Beranda / Horor / JERITAN HATI SANG KUNTILANAK / 6. CiDi Sang Kuntilanak

Share

6. CiDi Sang Kuntilanak

Penulis: Triyuki Boyasithe
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"I can't breath! Let ... meeeh ... goooh. Pleaseee ...." Rambut Rara semakin tebal saja rasanya. Hampir menutupi seluruh wajahku. Sesak sekali dada ini, Puan. Apakah yang Kuntilanak ini inginkan dariku? Apakah aku akan mati konyol begitu saja?

"Susah bernapas, ya? Mau mati rasanya, kan?"

Aku mendengar suara Rara, tapi tidak bisa lagi melihat wujudnya. Karena mataku ketutupan rambut yang baunya mulai begitu aneh.

"Apa yang Nona inginkan dari saya?" tanyaku dengan tenggorokan kering. Jantungku sudah tidak tahu lagi iramanya. Meloncat sana, meloncat sini. Sumbang dan tidak lagi bisa berdendang riang.

"Tidak ada. Justru kamu yang menginginkan sesuatu dariku, bukan?"

Kembali kumereguk ludah. Rasanya dia tahu apa yang aku inginkan. Kemampuannya bisa membaca pikiran dan mendengarkan suara hatiku membuatnya mudah mengetahui maksud terselubungku datang ke tempat ini dan bertemu dengannya.

"Jangan bermimpi kamu akan mendapatkannya. Tidak segampang itu, Ferguso! Kolor Kuntilanak hanya bisa didapatkan dengan cinta. Apa kamu memilikinya? Adakah cinta di hatimu, Wahai Lelaki Dari Kalangan Manusia?"

Lilitan rambut di kepalaku mendadak lenyap. Sebagai gantinya, aku dibuat histeris dengan penampakan wajah Rara. Kulit mukanya melepuh seperti disiram air panas. Biji matanya semerah darah. Mulutnya robek dan meneteskan cairan berbau busuk.

Aku terbelalak ngeri. Inikah penampakan asli Kuntilanak Merah? Begitu menakutkan dan mengerikan. Gaun merah menyelimuti seluruh tubuhnya. Tangannya terangkat ke atas, menampakkan jari jemari berkuku panjang dan runcing.

'Tahan napas selama 10 hitungan.'

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Tiba-tiba saja Rara celingukan. Wajah buruk rupanya mendadak lenyap, berganti dengan paras cantik jelita.

"Bul?"

Dia masih celingak-celinguk. Mencari-cari keberadaanku.

"Astrea Bulan? Kamu di mana?"

Aku masih diam menahan napas sambil menghitung-hitung. Dadaku mau pecah saja rasanya. Setiap hitungan ke sepuluh, aku mengembuskan napas secepat yang aku bisa lalu kembali menahannya.

Pertanyaannya sampai kapan aku akan melakukan hal ini?

"Aku tahu kamu masih ada di ruangan ini. Keluarlah! Aku tidak akan menyakitimu. Bukankah tujuanmu datang ke kampung ini adalah untuk bertemu denganku? Sekarang, aku sudah ada di hadapanmu, lalu kenapa kamu menggunakan ilmu Menahan Napas, Melenyapkan Raga?"

Dia tahu dengan triks bersembunyi dari hantu ini, Coy! Hebat benar si Rara. Bukankah dia bisa membaca dan mendengar suara hatiku? Aneh bin ajaib juga kalau dia sekarang tidak bisa mendeteksi keberadaanku.

"Ya sudah. Aku ingin tahu, selama apa kamu mampu bertahan dan bersembunyi dariku. Jika nanti kita bertemu lagi, aku tidak segan-segan mencabut jantungmu dan membunuhmu, Bulan!"

Tentu saja ancaman ini tidak bisa kuanggap sepele. Aku sangat takut dan jelas, sangat khawatir. Buru-buru aku mengembuskan napas dan terengah-engah karenanya.

"Hikhikhik ... ternyata mentalmu tempe sekali, Astrea Bulan. Baru diancam segitu saja sudah langsung nongol. Enggak seru, akh!" Rarashati melayang ke arahku. Satu hal yang luput dari perhatianku adalah kenapa tidak ada lagi bayi dalam gendongannya? Ke mana perginya makhluk kecil mungil yang tadi melengking tinggi suara tangisannya?

Ah, bomat! Setidaknya aku harus tahu, mau ngapain aku sekarang?

"Aku capek sekali. Bisakah kamu pergi, Nona? Aku mau tidur!" Tanpa menunggu jawabannya aku kembangkan matras, lalu langsung bergelung di atasnya.

"Duh, cepat amat tidurmu. Bencong aja pulangnya pagi. Ayo, bangun dulu, Cuy! Aku mau ngegosip, nih!"

Mendengar kata gosip, aku segera duduk. Kapan lagi coba bisa mengghibah dengan Kuntilanak.

"Ayo, duduk sini! Kamu mau cerita apa?"

Rarashati segera duduk di sampingku. Bau bunga rampai kembali memenuhi ruang hidung.

"Tapi sebelum aku cerita, ngopi dulu, dong! Biar makin mantap dan maknyos!"

Dengan semangat pula aku menjerang air lalu menyeduh dua cangkir kopi. Kepulan uap dari minuman tersebut  mengantarkan aroma wangi kopi hitam.

"Aku terharu ...." Rarashati terisak-isak tanpa kusadari.

"Eh, kamu kenapa nangis?"

"Ini ...." Dia membaui aroma kopi, "Sudah lima puluh tahun aku tidak minum kopi. Rasanya, aku seperti masih hidup di bumi. Menyesap kopi berdua dengan Mas Arya."

"Who is Mas Arya?"

Mendengar pertanyaanku, mata Rara tiba-tiba menggelinding jatuh ke lantai. Membuatku terpekik kaget. Namun, secara ajaib mata itu kembali melesat dan masuk kembali ke dalam rongganya.

Dia terkikik-kikik kesenangan, "Kamu mudah sekali jantungannya. Ntar copot, lho, jantungnya. Apa mau mati muda? Apa tidak mau merasakan indahnya surga dunia?"

Aku hanya bisa memelintir kumis dan mengeluarkan kutuk serapah di dalam hati. Dia senang, aku gamang!

"Jadi, Mas Arya itu siapa?"

Kali ini kepalanya yang copot.

Sudahlah! Aku enggak kuat lagi. Aku enggak sanggup lagi dimainin kayak gini.

Bab terkait

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   7. Permintaan Sang Kuntilanak

    "Jangan pingsan, dong!" Kurasakan sentakan kuat di tanganku. Kepalaku yang tadi terasa berputar-putar nanar, mencoba untuk stabil kembali. Kulihat kepala Rara sudah berada di tempatnya dengan benar."Jangan kagetin aku lagi, please! Kamu, sih, enak. Sedang aku?" Aku merengut sambil memijit pelipisku yang terasa sakit."Cieee, manyun! Cute tau, 'nggak?" Rara mencubit pipiku gemas. "Iya, deh! Aku janji enggak bakalan nakutin kamu asal kamu juga tidak menyebut-nyebut nama Bang Arya. Kalau aku yang nyebut, enggak masalah. Tapi kalau orang lain yang nyebut, tubuhku terasa bertanggalan dari sendi-sendinya.""Hmm." Aku memutar pikiran mencoba mencerna maksud dari perkataan Rara. Namun, tetap saja tidak ada jawaban. "Kenapa bisa begitu?"Dia tersenyum. Senyumnya begitu manis di wajah cantiknya. Membuatku terpesona dan alirah darahku terasa mengalir lancar."Karena dialah lelaki yang pernah mengisi hatiku, memberiku sejuta cinta dan kebaha

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   8. Masa Silam Sang Kuntilanak

    Aku terjaga ketika mendengar kokok ayam jantan. Mataku memicing ketika bersentuhan dengan cahaya yang menembus tadir rumah. Harum bau masakan lambat-laun memenuhi ruang hidung."Di mana ini?" Aku bertanya dengan suara antara terdengar dan tidak. Kesadaranku belum pulih sempurna. Kepalaku terasa sakit.Setelah mataku meyesuaikan diri dengan suasana dalam ruang yang merupakan sebuah kamar ini, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Cilukbaaa ...!"Aku berteriak keras ketika Rarashati mengejutkanku dengan wajah setannya."RARASHATIIII!!!"Dia segera mengembalikan muka cantiknya dan tertawa terkikik-kikik. "Kamu lucu sekali," lanjutnya sambil guling-guling di lantai."Apanya yang lucu? Kamu hampir saja membuat jantungku berhenti berdenyut." Aku mengumpat sambil turun dari dipan kayu. Terdengar suara berderit ketika tubuhku meninggalkan ranjang tersebut."Ealaah, segitu aja kamu sudah semaput. Lemah. Loyo!"Rara menga

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   9. Kamar Sang Kuntilanak

    Aku masih ngambek dan mengkal. Cekikan Rara di leherku terasa sakit. Sialan! Seenaknya saja main cekik orang. Dikira enggak sakit apa? Setan memang seenak jidatnya saja. Mentang-mentang nafsunya lebih besar dari pada hatinya. Kalau sampai aku mati gimana? Sayang, kan, ya? Cowok seganteng aku dan berkualitas gini tewas dicekik Kuntilanak?"Kamu masih ngambek?" Rara asyik menggantung di langit-langit rumah. Kadang aku heran sama ini Kunti. Dia kira dia kelelawar apa? Kali ini bau bunga udah berganti dengan bau bangkai. Bahkan dia menampakkan rupa jeleknya."Siapa yang ngambek?" Aku mendengkus dan membuang mata ke luar jendela. "Aku hanya tidak tahan dengan bau busuk dan menatap tampangmu yang menakutkan itu.""Mulai ... mulai! Main fisik lagi, main fisik lagi! Kamu memang hobi menghina orang, ya? Sok banget, deh. Jangan karena kamu tampan, gagah dan ganteng, terus kamu seenaknya saja menghina orang." Kali ini dia meliuk-liuk mirip penari ular di langit-langit kamar. Kepalanya bergerak

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   10. Masakan Sang Kuntilanak

    Aku memilih untuk menenangkan diri dengan cara duduk bersandar ke dinding. Aku masih shock.Lidahku kelu, jantung berdebar tidak tenang. Pertanda apa ini? Kenapa lelaki di luar itu begitu familiar?Tidak!Tidak mungkin itu aku!Tapi kenapa wajahnya begitu mirip? Aku seolah-olah melihat diriku sendiri di sosoknya yang terlihat sederhana, tapi mengandung kharisma yang pastinya membuat kaum hawa klepek-klepek sesak napas kalau berhadapan secara langsung dengannya."Kikikikikik!"Aku sontak terkejut mendengar kikikan di sebelah kananku. "Rara?" Ya Tuhan, nyawaku kembali penuh begitu melihat kuntilanak cantik itu muncul secara tiba-tiba di sampingku. "Ke mana saja kamu?""Hikhikhik. Kangen, ya?" Rara tertawa panjang, sosoknya merayap naik ke atas langit-langit. Hobi benar dia bergelantungan kayak beruk di sana."GR banget. Siapa juga yang kangen? Aku hanya tidak ingin kamu tinggalkan di sini." Aku membuang muka karen

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   11. Lucunya Pacar Sang Kuntilanak

    "Ra?""Ya?""Ada Arya di luar.""Apaaa?"Rara kembali menghilang begitu aku menyebut nama Arya. Padahal masih ada beberapa suap lagi di atas piringnya. Kasihan. Pantas saja orang tua dulu selalu bilang jangan bicara ketika sedang makan. Ini contohnya, Rara jadi tidak menghabiskan makanannya.Tadi boker, sekarang lenyap entah ke mana. Memang setan ajaib si Rara, mah. Aku segera menuntaskan makanku setelah kudengar ada tawa di luar kamar. Sepertinya Rarashati remaja dengan Arya sedang terlibat obrolan seru. Walau suaranya tidak terlalu jelas, tapi terasa sekali kalau mereka sangat bahagia.Tidak berapa lama kudengar bunyi langkah kaki dan salam perpisahan. Sepertinya Arya sudah pulang. Aku segera berdiri dan ajaibnya semua masakan tadi lenyap entah ke mana. Yang jelas, aku terasa sangat kenyang.Benar-benar enak masakan Chef Renata.Ketika pintu kamar berderit, aku melompat keluar mel

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   12. Goreng Pisang Sang Kuntilanak

    "Assalamualaikum, Mak?" Bang Arya menggedor pintu seperti orang terdesak boker."Woles, Bang. Bisa saja emaknya Abang lagi di dapur" Aku berdiri di belakangnya dengan sedikit kesal."Duh, emakku itu memang sedikit bermasalah dengan telinganya, Bulan. Duh, nama kau tak enak sekali di lidahku. Kau jantan, tapi nama melambai. Salah makan obat bapak kau pas ngasih nama kurasa."Aku memencongkan bibir. Pret dah. Bawa-bawa bokap lagi. "Lambemu, Bang, belum pernah ditepok sandal kayaknya. Abang doang yang manggil aku Bulan. Kalau teman-temanku memanggilku Aster.""Aster?" Dia menoleh, meremehkan. Bibirnya mengambang gitu. Huh!"Iya!" Aku melipat tangan, kepala mendongak, "keren 'kan?""Keren? Cuih! Yang aku tahu itu Astor. Baru enak dikunyah. Kalau engkau? Menatap wajah kau saja membuatku ejakulasi dini." Dia kembali menggedor pintu."Woy! Santai, dong, moncongmu, Bang! Coba Abang bercermin. Wajah kita itu 12 : 12. Heran aku, t

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   13. Curhatan Pacar Sang Kuntilanak

    Aku seperti korban perkosaan yang menyendiri di sudut kamar. Badanku serasa remuk-redam setelah dihajar habis-habisan oleh Bang Arya. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya sehingga tega menurunkan tangan jahat kepadaku yang ganteng bak dewa Yunani ini. Uhuy!"Jahat kau, Bang. Tega sekali menjatuhkan tangan besi kepadaku. Kalau ditilik dari kacamata hukum, kau telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bisa dilaporkan ke Komnasham dan dihukum seberat-beratnya." Aku merepet kayak emak-emak habis kecurian dompet.Bang Arya masih menatapku marah. "Makanya, mikir pakai otak kalau bicara. Seenaknya saja menuduh Rara-ku perempuan murahan." Dia kembali berdiri dan melangkah ke arahku."Siapa yang bilang begitu, Bang? Aku hanya mengatakan Rarashati yang membawaku ke sini. Ke alam ini! Abang paham tidak? Aku ini bukan penduduk negeri ini! Aku tersesat, aku ditinggal sendiri di sini, dan aku tidak tahu jalan pulang! Tolonglah, Bang! Percayalah de

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   14. Tudung Saji Pacar Sang Kuntilanak

    Aku tidak bisa tidur. Bang Arya di sampingku sudah seperti kerbau ngorok. Rasanya lucu sekali, tidur di sisi orang yang baru kau kenal dalam hitungan jam. Kupandangi wajahnya yang sedang mangap. Perfect!Bahkan tahi lalat kecil di bawah dagunya pun sama dengan yang kupunya. Mungkinkah dia ini moyangku? Atau mungkin dia yang dulu, lalu aku adalah reinkarnasinya. Mungkinkah? "Kenapa kau melotot menatapku seperti itu? Kau mau cipok aku, ya?"Astaga! Aku kaget, sumpah! Tiba-tiba saja Bang Arya sudah memegang kepalaku. Wajah kami begitu dekat, bisa kurasakan bau nafasnya yang mengeluarkan aroma cengkeh.Kenapa aroma cengkeh? Ternyata di zaman ini, setiap mereka yang selesai makan kenyang, supaya napas tidak busuk, dikunyahlah sebutir dua butir cengkeh."Lepaskan, Bang! Bikin kaget saja." Aku berusaha melepaskan pegangan tangannya di rambutku."Jawab dulu! Kau mau melecehkanku, ya? Kau homo, ya?"Ya ampun, dia benar

Bab terbaru

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   16. Sejarah Kampung Talu-talu

    Udara malam ini terasa semakin menusuk tulang. Apa yang disampaikan Nyai Jelita-ibunya Bang Arya-membuatku bingung. Segera kudekatkan telapak tangan ke dahi ibu tua tersebut."Emak sehat 'kan? Enggak lagi demam atau sebangsa dan setanah air?" Aku tertawa terbahak-bahak."Kamu tidak percaya dengan apa yang emak sampaikan?" Wajahnya mengelam bagai malam tanpa bintang. Aku pun jadi canggung seketika."Ya, bagaimana saya bisa percaya, sih, Mak? Serasa khayalan dan fantasi saja. Lagian, sekarang zaman sudah maju, Mak. Mana pula ada kerajaan-kerajaan. Apalagi ini di Indonesia. Haram hukumnya mendirikan kerajaan. Bisa-bisa dibom sama pemerintah itu kerajaan." Aku kembali terkekeh-kekeh. Tiba-tiba saja kurasakan muncungku diremas oleh tangan yang tidak kasat mata. Kutatap Nyai Jelita yang sekarang memandangku tajam. Dia sepertinya marah. Apakah aku sudah terlalu lancang? Dasar mulut kurang ajar."Sekarang kamu boleh tidak percaya. Baga

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   15. Darah Biru Sang Pangeran

    "Kau seperti melihat hantu saja, Nak? Ha-ha-ha"Itu ibunya Bang Arya. Bikin kaget saja. Tadi bener, lho. Hampir saja aku mengira dia itu setan. Melihat rambutnya yang tagurajai mirip Kuntilanak tua yang sudah bosan mengganggu manusia."Duh, Emak bikin saya sport jantung saja. Untung saya tidak mati berdiri." Kuelus-elus dadaku, berusaha menenangkan detak jantung yang seperti dipukul ribuan kayu.  Sementara ibu tua tersebut tertawa terkikik-kikik memperlihatkan giginya yang sudah ompong. Cantik sekali."Oalah, Bujang. Begitu saja kamu sudah terkentut-kentut." Dia mengambil lampu yang parkir mesra di dinding rumah."Siapa yang terkentut, Mak? Aku, tuh, terkejut. T E R K E J U T."Ibunya Bang Arya kian terkekeh-kekeh sambil melambaikan tangan. "Jangan terlalu serius kamu, Bujang. Cepat tua kamu nanti. Kuylah, ikut Emak. Perutmu udah keroncongan kayaknya.""Kenapa Emak memanggilku Bujang?" Penasaran, dong, ya, kenapa si Ema

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   14. Tudung Saji Pacar Sang Kuntilanak

    Aku tidak bisa tidur. Bang Arya di sampingku sudah seperti kerbau ngorok. Rasanya lucu sekali, tidur di sisi orang yang baru kau kenal dalam hitungan jam. Kupandangi wajahnya yang sedang mangap. Perfect!Bahkan tahi lalat kecil di bawah dagunya pun sama dengan yang kupunya. Mungkinkah dia ini moyangku? Atau mungkin dia yang dulu, lalu aku adalah reinkarnasinya. Mungkinkah? "Kenapa kau melotot menatapku seperti itu? Kau mau cipok aku, ya?"Astaga! Aku kaget, sumpah! Tiba-tiba saja Bang Arya sudah memegang kepalaku. Wajah kami begitu dekat, bisa kurasakan bau nafasnya yang mengeluarkan aroma cengkeh.Kenapa aroma cengkeh? Ternyata di zaman ini, setiap mereka yang selesai makan kenyang, supaya napas tidak busuk, dikunyahlah sebutir dua butir cengkeh."Lepaskan, Bang! Bikin kaget saja." Aku berusaha melepaskan pegangan tangannya di rambutku."Jawab dulu! Kau mau melecehkanku, ya? Kau homo, ya?"Ya ampun, dia benar

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   13. Curhatan Pacar Sang Kuntilanak

    Aku seperti korban perkosaan yang menyendiri di sudut kamar. Badanku serasa remuk-redam setelah dihajar habis-habisan oleh Bang Arya. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya sehingga tega menurunkan tangan jahat kepadaku yang ganteng bak dewa Yunani ini. Uhuy!"Jahat kau, Bang. Tega sekali menjatuhkan tangan besi kepadaku. Kalau ditilik dari kacamata hukum, kau telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Bisa dilaporkan ke Komnasham dan dihukum seberat-beratnya." Aku merepet kayak emak-emak habis kecurian dompet.Bang Arya masih menatapku marah. "Makanya, mikir pakai otak kalau bicara. Seenaknya saja menuduh Rara-ku perempuan murahan." Dia kembali berdiri dan melangkah ke arahku."Siapa yang bilang begitu, Bang? Aku hanya mengatakan Rarashati yang membawaku ke sini. Ke alam ini! Abang paham tidak? Aku ini bukan penduduk negeri ini! Aku tersesat, aku ditinggal sendiri di sini, dan aku tidak tahu jalan pulang! Tolonglah, Bang! Percayalah de

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   12. Goreng Pisang Sang Kuntilanak

    "Assalamualaikum, Mak?" Bang Arya menggedor pintu seperti orang terdesak boker."Woles, Bang. Bisa saja emaknya Abang lagi di dapur" Aku berdiri di belakangnya dengan sedikit kesal."Duh, emakku itu memang sedikit bermasalah dengan telinganya, Bulan. Duh, nama kau tak enak sekali di lidahku. Kau jantan, tapi nama melambai. Salah makan obat bapak kau pas ngasih nama kurasa."Aku memencongkan bibir. Pret dah. Bawa-bawa bokap lagi. "Lambemu, Bang, belum pernah ditepok sandal kayaknya. Abang doang yang manggil aku Bulan. Kalau teman-temanku memanggilku Aster.""Aster?" Dia menoleh, meremehkan. Bibirnya mengambang gitu. Huh!"Iya!" Aku melipat tangan, kepala mendongak, "keren 'kan?""Keren? Cuih! Yang aku tahu itu Astor. Baru enak dikunyah. Kalau engkau? Menatap wajah kau saja membuatku ejakulasi dini." Dia kembali menggedor pintu."Woy! Santai, dong, moncongmu, Bang! Coba Abang bercermin. Wajah kita itu 12 : 12. Heran aku, t

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   11. Lucunya Pacar Sang Kuntilanak

    "Ra?""Ya?""Ada Arya di luar.""Apaaa?"Rara kembali menghilang begitu aku menyebut nama Arya. Padahal masih ada beberapa suap lagi di atas piringnya. Kasihan. Pantas saja orang tua dulu selalu bilang jangan bicara ketika sedang makan. Ini contohnya, Rara jadi tidak menghabiskan makanannya.Tadi boker, sekarang lenyap entah ke mana. Memang setan ajaib si Rara, mah. Aku segera menuntaskan makanku setelah kudengar ada tawa di luar kamar. Sepertinya Rarashati remaja dengan Arya sedang terlibat obrolan seru. Walau suaranya tidak terlalu jelas, tapi terasa sekali kalau mereka sangat bahagia.Tidak berapa lama kudengar bunyi langkah kaki dan salam perpisahan. Sepertinya Arya sudah pulang. Aku segera berdiri dan ajaibnya semua masakan tadi lenyap entah ke mana. Yang jelas, aku terasa sangat kenyang.Benar-benar enak masakan Chef Renata.Ketika pintu kamar berderit, aku melompat keluar mel

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   10. Masakan Sang Kuntilanak

    Aku memilih untuk menenangkan diri dengan cara duduk bersandar ke dinding. Aku masih shock.Lidahku kelu, jantung berdebar tidak tenang. Pertanda apa ini? Kenapa lelaki di luar itu begitu familiar?Tidak!Tidak mungkin itu aku!Tapi kenapa wajahnya begitu mirip? Aku seolah-olah melihat diriku sendiri di sosoknya yang terlihat sederhana, tapi mengandung kharisma yang pastinya membuat kaum hawa klepek-klepek sesak napas kalau berhadapan secara langsung dengannya."Kikikikikik!"Aku sontak terkejut mendengar kikikan di sebelah kananku. "Rara?" Ya Tuhan, nyawaku kembali penuh begitu melihat kuntilanak cantik itu muncul secara tiba-tiba di sampingku. "Ke mana saja kamu?""Hikhikhik. Kangen, ya?" Rara tertawa panjang, sosoknya merayap naik ke atas langit-langit. Hobi benar dia bergelantungan kayak beruk di sana."GR banget. Siapa juga yang kangen? Aku hanya tidak ingin kamu tinggalkan di sini." Aku membuang muka karen

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   9. Kamar Sang Kuntilanak

    Aku masih ngambek dan mengkal. Cekikan Rara di leherku terasa sakit. Sialan! Seenaknya saja main cekik orang. Dikira enggak sakit apa? Setan memang seenak jidatnya saja. Mentang-mentang nafsunya lebih besar dari pada hatinya. Kalau sampai aku mati gimana? Sayang, kan, ya? Cowok seganteng aku dan berkualitas gini tewas dicekik Kuntilanak?"Kamu masih ngambek?" Rara asyik menggantung di langit-langit rumah. Kadang aku heran sama ini Kunti. Dia kira dia kelelawar apa? Kali ini bau bunga udah berganti dengan bau bangkai. Bahkan dia menampakkan rupa jeleknya."Siapa yang ngambek?" Aku mendengkus dan membuang mata ke luar jendela. "Aku hanya tidak tahan dengan bau busuk dan menatap tampangmu yang menakutkan itu.""Mulai ... mulai! Main fisik lagi, main fisik lagi! Kamu memang hobi menghina orang, ya? Sok banget, deh. Jangan karena kamu tampan, gagah dan ganteng, terus kamu seenaknya saja menghina orang." Kali ini dia meliuk-liuk mirip penari ular di langit-langit kamar. Kepalanya bergerak

  • JERITAN HATI SANG KUNTILANAK   8. Masa Silam Sang Kuntilanak

    Aku terjaga ketika mendengar kokok ayam jantan. Mataku memicing ketika bersentuhan dengan cahaya yang menembus tadir rumah. Harum bau masakan lambat-laun memenuhi ruang hidung."Di mana ini?" Aku bertanya dengan suara antara terdengar dan tidak. Kesadaranku belum pulih sempurna. Kepalaku terasa sakit.Setelah mataku meyesuaikan diri dengan suasana dalam ruang yang merupakan sebuah kamar ini, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."Cilukbaaa ...!"Aku berteriak keras ketika Rarashati mengejutkanku dengan wajah setannya."RARASHATIIII!!!"Dia segera mengembalikan muka cantiknya dan tertawa terkikik-kikik. "Kamu lucu sekali," lanjutnya sambil guling-guling di lantai."Apanya yang lucu? Kamu hampir saja membuat jantungku berhenti berdenyut." Aku mengumpat sambil turun dari dipan kayu. Terdengar suara berderit ketika tubuhku meninggalkan ranjang tersebut."Ealaah, segitu aja kamu sudah semaput. Lemah. Loyo!"Rara menga

DMCA.com Protection Status