Malam itu hampir semua Santri tak mau sekamar dengan bocah laki-laki itu. Alasannya klise, mereka takut dengan bocah itu. Bukan hanya para santri yang menolak sekamar dengannya. Bahkan para pengajar pun tidak mau sekamar dengan bocah. yang dijuluki bocah setan itu. Sebenarnya tak ada yang menakutkan dengan Alan, nama bocah itu. Hanya saja ia selalu diam dan menatap seseorang dengan tatapan tajam. Ia juga tak pernah tersenyum membuatnya terlihat begitu misterius. Usianya sama dengan usia Bagus putra pertama ku. Aku begitu iba saat melihat bocah itu memilih tidur di masjid saat Kyai Hasan berusaha mencarikan kamar untuknya. Aku kemudian menyuruhnya untuk tidur bersamaku. Toh Kukuh tak keberatan dengan hal itu. Untuk pertama kalinya aku lihat Alan tersenyum. Ia terlihat begitu manis saat tersenyum. Aku membawakan tas miliknya menuju ke kamar. Entah apa isi tas itu sehingga terasa sangat berat. Setibanya di kamar Aku meletakkan tas Alan di meja belajar. Aku juga mempersila
Kyai Hasan terjungkal ke lantai. Ku lihat wajahnya memerah. Percikan darah mulai mengalir di pipinya. Tasbih itu berhasil mengoyak pipinya hingga berdarah. Alan berjalan menghampirinya. Dengan tatapan dingin ia menghampirinya. Kejadian itu begitu mirip dengan mimpi yang aku alami. "Sial, Apa itu artinya Kyai Hasan akan mati??" Aku tak habis pikir, jika mimpiku akan menjadi kenyataan. Aku segera berlari kearah Kyai Hasan dan mendorong Alan hingga terhempas ke lantai. Bocah sepuluh tahun itu jatuh terjungkal ke lantai. Semua orang tampak berteriak histeris melihat kejadian itu. Darah segar mengalir dari kepala Alan, Jackson membuat ku merasa bersalah. "Anakku!" tiba-tiba seorang wanita paruh baya berteriak histeris dan menghampiri Alan "Alan!" serunya sambil menangis tersedu-sedu melihat apa yang terjadi dengan putranya Alan tak kunjung membuka matanya meskipun wanita itu mengguncang tubuhnya. Kini wanita itu menoleh kearah ku. Wajahnya seperti dipenuhi dengan den
Malam itu juga aku kembali berangkat ke pondok pesantren. Aku ingin melihat jenazah Kyai Hasan. Bagaimanapun juga ia adalah orang yang selalu membantuku selama di pondok, setidaknya aku harus membalas budi. Setibanya di pondok ternyata Jenazah Kyai Hasan disemayamkan di kediamannya. Awalnya Pihak keluarga menerima baik kedatangan ku, tapi tidak dengan warga. mereka mengusirku dari kediaman Kyai Hasan bahkan menuduhku sebagai penyebab kematiannya. Mereka mengatakan jika Kyai Hasan telah dijadikan tumbal untuk pesugihan ku. Anehnya semua orang percaya termasuk para ustad dari Pondok pesantren dan juga istri Kyai Hasan. Aku dan Kukuh tak bisa berbuat apa-apa, percuma saja berdebat dengan mereka toh tidak ada yang mendengar kami. Bahkan mereka berusaha membunuh kami saat menyeret kami keluar dari kediaman Kyai Hasan. Entah siapa yang sudah meracuni pikiran mereka sehingga mereka menuduhku seperti itu. Beruntung seorang pria paruh baya menolong kami, jika tidak mungkin kami sudah
Ustadz Herman berusaha mencekik Pak Dhe Slamet. Beberapa orang yang ada di tempat itu mencoba menarik dan Ustad Herman agar terlepas dari leher Pak Dhe. Namun sepertinya kekuatan jin itu begitu besar hingga tidak ada satupun yang mampu melepaskan tangan Ustadz Herman dari leher Pak Dhe Slamet. Ku lihat Pak Dhe seperti sudah kehabisan nafas, itu terlihat dari wajahnya yang memerah. Tak ingin sesuatu terjadi kepadanya aku pun segera berlari masuk dan melepaskan tendangan ke arah Ustad Herman. Lelaki itu langsung jatuh terhempas ke lantai. Aku mundur beberapa langkah, aku takut, aku takut ia akan bangun dan menyerang ku. Semua orang menatap kearah ku, membuat aku panik. Sial, mereka melihat wajahku. Aku mulai panik karena takut mereka akan mengusir ku lagi seperti tempo hari. Aku tidak takut diusir, hanya saja aku masih ingat bagaimana sakitnya saat mereka memukuli ku. Melihat mereka mulai menunjuk kearah ku, aku pun berusaha lari, kabur dari tempat itu. "Teguh!" pekik
Sebelumnya bagi yang sudah membaca chapter 34 harap membaca ulang karena sudah aku revisi, terimakasih. Aku benar-benar terkejut saat melihat sosok wanita cantik disamping ku. Karena panik akupun sampai terjatuh di telaga . Wanita itu mengulurkan tangannya hendak menolong ku, tapi aku tahu dia tidak mungkin tulus. Aku yakin dia akan membunuhku. Tiba-tiba kulihat kuku-kuku yang runcingnya mulai keluar. Ia menggerakkan jemarinya untuk menyentuh ku membuat aku begitu panik. Andai saja aku memiliki kekuatan super seperti Avenger, pasti aku sugah melepaskan diri dari wanita itu. Aku buru-buru menipis lengan wanita itu ran berusaha menjauhinya. aku segera berlari keluar meninggalkan gua tersebut. Nafasku masih tersengal-sengal. Saat aku hendak memilih untuk beristirahat, Seekor ular besar tiba-tiba melilit ku. "Tolong!" seruku Tak ada seorangpun yang datang menolong ku. Bahkan Kukuhpun aku tidak tahu dimana ia berada. Rasanya tubuhku begitu lemas dan tak bertenaga saat ula
Pagi harinya semua orang di buat semakin terkejut. Hampir semua Ustad pria di pondok pesantren tersebut tewas. Tak ada penyebab yang jelas tentang kematian mereka. Bahkan pihak keluarga korban tak berani untuk melaporkan kejadian ini ke pihak berwenang. Tak ada seorangpun yang melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian. Alasannya karena ini bukan ranah pidana tetapi lebih kepada masalah supranatural. "Kita hanya bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara supranatural juga," ujar salah seorang sesepuh pondok pesantren Semua orang begitu murka melihat kedatanganku di pondok. Aku tahu mereka Pasti sangat membenciku dan menyalahkan ku atas kejadian ini. salah seorang dari mereka bahkan mengambil golok dan mengalungkan nya di leherku. "Nyawa harus dibayar dengan nyawa!" serunya "Bukan dia yang membuat kekacauan ini!" sahut Pak Dhe Slamet menyingkirkan golok itu dari hati "Kalau bukan dia lalu siapa?" tanya pria itu "Kita akan tahu semuanya setelah kita bisa menghadirka
Malam itu aku segera kembali ke pondok. Aku yakin Kukuh masih ada di sana. Mungkin saja pembunuh itu menyekapnya di sana. Aku harus menolongnya. Malam itu pondok pesantren sengaja di kosongkan. Bahkan gerbangnya pun digembok agar tak seorangpun masuk kedalam. Selain untuk mengamankan TKP juga untuk menghindari adanya korban lagi. Aku terpaksa harus memanjat gerbang agar bisa masuk ke dalam. Suasana gelap membuat ku terpaksa menyalakan lampu senter dari ponselku untuk menerangi jalan. Ternyata pondok pesantren juga bisa terlihat menyeramkan dan angker saat malam hari seperti ini Aku berjalan pelahan menyusuri setiap ruangan untuk mencari keberadaan Kukuh. Entah kenapa instingku mengatakan jika dia masih ada di sini. Benar saja, saat aku melewati sebuah pantri aku melihat Kukuh di sana. Ia terlihat terikat di sebuah kursi dengan wajah babak belur. Sepertinya pelaku pembunuh di pondok memang manusia biasa, dan Kukuh berhasil menangkapnya kemarin malam. Hanya saja ia kurang se
Rasanya aku seperti kehilangan separuh nafasku. Dadaku terasa sesak hingga aku kesulitan bernafas. Hanya air mata yang berjatuhan membasahi wajahku. Ku peluk erat jenazah Kukuh, dan berteriak sekeras-kerasnya. "Aaaaarrrgghhh!!" Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sejati yang selalu ada untuk ku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku nanti tanpamu. Senyuman Kukuh dan semua kebaikannya tiba-tiba terbersit dalam benakku membuat aku semakin kehilangan dia. "Ikhlaskan dia, jangan membuat langkahnya bertambah berat," Pak Dhe Slamet menepuk-nepuk pundak ku. Lelaki itu berusaha menenangkan ku, meskipun dia sendiri sedang sedih karena kehilangan keluarganya. Ku lepaskan perlahan pelukan ku, dan ku rebahkan tubuh Kukuh ke atas tandu. Suara ambulance memecah keheningan malam. Aku sengaja ikut mengantar jenazah Kukuh ke rumah sakit untuk melakukan autopsi. Aku menunggu hampir dua jam selama proses autopsi. Pihak rumah sakit memberikan semua barang-barang milik Kukuh kepada
Teguh menerawang menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali ia beristigfar untuk menghilangkan rasa takutnya. Malam itu Teguh tak bisa tidur hingga pagi hari. Setelah adzan subuh Teguh mulai merasa ngantuk. Ia pun kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. Tidak lama terdengar suara gaduh membuat Teguh terbangun. Ia buru-buru bangun dan keluar dari kamar kosannya. Ia melihat banyak orang berkerumun di depan pagar kosan. "Ada apa ini???" Ia segera keluar untuk menghampiri kerumunan tersebut. Teguh pun menanyakan apa yang terjadi kepada seorang warga. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pada seorang warga "Istri Pak RT, dia diguna-guna orang," Teguh begitu terkejut mendengarnya. "Lalu kenapa orang-orang itu berkumpul di sini?" tanya Teguh "Mereka ingin menangkap si pengirim guna-guna itu yang katanya tinggal di sini," jawab seorang warga "Oh begitu, lalu bagaimana dengan keadaan ibu RT?" "Kondisinya
Teguh menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kopi. Alih-alih mengisi perutnya yang mulai kelaparan, Teguh juga ingin mencari informasi tentang kos-kosan. Setelah berbincang dengan pemilik warung ia pun mendapatkan alamat sebuah kosan. Tanpa pikir panjang Teguh mendatangi kosan tersebut. Beruntung ada sebuah kamar kosong dan ia bisa langsung menempatinya malam itu juga. Gelap malam membuat Teguh merebahkan tubuhnya diatas matras kecil. Kali ini ia harus tidur disebuah kamar kecil, sumpek dan juga panas. Maklum saja kosan yang dihuninya hanya seharga lima ratus ribu perbulan . jadi wajar saja jika fasilitas yang ia dapatkan hanya sebuah matras. Bahkan kipas angin pun tidak ada. Teguh sengaja membuka jendela kamarnya agar udara bisa masuk. setidaknya angin bisa masuk dan ia tidak merasa kegerahan sepanjang malam. rasa lelah membuat rasa kantuknya segera datang. Tak lama Teguh pun terlelap. Hening malam membuat suasana kosan menjadi lebih tenang. Tidak seperti kos
Teguh masih termangu menatap kepergian lelaki itu. Tatapan penuh tanda tanya mengapa lelaki itu berkata seperti itu padanya. Hampir mirip dengan ucapan Kukuh. Teguh kemudian beranjak dari duduknya. Ia kemudian berjalan meninggalkan surau itu. Langkahnya terasa berat saat ia melewati sebuah pohon besar yang ada di halaman surau. Ia menoleh kearah pohon itu, semilir angin seolah membuai wajahnya membuatnya terkesiap. "Ada yang bilang jangan suka bengong kalau di tempat wingit le," ucap Seorang wanita paruh baya menegurnya "Oh ...." jawab Teguh seketika gagap Wanita itu tersenyum kemudian pergi. "Apa surau itu juga tempat wingit?" tanya Teguh kemudian menyusul wanita itu "Bagi orang-orang awam memang begitu, tapi kalau untuk orang-orang seperti mu ya tidak juga. Toh mereka juga tidak menganggu kecuali kamu menganggunya lebih dulu," jawab wanita itu Ia kemudian masuk ke sebuah warung kopi dan Kukuhpun mengikutinya. "Kamu darimana?" tanya wanita itu "Dari kampung sebelah," jawa
Pagi itu Teguh memilih untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Tekadnya sudah bulat untuk merantau. Ia ingin melupakan semua kenangan buruk tentang keluarganya dengan merantau. Ia sengaja ingin mengabdikan hidupnya untuk membantu masyarakat untuk menebus dosa-dosanya. Ia pun bergegas menuju ke terminal Bus. Kali ini tujuannya adalah Jakarta. Ia ingin mengadu nasib di kota metropolitan tersebut. Perjalanan menuju Jakarta lumayan jauh membuatnya tertidur sepanjang perjalanan. Tepat saat adzan magrib berkumandang ia pun tiba di stasiun bus Pulau Gadung. Teguh memilih untuk melakukan sholat magrib. Sebuah surau kecil terlihat penuh dengan orang-orang yang hendak melakukan sholat. Teguh sempat menunggu sampai orang-orang selesai melakukan sholat berjamaah. Senyumannya mengembang saat melihat masih banyak orang-orang yang bersemangat melaksanakan sholat berjamaah. "Allahu Akbar," Teguh melipat kedua tangannya dan mulai khusuk membaca takbiratul ihram. "Aamiin," Tiba-tiba ter
"Bangun Le, kamu harus melawan rasa sakit itu, kamu tidak boleh mati. Kamu harus berjuang jika kau ingin menebus semua dosaku sama di masa lalu," Seketika aku terbangun setelah mendengar ucapan pria itu. Sesosok makhluk menjijikkan berusaha menjilati tubuhku. Namun ia seketika terbakar saat menyentuh selendang itu. Pak Dhe Slamet tampak terkejut saat melihat kejadian itu. Ia juga tak percaya saat melihat ku terbangun. "Bagaimana kamu bisa lolos darinya??" ucapnya tak percaya "Lepaskan aku Pak Dhe," ucapku "Kau terlalu banyak ikut campur Teguh, andai saja kau tidak ikut campur aku pasti akan menurunkan semua kekuatan ku kepadamu. Sayang sekali, padahal kita memiliki banyak kesamaan dan aku yakin hanya kamu yang bisa menuruni semua kekuatan ku," jawab Pak Dhe Kali ini ia kembali mengikatku di sebuah kursi. Ia tahu aku akan lari jika dia tak mengikatku. Setelah mengikatku di kursi Pak Dhe kemudian menggorok seekor ayam cemani dan menadahi darahnya pada sebuah gelas bambu. I
Ku dengar suara Pak Dhe membaca mantera. Mantera itu sama persis dengan mantera yang dibaca oleh Mbah Kamari. Mantera itu juga yang dibaca istriku saat ia kesurupan. "Jadi benar Pak Dhe pelakunya!" Angin kencang berhembus membuat ku terjungkal dari tempat persembunyian ku. Tubuhku terguling-guling terbawa angin. Aku berusaha bangun untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun sial ku rasakan kepalaku terasa pusing saat sebuah benda tumpul menghantam kepala ku. Tiba-tiba semua berubah gelap. Tak lama terdengar suara teriakan membuat ku reflek membuka mata. Saat aku hendak bangun, aku merasa kepalaku sangat pusing hingga nyaris jatuh. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha keluar dari pondok ini. Berbahaya jika aku tetap di sini. Aku harus pergi secepatnya sebelum Pak Dhe kembali. Aku harus hidup, aku harus menyelamatkan semua warga. Betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Dhe Slamet tiba-tiba berdiri di depan ku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, kenapa kamu bisa terjatuh di kamar mandi?" "Itu karena aku ... aku... aku melihat iblis itu?" "Iblis yang membantumu mendapatkan harta dengan tumbal," sahut Pak Dhe terlihat sinis Aku mengangguk pelan. "Kamu ini ada-ada saja, mustahil dia berani datang ke rumah ku, atau dia memang cari mati," jawab Pak Dhe "Aku tidak tahu Pak Dhe, yang jelas semenjak melihat arwah anak dan istri Pak Dhe aku jadi bertemu lagi dengan iblis itu. Padahal aku sudah lama tak di ganggu olehnya," "Kalau begitu sebaiknya kamu ikut bersih-bersih saja di Pondok, aku tahu iblis itu tidak akan berani menganggu mu di sana," tandas Pak Dhe Slamet Aku menurut saja dan mengikuti Pak Dhe menuju ke Pondok. Pagi itu Pak Dhe sengaja membuka pondok untuk membersihkan tempat itu. Ia sengaja mengajak beberapa santri untuk membantu membersihkannya. Akupun ikut serta untuk membantu mereka membersihkan tempat itu. Semua orang bekerjasama membersihkan tempat itu dari debu dan k
"Ikuti kata hatimu, apapun yang terjadi ikuti kata hatimu," ucap lelaki itu kemudian menghilang "Bangun Teguh, Teguh ....bangun!" Perlahan aku membuka mataku saat merasakan seseorang mengguncang tubuhku. "Pak Dhe??" Aku tak mengira ternyata pak dhe yang mengguncang tubuhku. "Sebaiknya kamu pulang saja, daripada tidur di sini!" celetuk Pak Dhe Sepertinya ia sangat marah padaku. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tertidur di ruang kerja Pak Dhe. Padahal sebenarnya Pak Dhe mengajakku k sini untuk membicarakan sesuatu, tapi aku malah ketiduran. "Maafkan aku Pak Dhe," ucapku mencoba memperbaiki kesalahan ku "Sudahlah mungkin lain kali saja kita bicara, sebaiknya kamu cepat pulang," pungkasnya Aku pun tak bisa memaksa Pak Dhe, aku hanya bisa pergi meninggalkannya. Saat hendak meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba netraku terus tertuju pada gambar foto pria yang tergantung di ruangan itu. Ia adalah pria yang tadi berbincang denganku. Faisal, aku ingat namanya dan dia juga
"Dimana mereka?" tanyanya dengan wajah tegang "Mereka sudah pergi," jawabku singkat Ada gurat kekecewaan dalam diri Pak Dhe Slamet, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Bawa mereka kembali, aku ingin bicara dengan mereka!" ucap Pak Dhe "Tidak mungkin Pak Dhe, mereka itu sudah mati, jadi aku tidak bisa membawa mereka kembali," "Mereka itu Jin jadi kamu bisa membawa mereka kembali!" ucap Pak Dhe Pak Dhe menepuk pundak ku dan menatap tajam kearah ku. Sepertinya ia tak percaya dengan ucapan ku hingga menatapku seperti itu. "Kamu punya kekuatan yang bisa memanggil orang mati. Kita bisa bertanya kepada mereka siapa yang melakukan semua ini," ucapnya penuh harap Aku tahu Pak Dhe pasti ingin mengetahui siapa pelakunya. Orang yang sudah membuat kekacauan hingga menewaskan puluhan santri dan ustadz. Bukan hanya itu, bahkan istri dan anaknya ikut menjadi korban. Aku tahu benar apa yang dirasakan oleh Pak Dhe. Namun aku bisa apa, aku tidak bisa membantunya. Jangankan mengundang