AC berembus pelan, mendinginkan setiap sudut kamar yang hening itu. Di pinggir boks bayi, Andini memperhatikan Eva. Bayi itu terlelap dengan damai.Telunjuk Andini menyusuri wajah mungil bayinya. Hidung Eva nampak mancung, pipinya tembem dengan rambut ikal yang lebat. Bola matanya berwarna abu, sama dengan Andreas.Pras berujar dengan nada mengejek kalau Eva besar nanti, orang-orang akan menyadari kalau Eva bukanlah anak Pras. “Dari sekarang saja wajah bayi itu mengingatkanku pada pria sialan itu,” Pras mendengus.Namun, Andini sudah tidak peduli lagi dengan segala perlakuan Pras pada dirinya dan Eva. Selama Pras tidak menyakiti Eva, Andini memilih untuk acuh.Setelah tiga bulan Eva berjuang di inkubator RS, akhirnya bayi mungil itu bisa pulang. Dengan ketekunan yang luar biasa, Andini merawat putrinya. ASI-nya memang tidak keluar, tapi Andini mengerahkan semua tenaganya agar nutrisi Eva tetap terpenuhi.Kini, usia Eva menginjak delapan bulan. Orang-orang memuji Andini karena bayi yan
Andini tidak bisa membedakan keringat yang kini bercucuran di pelipisnya dikarenakan dia habis jalan cepat atau karena dia gugup–gugup kalau dia akan bertemu dengan Andreas setelah sekian lama.Mau tidak mau, Andini menyeret langkahnya ke depan pagar rumahnya, seiring dengan pintu mobil SUV yang membuka.‘A-Andreas?’ Andini menerka-nerka penuh harap. Dari sudut matanya dia menangkap sesosok pria jangkung berpakaian hitam yang turun dari mobil.Pandangan mereka saling bersirobok. Suara anak kecil terdengar dan memanggil pria itu dengan sebutan Papa dari dalam mobil.“Pa, ini rumah baru kita ya?”“Asyik!”Andini mengangguk sopan ke arah pria itu. Lantas, seorang wanita muda muncul dari balik mobil.Mereka lalu menghampiri Andini. Andini baru menyadari bahwa spanduk penjualan rumah yang terpasang di pagar rumahnya Andreas sudah tidak ada.“Kami pemilik rumah baru itu,” pria itu menukas ramah.“Salam kenal,” sergah wanita di sampingnya. “Bayinya lucu sekali. Berapa bulan?”“Delapan bulan,
Gaun putih itu melekat sempurna di tubuh Malinka yang indah. Payet-payet berwarna senada membuat permukaan kain nampak berkilau.Malinka menggulung rambutnya ke atas, sehingga leher jenjangnya terlihat jelas. Perempuan itu berputar ke kiri dan ke kanan. Sepertinya gaun ini memang berjodoh dengannya. Hanya dengan sekali lihat, Malinka tahu apa yang ingin dia kenakan di hari pernikahannya nanti.“Kamu sungguh cantik,” Andreas keluar dari ruang ganti, muncul dari balik punggung Malinka, mengenakan setelan jas hitam dari satin yang terlihat mahal.Ketampanan Andreas jadi berlipat ganda dengan setelan jas itu.Namun, sekelebat, Malinka malah membayangkan Allan. Allan berjalan pelan mendekatinya, meraih pinggangnya mendekat.“Bahkan tanpa riasan, kamu sudah terlihat menawan. Pilihan yang bagus, Sayang,” ucap Andreas di kuping Malinka.Bayangan Allan lenyap dan Malinka hanya tersenyum tipis. Minggu depan, pesta pernikahan mereka akan diselenggarakan secara intimate di sebuah hotel.“Gaun ini
Malinka menekan leher gelas itu erat-erat. Debaran di dadanya semakin menjadi-jadi setelah mendengar pengakuan Allan.Mata Andreas menyipit tajam. Seketika orang-orang seakan termangu. Mereka pikir mereka salah dengar.Allan mencintai Malinka dengan sepenuh hati? Pernyataan yang konyol, pikir mereka.Lantas, Allan tertawa yang semakin membuat orang-orang terheran. Allan pun mendesah, memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana.“Jangan salah sangka dulu,” Allan mengedikkan dagunya ke arah kembarannya. “Maksudku adalah aku mencintai Malinka sebagai calon kakak iparku, sama seperti aku mencintai anggota keluargaku yang lain. Selamat datang ke keluarga kami, Malinka. Dan aku berharap pernikahan kalian berjalan lancar.”Allan mengangkat gelasnya ke udara diiringi dengan tepukan membahana. Sementara Malinka menarik napas lega. Dia pikir Allan akan mengacaukan semuanya.*“Enggak mungkin aku melewatkan acara terpenting dalam hidupmu, Andreas,” Allan menukas setelah dia muncul secara tiba
Ranjang besar yang empuk itu seolah memanggil Andini untuk cepat-cepat berbaring di atasnya. Namun sepertinya mustahil. Eva merengek digendongannya–entah dia lapar, haus atau bosan–sementara kedua putranya sudah loncat-loncat riang di ranjang sebelah sambil mengangkat mainan mereka.“Lihat, ombaknya tinggi,” Andini membuka pintu balkon hotel, membiarkan udara segar pantai masuk. Bayi itu sedikit terhibur karena perjalanan hampir dua jam di pesawat sepertinya membuat Eva bosan.“Iyem, tolong buatkan susu untuk Eva ya,” titahnya pada ART yang dia ikut sertakan dalam perjalanan kali ini.Andini tidak melepas pandangannya saat Eva merangkak kegirangan di balkon hotel.Bokong Andini akhirnya menyentuh bangku balkon yang empuk. Dia menyeruput jus jeruk sebagai minuman selamat datang.Akhirnya, dia terpaksa ikut ke Bali, menemani dinas suaminya. Evan dan Rico enggan pergi tanpa kehadiran Andini serta adik mungil mereka.Bali dan segala keindahannya sekarang menjadi hampa di mata Andini. Kena
“Kemana Andreas?” Napas Allan terdengar tersengal saat Malinka menariknya masuk ke rumah.“Dia selalu sibuk di studionya pagi-pagi begini.”“Walaupun acara pernikahan kalian tinggal dua hari lagi?” Allan terheran.“Iya, melukis adalah segalanya. Jadi, aku enggak bisa melarangnya. Sudahlah, jangan bicarakan soal Andreas lagi,” Malinka bersungut kesal. “Sekarang hanya ada kita, Allan. Aku dan kamu. Mungkin ini kali terakhir kita bisa bersama…”Malinka menarik kaos Allan, mendekatkan tubuh pria itu padanya. Wangi Allan yang khas menusuk hidungnya, dan selalu bisa membakar gairahnya.Tanpa pikir panjang, Allan memagut bibir Malinka yang basah itu, menyesapnya dalam, memainkan lidahnya dengan liar.Dalam dekapannya, tubuh wanita itu menggeliat penuh nafsu. Perlahan, Allan mendorong tubuh Malinka menuju ke kamar.Tadinya, Allan mau menggiring Malinka ke bekas kamarnya. Namun, entah kenapa kakinya malah melangkah masuk ke kamar Andreas dan Malinka.Dada Malinka nampak kembang kempis begitu t
“Hah! Hah!” Napas Allan terus memburu, seiring dengan gerakannya yang semakin cepat.Di bawah sana, Malinka merintih, menjerit penuh kenikmatan. Permainan Allan kali ini yang begitu kasar membuat perempuan itu merasakan sensasi yang baru. Terkadang tangan Allan mencengkram lehernya, menampar pipinya sedikit keras.Malinka menyukainya. Dia tidak ingin permainan ini cepat usai. “Yeah, terus, Allan…” pinta Malinka. Dia mulai merasakan miliknya yang berkedut-kedut.Pinggul Malinka ikut bergerak, mempercepat gelombang kenikmatan itu datang. Di atas sana, Allan juga merasakan hal yang sama. Dadanya berdebar kencang dengan cengkraman milik Malinka yang semakin kuat. Dia tahu perempuan itu hendak mencapai kenikmatannya.Erangan Malinka semakin menjadi. Perutnya mengejang hebat.Letupan itu segera meledak, membawanya ke surga duniawi. Malinka bersiap, menahan napas sambil memegang permukaan sprei dengan erat.“Oh, A-Allan, sebentar lagi…ahh…aku…aku mau keluar, Sayang…”BRAK! Dobrakan pintu ya
Seharian, Andreas menghabiskan waktu di studio lukisnya. Untungnya, ada beberapa kelas yang harus dia ajar, sehingga masalahnya sedikit terlupakan.Setelah itu dia menenggelamkan diri di depan kanvas, berupaya sekuat tenaga menghapus bayangan Allan dan Malinka yang bergulat liar di atas ranjangnya.“Aku enggak mencintai Andreas. Aku hanya kasihan padanya.” Ucapan Malinka itu terus bercokol di benaknya.‘Kamu enggak perlu mengasihaniku, Malinka! Brengsek!’ Andreas melempar kuasnya ke arah kanvas sehingga mencoreng gambar pemandangan yang sedang dilukisnya.Pikirannya sudah runyam. Maka Andreas memutuskan untuk keluar, mencari udara segar. Saat malam menjelang, tubuhnya mulai lelah. Kepalanya berat karena harus memikirkan cara memberi tahu kedua orangtuanya bahwa dia membatalkan pernikahannya–yang tinggal di depan mata–dengan Malinka‘Dua hari lagi? Astaga…apa yang harus kukatakan?’ Andreas membuka pagar rumahnya yang gelap gulita. ‘Aku terpaksa membatalkan pernikahan kami karena Allan
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa