Malam itu Zahra masih menangis. Dia terus ingat perkataan dokter yang menyatakan jika Ibu Naya masuk rumah sakit adalah karena dia makan seafood padahal dia memiliki riwayat alergi terhadap makanan itu. Bayangan begitu lahapnya wanita tua itu saat menyantap makanan laut tadi siang terus saja berputar di otaknya. Membuat rasa bersalah di dalam dirinya terus saja bertambah. Sungguh tidak ada niatan sedikitpun dirinya ingin menyakiti wanita itu hanya karena dia adalah ibu kandung dari Tama. Wanita itu sangat baik dan Zahra sangat menyayanginya walaupun mereka baru kemarin bertemu. Siapa sangka jika kehadiran Ibu Naya di rumah tersebut membuat gadis itu sedikit bisa bernapas. Kehidupan bak di dalam penjara, berubah menjadi seperti di rumah dimana ada seorang Ibu yang selalu menyayangi dan melindunginya.Beberapa kali dia menemui Nufa untuk bertanya kabar tentang Ibu Naya akan tetapi wanita itu selalu saja menjawab dengan kata tidak tahu. Memang, baik Tama maupun Rey tidak ada yang member
Pagi itu Zahra bangun dari tidurnya. Walaupun hampir semalaman pikiran tentang kondisi Ibu Naya dan juga rahasia kamar Tama terus mengganggu dirinya akan tetapi hal itu tidak menjadikan dirinya bangun terlambat. Sebaliknya hari ini gadis itu malah bangun lebih pagi dari biasanya.Sebelum memulai aktivitas, seperti biasa gadis itu membersihkan dirinya terlebih dahulu. Hari ini, kembali lagi dia dapat merasakan mandi dengan keadaan tenang dan tidak tergesa-gesa. Zahra tahu jika Tama menginap di rumah sakit dan belum pulang sampai sekarang.Sebuah kaos lengan pendek berwarna biru muda juga sebuah celana panjang berwarna senada menjadi pilihan gadis itu untuk menutupi tubuhnya hari ini. Bunyi perut yang sedikit nyaring membuat Zahra tersenyum dari balik cermin. Dengan segera dia berjalan keluar kamar menuju ke arah dapur dimana para pelayan mansion sedang melakukan sarapan pagi."Nona Zahra apa anda baik-baik saja?" ucap Nufa saat melihat gadis itu masuk dan ikut bergabung sarapan dengan
Saat makan malam tiba, seperti biasa Zahra berdiri dengan tegak di samping Tama setelah selesai menyediakan makanan untuk laki-laki itu. Di depannya Ibu Naya juga duduk dengan tenang menikmati masakan yang tersaji disana. Tak ada tatapan ataupun sapaan dari wanita tua itu untuk Zahra. Ibu Naya bersikap seolah Zahra tidak ada disana.Sesekali wanita tua itu merasa bersalah karena sudah memperlakukan gadis yang tidak berdosa tersebut dengan acuh seperti ini. Ibu Naya sadar jika Zahra pasti sangat kebingungan sekaligus sedih atas sikap yang dia berikan kepadanya. Akan tetapi mau bagaimana lagi. Sejak dulu Ibu Naya sangat tahu bagaimana sifat sang anak Tama. Apalagi setelah semua tanggung jawab keluarga dan juga perusahaan jatuh ke tangannya, membuat laki-laki itu menjadi lebih tegas dari sebelumnya. Ditambah lagi kisah cinta sejati yang tak kunjung datang ke dalam kehidupan sang anak. Membuat Tama menjadi lebih kejam dan bisa melakukan apa saja jika aturan yang dia buat tidak diikuti.S
Zahra sangat terkejut saat dia melihat sosok berjubah hitam yang tidak bisa dia lihat wajahnya itu, mendorong kursi roda Ibu Naya dengan keras."Ibu awas!" Gadis itu berteriak dan berhasil membuat sosok tersebut menoleh ke arahnya. Wajahnya tertutup topeng dan Zahra tidak bisa melihat ataupun menebak siapa dia. Mengetahui aksinya sudah ketahuan, sosok itu dengan cepat mendorong kursi roda Ibu Naya ke arah kolam renang. Wanita tua itu menoleh sambil sesekali berteriak."Siapa kamu? Apa yang sedang kamu lakukan? Berhenti! Lepaskan kursi roda saya!" teriak Ibu Naya. Sekuat tenaga dirinya berusaha menghentikan roda kursinya yang berputar akan tetapi tidak berhasil. Dorongan yang kuat dari sosok itu, membuat roda berputar sangat cepat dan tangan keriputnya tidak cukup kuat untuk menghentikan semua itu."Ya Tuhan," gumam Ibu Naya saat dia menyadari jika sosok tersebut akan menjatuhkannya ke dalam kolam renang.Zahra berlari dengan sekuat tenaga untuk menghentikan aksi jahat sosok tersebut.
"Ampun Tuan. Saya mohon tolong ampuni saya," teriak seorang laki-laki yang terkenal sebagai penjaga taman samping tersebut.Dengan kasar Tama menyeret tubuh laki-laki itu. Semua pelayan yang ada di sana hanya bisa menunduk. Tidak ada satupun yang berani melihat apa yang akan dilakukan oleh bos besarnya itu. Semua pelayan tahu bagaimana tegas dan juga kejamnya Tama. Sebagian besar dari mereka lebih memilih mencari aman dengan tidak ikut campur urusan majikannya. Akan tetapi entah apa yang ada di pikiran penjaga taman itu sehingga dia berani mencari masalah kepada Tama."Berani sekali kamu memiliki niat untuk menyakiti Ibuku!" teriak Tama. Satu pukulan dan satu tendangan, dia layangkan ke wajah penjaga taman tersebut. Laki-laki itu terjengkang dan menabrak dinding di belakangnya dengan sangat keras. Mulutnya memuntahkan darah segar. Pelipis matanya juga tampak sobek."Ampun Tuan. Maafkan saya!" ucap laki-laki itu lagi. Sekuat tenaga laki-laki itu merangkak mendekati kaki Tama lalu men
"Tuan, laki-laki itu tewas," ucap Rey."APA? Bagaimana bisa?" Tama berdiri dari duduknya. Tampak jelas raut marah di wajah laki-laki itu. Dan itu sungguh membuat Zahra bergidik ngeri karena takut. Dia bahkan tidak berani berdiri dan terus berjongkok di samping kursi roda ibu dari Tama itu. Berbeda dengan Zahra, Ibu Naya sudah biasa melihat sang anak seperti itu. Dia hanya melirik sekilas melihat wajah Tama dan juga Rey secara bergantian."Ehm, Tuan…" Rey ragu untuk menjelaskan semuanya karena dia sadar di sana mereka tidak hanya sedang berdua saja. Ada dua wanita memperhatikan apa yang sedang mereka bicarakan.Mengerti dengan apa yang menjadi pikiran sang asisten, Tama pun langsung melangkah pergi diikuti oleh Rey menuju ke ruang kerjanya."Ada apa, Bu?" tanya Zahra dengan nada yang sedikit bergetar dan tubuh yang gemetar."Tidak ada apa-apa. Kamu tenang saja. Semuanya ada di dalam kendali Tama. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa," jawab Ibu Naya dengan tenang."Maksud Ibu
Tiga tahun yang lalu.Sebuah pagi yang sangat cerah dengan udara yang begitu sejuk. Hembusan angin sepoy-sepoy masuk menerobos sebuah jendela kamar yang sudah terbuka dari subuh hari. Seorang laki-laki dengan pakaian santainya duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Matanya terus fokus menatap layar laptop yang terbuka di atas meja. Beberapa kali keningnya mengernyit menandakan jika dirinya menemukan sebuah kejanggalan disana. Lalu tangan kanannya menggerakan mouse dan terdengar bunyi klik beberapa kali. Sesekali laki-laki itu juga melihat ke arah ponselnya yang tergeletak di samping laptop tersebut. Pandangannya terus bolak-balik seolah dirinya sedang memeriksa kedua data dari kedua alat yang berbeda itu.“Banyak sekali masalah yang harus diselesaikan disini. Kenapa semua ini bisa lepas dari pandangan Rey?” gumam Tama. Laki-laki itu terus menatap kedua layar berbeda ukuran tersebut dengan teliti. Saat dirinya sedang mengetik sesuatu, sebuah panggilan di ponselnya terdeng
Suara ketukan di pintu kamar, menyadarkan Tama dari lamunan masa lalunya. Laki-laki itu melirik ke arah jam di dinding dan dia tahu siapa yang sudah berdiri di luar kamarnya. Dengan segera Tama mengambil tas berisi laptop dan semua peralatan kerja lainnya yang sudah disatukan di dalam sana."Maaf Tuan, sudah waktunya kita berangkat bekerja," ucap Rey sesaat setelah Tama membuka pintu kamarnya. Laki-laki itu mengangguk lalu berjalan mendahului sang asisten.Mereka berdua pun mulai berjalan menuruni anak tangga. Keduanya masih sama-sama diam. Tama sepertinya tidak begitu bersemangat untuk membahas kembali tentang penghianat itu. Saat mereka baru saja menginjakkan kaki di lantai utama, bertepatan dengan sang ibu yang masuk ke dalam rumah didorong oleh Zahra."Nak!" panggil Ibu Naya. Tama menoleh. Dia tersenyum lalu berjalan mendekati sang ibu. "Iya Bu," jawab Tama. Dia berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan sang ibu.Ibu Naya mengusap rambut sang anak dengan lembut. Dia memang
Tama berdiri di depan sebuah cermin besar di dalam salon tersebut. Rambutnya kini sudah sangat rapi dan juga pendek. Jambang dan kumis yang asalnya tebal, kini berubah menjadi tipis. Tak sadar, laki-laki itu pun tersenyum melihat penampilan barunya tersebut.“Bagaimana? Jadi terlihat segar kan?” tanya Zahra berjalan mendekati sang suami.“Hmm,” jawab laki-laki itu dengan jari tangan yang menyisir tipis rambut barunya.Zahra tersenyum. Dia lalu merangkul lengan sang suami dan menyandarkan kepalanya di sana.“Sekarang kamu tidak malu lagi jalan denganku, kan? Sekarang aku terlihat lebih muda,” ucap Tama memandang wajah sang istri dari balik cermin.Zahra mengangkat kepalanya untuk bisa mendongak melihat laki-laki itu. “Mas, sudah aku katakan, bukan? Aku tidak pernah malu untuk bersama denganmu. Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kita. Karena sedih atau bahagia nya hubungan kita, kita sendiri yang tentukan dan kita sendiri yang rasakan. Bukan mereka.” Nada bicara Zahra
Sebuah restaurant seafood yang sangat terkenal di kota itu menjadi tujuan pertama mereka. Sebuah restaurant yang memiliki tiga lantai itu berukuran sangat luas. Zahra bahkan sampai menganga sesaat ketika dirinya menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Berbagai gambar menu yang disajikan menjadi penghias dinding berwarna emas itu. Semuanya benar-benar tampak sangat menarik dan tentu saja menggugah selera.“Ini restaurant, kan?” tanya Zahra dengan mata yang terperanjat. Tama tersenyum lalu menarik tubuh sang istri agar lebih menempel dari sebelumnya.“Iya sayang. Ini restaurant seafood nomor satu di kota ini,” jelas laki-laki itu.“Hmm wajar saja. Penampakkannya sangat mewah layaknya sebuah istana seperti ini. Mungkin hanya masyarakat kalangan atas saja yang bisa datang kemari,” jawab Zahra. Kedua matanya masih menyapu semua ornamen yang melekat di dalam ruangan tersebut.Tama memajukan bibirnya lalu berbisik, “Kamu belum melihat spot paling mahal di restauran ini.”Zahra mengalihkan
“Bagaimana dokter?” tanya Tama. Laki-laki itu membantu sang istri duduk di kursi di sampingnya.Pagi itu Tama membawa Zahra untuk memeriksa kondisinya pasca pemukulan yang dilakukan oleh Nufa beberapa minggu yang lalu. Setelah melakukan proses pengecekan panjang, hari ini adalah hari terakhir mereka datang. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Tama memang sedikit berlebihan. Dia bahkan sampai memaksa sang dokter untuk memeriksa seluruh tubuh bagian dalam sang istri dengan berbagai alat.Awalnya dokter keluarga itu merasa bingung karena sesuai dengan apa yang dia ketahui, kecelakaan yang menimpa Zahra tidaklah separah itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi. Dia tahu jika yang memintanya itu adalah CEO Kalingga’s Group. Seseorang yang paling tidak suka jika keinginannya dibantah. Apalagi ini menyangkut seseorang yang sangat laki-laki itu cintai.“Semua jenis pemeriksaan yang anda inginkan sudah kami lakukan, Tuan Tama. Dan hasilnya tetaplah sama. Nyonya Zahra baik-baik saja. Bahkan hasil dar
Di dalam sebuah kamar yang memiliki ukuran cukup besar. Sinar matahari sudah mulai merambat masuk melewati kaca jendela yang memang sengaja dibuka. Walaupun demikian, wangi aroma terapi yang dipasang di dalam ruangan tersebut tidak memudar. Udara pagi yang sejuk mulai terasa menusuk di pori-pori kulit seseorang yang ada di dalam sana.Seorang gadis yang sejak semalam terbaring di atas kasur, matanya mulai mengerjap. Kelopak mata yang masih tertutup itu mulai menunjukkan sebuah pergerakan halus. Dan beberapa saat kemudian, Zahra membuka matanya dengan sempurna. Penglihatan yang awalnya kabur, perlahan berubah menjadi jelas. Namun demikian, kondisi tubuhnya yang masih sangat lemas, membuat wanita itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Di-dimana ini?” ucap wanita itu lirih. Mencoba untuk berpikir, membuat luka di bagian belakang kepalanya kembali terasa sakit. Membuat Zahra meringis kesakitan.Mendengar ada suara di dalam kamar sang majikan, pelayan yang ditugaskan untuk menjaga istri da
Pengacara Aldi masih diam menunduk. Dia bahkan tidak berani memandang Rey maupun Nufa yang selama ini menjadi atasannya. Sudut matanya hanya bisa melirik Tama yang duduk dengan tegak di sampingnya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dengan sorot mata tajam yang langsung menembus jantung sang pengacara.Laki-laki itu menelan salivanya dengan kuat. Dia sadar jika dirinya kini sedang berada di tengah harimau dan singa. Entah mana yang harus dia pilih, yang jelas keduanya benar-benar sangat berbahaya baginya.“Pengacara Aldi,” panggil Rey kembali. Kali ini dengan nada suara yang sedikit naik.“I-iya tuan,” jawab pengacara Aldi terbata. Keringat dingin semakin terlihat jelas berseluncur di dahinya.“Ayo, keluarkan surat-surat itu! Surat yang menyatakan jika seluruh aset dan juga kekayaan Kalingga sudah jatuh ke tanganku,” titah Rey.“Benar pengacara. Ayo cepat tunjukkan pada laki-laki sok berkuasa ini. Cepat katakan jika sekarang dia sudah berubah menjadi tikus got yang tak memiliki apa
“Silahkan dokter?” ucap Tama. Dia langsung membawa Zahra pulang ke mansion dan meminta dokter keluarga untuk memeriksanya.Sang dokter melakukan pemeriksaan secara detail dan juga teliti. Dia tidak mau melakukan sebuah kesalahan apalagi ini menyangkut istri dari seorang CEO besar. Di sampingnya, Tama masih setia berdiri, memperhatikan sang istri yang masih terkulai tak berdaya. Pakaian yang semula berlumuran darah, sudah dia ganti. Tama melakukannya sendiri karena sejak kejadian Nufa, rasa kepercayaannya kepada para pelayan di mansion menjadi berkurang. Dia takut jika masih ada orang suruhan Rey yang tinggal disana. “Bagaimana, dokter?” tanya laki-laki itu saat melihat sang dokter sudah selesai memeriksa. Dokter tampan itu pun tersenyum.“Tidak apa-apa, Tuan Tama. Kondisi istri anda yang belum sadar, bukan karena ada kesalahan tapi memang itu akibat obat yang diberikan oleh dokter yang memeriksa sebelumnya,” jelas sang dokter keluarga. Tama menghela nafas lega.“Jadi, kira-kira kapan
“Jika kamu berani menembak Rey, maka aku juga berani untuk menghabisi istri tercintamu ini,” ancam Nufa setengah berteriak.Rey dan juga Tama sontak menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Nufa yang sedang menggenggam sebuah gunting dan bersiap untuk menancapkannya di dada Zahra yang belum juga sadarkan diri. “Coba saja kalau berani, Tama!” ucap Nufa lagi. Tama menatap tajam kedua mata tua sang kepala pelayan. “Dari sejak dulu, aku tidak pernah takut padamu ataupun juga pada Yudha - ayahmu.”Tama sadar jika ancaman Nufa bukan hanya gertakan saja. Dia tahu jika wanita paruh baya itu bisa saja berbuat nekad. Mereka sudah pernah menghabisi sang Ibu secara bersih. Sehingga semua bukti menjelaskan bahwa Naya meninggal karena sakit. Tama tahu jika pasangan bibi dan keponakan ini tidak bisa dianggap remeh.Perlahan laki-laki itu menurunkan senjatanya. Melihat Tama yang sepertinya menyerah, dengan cepat Rey berdiri dan mencuri senjata milik sang CEO. Kini suami istri itu berada di bawah
Senja sudah berakhir. Langit terang telah berubah menjadi gelap. Akan tetapi sampai detik ini Tama masih belum juga menemukan kabar keberadaan sang istri. Laki-laki itu mengemudikan kendaraannya dalam keadaan yang frustasi. Sesekali dia memukul kemudi mobil dengan keras dan sesekali dia juga menjambak rambutnya sendiri.Setelah mendapatkan pengakuan dari penjaga mansion, Tama langsung melajukan kendaraannya keluar dari rumah besar tersebut. Beberapa staf kantor pun sempat dia hubungi untuk mencari tahu tentang Rey akan tetapi mereka semua tidak tahu. Yang mereka katakan hanya satu yaitu Rey keluar dari kantor dengan cepat dan terburu-buru.“Aku berjanji padamu Rey, aku berjanji demi mendiang ayah dan juga ibuku, jika sampai kamu menyentuh Zahra sedikit saja, aku akan membunuhmu,” gumam Tama dengan sorot mata yang tajam.Fokus laki-laki itu membuyar saat dia mendengar ponselnya yang berdering. Dengan cepat dia mengangkat panggilan tersebut.“Bagaimana, Alex?” tanya Tama pada orang diba
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore saat mobil yang dikendarai oleh Tama sampai di halaman parkir mansion. Setelah bertemu dengan Kiran dan menyelesaikan masalahnya dengan pengacara Aldi, laki-laki itu memilih untuk langsung pulang ke rumah saja, tanpa menyempatkan diri ke kantor. Dia sudah tahu apa yang sedang terjadi disana dan Tama akan membiarkan Rey bersenang-senang sesaat sebelum besok dia akan membalikkan keadaan.Seperti biasa para pelayan berjajar di depan pintu untuk menyambut sang CEO. Namun ada yang aneh disana. Di dalam barisan para wanita itu, Tama tidak melihat sosok Nufa dan juga sang istri - Zahra. Kedua mata laki-laki itu seketika melirik ke atas. Menatap pintu kamarnya yang masih tertutup.“Hmm, mungkin dia ketiduran lagi karena lelah,” ucap laki-laki itu dalam hati.Sebuah senyum terukir manis di bibir Tama saat dia membayangkan tubuh mungil sang istri yang sedang terbaring di atas kasur. Entah kenapa tapi semenjak hubungan diantara mereka membaik, membuat Tama