Seperti yang kuceritakan sebelumnya, kampung ini hanya berisi beberapa kepala keluarga. Mungkin tidak sampai seratus KK. Makanya, ada aura-aura jomblo, eh, sepi bin merana di kampung ini.
Kepala Desa yang sukses membuatku merinding se-body-badan, namanya Pak Acung. Namanya unik, ya? Pria banget. Acung. Sempat ingin kubertanya kenapa namanya Acung, aku jadi segan bin worry. Tidak sopan. Toh, dia lelaki. Wajar NGACUNG. Eh, apa, sih? Ini kan cerita horror, bukan bo to kep. Ngacungnya digedein pula! Alamak!
Btw, balik lagi ke cerita kuntilanak. Siap-siap, ya? Jangan sampai NGACUNG, eh, berak dalam celana.
Kampung ini namanya Talu-talu. Namanya juga khas dan unik, Talu-talu. Seperti gendang yang dipukul, suaranya bertalu-talu.
"Kenapa dinamakan desa Talu-talu, Pak?" tanyaku begitu pertama kali datang dan singgah ke rumah Pak Acung, sebelum aku di-drop ke rumah kosong milik Nyai Romlah.
Pak Acung memiliki kumis tebal mirip Mas Adam-nya Mbak Inul. Kulitnya hitam dimakan matahari. Tubuhnya jangkung dan kurker. Sorot matanya, tajam dan membuat siapa yang memandang bergetar sebadan-se-body.
"Entahlah, sudah dari zaman itik menyangka dirinya ayam, kampung ini bernama Talu-talu. Masih untung namanya itu, coba bayangkan kalau namanya Bulu-bulu, atau Bolo-bolo? Apa enggak marah Tina Toon, nanti?"
Aku hanya bisa memutar biji mataku. Ya sudahlah, Pak. Pelit amat ngasih tahu. "Btw, tolong antarkan saya ke rumah yang katanya serem bin menakutkan itu, Pak. Saya sudah tidak sabar bin tabah pengen ke sana."
"Kuy-lah!"
Kami segera ngacung dan keluar dari rumah. Namun, Pak Acung menceritakan cerita yang kuceritakan ke kalian sebelumnya di dalam perjalanan, ketika senja merekah menjemput malam. Aura mistik dan kabut tipis membayangi langkah kami menuju rumah Nyai Romlah bin Rarashati.
Rumah itu lumayan terpencil dari rumah-rumah lainnya. Laiknya film horor, sebuah kisah misteri pasti berasal dari rumah-rumah tua dan angker. Menurut informasi dari Kang Gendang, eh, Pak Acung, kejadian Rarashati is dead itu terjadi lima puluh tahun yang silam. Udah lama banget, Cuy! Setengah abad dan itu seusia dengan Pak Acung. W-o-w! Wow!
"Ini rumahnya!"
Di depanku berdiri rapuh sebuah rumah yang telah ditumbuhi akar-akar dan semak-semak belukar. Tidak terlalu jelas, tapi cahaya purnama masih mampu menerangi rumah tersebut.
"Tidak pernah dihuni, Pak?"
Pak Acung menahan napas. Wajahnya tegang. "Cuma di luarnya saja yang tidak bisa dibersihkan. Di dalamnya masih rapi dan bisa ditinggali."
Aku mengernyit heran, "Kok bisa, Pak?"
"Iya, tidak ada yang berani menebas belukar yang menutupi dinding dan atap rumah. Siapa saja yang melakukan itu, bisa jatuh sakit lalu mati dengan tubuh seperti disayat-sayat. Pokoknya, ngeri banget."
Kupandangi rumah tua tersebut dengan takjub.
"Di sebelah kanan rumah, kamu melihat pohon beringin tua itu ‘kan? Nah, di bawah pohon itulah kuburannya Rarashati."
Aku terlonjak karena begitu Pak Acung selesai berbicara, terdengar bunyi berdebum di dalam rumah. Jantungku cepat-cepot tak karuan rasa.
"Itu suatu pertanda kalau aku tidak boleh bicara banyak pada orang luar. Aku akan pergi. Kamu yakin masih mau stay dan memasuki rumah Rarashati?"
Hati kecilku mengatakan jangan, tapi egoku jauh lebih sombong. Aku menganggukkan kepala atas dan kepala bawah apakah dia juga mengangguk? Huss!
"Baiklah. Ingat, ya? Penerangan di dalam rumah hanya boleh dengan lampu togok. Cahaya senter dan sebangsanya jangan coba-coba di dalam rumah." Pak Acung menyerahkan sebuah lampu klasik yang ada di tahun 90-an. Kalian anak milineal mana kenal lampu togok. Gugel saja kalau mau tahu. Huh!
"Kenapa enggak boleh pakai senter, Pak?" Tentu saja itu sangat mengundang keheranan. Karena aku sudah menyiapkan senter dengan kapasitas sejuta Watt untuk penerangan. Hihihi.
"Biar beda aja gitu. Kalau senter sering dipakai orang-orang luar dalam mengejar hantu." Pak Acung nyengir badai. Aku kembali memutar biji mata.
"Ya sudah. Aku tinggal, ya? Ingat! Apa pun yang terjadi, hadapi sendiri. Jangan pernah libatkan siapa pun. Datang ke sini berarti siap mengorbankan nyawa. Saya tanya untuk terakhir kalinya, kamu yakin?"
Duh, Pak Acung bikin aku tambah ragu, deh. Ini udara malam semakin dingin. Aku butuh kehangatan. Mungkin dengan membakar rumah ini aku bisa hangat bin panas. "Saya yakin, Pak! 100 persen."
"Baiklah. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Yang jelas, begitu kamu memasuki rumah tersebut, kamu sudah tidak berada di alam manusia lagi." Pak Acung terkekeh. Tentu saja aku menganggap apa yang ia sampaikan suatu lelucon belaka.
Pak Acung segera berlalu dari hadapanku ketika telingaku menangkap suara terkikik. Kontan saja hatiku kembat-kembit. Aku hendak bertanya, tapi Pak Acung sudah buru-buru dan bahkan langkahnya seperti berlari kencang. Terbirit-birit luntang-pukang.
Tinggallah aku sendiri di halaman rumah ini. Desir angin terasa begitu lembut, tapi membekukan. Aku yang sudah berjaket tebal saja masih menggigil dibuatnya. Seolah-olah hawa dingin itu menembus tebalnya kulit jaket.
"Akang Gendang ...." Aku terlonjak. Nyaris saja aku terpekik ala Diana Pungki keluar dari kerang. Kalian yang kaum milineal mana tahu dengan Diana Pungki. Huh! Gugel, sono!
"Siapa?" teriakku dengan bibir bergetar.
"Kalau saya suruh muter, muter ya, Kang?"
Aduh, siapa, sih? Suasana genting kayak gini masih saja bercanda. Aku selain takut juga pengen pipis. Jangan sampai aku beser dalam celana.
Tidak berapa lama, terdengar bunyi gendang bertalu-talu. Duh, jadi pengen joged. Aku pejamkan mata. Ini hanya ilusi, ini hanya rayuan setan belaka. Tidak ada hantu, tidak ada setan. Semua itu hanyalah halusinasi semata. Kupertajam indera pendengaran.
Suara gesekan ranting pohon semakin terdengar jelas. Lolongan anjing terdengar sayup-sayup sampai. Hawa semakin mencucuk garang. Membuatku menggerakkan rahang mencoba mengusir udara yang kian tak bersahabat.
Namun, di sela-sela pikiranku yang mencoba untuk tenang, hidungku menangkap bau yang sangat familiar. Bau yang teramat busuk. Nyaris membuat hidungku tanggal saking santernya itu bau.
Jika kalian pernah melewati bak sampah, maka busuknya itu beratus-ratus kali lipat dari bau sampah. Mungkin kalian menebak bau yang kuhidu adalah bau bangkai. Kalian salah.
Ini bukan bau bangkai.
Bau jigong?
Bukan, Bambang!
Lalu bau apa?
Ini semacam bau bangkai.
Izinkan aku memutar bulu hidung. Baunya benar-benar sangat busuk. Seperti bangkai tikus yang terjepit di plafon rumah. Membuat kepala pening bin sakit.
"Akang Gendang ...."
Suara itu teramat dekat bahkan bisa kurasakan ada hembusan napas di telingaku. Mataku yang terpejam semakin aku picingkan. Bagaimana kalau aku buka mata, itu sosok menakutkan hadir menyapa.
Aku tidak kuat. Bau busuk, suara-suara yang menyapa, seketika terasa begitu nyata di dekatku.
"Akang Gend ....!"
"DIAAAM! DIAAAAM!" Kontan aku berteriak murka. Dari tadi kubiarkan saja dia menyebutku Akang Gendang. Sejak kapan aku jadi penabuh gendang? Ketakutan yang tadi membelenggu jiwa, rontok seketika. Kubuka mata dan napasku hampir saja putus menyaksikan ....
Kalau ... di depanku ... saat ini ... adalah ....
Napasku kian sesak. Hatiku nyaris roboh. Tidak menerima fakta kalau di pintu ... rumah ... tua itu ... terlihat ... sesosok tubuh ... tanpa baju sedang ... menyusui bayi.
"Akang Gendang ...."
Sudahlah, aku pingsan saja kalau begitu.
Pingsan dulu, yo?
Aku memutuskan tidak jadi pingsan. Kalau aku pingsan, ngapain capek-capek dan jauh-jauh datang ke kampung misteri ini? Enggak worth it banget, deh, pakai acara pingsan segala. Aku cukup lambaikan tangan ke kamera maka tim Uka-uka akan datang menjemput. Sayangnya, itu hanya khayalanku saja. Aku ke sini sendiri, tanpa crew.Kubelalakkan mata segede jengkol menatap sosok yang berdiri di depan pintu rumah tua. Walau samar-samar yang jelas itu terlihat seperti sosok seorang perempuan sedang menyusui bayi.Menguatkan tekad yang membara di dalam celana, eh, jiwa aku memantapkan hati mendekati sosok tersebut, kali aja bisa diajak ngobrol baik-baik, terus dia mau nyusuin aku, astaga! Ha ha ha! Ha ha ha! Astaga! Aku mikir apa, sih? Bisa-bisanya aku mikir. Emang aku punya otak? Ha ha ha. Kok aku tertawa, sih? Hahaha.Apa, sih!?Selangkah, dua langkah masih dengan kemantapan hati. Namun, kian dekat, kok, jantung i
Aku menghela napas panjang. Sepanjang jalan kenangan kita berdua. Iya, kita. Aku dan kamu. Itu artinya kita. Rasanya gondok gimana gitu, udah capek-capek bicara, eh, yang kuajak ngemeng ternyata hanyalah seekor patung. Kesel, deh, akh, akh, akh. Ikh, ikh, ikh. Yang paling seksi, seksi sekali. Kamulah makhluk hidup yang paling seksi, seksi sekali.Udah, akh. Mending aku masuk ke dalam rumah. Gelap, Mak! Sangat gelap. Enggak ada cahaya sama sekali. Bagaimana ini? Lampu togok yang tadi dipinjamkan Pak Acung, sudah mati terhembus angin malam. Untung saja aku tidak phobia kegelapan. Dan untungnya lagi, aku walau bukan perokok aktif, selalu bawa korek hidung ke mana-mana.Kunyalakan korek api, lalu cuzzz. Lampu togok pun menyala dengan riang gembira. Bahagia rasa hati begitu melihat cahaya yang menerangiku di dalam kehitaman tanpa noda, dosa, suci lahir dan batin. Semakin ke sini, kalimatku kian bertele-tele. Jangan kalian anggap ini kesal
Cling!Tidak ada perubahan apa-apa, sih. Enggak ada yang berubah. Tadinya aku mikir ruangan ini berubah jadi lebih bersih, atau kami pindah ke dimensi lain yang lebih uwow. Nyatanya, cuma gaya Nona Rara saja biar terlihat seperti si tukang sihir.Berkali-kali dia menjentikkan jemari. Kalau kalian pernah nonton film Upin Ipin ada tuh nenek-nenek yang mengacungkan tongkat sambil baca mantra pim pin pow! Seperti itulah keadaannya Kuntilanak berbaju merah ini. Aku hanya bisa menghela napas sambil memutar biji mata."Sudahlah, Non! Kayak gini pun udah worth it banget, kok. Apalagi ditemenin oleh nona yang samlohay ini." Aku tersenyum dan hendak mendekat ke arahnya."JANGAN MENDEKAT!"Tiba-tiba saja dia membentakku dengan mata melotot. Aku kaget, sumpah!"Ke ... kenapa, Nona?" jantungku berdegup tidak menentu."Kamu bau!" jawabnya sambil mengibas-ngibaskan tangan."Maaf, Non. Aku kentut barusan."
"I can't breath! Let ... meeeh ... goooh. Pleaseee ...." Rambut Rara semakin tebal saja rasanya. Hampir menutupi seluruh wajahku. Sesak sekali dada ini, Puan. Apakah yang Kuntilanak ini inginkan dariku? Apakah aku akan mati konyol begitu saja?"Susah bernapas, ya? Mau mati rasanya, kan?"Aku mendengar suara Rara, tapi tidak bisa lagi melihat wujudnya. Karena mataku ketutupan rambut yang baunya mulai begitu aneh."Apa yang Nona inginkan dari saya?" tanyaku dengan tenggorokan kering. Jantungku sudah tidak tahu lagi iramanya. Meloncat sana, meloncat sini. Sumbang dan tidak lagi bisa berdendang riang."Tidak ada. Justru kamu yang menginginkan sesuatu dariku, bukan?"Kembali kumereguk ludah. Rasanya dia tahu apa yang aku inginkan. Kemampuannya bisa membaca pikiran dan mendengarkan suara hatiku membuatnya mudah mengetahui maksud terselubungku datang ke tempat ini dan bertemu dengannya."Jangan bermimpi kamu akan mendapatkannya. Tidak sega
"Jangan pingsan, dong!" Kurasakan sentakan kuat di tanganku. Kepalaku yang tadi terasa berputar-putar nanar, mencoba untuk stabil kembali. Kulihat kepala Rara sudah berada di tempatnya dengan benar."Jangan kagetin aku lagi, please! Kamu, sih, enak. Sedang aku?" Aku merengut sambil memijit pelipisku yang terasa sakit."Cieee, manyun! Cute tau, 'nggak?" Rara mencubit pipiku gemas. "Iya, deh! Aku janji enggak bakalan nakutin kamu asal kamu juga tidak menyebut-nyebut nama Bang Arya. Kalau aku yang nyebut, enggak masalah. Tapi kalau orang lain yang nyebut, tubuhku terasa bertanggalan dari sendi-sendinya.""Hmm." Aku memutar pikiran mencoba mencerna maksud dari perkataan Rara. Namun, tetap saja tidak ada jawaban. "Kenapa bisa begitu?"Dia tersenyum. Senyumnya begitu manis di wajah cantiknya. Membuatku terpesona dan alirah darahku terasa mengalir lancar."Karena dialah lelaki yang pernah mengisi hatiku, memberiku sejuta cinta dan kebaha
Aku terjaga ketika mendengar kokok ayam jantan. Mataku memicing ketika bersentuhan dengan cahaya yang menembus tadir rumah. Harum bau masakan lambat-laun memenuhi ruang hidung."Di mana ini?" Aku bertanya dengan suara antara terdengar dan tidak. Kesadaranku belum pulih sempurna. Kepalaku terasa sakit.Setelah mataku meyesuaikan diri dengan suasana dalam ruang yang merupakan sebuah kamar ini, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Cilukbaaa ...!"Aku berteriak keras ketika Rarashati mengejutkanku dengan wajah setannya."RARASHATIIII!!!"Dia segera mengembalikan muka cantiknya dan tertawa terkikik-kikik. "Kamu lucu sekali," lanjutnya sambil guling-guling di lantai."Apanya yang lucu? Kamu hampir saja membuat jantungku berhenti berdenyut." Aku mengumpat sambil turun dari dipan kayu. Terdengar suara berderit ketika tubuhku meninggalkan ranjang tersebut."Ealaah, segitu aja kamu sudah semaput. Lemah. Loyo!"Rara menga
Aku masih ngambek dan mengkal. Cekikan Rara di leherku terasa sakit. Sialan! Seenaknya saja main cekik orang. Dikira enggak sakit apa? Setan memang seenak jidatnya saja. Mentang-mentang nafsunya lebih besar dari pada hatinya. Kalau sampai aku mati gimana? Sayang, kan, ya? Cowok seganteng aku dan berkualitas gini tewas dicekik Kuntilanak?"Kamu masih ngambek?" Rara asyik menggantung di langit-langit rumah. Kadang aku heran sama ini Kunti. Dia kira dia kelelawar apa? Kali ini bau bunga udah berganti dengan bau bangkai. Bahkan dia menampakkan rupa jeleknya."Siapa yang ngambek?" Aku mendengkus dan membuang mata ke luar jendela. "Aku hanya tidak tahan dengan bau busuk dan menatap tampangmu yang menakutkan itu.""Mulai ... mulai! Main fisik lagi, main fisik lagi! Kamu memang hobi menghina orang, ya? Sok banget, deh. Jangan karena kamu tampan, gagah dan ganteng, terus kamu seenaknya saja menghina orang." Kali ini dia meliuk-liuk mirip penari ular di langit-langit kamar. Kepalanya bergerak
Aku memilih untuk menenangkan diri dengan cara duduk bersandar ke dinding. Aku masih shock.Lidahku kelu, jantung berdebar tidak tenang. Pertanda apa ini? Kenapa lelaki di luar itu begitu familiar?Tidak!Tidak mungkin itu aku!Tapi kenapa wajahnya begitu mirip? Aku seolah-olah melihat diriku sendiri di sosoknya yang terlihat sederhana, tapi mengandung kharisma yang pastinya membuat kaum hawa klepek-klepek sesak napas kalau berhadapan secara langsung dengannya."Kikikikikik!"Aku sontak terkejut mendengar kikikan di sebelah kananku. "Rara?" Ya Tuhan, nyawaku kembali penuh begitu melihat kuntilanak cantik itu muncul secara tiba-tiba di sampingku. "Ke mana saja kamu?""Hikhikhik. Kangen, ya?" Rara tertawa panjang, sosoknya merayap naik ke atas langit-langit. Hobi benar dia bergelantungan kayak beruk di sana."GR banget. Siapa juga yang kangen? Aku hanya tidak ingin kamu tinggalkan di sini." Aku membuang muka karen
Udara malam ini terasa semakin menusuk tulang. Apa yang disampaikan Nyai Jelita-ibunya Bang Arya-membuatku bingung. Segera kudekatkan telapak tangan ke dahi ibu tua tersebut."Emak sehat 'kan? Enggak lagi demam atau sebangsa dan setanah air?" Aku tertawa terbahak-bahak."Kamu tidak percaya dengan apa yang emak sampaikan?" Wajahnya mengelam bagai malam tanpa bintang. Aku pun jadi canggung seketika."Ya, bagaimana saya bisa percaya, sih, Mak? Serasa khayalan dan fantasi saja. Lagian, sekarang zaman sudah maju, Mak. Mana pula ada kerajaan-kerajaan. Apalagi ini di Indonesia. Haram hukumnya mendirikan kerajaan. Bisa-bisa dibom sama pemerintah itu kerajaan." Aku kembali terkekeh-kekeh. Tiba-tiba saja kurasakan muncungku diremas oleh tangan yang tidak kasat mata. Kutatap Nyai Jelita yang sekarang memandangku tajam. Dia sepertinya marah. Apakah aku sudah terlalu lancang? Dasar mulut kurang ajar."Sekarang kamu boleh tidak percaya. Baga
"Kau seperti melihat hantu saja, Nak? Ha-ha-ha"Itu ibunya Bang Arya. Bikin kaget saja. Tadi bener, lho. Hampir saja aku mengira dia itu setan. Melihat rambutnya yang tagurajai mirip Kuntilanak tua yang sudah bosan mengganggu manusia."Duh, Emak bikin saya sport jantung saja. Untung saya tidak mati berdiri." Kuelus-elus dadaku, berusaha menenangkan detak jantung yang seperti dipukul ribuan kayu. Sementara ibu tua tersebut tertawa terkikik-kikik memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Cantik sekali."Oalah, Bujang. Begitu saja kamu sudah terkentut-kentut." Dia mengambil lampu yang parkir mesra di dinding rumah."Siapa yang terkentut, Mak? Aku, tuh, terkejut. T E R K E J U T."Ibunya Bang Arya kian terkekeh-kekeh sambil melambaikan tangan. "Jangan terlalu serius kamu, Bujang. Cepat tua kamu nanti. Kuylah, ikut Emak. Perutmu udah keroncongan kayaknya.""Kenapa Emak memanggilku Bujang?" Penasaran, dong, ya, kenapa si Ema
Aku tidak bisa tidur. Bang Arya di sampingku sudah seperti kerbau ngorok. Rasanya lucu sekali, tidur di sisi orang yang baru kau kenal dalam hitungan jam. Kupandangi wajahnya yang sedang mangap. Perfect!Bahkan tahi lalat kecil di bawah dagunya pun sama dengan yang kupunya. Mungkinkah dia ini moyangku? Atau mungkin dia yang dulu, lalu aku adalah reinkarnasinya. Mungkinkah? "Kenapa kau melotot menatapku seperti itu? Kau mau cipok aku, ya?"Astaga! Aku kaget, sumpah! Tiba-tiba saja Bang Arya sudah memegang kepalaku. Wajah kami begitu dekat, bisa kurasakan bau nafasnya yang mengeluarkan aroma cengkeh.Kenapa aroma cengkeh? Ternyata di zaman ini, setiap mereka yang selesai makan kenyang, supaya napas tidak busuk, dikunyahlah sebutir dua butir cengkeh."Lepaskan, Bang! Bikin kaget saja." Aku berusaha melepaskan pegangan tangannya di rambutku."Jawab dulu! Kau mau melecehkanku, ya? Kau homo, ya?"Ya ampun, dia benar
Aku seperti korban perkosaan yang menyendiri di sudut kamar. Badanku serasa remuk-redam setelah dihajar habis-habisan oleh Bang Arya. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya sehingga tega menurunkan tangan jahat kepadaku yang ganteng bak dewa Yunani ini. Uhuy!"Jahat kau, Bang. Tega sekali menjatuhkan tangan besi kepadaku. Kalau ditilik dari kacamata hukum, kau telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bisa dilaporkan ke Komnasham dan dihukum seberat-beratnya." Aku merepet kayak emak-emak habis kecurian dompet.Bang Arya masih menatapku marah. "Makanya, mikir pakai otak kalau bicara. Seenaknya saja menuduh Rara-ku perempuan murahan." Dia kembali berdiri dan melangkah ke arahku."Siapa yang bilang begitu, Bang? Aku hanya mengatakan Rarashati yang membawaku ke sini. Ke alam ini! Abang paham tidak? Aku ini bukan penduduk negeri ini! Aku tersesat, aku ditinggal sendiri di sini, dan aku tidak tahu jalan pulang! Tolonglah, Bang! Percayalah de
"Assalamualaikum, Mak?" Bang Arya menggedor pintu seperti orang terdesak boker."Woles, Bang. Bisa saja emaknya Abang lagi di dapur" Aku berdiri di belakangnya dengan sedikit kesal."Duh, emakku itu memang sedikit bermasalah dengan telinganya, Bulan. Duh, nama kau tak enak sekali di lidahku. Kau jantan, tapi nama melambai. Salah makan obat bapak kau pas ngasih nama kurasa."Aku memencongkan bibir. Pret dah. Bawa-bawa bokap lagi. "Lambemu, Bang, belum pernah ditepok sandal kayaknya. Abang doang yang manggil aku Bulan. Kalau teman-temanku memanggilku Aster.""Aster?" Dia menoleh, meremehkan. Bibirnya mengambang gitu. Huh!"Iya!" Aku melipat tangan, kepala mendongak, "keren 'kan?""Keren? Cuih! Yang aku tahu itu Astor. Baru enak dikunyah. Kalau engkau? Menatap wajah kau saja membuatku ejakulasi dini." Dia kembali menggedor pintu."Woy! Santai, dong, moncongmu, Bang! Coba Abang bercermin. Wajah kita itu 12 : 12. Heran aku, t
"Ra?""Ya?""Ada Arya di luar.""Apaaa?"Rara kembali menghilang begitu aku menyebut nama Arya. Padahal masih ada beberapa suap lagi di atas piringnya. Kasihan. Pantas saja orang tua dulu selalu bilang jangan bicara ketika sedang makan. Ini contohnya, Rara jadi tidak menghabiskan makanannya.Tadi boker, sekarang lenyap entah ke mana. Memang setan ajaib si Rara, mah. Aku segera menuntaskan makanku setelah kudengar ada tawa di luar kamar. Sepertinya Rarashati remaja dengan Arya sedang terlibat obrolan seru. Walau suaranya tidak terlalu jelas, tapi terasa sekali kalau mereka sangat bahagia.Tidak berapa lama kudengar bunyi langkah kaki dan salam perpisahan. Sepertinya Arya sudah pulang. Aku segera berdiri dan ajaibnya semua masakan tadi lenyap entah ke mana. Yang jelas, aku terasa sangat kenyang.Benar-benar enak masakan Chef Renata.Ketika pintu kamar berderit, aku melompat keluar mel
Aku memilih untuk menenangkan diri dengan cara duduk bersandar ke dinding. Aku masih shock.Lidahku kelu, jantung berdebar tidak tenang. Pertanda apa ini? Kenapa lelaki di luar itu begitu familiar?Tidak!Tidak mungkin itu aku!Tapi kenapa wajahnya begitu mirip? Aku seolah-olah melihat diriku sendiri di sosoknya yang terlihat sederhana, tapi mengandung kharisma yang pastinya membuat kaum hawa klepek-klepek sesak napas kalau berhadapan secara langsung dengannya."Kikikikikik!"Aku sontak terkejut mendengar kikikan di sebelah kananku. "Rara?" Ya Tuhan, nyawaku kembali penuh begitu melihat kuntilanak cantik itu muncul secara tiba-tiba di sampingku. "Ke mana saja kamu?""Hikhikhik. Kangen, ya?" Rara tertawa panjang, sosoknya merayap naik ke atas langit-langit. Hobi benar dia bergelantungan kayak beruk di sana."GR banget. Siapa juga yang kangen? Aku hanya tidak ingin kamu tinggalkan di sini." Aku membuang muka karen
Aku masih ngambek dan mengkal. Cekikan Rara di leherku terasa sakit. Sialan! Seenaknya saja main cekik orang. Dikira enggak sakit apa? Setan memang seenak jidatnya saja. Mentang-mentang nafsunya lebih besar dari pada hatinya. Kalau sampai aku mati gimana? Sayang, kan, ya? Cowok seganteng aku dan berkualitas gini tewas dicekik Kuntilanak?"Kamu masih ngambek?" Rara asyik menggantung di langit-langit rumah. Kadang aku heran sama ini Kunti. Dia kira dia kelelawar apa? Kali ini bau bunga udah berganti dengan bau bangkai. Bahkan dia menampakkan rupa jeleknya."Siapa yang ngambek?" Aku mendengkus dan membuang mata ke luar jendela. "Aku hanya tidak tahan dengan bau busuk dan menatap tampangmu yang menakutkan itu.""Mulai ... mulai! Main fisik lagi, main fisik lagi! Kamu memang hobi menghina orang, ya? Sok banget, deh. Jangan karena kamu tampan, gagah dan ganteng, terus kamu seenaknya saja menghina orang." Kali ini dia meliuk-liuk mirip penari ular di langit-langit kamar. Kepalanya bergerak
Aku terjaga ketika mendengar kokok ayam jantan. Mataku memicing ketika bersentuhan dengan cahaya yang menembus tadir rumah. Harum bau masakan lambat-laun memenuhi ruang hidung."Di mana ini?" Aku bertanya dengan suara antara terdengar dan tidak. Kesadaranku belum pulih sempurna. Kepalaku terasa sakit.Setelah mataku meyesuaikan diri dengan suasana dalam ruang yang merupakan sebuah kamar ini, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Cilukbaaa ...!"Aku berteriak keras ketika Rarashati mengejutkanku dengan wajah setannya."RARASHATIIII!!!"Dia segera mengembalikan muka cantiknya dan tertawa terkikik-kikik. "Kamu lucu sekali," lanjutnya sambil guling-guling di lantai."Apanya yang lucu? Kamu hampir saja membuat jantungku berhenti berdenyut." Aku mengumpat sambil turun dari dipan kayu. Terdengar suara berderit ketika tubuhku meninggalkan ranjang tersebut."Ealaah, segitu aja kamu sudah semaput. Lemah. Loyo!"Rara menga