sana tampak Kak Harun dan Yuli duduk berdua, mereka dipisahkan oleh meja kecil. Tempat itu adalah tempat yang s
POV ALYAHari kelima lebaran suasana sudah mulai biasa. Sejak hari ke empat tidak ada lagi tamu yang datang ke rumah, kalaupun ada paling saudara jauh Bapak dan Emak yang memang belum datang, satu dua orang. Pagi ini, aku dan Fitriana pergi ke warung yang selain menjual sembako juga menjual sayur-sayuran dan lauk pauk mentah. Aku menyebutnya warung, tapi Fitriana menyebutnya toko. Dia bilang, kalau di desa ini, warung itu yang jualan makanan matang, misal warung soto, warung pecel dan lain-lain.Saat kami hampir tiba di tempat tujuan, terlihat banyak ibu-ibu yang sudah berkerumun di luar warung, eh toko tersebut. Kalau aku bilang warung nanti disalahin sama adik iparku itu. "Ngapain mereka, Ana?" Tanyaku pada adik iparku itu penasaran. "Belanjalah, Mbak. Masa arisan," sahut gadis itu melucu. "Tapi kok berkerumun gitu?" Lagi, aku bertanya dengan penasaran. "Ya kan milih-milih sayuran dan lauk yang dimau. Kalau pagi gini masih banyak jenis yang bisa dipilih, makanya pada datang pag
Bugh ... bugh ... bugh! Secepat kilat, Fitriana meraih seikat kangkung dan memukuli tubuh Yuli dengan sayuran tersebut. Aku yang berpikir hendak melakukannya, tapi adik iparku yang mengeksekusinya. "Astaghfirullah ...." Aku memekik. Kaget dengan apa yang dilakukan oleh Fitriana. Segera kutahan tangan gadis itu agar berhenti memukuli wanita bernama Yuli itu. Bagaimana bisa Fitriana sekalap itu, hingga kangkung yang tadinya penuh daun, rontok menyisakan batang dan beberapa helai daun saja. Semua orang berhenti dengan aktifitas memilih belanjaan dan fokus dengan Fitriana dan Yuli."Sudah, Ana," ucapku sambil tetap menahan tangan gadis itu. "Kesal aku Mbak, gak bisa banget jaga mulut," seru Fitriana dengan nada marah. "Jangan pernah mengejek Mbak Alya," sambungnya masih dengan nada jengkel. Hatiku bahagia mendengar ucapannya, tapi juga khawatir dengan kejadian barusan. "Bulek, itu kangkungnya yang rusak dihitung sekalian ya. Cepat," pintaku pada pemilik toko. Aku harus segera memb
"Jangan lakukan itu, kasian Fitriana. Apa Kakak begitu peduli dengan wanita bernama Yuli itu, hingga memberikan banyak hukuman pada kami?" Aku bertanya tanpa melepas pelukanku."Kak ...." Aku merengek saat tubuh tegap dalam pelukanku tidak merespon ucapkanku. Hanya helaan nafas yang aku dengar, apa dia benar-benar marah karena ini berurusan dengan wanita itu padahal dia bilang kemarin kalau dia hanya mencintai istrinya, yaitu aku. Lalu kenapa Kak Harun sekarang peduli pada wanita itu. Lelaki dalam pelukanku itu lantas meraih tangan dan mengurai pelukannya. Pelan ditariknya tanganku dan diajak ke dalam kamar. Mungkin dia tidak ingin obrolan kami didengar oleh adiknya. "Ini bukan tentang wanita itu, ini bukan tentang Yuli. Tapi tentang Fitriana, adikku. Dia selalu dimanja karena anak bungsu, aku tidak mau dia makin diluar kendali. Apalagi kamu ikutan membelanya, Yang," tutur Kak Harun begitu kami sudah berada di kamar berdua. Pria yang sudah menjadi suamiku itu berdiri tepat di hada
Mataku menatap ke arah sosok yang sedang tertidur pulas di sampingku. Aku masih belum bisa tidur meskipun Kak Harun sudah terlelap sejak tadi. Aku malah memikirkan semua yang terjadi tadi. Pantas saja Kak Harun tidak suka kami meladeni Yuli, urusannya jadi panjang. Ibunya ikut campur, ditambah lagi Yuli suka mengadu. Udah kayak anak kecil saja. Tadi pagi ibunya sampai datang dan ngatain Fitriana kurang ajar karena berani mukulin Yuli di tukang sayur. Padahal udah saling memaafkan juga sebelum pulang. Sang ibu mengungkit kejadian di masa lalu, tentang pembatalan pernikahan. Wanita seusia emak itu mengatakan jika keluarga ini belum terima dengan itu makanya mencari perkara dengan keluarga dia. Ish, padahal anaknya yang ganjen sering datang ke sini. Apa dia tidak tahu hal itu. Sampai-sampai Emak harus turun tangan untuk minta maaf, emak dibilang gak bisa didik anaknya. Harusnya dia berkaca pada dirinya sendiri. Mengesalkan sekali. Ternyata selain nekat wanita itu juga suka mengadu sep
"Tapi kenapa, Mbak? Nggak boleh kah?" Aku memotong ucapannya. "Di rumahku nggak senyaman di rumah Emak, Dek," terang Mbak Zainab. Pandangannya kembali menatap hamparan pasir putih. Seperti menyimpan sesuatu, entah apa. Apa memang segitu keberatannya menampung orang lain di rumahnya. Kenapa? "Aku selalu nyaman jika ada Kak Harun bersamaku, hehe." Aku menjawabnya sambil tertawa. Aku mengatakan yang sebenarnya, di manapun berada, jika ada suamiku aku akan nyaman dan aku akan mengajak serta Kak Harun bersamaku menginap di rumah Kakak."Aku ingin merasakan menginap di mana saja, boleh ya, Mbak," pintaku memohon. "Bilang dulu sama, Harun, ya." Akhirnya Mbak Zainab seperti mengijinkan diriku. "Siap." Kami kembali diam, tengelam menikmati indahnya ciptaan ilahi. Menatap laut yang tak berujung, membuat mata dan hati seakan tentram. Aku ingin mengenal Mbak Zainab lebih dekat, akan jauh lebih baik jika aku bisa membuatnya berubah. Berubah menjadi wanita yang lebih baik dari sekarang. Mau
Suara pisau beradu dengan talenan mendominasi di dapur ini. Aku saat ini sudah berada di rumah Mbak Zainab, pada akhirnya Kak Harun mau membawaku menginap di rumah Mas Bayu setelah aku bujuk dan aku kasih tahu niatku. Siang tadi saat Mas Bayu pulang dari keliling, aku melihat sayuran yang tersisa dan meminta Mbak Zainab untuk membuat bakwan sayuran. Mas Bayu sudah mulai bekerja sejak hari ke lima lebaran, banyak ibu-ibu yang sudah memintanya untuk berjualan kembali. Malah katanya banyak yang memesan cangkang ketupat.Aku dengan semangat empat lima menyiangi sayuran dan kemudian memotongnya kecil-kecil, sedangkan Mbak Zainab menyiapkan bumbu halus. Kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing tanpa banyak bicara. Tadi pagi, begitu sampai di rumah ini, aku langsung disambut dengan baik oleh Mbak Zainab. Terlihat jelas jika kakak iparku itu tidak ingin membuatku tidak nyaman berada di rumahnya. Rumah mungil dengan dua kamar menjadi hunian Mbak Zainab dan keluarganya. Aku dan Kak Harun ak
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV AuliaSuasana dan tempat berbeda begitu terasa saat kami bangun tidur pagi ini. Sudah dua hari aku dan Mas Tama tinggal di rumah orang tuaku. Aku mengajak Mas Tama menginap di rumah orang tuaku, dengan alasan aku kangen pada mereka. Sejak menikah, kami hanya ke sini tanpa pernah menginap. Ibu mertuaku juga mengijinkannya, dan mengatakan agar aku dan Mas Tama tidak perlu khawatir padanya. Ibu masih kuat dan bisa melakukan apapun sendirian, bukan seorang manula yang tidak biasa apa-apa, begitu kata beliau saat kami akan meminta orang untuk menemaninya. Lagi pula banyak tetangga dekat, jadi tak perlu khawatir. Untuk beberapa saat ini, aku ingin menjauhkan Dara dari Mas Tama. Suamiku juga tidak pernah datang ke Berdikari Mart setelah kejadian Dara diceraikan suaminya. Urusan di sana, lebih banyak diserahkan pada Aldo. Aku dengar, perceraian Dara juga belum resmi. Baru secara agama yang diucapkan saat ada di Berdikari Mart. "Lia, itu ada Alvi yang mau ketemu kamu," ucap Ibu padaku y
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t