"Bapak! Aku tak maumemakainya.”“Ayolah, Sayang!a Sesekali kamu berdandan seksi di depan Bapak,” ucap pria mabuk tersebut sembari memeluk Dinda dari belakang. “Astaghfirullah haladzim! Bapaaak ....!”“Ayolah, Sayang! Bentaran ... Bapak itu sayang pada kamu. Apa pun akan Bapak belikan untukmu,” ucap Pak Wardoyo yang telah dirasuki setan dengan nafas memburu.Dinda meronta sekuat tenaga, tetapi sang bapak semakin bernafsu dengan putri kandungnya. Apalagi saat baju atasan Dinda telah sobek melebar hingga bagian dada terbuka sebagian, Pak Wardoyo semakin bergairah melihatnya. Wanita muda ini sekuat tenaga lepas dari cengkeraman sang bapak.“Astaghfirullah! Paaak! Sadaarr ...!” teriak Dinda histeris saat tubuh pria yang telah terbukti dalam tes DNA sebagai bapak biologis menindihnya. Sementara di tempat lain, menempuh jarak sekitar satu jam perjalanan dari rumah mewah Pak Wardoyo.“Hei, ustaz tak tau diri! Kau telah berani mengurungku. Aku bisa pastikan Jamila akan tetap jadi istriku sa
"Bu, bisa minta tolong ambilkan sarung atau selimut?” tanya sang ustaz sembari membetulkan letak jas di tubuh Dinda.“Baik, Ustaz.”Bu Teti gegas masuk rumah lalu kembali dengan kain selimut. Kemudian dengan kain selimut tersebut, wanita setengah baya ini melapisi tubuh Dinda lalu dibopong oleh sang ustaz masuk rumah.Saat menurunkan tubuh sang wanita, ustaz muda ini sempat berbisik,” Besok kita menikah. Aku tak mau kehilangan dirimu lagi, Jamila.”Dinda yang sudah terbangun menatap lekat kepada sang ustaz, begitu mendengar kata- kata barusan seketika buliran air mata mengucur deras dari kedua pelupuk mata.Sang ustaz seketika membalut ujung jari telunjuk dengan tisu lalu mengusap lembut tetesan air mata dari pipi Dinda. Tindakan Ustaz Hamdan membuat rasa sedih dan malu Dinda semakin menjadi.“Gak usah menangis lagi. Aku akan ada selalu di sini,” ucap Ustaz Hamdan sembari mengambil kotak tisu dari meja lalu mengulurkan kepada Dinda.Pria muda ini lalu duduk tepat di hadapan Dinda. Sa
"Aku siap mendengar keputusanmu, Jamila,” kata Ustaz Hamdan dan seketika membuat kedua pipi Dinda merona.Sementara Bu Teti tersenyum bahagia melihat perilaku keduanya. Sang wanita muda terdiam lalu memainkan ponsel. Tampak ia salah tingkah. Bu Teti mencubit kecil lengan sanganak agar segera memberi jawaban ke sang ustaz.“Iya, Ustaz,” ucap Dinda sembari menunduk.“Beneran?” tanya sang ustaz sembari memandang ke arah sang pujaan hati.Dinda pun mengangguk masih dengan memainkan ponsel.“Alhamdulillah! Terima kasih, Jamila,”ucap Ustaz Hamdan segera lalu mengusap wajah dengan telapak tangan.Ustaz muda ini lalu memberitahu bahwa berkas-berkas yang telah dipersiapkan sebelum Dinda diajak sang bapak telah diurus ke KUA. Bisa jadi ijab kabul esok hari dilaksanakan untuk mengesahkan pernikahan saja dan akte nikah akan selesai beberapa hari setelahnya. Semua terpaksa dipercepat demi menjaga harga diri Dinda.“Bu Teti, saya mohon izin agar Mbak Dinda bisa dijaga oleh para santri dan beberapa
Napas korban tersengal-sengal sementara beberapa bagian tubuh terluka cukup parah bahkan kaki dan tangan ada yang patah tulang.Korban digotong ke ambulans dengan diberi alat bantu pernapasan. Setelah misi penyelamatan selesai, para wanita keluar. Dinda dan Bu Teti mendekat ke arah ambulans.“Pak Wardoyo?” tanya Bu Teti sembari terbelalak dan sementara Dinda tak berani melihatnya.“Aku gak mau berhubungan dengan dia lagi. Manusia bejat!” teriak Dinda berlari ke arah ruang tamu.Bu Teti segera menyusul masuk rumah. Sementara yang lain sedang menunggu polisi olah TKP dan membantu membersihkan bekas kejadian. Setelah para petugas menyelesaikan tugas mereka berpamitan kepada Bu Teti dan Dinda serta yang lain. Mobil derek menarik kendaraan mewah Pak Wardoyo yang ringsek.Sepeninggal mereka, Bu Teti dan Dinda mulai berdiskusi tentang acara esok hari. Saat mereka sedang mengobrol, tiba-tiba salah satu santri masuk ke ruang tamu memberitahukan bahwa Ustad Hamzah datang.Tentu saja kedatangan
Pria muda ini beranjak menuju motor diiringi oleh Dinda sampai naik motor. Sang ustaz memandang penuh kasih ke arah calon istrinya.“Hati-hati, ya. Selalu baca doa dan zikir. Mustafa masih mencintaimu dan membuatku cemburu,” ucap Ustaz Hamdan.“Insyaallah akan selalu berdoa. Terima kasih atas perhatian selama ini,” balas Dinda sembari melihat ke pria yang duduk di atas motor di hadapannya.Pasangan calon pengantin berpandangan penuh arti. Tiada kata yang terucap karena hati mereka telah bertaut. Ada dua hati yang kasmaran dan tentu saja ada yang tak rela mereka bersatu.“Brengsek! Permata cincin ilang lagi. Aku mau pake tubuh kamu. Woii, bangun! Ngapain pake kejedot segala? Permaisuriku keburu diambil ustaz tak tau diri itu,” ucap Mustafa di samping tubuh Pak Wardoyo yang sedang koma.Jin bandel ini sibuk memikirkan cara untuk bisa bertemu dengan Dinda. Raganya tak bisa ia keluarkan dari botol. Semua anak buah bahkan anggota keluarga besar tak ada yang mampu melepas ikatan doa yang me
"Ustaz bajingan! Liat aja, kau akan merasakan akibatnya!” teriak Mustafa yang hanya didengar oleh kedua calon pengantin saja.“Ha ha ha ... gak taunya ada yang tambah marah,” kata sang ustaz yang diikuti tawa oleh Dinda.Bu Teti yang tak mengerti maksud keduanya menjadi kebingungan.“Emang Mustafa ada di sini?” tanyanya kepada kedua orang yang sedang tertawa.“Suaranya ada di atas pohon mangga," jawab Dinda sembari menunjuk ke pohon tersebut.Bu Teti mengikuti arah telunjuk sang anak, tetapi tak ada apa pun di sana. Akhirnya, wanita setengah baya ini hanya menggeleng karena sudah memaksa melotot pun tetap tak dapat melihat.Mustafa yang semakin jengkel tak tahan dengan keadaan ini. Ia pun segera menghilang dan Dinda mengamati kepergiannya. Indra penciumannya mencoba menghirup aroma yang biasa lewat jika ada Mustafa, tapi kali ini tak tercium.“Ngendus apa, Nduk?”tanya Bu Teti yang sedari tadi mengamati Dinda.“Biasanya ada bau khas Mustafa,” jawab sang anak sembari melirik Ustaz Hamda
Penglihatan mereka soal keberadaan Ustaz Hamdan yang ada dua, membuat berpikir bahwa ada jin yang menyerupai putra sang kiai.“Moga tak ada masalah setelah ini,” ujar Ibu Pengurus.“Aamiin. Ngeri juga, Bu. Kalo kejadian kayak di rumah Mbak Dinda kemarin.”“Iya, Ustazah. Ngeri.”Kedua wanita baru saja tutup mulut saat dari rumah utama terdengar bunyi dentuman yang cukup keras seperti sesuatu amat besar roboh ke tanah lalu diikuti suara lengkingan panjang.Sontak saja, suara keributan di rumah utama menarik semua orang yang berada di sekitar lingkungan ponpes, terutama di masjid. Tak lama kemudian, Ustaz Hamdan tampak keluar dari rumah utama langsung berlari ke arah masjid. Pria muda ini mencari keberadaan Dinda.“Jamila, Mustafa lepas. Waspada,” ucap sang ustaz sembari memegang tangan sang istri.“Astaghfirullah!” seru Dinda yang seketika pucat pasi.Hal yang ia takutkan terjadi juga bahwa Mustafa akan membuat kerusuhan di hari pernikahan. Setelah didahului ancaman ditujukan kepada san
“Udah, Ngger! Biarkan aja. Dia bukan istri yang baik untukmu,” kata Pak Kiai.“Kiai, Ustaz, tolong disadarkan Dinda.Saya mau susul mereka,” ujar Bu Teti segera beranjak dengan setengah berlari mengejar Dinda dan Ustaz yang menurutnya palsu.“Kita susul sekarang, Bah?” tanya sang anak.Pak Kiai segera mengangguk dan mereka pun berjalan berdampingan menuju rumah utama. Bu Teti dengan setengah berlari mengejar pasutri di depannya.“Nduk, itu bukan suamimu. Itu Mustafa. Nduuuk ...!”Teriakan Bu Teti terhenti di depan pintu kamar. Saat wanita setengah baya ini hendak mengetuk, ada langkah yang mendekatinya.“Bu, biarin mereka. Nanti juga tau,” ucap Pak Kiai mencegah tangan wanita ini untuk mengayun ke daun pintu.Tak seberapa lama, terdengar suara Ustaz Hamdan dari dalam kamar.“Jamila, kamu kenapa?”Beberapa saat terdengar suara seperti suara retakan lalu diikuti teriakan histeris sang ustaz.“Ayaaah ...!”Suara sang ustaz lalu berubah menjadi suara lengkingan kesakitan dan kemudian senya
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu