Di luar, hujan mengguyur dengan deras. Kilatan petir yang menyambar menambah suasana semakin mencekam.Sementara itu, Jihan masih tercengang dengan pengakuan Andini.“E-enggak mungkin.” Jihan berusaha mengelak pengakuan mengejutkan itu. “Jadi, waktu aku bilang naksir Andreas, kamu cemburu?”Andini mengangguk pelan. “Tapi aku enggak bisa berbuat apa-apa. Toh aku juga tahu kalau Andreas enggak mungkin membalas cintamu.”‘Sial,’ batin Jihan. “Tapi ini gila, Ndin! Sejak kapan kamu selingkuh dengan brondong itu?!”Kedua bahu Andini perlahan turun ke bawah. Dia pun mulai menceritakan semuanya dari awal. Bibir Andini terkadang bergetar dan matanya menggenang.Dia merasa bersalah, tapi di satu sisi dia tidak bisa lepas dari jeratan Andreas.“Andreas sangat mirip dengan Adrian, mantanku yang tewas bunuh diri. Saat brondong itu muncul pertama kali di hadapanku, aku bahkan mengira kalau dia reinkarnasinya Adrian.”“Lalu apa yang akan kamu lakukan? Kamu enggak bisa berbohong sepanjang hidupmu, Nd
Berkali-kali, Pras mengerjapkan matanya yang berair. Dia menguap lebar seraya duduk di kafetaria rumah sakit.Sinar matahari siang yang terik, menerobos jendela kaca kafetaria yang besar. Untungnya, AC di kafetaria ini cukup dingin.“Aku senang, akhirnya Mas bersedia datang menjenguk Novia,” Ratih duduk di seberangnya seraya menjulurkan sekaleng kopi dingin dan sandwich daging. “Bagaimanapun juga dia anakku,” Pras lalu menenggak kopi itu. Perjalanan bus malam membuat otot-ototnya pegal sehingga dia tidak bisa tidur nyenyak.“Mas lihat sendiri kan, kehadiran Mas begitu berarti untuk Novia. Dia senang benget waktu melihat Mas Pras. Dan hasil darahnya siang ini menunjukkan bahwa trombositnya naik. Yah, walau belum sampai batas normal,” terang Ratih.Pras manggut-manggut. “Baguslah, Tih.”Lantas, Ratih meraih satu tangan Pras dan menggenggamnya erat. “Maafin aku ya, Mas. Sebenarnya selama beberapa minggu ini aku kesal sama Mas Pras. Jadi, aku pulang ke rumah orangtuaku dan mengabaikan se
Pras duduk dengan lunglai di sofa kecil itu. Perutnya nampak naik turun seiring dengan embusan napasnya yang berat.Sementara itu, Ratih duduk di samping Pras, memandangi pria itu dengan miris. “Mas yakin istri Mas selingkuh?”“Iya. Dia perempuan jalang…aku sudah berkorban banyak untuknya tapi dia tega mengkhianatiku…” suara Pras tercekat.‘Kita juga selingkuh, Mas. Kalian saling mengkhianati satu sama lain,’ batin Ratih.“Kalau begitu, ceraikan saja dia,” tandas Ratih. “Dengan begitu, kita bisa mendaftarkan pernikahan siri kita ke negara.” Ratih menjaga intonasi suaranya agar tidak terdengar terlalu bersemangat.“Tidak. Aku enggak mau melepaskan perempuan sialan itu.”Ratih mendengus heran. “Sebegitu istimewanya kah Andini di mata Mas Pras?”“Iya, dia cinta pertamaku, dia…dia segalanya bagiku. Aku bahkan rela melakukan apa saja untuk mendapatkan cintanya. Cinta Andini-ku…”Mendengar hal itu, kepala Ratih terasa panas. “Tapi dia berkhianat. Lepaskan saja, Mas. Ada aku dan Novia. Kita
Andini nampak sedikit gugup begitu membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Pras yang duduk di sampingnya malah terlihat sumringah. Ini kali pertama dia mengantar Andini ke dokter sejak wanita itu dinyatakan hamil anak ketiga.Gel dingin membalur di atas perutnya yang mulai buncit. Alat USG itu pun bergerak di atas permukaan perutnya. Mata Pras tidak berkedip menatap layar yang menggantung di depannya.“Tu-tunggu,” Pras memicingkan matanya. “Kenapa ditulisnya delapan minggu?” Pras melihat keterangan soal kehamilan Andini di ujung layar.Dokter itu tersenyum. “Karena memang sudah delapan minggu, Pak.”Kening Pras mengernyit. Jari-jari tangannya bergerak, menghitung sesuatu. Lantas, matanya melirik ke arah Andini yang terlihat pucat.“Kamu bilang waktu itu usia kandungannya baru tiga minggu,” tukas Pras saat mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang. “Kalau begitu seharusnya, kandunganmu minggu ini menginjak minggu kelima.”Andini menelan ludahnya dalam-dalam. “Aku…salah perhit
Sirkulasi udara yang minim membuat ruangan itu menjadi pengap.Lampu neon yang menggantung di atas kepala Pras berkedip-kedip, memancarkan cahaya redup. Berkali-kali Pras membenarkan posisi duduknya di atas kursi besi yang usang. Degup jantung Pras seolah mengalahkan kesunyian yang menyergap.Tapi Pras tidak sendirian. Di hadapannya duduk seorang pria bertubuh besar, berkumis lebat dengan rambut gondrong yang tebal. Kedua lengan pria itu dipenuhi tato yang membuat Pras tambah gugup.“Aku tidak mengenalmu,” pria itu berujar dengan suara bas yang tebal. Matanya memicing tajam seolah akan menerkam Pras. “Tapi kamu tahu kata sandinya.”Tangannya bergerak ke bawa meja. Pras menelan ludah. ‘Jangan-jangan dia mau mengambil senjata tajam dan menembakku.’“Raja Malam,” Pras menukas dengan suara yang bergetar. “Beberapa belas tahun yang lalu aku pernah bekerja untuk Raja Malam.”Pria itu menarik tangannya dari kolong meja. Pras bisa bernapas sedikit lega karena tidak ada senjata tajam seperti y
Pras kembali datang ke gedung itu, gedung tua milik kelompok mafia Raja Malam. Kali ini dia melangkah penuh percaya diri. Satu tangannya menenteng tas berisi tumpukan uang tunai senilai lima ratus juta.“Sesuai permintaanmu, Tuan,” Pras meletakkan tas itu di atas meja kayu yang kokoh. Cahaya samar lampu neon yang menggantung, memperlihatkan wajah pemimpin mafia yang menyeringai puas.“John!” Pria itu memanggil anak buahnya. “Hitung jumlahnya.”Dengan sigap anak buahnya itu membawa uang kesepakatan Pras ke ruangan terpisah.“Aku ingin kalian cepat menghabisi Andreas,” Pras angkat bicara. Suaranya tidak lagi gemetar seperti tempo lalu. Mata Pras menyorot pria besar itu dengan tajam. “Dia akan segera pindah dari rumahnya
Kedua ujung alis Malinka menyatu. Dia terheran mendapati Andini yang duduk di seberang Andreas yang berada di balik meja.“Tante Andini?” ucap Malinka melangkah masuk.Andini menyunggingkan senyumnya, walau dia tahu bibirnya sedikit bergetar. “H-Hai, Malinka. Aku…aku sedang membicarakan prospek ke depanku sebagai pelukis amatir dengan pacarmu.”“Ah, begitu.” Malinka manggut-manggut. Saat Malinka menoleh ke arah Andreas, pria itu sedang mengusap bibirnya. “Aku enggak ganggu kalian kan?”“Tentu saja enggak,” sergah Andini sambil bangkit dari kursinya. “Malah sepertinya aku yang mengganggu kalian.”“Yah, sebenarnya aku mau mengajak Andreas makan siang, Tante. Tapi kalau kalian butuh waktu lebih, aku bisa menunggu kok,” balas Malinka santai. “Taksi online yang kupesan sudah datang. Aku pamit dulu ya,” Andini menatap Malinka dan Andreas bergantian.“Hm, iya. Hati-hati, And–maksudku Tante,” ucap Andreas sambil mengusap tengkuknya canggung.“Dah, Tante!” Malinka melambai pada Andini. Setela
Andreas nampak sibuk menumpuk beberapa lukisan di studio kecil yang ada di rumahnya.Punggungnya bergerak-gerak memilah mana lukisan yang akan dia sumbangkan ke galeri, dia jual maupun disimpan.Sampai akhirnya matanya tertuju pada sebuah lukisan yang berada di barisan belakang, yang tadinya tertumpuk oleh lukisan-lukisannya yang lain.Lukisan tubuh Andini yang polos.Liukan tubuh wanita itu serta sorot mata Andini yang sensual di atas kanvas membawa kembali kenangan mereka.“Aaah, Sayang…” Lenguhan Andini kembali hadir di kupingnya.Tubuhnya meremang seakan jemari-jemari Andini di lukisan itu bergerak, menjulur ke arahnya dan mulai menggerayangi tub
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa