"Dimana mereka?" tanyanya dengan wajah tegang "Mereka sudah pergi," jawabku singkat Ada gurat kekecewaan dalam diri Pak Dhe Slamet, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Bawa mereka kembali, aku ingin bicara dengan mereka!" ucap Pak Dhe "Tidak mungkin Pak Dhe, mereka itu sudah mati, jadi aku tidak bisa membawa mereka kembali," "Mereka itu Jin jadi kamu bisa membawa mereka kembali!" ucap Pak Dhe Pak Dhe menepuk pundak ku dan menatap tajam kearah ku. Sepertinya ia tak percaya dengan ucapan ku hingga menatapku seperti itu. "Kamu punya kekuatan yang bisa memanggil orang mati. Kita bisa bertanya kepada mereka siapa yang melakukan semua ini," ucapnya penuh harap Aku tahu Pak Dhe pasti ingin mengetahui siapa pelakunya. Orang yang sudah membuat kekacauan hingga menewaskan puluhan santri dan ustadz. Bukan hanya itu, bahkan istri dan anaknya ikut menjadi korban. Aku tahu benar apa yang dirasakan oleh Pak Dhe. Namun aku bisa apa, aku tidak bisa membantunya. Jangankan mengundang
"Ikuti kata hatimu, apapun yang terjadi ikuti kata hatimu," ucap lelaki itu kemudian menghilang "Bangun Teguh, Teguh ....bangun!" Perlahan aku membuka mataku saat merasakan seseorang mengguncang tubuhku. "Pak Dhe??" Aku tak mengira ternyata pak dhe yang mengguncang tubuhku. "Sebaiknya kamu pulang saja, daripada tidur di sini!" celetuk Pak Dhe Sepertinya ia sangat marah padaku. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tertidur di ruang kerja Pak Dhe. Padahal sebenarnya Pak Dhe mengajakku k sini untuk membicarakan sesuatu, tapi aku malah ketiduran. "Maafkan aku Pak Dhe," ucapku mencoba memperbaiki kesalahan ku "Sudahlah mungkin lain kali saja kita bicara, sebaiknya kamu cepat pulang," pungkasnya Aku pun tak bisa memaksa Pak Dhe, aku hanya bisa pergi meninggalkannya. Saat hendak meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba netraku terus tertuju pada gambar foto pria yang tergantung di ruangan itu. Ia adalah pria yang tadi berbincang denganku. Faisal, aku ingat namanya dan dia juga
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, kenapa kamu bisa terjatuh di kamar mandi?" "Itu karena aku ... aku... aku melihat iblis itu?" "Iblis yang membantumu mendapatkan harta dengan tumbal," sahut Pak Dhe terlihat sinis Aku mengangguk pelan. "Kamu ini ada-ada saja, mustahil dia berani datang ke rumah ku, atau dia memang cari mati," jawab Pak Dhe "Aku tidak tahu Pak Dhe, yang jelas semenjak melihat arwah anak dan istri Pak Dhe aku jadi bertemu lagi dengan iblis itu. Padahal aku sudah lama tak di ganggu olehnya," "Kalau begitu sebaiknya kamu ikut bersih-bersih saja di Pondok, aku tahu iblis itu tidak akan berani menganggu mu di sana," tandas Pak Dhe Slamet Aku menurut saja dan mengikuti Pak Dhe menuju ke Pondok. Pagi itu Pak Dhe sengaja membuka pondok untuk membersihkan tempat itu. Ia sengaja mengajak beberapa santri untuk membantu membersihkannya. Akupun ikut serta untuk membantu mereka membersihkan tempat itu. Semua orang bekerjasama membersihkan tempat itu dari debu dan k
Ku dengar suara Pak Dhe membaca mantera. Mantera itu sama persis dengan mantera yang dibaca oleh Mbah Kamari. Mantera itu juga yang dibaca istriku saat ia kesurupan. "Jadi benar Pak Dhe pelakunya!" Angin kencang berhembus membuat ku terjungkal dari tempat persembunyian ku. Tubuhku terguling-guling terbawa angin. Aku berusaha bangun untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun sial ku rasakan kepalaku terasa pusing saat sebuah benda tumpul menghantam kepala ku. Tiba-tiba semua berubah gelap. Tak lama terdengar suara teriakan membuat ku reflek membuka mata. Saat aku hendak bangun, aku merasa kepalaku sangat pusing hingga nyaris jatuh. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha keluar dari pondok ini. Berbahaya jika aku tetap di sini. Aku harus pergi secepatnya sebelum Pak Dhe kembali. Aku harus hidup, aku harus menyelamatkan semua warga. Betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Dhe Slamet tiba-tiba berdiri di depan ku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian
"Bangun Le, kamu harus melawan rasa sakit itu, kamu tidak boleh mati. Kamu harus berjuang jika kau ingin menebus semua dosaku sama di masa lalu," Seketika aku terbangun setelah mendengar ucapan pria itu. Sesosok makhluk menjijikkan berusaha menjilati tubuhku. Namun ia seketika terbakar saat menyentuh selendang itu. Pak Dhe Slamet tampak terkejut saat melihat kejadian itu. Ia juga tak percaya saat melihat ku terbangun. "Bagaimana kamu bisa lolos darinya??" ucapnya tak percaya "Lepaskan aku Pak Dhe," ucapku "Kau terlalu banyak ikut campur Teguh, andai saja kau tidak ikut campur aku pasti akan menurunkan semua kekuatan ku kepadamu. Sayang sekali, padahal kita memiliki banyak kesamaan dan aku yakin hanya kamu yang bisa menuruni semua kekuatan ku," jawab Pak Dhe Kali ini ia kembali mengikatku di sebuah kursi. Ia tahu aku akan lari jika dia tak mengikatku. Setelah mengikatku di kursi Pak Dhe kemudian menggorok seekor ayam cemani dan menadahi darahnya pada sebuah gelas bambu. I
Pagi itu Teguh memilih untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Tekadnya sudah bulat untuk merantau. Ia ingin melupakan semua kenangan buruk tentang keluarganya dengan merantau. Ia sengaja ingin mengabdikan hidupnya untuk membantu masyarakat untuk menebus dosa-dosanya. Ia pun bergegas menuju ke terminal Bus. Kali ini tujuannya adalah Jakarta. Ia ingin mengadu nasib di kota metropolitan tersebut. Perjalanan menuju Jakarta lumayan jauh membuatnya tertidur sepanjang perjalanan. Tepat saat adzan magrib berkumandang ia pun tiba di stasiun bus Pulau Gadung. Teguh memilih untuk melakukan sholat magrib. Sebuah surau kecil terlihat penuh dengan orang-orang yang hendak melakukan sholat. Teguh sempat menunggu sampai orang-orang selesai melakukan sholat berjamaah. Senyumannya mengembang saat melihat masih banyak orang-orang yang bersemangat melaksanakan sholat berjamaah. "Allahu Akbar," Teguh melipat kedua tangannya dan mulai khusuk membaca takbiratul ihram. "Aamiin," Tiba-tiba ter
Teguh masih termangu menatap kepergian lelaki itu. Tatapan penuh tanda tanya mengapa lelaki itu berkata seperti itu padanya. Hampir mirip dengan ucapan Kukuh. Teguh kemudian beranjak dari duduknya. Ia kemudian berjalan meninggalkan surau itu. Langkahnya terasa berat saat ia melewati sebuah pohon besar yang ada di halaman surau. Ia menoleh kearah pohon itu, semilir angin seolah membuai wajahnya membuatnya terkesiap. "Ada yang bilang jangan suka bengong kalau di tempat wingit le," ucap Seorang wanita paruh baya menegurnya "Oh ...." jawab Teguh seketika gagap Wanita itu tersenyum kemudian pergi. "Apa surau itu juga tempat wingit?" tanya Teguh kemudian menyusul wanita itu "Bagi orang-orang awam memang begitu, tapi kalau untuk orang-orang seperti mu ya tidak juga. Toh mereka juga tidak menganggu kecuali kamu menganggunya lebih dulu," jawab wanita itu Ia kemudian masuk ke sebuah warung kopi dan Kukuhpun mengikutinya. "Kamu darimana?" tanya wanita itu "Dari kampung sebelah," jawa
Teguh menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kopi. Alih-alih mengisi perutnya yang mulai kelaparan, Teguh juga ingin mencari informasi tentang kos-kosan. Setelah berbincang dengan pemilik warung ia pun mendapatkan alamat sebuah kosan. Tanpa pikir panjang Teguh mendatangi kosan tersebut. Beruntung ada sebuah kamar kosong dan ia bisa langsung menempatinya malam itu juga. Gelap malam membuat Teguh merebahkan tubuhnya diatas matras kecil. Kali ini ia harus tidur disebuah kamar kecil, sumpek dan juga panas. Maklum saja kosan yang dihuninya hanya seharga lima ratus ribu perbulan . jadi wajar saja jika fasilitas yang ia dapatkan hanya sebuah matras. Bahkan kipas angin pun tidak ada. Teguh sengaja membuka jendela kamarnya agar udara bisa masuk. setidaknya angin bisa masuk dan ia tidak merasa kegerahan sepanjang malam. rasa lelah membuat rasa kantuknya segera datang. Tak lama Teguh pun terlelap. Hening malam membuat suasana kosan menjadi lebih tenang. Tidak seperti kos
Teguh menerawang menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali ia beristigfar untuk menghilangkan rasa takutnya. Malam itu Teguh tak bisa tidur hingga pagi hari. Setelah adzan subuh Teguh mulai merasa ngantuk. Ia pun kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. Tidak lama terdengar suara gaduh membuat Teguh terbangun. Ia buru-buru bangun dan keluar dari kamar kosannya. Ia melihat banyak orang berkerumun di depan pagar kosan. "Ada apa ini???" Ia segera keluar untuk menghampiri kerumunan tersebut. Teguh pun menanyakan apa yang terjadi kepada seorang warga. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pada seorang warga "Istri Pak RT, dia diguna-guna orang," Teguh begitu terkejut mendengarnya. "Lalu kenapa orang-orang itu berkumpul di sini?" tanya Teguh "Mereka ingin menangkap si pengirim guna-guna itu yang katanya tinggal di sini," jawab seorang warga "Oh begitu, lalu bagaimana dengan keadaan ibu RT?" "Kondisinya
Teguh menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kopi. Alih-alih mengisi perutnya yang mulai kelaparan, Teguh juga ingin mencari informasi tentang kos-kosan. Setelah berbincang dengan pemilik warung ia pun mendapatkan alamat sebuah kosan. Tanpa pikir panjang Teguh mendatangi kosan tersebut. Beruntung ada sebuah kamar kosong dan ia bisa langsung menempatinya malam itu juga. Gelap malam membuat Teguh merebahkan tubuhnya diatas matras kecil. Kali ini ia harus tidur disebuah kamar kecil, sumpek dan juga panas. Maklum saja kosan yang dihuninya hanya seharga lima ratus ribu perbulan . jadi wajar saja jika fasilitas yang ia dapatkan hanya sebuah matras. Bahkan kipas angin pun tidak ada. Teguh sengaja membuka jendela kamarnya agar udara bisa masuk. setidaknya angin bisa masuk dan ia tidak merasa kegerahan sepanjang malam. rasa lelah membuat rasa kantuknya segera datang. Tak lama Teguh pun terlelap. Hening malam membuat suasana kosan menjadi lebih tenang. Tidak seperti kos
Teguh masih termangu menatap kepergian lelaki itu. Tatapan penuh tanda tanya mengapa lelaki itu berkata seperti itu padanya. Hampir mirip dengan ucapan Kukuh. Teguh kemudian beranjak dari duduknya. Ia kemudian berjalan meninggalkan surau itu. Langkahnya terasa berat saat ia melewati sebuah pohon besar yang ada di halaman surau. Ia menoleh kearah pohon itu, semilir angin seolah membuai wajahnya membuatnya terkesiap. "Ada yang bilang jangan suka bengong kalau di tempat wingit le," ucap Seorang wanita paruh baya menegurnya "Oh ...." jawab Teguh seketika gagap Wanita itu tersenyum kemudian pergi. "Apa surau itu juga tempat wingit?" tanya Teguh kemudian menyusul wanita itu "Bagi orang-orang awam memang begitu, tapi kalau untuk orang-orang seperti mu ya tidak juga. Toh mereka juga tidak menganggu kecuali kamu menganggunya lebih dulu," jawab wanita itu Ia kemudian masuk ke sebuah warung kopi dan Kukuhpun mengikutinya. "Kamu darimana?" tanya wanita itu "Dari kampung sebelah," jawa
Pagi itu Teguh memilih untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Tekadnya sudah bulat untuk merantau. Ia ingin melupakan semua kenangan buruk tentang keluarganya dengan merantau. Ia sengaja ingin mengabdikan hidupnya untuk membantu masyarakat untuk menebus dosa-dosanya. Ia pun bergegas menuju ke terminal Bus. Kali ini tujuannya adalah Jakarta. Ia ingin mengadu nasib di kota metropolitan tersebut. Perjalanan menuju Jakarta lumayan jauh membuatnya tertidur sepanjang perjalanan. Tepat saat adzan magrib berkumandang ia pun tiba di stasiun bus Pulau Gadung. Teguh memilih untuk melakukan sholat magrib. Sebuah surau kecil terlihat penuh dengan orang-orang yang hendak melakukan sholat. Teguh sempat menunggu sampai orang-orang selesai melakukan sholat berjamaah. Senyumannya mengembang saat melihat masih banyak orang-orang yang bersemangat melaksanakan sholat berjamaah. "Allahu Akbar," Teguh melipat kedua tangannya dan mulai khusuk membaca takbiratul ihram. "Aamiin," Tiba-tiba ter
"Bangun Le, kamu harus melawan rasa sakit itu, kamu tidak boleh mati. Kamu harus berjuang jika kau ingin menebus semua dosaku sama di masa lalu," Seketika aku terbangun setelah mendengar ucapan pria itu. Sesosok makhluk menjijikkan berusaha menjilati tubuhku. Namun ia seketika terbakar saat menyentuh selendang itu. Pak Dhe Slamet tampak terkejut saat melihat kejadian itu. Ia juga tak percaya saat melihat ku terbangun. "Bagaimana kamu bisa lolos darinya??" ucapnya tak percaya "Lepaskan aku Pak Dhe," ucapku "Kau terlalu banyak ikut campur Teguh, andai saja kau tidak ikut campur aku pasti akan menurunkan semua kekuatan ku kepadamu. Sayang sekali, padahal kita memiliki banyak kesamaan dan aku yakin hanya kamu yang bisa menuruni semua kekuatan ku," jawab Pak Dhe Kali ini ia kembali mengikatku di sebuah kursi. Ia tahu aku akan lari jika dia tak mengikatku. Setelah mengikatku di kursi Pak Dhe kemudian menggorok seekor ayam cemani dan menadahi darahnya pada sebuah gelas bambu. I
Ku dengar suara Pak Dhe membaca mantera. Mantera itu sama persis dengan mantera yang dibaca oleh Mbah Kamari. Mantera itu juga yang dibaca istriku saat ia kesurupan. "Jadi benar Pak Dhe pelakunya!" Angin kencang berhembus membuat ku terjungkal dari tempat persembunyian ku. Tubuhku terguling-guling terbawa angin. Aku berusaha bangun untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun sial ku rasakan kepalaku terasa pusing saat sebuah benda tumpul menghantam kepala ku. Tiba-tiba semua berubah gelap. Tak lama terdengar suara teriakan membuat ku reflek membuka mata. Saat aku hendak bangun, aku merasa kepalaku sangat pusing hingga nyaris jatuh. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha keluar dari pondok ini. Berbahaya jika aku tetap di sini. Aku harus pergi secepatnya sebelum Pak Dhe kembali. Aku harus hidup, aku harus menyelamatkan semua warga. Betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Dhe Slamet tiba-tiba berdiri di depan ku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, kenapa kamu bisa terjatuh di kamar mandi?" "Itu karena aku ... aku... aku melihat iblis itu?" "Iblis yang membantumu mendapatkan harta dengan tumbal," sahut Pak Dhe terlihat sinis Aku mengangguk pelan. "Kamu ini ada-ada saja, mustahil dia berani datang ke rumah ku, atau dia memang cari mati," jawab Pak Dhe "Aku tidak tahu Pak Dhe, yang jelas semenjak melihat arwah anak dan istri Pak Dhe aku jadi bertemu lagi dengan iblis itu. Padahal aku sudah lama tak di ganggu olehnya," "Kalau begitu sebaiknya kamu ikut bersih-bersih saja di Pondok, aku tahu iblis itu tidak akan berani menganggu mu di sana," tandas Pak Dhe Slamet Aku menurut saja dan mengikuti Pak Dhe menuju ke Pondok. Pagi itu Pak Dhe sengaja membuka pondok untuk membersihkan tempat itu. Ia sengaja mengajak beberapa santri untuk membantu membersihkannya. Akupun ikut serta untuk membantu mereka membersihkan tempat itu. Semua orang bekerjasama membersihkan tempat itu dari debu dan k
"Ikuti kata hatimu, apapun yang terjadi ikuti kata hatimu," ucap lelaki itu kemudian menghilang "Bangun Teguh, Teguh ....bangun!" Perlahan aku membuka mataku saat merasakan seseorang mengguncang tubuhku. "Pak Dhe??" Aku tak mengira ternyata pak dhe yang mengguncang tubuhku. "Sebaiknya kamu pulang saja, daripada tidur di sini!" celetuk Pak Dhe Sepertinya ia sangat marah padaku. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tertidur di ruang kerja Pak Dhe. Padahal sebenarnya Pak Dhe mengajakku k sini untuk membicarakan sesuatu, tapi aku malah ketiduran. "Maafkan aku Pak Dhe," ucapku mencoba memperbaiki kesalahan ku "Sudahlah mungkin lain kali saja kita bicara, sebaiknya kamu cepat pulang," pungkasnya Aku pun tak bisa memaksa Pak Dhe, aku hanya bisa pergi meninggalkannya. Saat hendak meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba netraku terus tertuju pada gambar foto pria yang tergantung di ruangan itu. Ia adalah pria yang tadi berbincang denganku. Faisal, aku ingat namanya dan dia juga
"Dimana mereka?" tanyanya dengan wajah tegang "Mereka sudah pergi," jawabku singkat Ada gurat kekecewaan dalam diri Pak Dhe Slamet, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Bawa mereka kembali, aku ingin bicara dengan mereka!" ucap Pak Dhe "Tidak mungkin Pak Dhe, mereka itu sudah mati, jadi aku tidak bisa membawa mereka kembali," "Mereka itu Jin jadi kamu bisa membawa mereka kembali!" ucap Pak Dhe Pak Dhe menepuk pundak ku dan menatap tajam kearah ku. Sepertinya ia tak percaya dengan ucapan ku hingga menatapku seperti itu. "Kamu punya kekuatan yang bisa memanggil orang mati. Kita bisa bertanya kepada mereka siapa yang melakukan semua ini," ucapnya penuh harap Aku tahu Pak Dhe pasti ingin mengetahui siapa pelakunya. Orang yang sudah membuat kekacauan hingga menewaskan puluhan santri dan ustadz. Bukan hanya itu, bahkan istri dan anaknya ikut menjadi korban. Aku tahu benar apa yang dirasakan oleh Pak Dhe. Namun aku bisa apa, aku tidak bisa membantunya. Jangankan mengundang