“Happy birthday to you…Tiup lilinnya, Sayang,” titah Ratih pada putri kecilnya yang kini genap berusia empat tahun.Ratih dan Pras kembali tepuk tangan saat lilin yang ditiup Novia padam.Di sebuah restoran yang menyerupai kastil di dongeng-dongeng Disney, Pras merayakan ulang tahun Novia–anak hasil hubungan gelapnya dengan Ratih.“Makasih ya, Pa. Novia seneng banget!” Anak itu tersenyum manis sambil memamerkan dua gigi kelincinya.“Makasih Mas Pras,” Ratih menoleh senang. “Aku enggak nyangka kamu bakal mengajak kami liburan ke Hongkong, sekalian merayakan ultahnya Novia di Disneyland. Kupikir kamu bakal mengajak keluargamu…”“Yah, hitung-hitung ini sebagai penebusan rasa bersalahku karena jarang bertemu dengan Novia,” Pras melempar senyum pada Novia yang sedang melahap kue ulang tahunnya dengan riang. “Ah, tapi besok aku harus kembali ke hotelku. Kalian enggak masalah kan liburan di sini tanpa aku?”Rambut panjang Ratih bergerak pelan. “Enggak apa-apa, Mas. Aku tahu kamu sibuk.”Sete
Kedua alis Jihan bertautan. “Kamu kenapa? Apa yang kamu lakukan untuk terakhir kalinya?”Jihan terlihat bingung, tidak bisa menangkap gumaman Andini tadi.Andini menggeleng. “Enggak bukan apa-apa kok,” sahutnya cepat. “Aku memang kelewatan semalam, tapi aku enggak sampai tidur dengan brondong itu.”“Hah, syukurlah. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku yang merasa bersalah, Ndin,” Jihan mengurut dadanya lega.“Tapi…kamu bisa rahasiakan semua ini kan? Maksudku, waktu aku berciuman dengan brondong itu,” bisik Andini.“Tentu saja. Kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan memberi tahu Pras atau siapapun itu soal kejadian semalam,” Jihan berujar yakin. Namun Jihan masih menangkap raut wajah sahabatnya yang ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu. “Ada masalah apa lagi, Ndin?”Andini menghela napas berat. Kedua matanya tertuju ke motif karpet rumahnya yang abstrak. “Sebenarnya, aku menyimpan satu rahasia kelam, Jihan. Bertahun-tahun aku memendamnya tapi sepertinya sekarang aku enggak t
‘Ha-hamil?’ Tangan Andini gemetar hebat saat dia memegang test pack itu. ‘Aku memang berencana untuk punya anak lagi tapi…’“Argh!” Wanita itu memekik pelan, melempar test pack ke pinggir wastafel. Masalahnya bagaimana mungkin dia bisa hamil kalau sejak keberangkatan Pras ke Hongkong sampai suaminya itu kembali pulang, mereka belum berhubungan suami-istri sama sekali?Andini mulai memutar kembali ingatannya. ‘Tidak mungkin…’Saat dia berhubungan dengan Andreas untuk yang terakhir kalinya, dia baru ingat sekarang kalau waktu itu IUD-nya sudah dilepas. Jantung Andini kembali berdebar-debar. Ini adalah sepuluh menit paling menegangkan dalam hidupnya. Begitu Andini membuka kedua kelopak matanya, dia melihat dua garis yang muncul dengan jelas. Kakinya melemas. Tubuhnya pun ambruk ke atas lantai kamar mandi yang dingin. Kepala wanita itu terbenam ke dalam lututnya. Pundaknya berguncang pelan dan air matanya mengalir.*“Selamat, Bu. Kehamilan Anda sudah menginjak minggu kelima.”Perkataan
“Aku hamil,” Andini menyerahkan test pack ke hadapan Pras.Pras mendongak dari layar tabletnya. Sontak matanya membulat tidak percaya. “Benarkah?” Pras langsung menyambar test pack itu. Dilihatnya dua garis biru yang begitu jelas. “Kalau begitu kita ke dokter sekarang!”“Aku sudah ke dokter, Mas,” sahut Andini yang membuat bokong Pras kembali menyentuh bantalan kursi putar di ruang kerja di rumahnya.“Lho kenapa enggak aja aku sekalian sih?” gerutu Pras.‘Karena aku sudah hamil enam minggu!’ batin Andini. “Kamu kan sibuk terus, Mas. Lagian aku harus cepat-cepat memastikan apakah aku hamil atau tidak,” Andini beralasan.“Sudah berapa minggu kehamilannya?”“Baru tiga minggu,” tukas Andini.Pras nampak memikirkan sesuatu. “Hm, berarti manjur juga ya permainan kita di ruang kantorku waktu itu?”“Kubilang juga apa. Yah, sekarang kita hanya bisa berharap janin ini perempuan, seperti keinginanmu, Mas,” Andini memutar tubuhnya.“Ndin,” sergah Pras saat istrinya itu berada di ambang pintu. “Bi
Hari ini, Andini menghadiri pentas drama kelasnya Evan. Dia sudah menenggak berbagai macam vitamin untuk menguatkan dirinya. Di semester pertama kehamilannya kali ini ternyata cukup melelahkan juga.“Bisa jadi karena faktor umur,” begitu kata dokternya Andini.Sambil melangkah pelan, Andini berjalan menuju gerbang sekolah putranya. Namun sekelebat bayangan menghadang Andini.Mata Andini membelalak. “A-Andreas?!” Dia memekik pelan. Secepat kilat Andreas menyambar lengan Andini dan menariknya ke samping tembok.“Jelaskan padaku,” desis Andreas.Leher Andini melirik kesana kemari, takut ada orangtua murid yang memergoki mereka. “Kamu sudah gila, Andreas. Ini sekolah anak-anakku!”“Jelaskan, Andini,” desak Andreas lagi. Pria itu berjalan mendekat, menyudutkan Andini ke permukaan tembok pembatas.“Apa yang harus kujelaskan, hah?”“Bayi itu,” Mata Andreas melirik ke perut Andini. “Dia anakku kan?”Andini menelan ludahnya dalam-dalam. “Bagaimana mungkin ini anakmu?”“Kamu keceplosan, aku ta
Di luar, hujan mengguyur dengan deras. Kilatan petir yang menyambar menambah suasana semakin mencekam.Sementara itu, Jihan masih tercengang dengan pengakuan Andini.“E-enggak mungkin.” Jihan berusaha mengelak pengakuan mengejutkan itu. “Jadi, waktu aku bilang naksir Andreas, kamu cemburu?”Andini mengangguk pelan. “Tapi aku enggak bisa berbuat apa-apa. Toh aku juga tahu kalau Andreas enggak mungkin membalas cintamu.”‘Sial,’ batin Jihan. “Tapi ini gila, Ndin! Sejak kapan kamu selingkuh dengan brondong itu?!”Kedua bahu Andini perlahan turun ke bawah. Dia pun mulai menceritakan semuanya dari awal. Bibir Andini terkadang bergetar dan matanya menggenang.Dia merasa bersalah, tapi di satu sisi dia tidak bisa lepas dari jeratan Andreas.“Andreas sangat mirip dengan Adrian, mantanku yang tewas bunuh diri. Saat brondong itu muncul pertama kali di hadapanku, aku bahkan mengira kalau dia reinkarnasinya Adrian.”“Lalu apa yang akan kamu lakukan? Kamu enggak bisa berbohong sepanjang hidupmu, Nd
Berkali-kali, Pras mengerjapkan matanya yang berair. Dia menguap lebar seraya duduk di kafetaria rumah sakit.Sinar matahari siang yang terik, menerobos jendela kaca kafetaria yang besar. Untungnya, AC di kafetaria ini cukup dingin.“Aku senang, akhirnya Mas bersedia datang menjenguk Novia,” Ratih duduk di seberangnya seraya menjulurkan sekaleng kopi dingin dan sandwich daging. “Bagaimanapun juga dia anakku,” Pras lalu menenggak kopi itu. Perjalanan bus malam membuat otot-ototnya pegal sehingga dia tidak bisa tidur nyenyak.“Mas lihat sendiri kan, kehadiran Mas begitu berarti untuk Novia. Dia senang benget waktu melihat Mas Pras. Dan hasil darahnya siang ini menunjukkan bahwa trombositnya naik. Yah, walau belum sampai batas normal,” terang Ratih.Pras manggut-manggut. “Baguslah, Tih.”Lantas, Ratih meraih satu tangan Pras dan menggenggamnya erat. “Maafin aku ya, Mas. Sebenarnya selama beberapa minggu ini aku kesal sama Mas Pras. Jadi, aku pulang ke rumah orangtuaku dan mengabaikan se
Pras duduk dengan lunglai di sofa kecil itu. Perutnya nampak naik turun seiring dengan embusan napasnya yang berat.Sementara itu, Ratih duduk di samping Pras, memandangi pria itu dengan miris. “Mas yakin istri Mas selingkuh?”“Iya. Dia perempuan jalang…aku sudah berkorban banyak untuknya tapi dia tega mengkhianatiku…” suara Pras tercekat.‘Kita juga selingkuh, Mas. Kalian saling mengkhianati satu sama lain,’ batin Ratih.“Kalau begitu, ceraikan saja dia,” tandas Ratih. “Dengan begitu, kita bisa mendaftarkan pernikahan siri kita ke negara.” Ratih menjaga intonasi suaranya agar tidak terdengar terlalu bersemangat.“Tidak. Aku enggak mau melepaskan perempuan sialan itu.”Ratih mendengus heran. “Sebegitu istimewanya kah Andini di mata Mas Pras?”“Iya, dia cinta pertamaku, dia…dia segalanya bagiku. Aku bahkan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan cintanya. Cinta Andini-ku…”Mendengar hal itu, kepala Ratih terasa panas. “Tapi dia berkhianat. Lepaskan saja, Mas. Ada aku dan Novia. Kita
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa