Keinginan Pangeran muda wangsa Syailendra Balaputradewa untuk medapatkan benda pusaka nampaknya telah tercium oleh telik sandi baik dari kerajaan Pengging maupun oleh wangsa Sanjaya. Sehingga desas-desus mulai menyebar tidak hanya di kalangan kecil para bangsawan namun juga pendekar-pendekar jagad persilatan. Tidak terkecuali putra-putra para Rakai penguasa perdikan juga mulai memburu benda pusaka yang dimaksud yaitu Mustika Udarati.
"Kau yakin kalau pangeran muda wangsa Syailendra itu akan naik ke puncak Udarati?"Tanya Cayapata salah seorang anggota Sandidharmayuga dari kerajaan Pengging atau satuan khusus mata-mata kerajaan.
"Benar, Kakang Cayapata. Aku mendengar dari sumber yang bisa dipercaya. Konon pangeran muda ini ingin menjadi Mahamentri I Hino (Putra Mahkota) karena Maharaja belum berputra. Oleh karena itu dia mencari Mustika Udarati yang konon dapat menarik energi mahkota sehingga siapapun yang memilikinya akan dapat menjadi Raja besar. Seorang Chakrawartin (Raja di raja, penakluk semesta)." Jawab Gentala, sambil mengusap keringatnya dengan kain samirnya. Nampaknya mereka baru saja menjalankan misi mata-mata ke wilayah Medang dan bermaksud kembali ke Pengging melalui hutan di daerah Sumber Dataran Kewu.
"Berarti dia akan melewati wilayah Kerajaan Pengging jika akan mendaki Puncak Udarati."Cayapata menyampaikan pikirannya karena ia tahu benar jalan termudah menembus puncak Udarati adalah melalui wilayah Pengging.
"Itu sudah jelas. Maka kita harus berjaga agar kita bisa meringkus Pangeran wangsa Syailendra yang berharga ini sehingga dapat kita jadikan sandera supaya Rakai Garung tidak terus menerus mencoba menggerus wilayah Pengging." jawab Jaladra.
"Kita tidak perlu meringkusnya, kita awasi dan ikuti saja gerak-geriknya hingga ia mendapatkan mustika itu. Jika kita berhasil meringkusnya bersama mustika itu sudah pasti Raja kita akan memberikan hadiah yang besar." Kata Gentala
"Tidak semudah itu adhi Gentala. Pangeran muda Syailendra ini sangat sakti. Para pendampingnya seperti Kunara Sancaka, Nagarjuna dan Jentra Kenanga adalah tiga ksatria Medang yang tidak bisa dianggap sepele. Mereka memiliki senjata sakti, pusaka-pusaka tua yang tidak mudah dikalahkan selain ilmu kanuragannya yang hebat. "Kata Cayapata.
"Benar yang dikatakan oleh adhi Cayapata. Kita tidak tahu siapa yang akan mendampingi Pangeran Balaputradewa. Jika Jentra Kenanga yang mendampinginya, sudah jelas mereka sulit dikalahkan. Jentra sangat sakti dan ahli racun. Ia juga pengendali air yang sangat baik. Berpadu dengan tuannya yang juga ahli di dalam pengendalian udara dengan tapak sapu anginnya, kita hanya akan jadi bulan-bulanan mereka." Jaladra menimpali.
Belum selesai mereka bicara tiba-tiba ketiga perwira sandhi Pengging itu mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Mereka segera menepi dan bersembunyi di balik semak untuk mengetahui siapa yang akan lewat.
Ada dua orang yang sedang berjalan. Mereka bicara dengan suara lirih namun terdengar jelas. Menilik dari pakaiannya mereka bukan pengembara biasa tapi seorang Rakai atau putera seorang Rakai. Cayapata mengamati lebih seksama dan ia yakin bahwa kedua orang ini adalah wangsa Sanjaya. Kain yang dipakai orang itu tidak berwarna biru seperti yang biasa dipakai para Rakai wangsa Syailendra tapi berwarna kesumba, menandakan mereka adalah pengendali api. Samir atau kain penutup dada mereka juga berwarna oranye kemerahan khas wangsa Sanjaya. Cayapata dan dua orang temannya mencoba menangkap pembicaraan mereka.
"Kakang Panaraban, apakah kau tidak tertarik untuk ikut mencari Mustika Udarati?" Tanya salah seornag dari pengembara itu.
"Aku ingin dimas Kumbhayoni. Tapi kudengar, Pangeran Balaputradewa juga tengah mengejarnya. Apakah hal ini tidak akan memperuncing permusuhan antara Syailendra dan Sanjaya."Jawab orang yang disebut Panaraban itu.
"Tapi bagaimanapun kau adalah pewaris sah takhta Medang dari Kakek buyut Sanjaya. Maharaja Garung saat ini hanyalah putra selir dan menantu saja dari keturunan sah Sanjaya. Apalagi ia mengawini wangsa Syailendra yang akan merebut wilayah Jawa Dwipa dengan mengambil dataran Kedu dan Kewu." Kata Kumbhayoni menambahi.
"Ssssttt....jangan keras-keras dimas. Kita tidak tahu tempat ini bertelinga atau tidak. Aku tidak mau wangsaku ditumbalkan hanya karena perebutan kekuasaan. Aku memilih menjadi Rakyan biasa yang membawahi perdikan daripada menjadi Raja tapi mengorbankan orang lain." Sahut Palaraban dengan suara yang ditahan.
"Ini bukan soal mengorbankan Kakang. Kami siap memberikan apa saja, asal Kedu dan Kewu tetap ada di tangan wangsa Sanjaya. Kami orang perdikan Walaing tidak takut mati. Namun kami tidak rela jika wangsa Syailendra mengambil alih kekuasaan atas Kedu dan Kewu. Apakah kakang pikir, Balaputradewa mengharapkan mustika itu karena ia ingin mengabdikan diri pada negara? Kau salah besar Kakang. Ia ingin menjadi Chakrawartin. Dan aku yakin ia akan merebut kekuasaan dari Rakai Garung yang bagaimanapun masih berdarah Sanjaya meskipun lebih berpihak pada wangsa Syailendra. Yakinkah kakang, dia tidak akan menghabisi wangsa kita jika ia berkuasa?" Kata Kumbhayoni.
Panaraban menggeleng pelan sambil mengangkat bahu kemudian mempercepat langkahnya. Sementara kedua orang wangsa Sanjaya berlalu. Ketiga perwira sandi Pengging keluar dari persembunyiannya. Bagi mereka semua menjadi jelas bahwa di dalam kerajaan Medang sendiri sedang terjadi perang dingin diantara para bangsawannya untuk merebut kekuasaan yang sah.
Pencarian mustika ini juga akan menjadi bagian dari permainan politik untuk melegitimasi kekuasaan baru. Entah itu Rakai Garung, Balaputradewa atau wangsa Sanjaya. Bagi Pengging sendiri yang secara politik lebih stabil, keadaan negara tetangga yang carut marut akan memberikan banyak keuntungan. Apalagi jika kekuatan dalam negeri Medang pecah, Pengging justru bisa mengambil alih kekuasaan.
Berita ini tentu akan menjadi informasi berharga bagi Raja kerajaan Pengging. Cayapata beserta kawan-kawannya akan menerima anugerah yang besar, untuk semua kabar yang disampaikannya. Apalagi jika Raja mereka juga ingin mengejar gelar Chakrawartin sang Raja Penguasa semesta.
Jentra Kenanga menjatuhkan tubuhnya ke kasur yang empuk. Ia sangat lelah setelah perjalanan selama berhari-hari untuk mengikuti pergerakan orang-orang Sanjaya. Namun saat matanya hendak terpejam pikirannya melayang pada benda yang ada di dalam tubuhnya. Ia kemudian mengambil posisi bersila, setelah konsentrasi mendalam sebuah Jentera biru keluar dari telapak tangannya. Benda itu berpendar indah memancarkan warna biru muda yang lembut. Perlahan ia menggiring Jentera itu masuk ke dalam sebuah kotak terbuat dari kayu yang dilapisi ukiran dari emas. Ia menutup kotak itu perlahan, menciumnya dan memasukannya pada almari yang terkunci rapat.Ia kemudian melangkah kembali ke tempat tidurnya. Ia berpikir mengenai Rukma yang diselamatkannya dari banjir. Hal yang sama pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saat ia menyelamatkan seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun bernama BIru. Penyelamatan itu berakhir sangat tragis baginya dan keluarganya, namun juga menjadi berkah berharga pada hid
Jentra akhirnya meninggalkan Candrakanti dengan perasaan berat. Apalagi Candrakanti tidak hanya memberikan bekal makanan dan obat-obatan yang bisa dipakai Jentra namun juga uang emas yang berharga. Sebenarnya Jentra bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Candrakanti ini? Apakah keluarganya, orang yang sangat kaya? Apakah karena ini pula Candrakanti takut membawanya pulang ke keluarganya?Jentra mencoba menepis semua bayangannya tentang Candrakanti.Ia terus melangkah hingga kakinya terhenti di sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun besar dan terurus dengan baik. Tak salah lagi ini adalah Kadewaguruan yang selama ini menjadi impian Jentra untuk bisa berguru.Perlahan ia mengucapkan salam. Seorang pembantu pendeta muncul dan menanyakan keperluannya. Jentra menyatakan keinginannya bertemu dengan kepala pendeta. Pembantu pendeta itupun mempersilahkannya menunggu di ruang khusus untuk tamu. Dari tempat Jentra menunggu, ia bisa melihat Kepala pendeta sedang menerima tamu pemuda-pemuda
Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum.
Jentra menggeliat, perlahan kesadarannya mulai pulih. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia memandang ke sekeliling namun semua terlihat gelap kecuali nyala api kecil dari lilin lebah yang tergeletak diatas meja pendek."Dimanakah aku?" Begitu pertanyaannya dalam hati.Jentra mencoba mengingat kejadian sepanjang hari sebelum dirinya terjebak di dalam ruang gelap ini. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara teriakan yang keras dari banyak orang."Hah!""Ho...!""Renggangkan kaki. Buat pijakan yang kuat!""Pasang kuda-kuda yang benar!"Teriakan itu seperti teriakan orang yang sedang berlatih kanuragan. Dengan kepala yang masih terasa pusing, Jentra mengintip dari daun jendela yang rupanya tidak terkunci. Dari dalam ia melihat puluhan orang berbaris bersap-sap dan membentuk kuda-kuda.Semuanya nampak masih seumurnya. Sap pertama dan kedua diisi para biksu muda dengan celana warna oranye terang tanpa baju dan jubah. Sementara sap ketiga hingga enam berisi anak-anak muda dengan celana tanggung berw
Jentra kembali ke gua, dimana ia dan Candrakanti pernah berjanji untuk bertemu. Ini adalah tahun ketiga yang ia janjikan. Jentra telah jauh berubah. Ia menjadi pemuda yang sudah cukup matang meskipun belum sepenuhnya dewasa. Tubuhnya tinggi, besar dan gagah. Ototnya terbentuk dengan baik dan kemampuannya semakin terasah. Ia juga semakin tampan. Apalagi saat di vihara, Wiku Sasodara memberikan semua yang terbaik untuknya termasuk pakaian. Ia bukan lagi remaja lusuh dan bau. Ia telah menjadi pria tampan yang cukup mewah.Bajunya terbuat dari sutera warna biru lembut dan disulam dengan benang perak. Ia juga memakai pelindung pergelangan tangan yang terbuat dari emas dan berukiran naga. Ikat pinggangnyapun terbuat dari perak yang bertabur batu mulia.Candrakanti hampir tidak mengenalinya saat mereka bertemu di mulut gua. Ia terpana pada pria dihadapannya itu. Benarkah itu Jentra? Pria yang ditunggunya selama tiga tahun dengan menolak semua lamaran pria yang disodorkan oleh ayahnya. Hatiny
Jentra mengendap-endap menuju barak kelompok perampok yang telah membunuh keluarganya. Ia menyiapkan dua bilah pedang. Ia berpakaian serba hitam dan menutup wajahnya. Kemudian ia menunggu sampai ia melihat Candrakanti keluar dari tempat itu, menuju tempat yang telah mereka sepakati. Saat Candrakanti telah berlalu beberapa saat. Jentra langsung menyerang tempat itu. Pertama ia membunuh penjaga pintu dengan memotong lehernya. Sementara salah satu dari perampok-perampok itu melihat kejadian itu berteriak."Penyusup...penyusup!" Namun, Jentra melemparkan belatinya dan mengenai perut orang itu. Kemudian keluarlah tiga orang dari rumah-rumah mereka dan menghadang Jentra."Siapa kau manusia keji. Kurang ajar sekali membunuh saudara kami." Kata orang pertama"Ya, buka topengmu. Perlihatkan siapa dirimu. Dasar pecundang." Sambut orang kedua"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Tetapi aku adalah orang yang sedang menagih hutang darah kalian." Jawab Jentra."Kurangajar. Habisi dia!" Kata orang
Jentra kembali ke padepokan para perajurit sandi Medang. Jentra sudah tidak tinggal di vihara sejak pendidikannya dinyatakan selesai dengan baik. Wiku Sasodara bahkan merekomendasikan agar Jentra bisa bergabung di satuan khusus sandi dan melayani Mahamentri I Halu Pangeran Balaputradewa.Jentra masuk tertatih dengan menahan lukanya yang cukup dalam. Kondisi lukanya yang masih terus berdarah, mengundang teman-temannya untuk membantunya. Salah satunya adalah teman terdekatnya Ginandara."Jentra! Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau sampai terluka seperti ini?"Teriaknya panik"Benar kakang Jentra. Siapa yang bisa melukaimu sampai separah ini?" Sahut Kawindra"Aku tidak apa-apa!" Jawab Jentra sambil meringis menahan perih."Ayo kita bawa dia ke kamarnya." Kata Kawindra"Ya. Kau harus diobati dengan benar Jentra, supaya lukamu tidak bertambah parah. Beruntung, bikkuAmasu datang untuk menengokmu dan ingin menyampaikan pesan dari wiku Sasodara. Ia menunggumu di ruanganmu." Ginandara menamba
"Kanti.....Kanti......Kanti!" Teriak Kacaya terengah-engah sambil menaiki bukit.Candrakanti yang tengah mencari rumput menengok asal suara yang memanggilnya. Ia melihat pamannya tampak terengah-engah menyusulnya."Ada apa paman? Mengapa kau berteriak seperti orang yang kebingungan." Tanya Candrakanti"Ayahmu....ayahmu...."Kacaya terbata-bata dan terengah-engah, bukan karena panik namun usianya yang tak muda lagi dengan badan yang tambun di paksa naik bukit."Ayah kenapa? Bertengkar lagi dengan paman soal ayam? Kan sudah saya bilang, jual saja ayam-ayam itu sehingga tidak berkeliaran kemana-mana. Atau buat kandang yang kokoh, biar mereka tidak kabur."Candrakanti menanggapi pamannya dengan tenang seperti biasanya. Namun pamannya melambaikan tangannya seraya mengatur nafas yang tersengal-sengal."Bukan itu! Lalu apa?""Prajurit....prajurit Medang menangkap ayah....ayahmu.""Apa?" Teriak Candrakanti yang seketika membuang sabitnya"Prajurit Medang menangkap ayahmu. Semua yang melawan di
Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk m
Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul
"Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi
Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene
Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b
Rukma memacu kudanya menuju rumah Sriti, namun di dalam perjalanan ia harus berhadapan dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Balaputeradewa. Mereka mencegat Rukma dan menghentikan kudanya."Berhenti ki sanak. Kau orang dari Kedu mau melintas ke mana?" tanya salah seorang prajurit."Aku hendak masuk ke dalam kota, apa pedulimu?" Rukma balik bertanya."Apakah kau tidak tahu bahwa kekacauan sedang terjadi sehingga tidak seorang-pun boleh melintas wilayah ini." Kata prajurit yang lain lagi."Istriku hendak melahirkan, jadi kau ijinkan atau tidak kau ijinkan aku akan tetap lewat wilayah ini. Lagipula wilayah ini masih merupakan wilayah Kedu jadi mengapa kau menghalangiku." Kata Rukma sambil menarik tali kekang kudanya sehingga kudanya berdiri dengan dua kaki naik ke atas dan hendak menendang prajurit di hadapannya. Prajurit itu-pun mundur, dan saat ada jalan Rukma langsung menghela kudanya."Dia lari, kejar!" teriak prajurit-prajurit itu, sambil melemparkan tombak ke arah Rukma. Namun Rukma be
Jentra Kenanga dan Kunara Sancaka mulai kewalahan menghadapi ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Mahamentri I Halu. Tembok air yang mereka gunakan untuk menahan panah-panah itu mulai tergerus dan panah-panah mulai menembusi tubuh mereka. Melihat keadaan semakin genting, Rakai pikatan tidak tinggal diam, Ia merapalkan mantra kekuatan pengendalian tanahnya."Rana bantala!" Teriaknya. Seketika tanah di bawah panggung di mana pasukan pemanah Mahamentri I Halu terangkat dan memutar. Pasukan panah itu-pun mulai panik. Namun Mahamentri I Halu memerintahkan untuk terus menghujani mereka dengan panah-panah itu.Rakai Pikatan meningkatkan kapasitas energinya hingga akhirnya tidak hanya tanah tempat pijakan mereka yang bergerak dan memutar, namun batu-batu besar yang terpendam mulai melayang ke permukaan. Batu-batu besar itu mulai menyerang pasukan-pasukan panah itu seperti peluru yang ditembakan. Wiku Sasodara yang ada disitu juga tidak tinggal diam, ia-pun mulai juga bergerak untuk men
Perkawinan Agung antara Rakai Pikatan dengan Mahamentri I Hino benar-benar diselenggarakan dengan meriah. Banyak tamu yang hadir dalam perhelatan yang diselenggarakan selama hampir satu bulan. Rakyat-pun ikut menikmati kemeriahan pesta yang diselenggarakan istana dan mereka bisa menikmati aneka makanan serta jajanan gratis."Aku senang seluruh rakyat dapat menikmati pesta yang menyenangkan ini. Hanya semua pasti ada akhirnya bukan? Tidak selamanya kita akan berpesta. " Kata Andaka pada Kelwang, Munding dan Rukma."Benar. Tapi puncak acara yang sangat ditunggu adalah pemberian berkat bagi pengantin dari para Wiku. Aku jadi penasaran saja apa yang akan menjadi hadiah Wiku Wirathu dan Sasodara nanti bagi kedua mempelai." Rukma memang sedang bertanya-tanya apakah Wiku Sasodara benar-benar akan memberikan mustika Udarati pada kerajaan Medang atau justru menyimpannya untuk Pangeran Balaputeradewa."Kau benar Kakang Rukma. Aku juga sangat penasaran dan jika tidak salah. Puncaknya adalah mala
Bangunan suci di Bhumi Sambhara telah diresmikan. Semua orang berbahagia terutama para Wiku karena Bhumi Sambhara akan menarik banyak orang untuk datang dan bersembahyang di tempat suci itu. Sehingga persembahyangan itu tidak hanya mendatangkan berkat dari doa-doa mereka yang berziarah namun sekaligus akan menjadi pemicu peningkatan ekonomi Medang dari perdagangan dan wisatanya."Wiku Sasodara sekarang sampailah kita pada pemberian hadiah pada Silpin Agung yang telah menyelesaikan pembangunan Bhumi Sambhara Budura. Aku akan menganugerahkan gelar Rakai dan akan kuberikan wilayah Kailasa kepadanya." Maharaja Samarattungga bertitah. Mendengar berita itu Sang putri Dyah Meitala dan putranya Pikatan langsung berlutut. Warisan ayah mereka akhirnya kembali lagi kepadanya. "Mulai hari ini silpin Agung Medang akan bergelar Rakai, dan akan disebut sebagai Rakai Pikatan Dyah Saladu yang akan menguasai Keilasa dan sekitarnya di wilayah Kewu. Kami semua warga Medang berterima kasih kepadanya atas