“Permisi, Bu, Pak…” Iyem keluar dari kamar mereka setelah membawa tas-tas besar yang berisi baju-baju Pras juga Andini selama dirawat di RS.Dua minggu lebih mereka menjalani perawatan, dan sekarang pasangan suami-istri itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Sayangnya, bayi mungil Andini masih harus menginap di ruang intensif. Keadaannya masih terlalu lemah untuk dibawa pulang.Wajah Andini terlihat murung. Berat badannya pun turun drastis sehingga dia tak ubahnya seperti tengkorak hidup.Dokter menyarankan Andini untuk banyak makan dan istirahat agar ASI-nya keluar.“Aku ingin mengubah nama anak kita,” Andini berujar parau di pinggir ranjang.Pras, yang sedang melepas polo shirt, langsung berdecak. “Anak kita? Dia itu anakmu dengan selingkuhanmu itu.”“Tapi kamu berjanji akan menganggapnya sebagai anakmu,” balas Andini dingin.“Memang, tapi bukan berarti aku harus berpura-pura menganggap dia anakku di saat kita sedang berdua seperti ini. Sebaiknya ralat kata-katamu tadi. Dia itu
Blam!Malinka membanting pintu kamar keras-keras. Dari balik pintu, dia mengutuk dirinya berkali-kali karena sudah melakukan hal tolol.‘Duh, gimana ini?!’ Malinka memukuli kepalanya. Rasanya dia ingin tenggelam di lautan!Tok, tok.Pria itu terpaksa mengetuk pintu kamar Malinka. ‘Sial! Sial! Seharusnya aku sadar kalau itu bukan Andreas. Dasar Malinka bodoh!’ Rutuknya lagi.“Maaf,” ucap pria itu dari ruang tengah. “Aku hanya ingin bertemu kembaranku.”Malinka menarik napasnya dalam-dalam sambil memejamkan mata.“Ini benar apartemennya Andreas kan? Aku berusaha menghubunginya tapi dia belum menjawab,” tukas pria itu lagi.Malinka mengembuskan napasnya keras-keras. Dia bahkan begitu malu untuk menjawab pertanyaan pria itu.Tapi dia tidak bisa mengurung diri di sini selamanya. Maka, dengan langkah berat Malinka kembali berpakaian.Pipinya terasa sangat panas saat dia memaksakan diri keluar dari kamar.“Maafkan aku,” suara berat pria itu semakin menambah rasa malu Malinka. “Seharusnya ak
“Hmpf…” Napas Malinka tersengal saat dia sedang memuaskan dirinya sendiri di atas sofa.Sedari pagi, Andreas sudah sibuk di studio lukisnya, yang berada tidak jauh dari rumah mereka. Sehingga Malinka sendirian di rumah yang besar ini. Dia merasa bosan. Pagi-pagi sekali dia sudah berjalan menyusuri pantai, kelas surfing-nya pun masih dua jam lagi.Gairah Andreas yang menurun drastis membuat, perempuan itu jadi sering bermain sendiri.Tubuh Malinka, yang hanya mengenakan tanktop dan celana pendek, menggeliat di atas sofa. Lehernya menukik di pinggiran sofa sehingga ujung-ujung rambutnya itu menyentuh lantai.Malinka membayang wajah Andreas, membayangkan stamina pria itu kembali seperti dulu.Perempuan itu terus mengerang tanpa menyadari ada seseorang yang berdiri di balik pintu depan.Langkah Allan tertahan begitu dia mendengar desahan dari dalam rumah. ‘Apa mereka sedang bercinta?’ Pikir Allan.Namun, saat Allan mengintip dari jendela teras, dia mendapati Malinka seorang diri di atas s
Allan menutup pintu kamarnya. Seharian menghabiskan waktu dengan Malinka membuat jantungnya tidak aman.Entah kenapa, dia selalu merasa deg-degkan saat bersama dengan perempuan itu. Allan menghela napas berat sambil menanggalkan kaosnya.‘Ayolah, Allan. Lupakan Malinka. Dia itu tunangan kembaranmu!’ Titahnya pada diri sendiri. Namun rasanya begitu sulit, karena wajah Malinka terus berseliweran di benaknya.Allan menyalakan AC kamar. Dia mengintip sejenak ke luar, mendapati Malinka yang sedang sibuk di dapur.‘Aman,’ pikirnya.Lantas pria itu berbaring setelah menanggalkan celananya. Dia benar-benar tidak tahan lagi. Sambil memejamkan mata, tangan kekar Allan mulai bergerak di bawah sana.Dia tidak ingin membayangkan Malinka, tapi wajah cantik dan tubuh sensual perempuan itu terus merasuki pikirannya.“Haah…” Napas Allan mulai menderu. Dada bidangnya naik turun seiring dengan tangannya yang bergerak cepat.Saking fokusnya, Allan sampai tidak menyadari ada suara langkah kaki yang berger
Bau cat minyak yang khas menyeruak begitu Allan melangkah masuk ke studio lukis milik kembarannya.Sebuah jendela besar bertengger, membiarkan cahaya dari luar masuk memberikan penerangan alami ke dalam studio.Jejeran kanvas-kanvas putih itu menumpuk, siap dilukis oleh Andreas. Ada pula beberapa lukisan yang sudah setengah jadi. Deburan ombak yang terdengar dari kejauhan membuat suasana studio begitu nyaman.“Hei,” sapa Allan dari belakang punggung Andreas.Rambut ikal Andreas yang gondrong itu bergerak pelan saat menoleh. Ekspresinya datar melihat kedatangan mendadak kembarannya.“Ada masalah apa?” Kening Andreas mengerut, tanpa basa-basi.“Enggak ada masalah kok. Aku hanya penasaran dengan studio barumu. Malinka sedang ikut kelas pottery, aku enggak tertarik. Makanya aku ke sini,” Allan mengedarkan pandangan ke halaman belakang studio. Ada beberapa penyanggah kanvas di sana. Sepertinya di situlah tempat Andreas mengajar, pikir Allan.Lantas, Allan menyodorkan sekaleng bir dingin di
Sekuat tenaga, Malinka menyeret tubuh Allan ke pinggir pantai.“Allan,” Malinka berujar panik sambil menekan dada pria itu. “Plis, Allan. Bangunlah…”Wajah Allan begitu pucat dengan mata yang terpejam. Lantas, Malinka menekan cuping hidung Allan dan menempelkan bibirnya di bibir pria itu, meniupkan udara ke mulut Allan.“Uhuk!” Tubuh Allan menyentak seraya memuntahkan air laut dari mulutnya.Tangisan lega Malinka pecah dan langsung memeluk pria itu. Tubuh Allan yang dingin perlahan menghangat karena pelukan Malinka.“Kamu selamat…” ucap Allan parau. Dia pikir Malinka sudah mati tenggelam.“Apa maksudmu?! Yang ada kamulah yang selamat, Allan!” Malinka berujar sambil terus menangis di bahu Allan.“A-Aku??”Malinka melepas pelukannya. “Ngapain sih kamu ke tengah lautan begitu?”“Aku mencarimu, Malinka. Saat aku terbangun, aku enggak melihatmu. Kupikir kamu tenggelam.”Bahu Malinka melorot. “Allan, aku baik-baik saja. Tadi, aku sempat ke atas untuk beli minum, tapi aku enggak mau menggang
Sekujur tubuh Malinka meremang. Sentuhan Allan benar-benar membuat dirinya menggila. Punggungnya menukik ke atas saat kepala pria itu mulai turun ke pangkal pahanya.“Aaah…” Malinka mendesah, menjambak rambut ikal Allan.Rasa yang menyenangkan ini sudah lama tidak hinggap padanya. Perutnya bergejolak. Sensasinya terasa berbeda ketika dia bermain sendiri.Allan merangkak ke atas dan kembali melumat bibir Malinka. Ciuman mereka begitu panas, sampai menggerakkan ranjang di kamar Andreas dan Malinka.Sungguh ironis, pikir Malinka. Tapi nafsu mengalahkan akal sehatnya, meruntuhkan kesetiaannya pada Andreas.Allan kini menatap mata jernih Malinka. ‘Wajahnya mirip sekali dengan Andreas,’ batin Malinka, meraba dagu Allan yang bersih dari bulu-bulu kasar. Namun, tatapan Allan mampu menggetarkan hatinya.Lantas, mereka mulai menanggalkan pakaian masing-masing. Dengan hasrat yang menggebu, Allan langsung menindih tubuh polos tunangan kembarannya.Pria itu bahkan tidak memikirkan perasaan Andreas
“Aah…” Malinka mendesah saat bibir Allan mulai mengecupi lehernya yang jenjang.Tali tanktop yang menggantung di salah satu bahunya melorot ke bawah.“Aku akan menikahimu, Sayang…” bisik Allan. “Kita akan memulai hidup yang bahagia.”“Hem,” Malinka menggeliat. “Aku enggak sabar jadi istrimu…ugh…”Tubuh Malinka menyerah. Dia tergeletak di atas meja, sambil kedua tangan Allan terus menggerayangi tubuhnya.Begitu Allan hendak menanggalkan tanktop Malinka, tiba-tiba terdengar gedoran dari pintu depan.Mereka berdua saling bertukar pandang heran, mengira-ngira siapa yang datang.“Malinka?” Ucap Andreas dari luar. “Sayang? Kamu ada di rumah?”Tubuh mereka kaku. Cepat-cepat Allan menarik tubuhnya menjauh dari Malinka.“Bukannya itu suara Andreas?” bisik Allan panik.“Iya, itu Andreas!” Malinka membenarkan posisi tanktopnya. Napasnya tersendat-sendat begitu turun dari atas meja.“Kenapa dia pulang sekarang?!” bisik Allan lagi.“Mana kutahu!” balas Malinka dengan nada suara yang serendah mungk
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa