Andini tertegun. Selama beberapa detik, dunianya seakan terhenti ketika matanya bersirobok dengan sepasang mata abu itu, sepasang mata yang dulu pernah mengisi hari-harinya.Namun, bayangan Andreas yang mencium Malinka dengan liar di pantai kemarin, seakan menamparnya keras.Andreas sudah menjalani kehidupannya dengan bahagia. Mungkin dia sudah menikah dengan Malinka, atau mungkin saja Malinka sudah hamil.Kemungkinan-kemungkinan lain akan kebahagiaan yang Andreas lalui bersama Malinka memenuhi pikiran Andini, membuat dada Andini disesaki rasa cemburu.Pras turun dari bus, menggandeng kedua putranya. Pria itu tahu bahwa si brengsek yang beruntung itu sedang memandangi istrinya dari kejauhan.Amarah bergemuruh di dada Pras. Dia ingin menerjang pria itu, memukulinya sampai babak belur.‘Seharusnya dia sudah mati terpanggang!’ desis Pras dalam hati. Seketika dia punya ide lain.Tiba-tiba saja Pras mengambil Eva dari gendongan Andini.Andini terkesiap. “Mas? Mau ngapain?”“Apa maksudmu? A
“Selamat tinggal,” Andreas bergumam lirih pada dirinya sendiri. Pria itu memejamkan mata erat, bersiap menghadapi akhir hidupnya.Mungkin, saat dia membuka kedua matanya dia sudah berada di surga, atau neraka. Entahlah.Sepersekian detik saat Andreas melepas pegangannya dari batu yang menjorok itu, dia merasakan ada sebuah tangan yang mencengkram lengannya.“Andreas! Bertahanlah!”Cengkraman kuat itu serta suaranya yang melengking, membuat Andreas membuka kelopak matanya. Dirinya masih menggantung dan begitu dia mendongak, raut wajah Allan yang pucat dan babak belur menyambutnya.“A-Allan…” “Bertahanlah!” Seluruh wajah Allan mengerut. Gigi-giginya menggigit bibirnya dengan keras. “Aku akan menarikmu. Tetap berpegangan padaku, oke?”“Lepaskan.”“Kamu gila?!” pekik Allan bersamaan dengan kilat yang menyambar. “Semua sia-sia…” Angin yang berdesir membuat tubuh Andreas meremang. Kakinya melayang-layang. Bohong kalau dia tidak merasa takut. Ombak di bawah sana begitu menyeramkan. “Janga
Di luar hujan yang tadinya mengguyur deras, kini perlahan mereda. Langit yang kelabu menghalangi penampakan matahari tenggelam.Angin dingin menyusup masuk, melalui celah-celah jendela di ruang makan.Sementara itu, Allan masih tertegun. Sedari tadi otaknya berusaha mencerna setiap pengakuan yang keluar dari mulut Andreas.“Wanita itu memilih untuk kembali pada keluarganya sambil mengandung anakku, bersandiwara kalau itu anak suaminya. Miris bukan?” Andreas menyunggingkan senyum tipis.“Tapi lebih miris diriku yang enggak memperjuangkan wanita itu juga anak kami. Kami saling mencintai, Allan. Sampai detik ini aku bahkan masih mengharapkan dia kembali.” Andreas mendesah pelan.“Dan yang lebih brengsek lagi, aku menjadikan Malinka sebagai pelarian. Aku pernah memberi tahu Malinka soal ini, tapi dia menolak untuk percaya. Dia pikir aku pria baik. Tidak, aku brengsek. Aku memang bajingan.” tandasnya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang keras.“Aku sadar ini semua karma k
Tepuk tangan bergemuruh saat lilin ulang tahun pertama Eva padam. Evan dan Rico berjingkrak senang saat membantu adik perempuan mereka meniup lilin itu.Dalam dekapan ibunya, Eva hanya tertawa sambil mengikuti gerakan orang-orang yang bertepuk tangan.“Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga kamu tumbuh sehat selalu,” Andini mencium pipi gembul Eva.Ulang tahun pertama Eva diadakan di sebuah restoran, mengundang kerabat mereka serta teman dekat Pras juga Andini.Bagi Andini perayaan ulang tahun putrinya ini begitu spesial. Dia tidak pernah menyangka Eva bisa bertahan hingga tumbuh sehat sampai sekarang, mengingat dia lahir prematur dan hampir saja kehilangan ibunya.“Hah, aku senang kehidupan pernikahan kalian ternyata baik-baik saja,” Jihan bersedekap sambil satu tangannya memegang segelas jus. “Keputusanmu untuk enggak bercerai memang tepat, Ndin.”Andini hanya tersenyum tipis. “Yah, begitulah.” Kemudian, Andini melempar pandangannya ke arah Pras yang sedang menggendong putrinya.Pras b
Perasaan Andreas begitu berkecamuk.Bagaimana tidak, dia kembali ke tempat dulu dia tinggal. Kenangan demi kenangan menyerbu kepalanya. Rasanya seperti baru kemarin dia pindah ke komplek perumahan ini, bertemu dengan Andini untuk pertama kalinya, dan jatuh cinta dengan wanita itu.Andreas melintasi rumahnya yang dulu. Setiap sudut di rumah itu menyimpan memori indah dengan Andini yang ikut terbakar gara-gara kejadian tragis itu.Tapi sekarang, lihatlah. Rumah itu kembali seperti sediakala, hanya saja dia bukan pemiliknya lagi. Andreas memutar mobilnya dan memarkirkannya di dekat rumah Andini.“Kurasa aku sudah gila,” tukasnya dari balik kemudi, memperhatikan gerbang rumah Andini dengan seksama. “Ini sama saja seperti penguntit.”Tapi, dia tidak punya pilihan lain. Wanita itu memutus segala kontak darinya. Jadi, ini jalan satu-satunya. Seketika napas Andreas tertahan, melihat pintu gerbang rumah Andini bergerak. Bagian belakang mobil sedan itu keluar.“Apa Andini ada di dalamnya?” Gum
Lutut Andini mendadak lemas. Keringat dingin pun mengalir di pelipisnya. ‘Enggak! Enggak mungkin Andreas berpikiran untuk menculik Eva!’ Andini menolak mempercayainya. Tapi kenyataannya pria itu dan anaknya hilang. ‘Ya Tuhan…’Jantungnya berdetak kencang, menghantam rongga dadanya bertubi-tubi. Dengan liar matanya menjelejah ke sekitar. Air mata mendesak keluar dari balik kelopak matanya. Sampai akhirnya bisa bernapas lega dan jantungnya kembali berdebar normal begitu mendapati Andreas berada di taman kecil yang ada di samping cafe–tentu saja bersama Eva dalam dekapannya.“Enggak seharusnya kamu pergi begitu saja, Andreas,” kelegaan terselip di suara Andini yang sontak membuat punggung Andreas berputar.Inilah pemandangan impian Andini, melihat Andreas menggendong putri mereka. Eva nampak nyaman dalam dekapan pria itu. Anaknya bergumam sambil terus menunjuk-nunjuk ke arah tanaman yang menggantung.“Kurasa dia bosan. Jadi, aku ajak saja ke sini.” Andreas menggoyangkan tubuh Eva pelan
Pras memasukkan baju-bajunya ke dalam koper dengan kasar.“Dasar wanita brengsek! Wanita sialan! Aku sudah memberimu kesempatan, Ndin! Tapi kamu tega mengkhianatiku lagi dengan pria sialan itu! Seharusnya brondong tolol itu mati dilalap api!”Sedari tadi dia terus merutuki istrinya sendiri. Sulit baginya untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja ketika dia harus video call dengan anak-anaknya di rumah. Begitu dia melihat tampang Andini muncul di layar ponsel, rasanya Pras ingin langsung menghardik wanita itu, mengkonfirmasi langsung soal foto-foto itu.Tapi tidak, dia harus bersabar. Semua ada waktunya.Pras melirik pergelangan tangannya. Tiga jam lagi pesawat akan membawanya kembali ke rumah. “Lihat saja, Ndin. Kamu harus membayar pengkhianatanmu…” Gigi Pras bergemeletuk menahan amarah.Entah apa yang akan dia lakukan pada Andini, mungkin menamparnya keras, mencekik lehernya? Atau dia harus menemukan keberadaan brondong sialan itu dulu? Menghabisinya hingga babak belur?Berba
Andini ingat betul, hari itu langit mendung. Namun, hujan tidak pernah turun, dan hanya menyisakan hawa yang panas. Semua terasa kelabu. Kedua putranya menangis, mendengar kabar buruk yang mengguncang mereka.Yang lebih menyedihkan tidak ada jasad yang bisa ditangisi maupun dikubur. Jasad Pras tidak pernah ditemukan sampai hari terakhir pencaharian yang dilakukan tim SAR.Selama seminggu, kiriman bunga terus berdatangan, begitu pula dengan para pelayat yang tidak habis-habisnya mengucapkan belasungkawa.“Pras menjalani hidupnya dengan baik.”“Dia atasan yang bertanggung jawab. Kami benar-benar merasa kehilangan.”“Aku turut berduka cita, Andini. Kamu sudah kehilangan sosok suami yang luar biasa.”Rangkaian pujian tentang sosok Pras terus mengalir dari mulut orang-orang. Dan hal itu semakin membuat Andini merasa bersalah karena dia bukanlah istri yang baik.Andini baru menyadarinya kalau selama ini dia cukup beruntung. Mungkin kehidupan ranjangnya memang tidak memuaskan, membuatnya mel
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa