Ganika menutupkan selendangnya ke tubuh putra sulungnya yang tertidur, menembus dinginnya malam. Suara roda pedati berderak perlahan. Air mata Ganika bercucuran, ia memeluk erat putranya dan memindahkan kehangatan tubuhnya pada tubuh mungil yang belum mengerti dosa apapun."Gusti, kemana kita akan pergi?" Tanya Kusir pedati yang membawa Ganika." Kita pergi ke Gunung Soda, Nawa." Jawab Ganika."Gunung Soda? Tapi tempat itu sangat jauh Gusti." Nawa mencoba untuk memberikan Ganika gambaran perjalanan yang harus ditempuh."Semakin jauh, semakin baik Nawa." Kata Ganika."Tapi Pangeran masih terlalu kecil untuk menempuh perjalanan sepanjang itu. Apalagi kita hanya menggunakan pedati kecil. Untuk sampai Gunung Soda kita bahkan harus menembus hutan, Gusti. Apa tidak sebaiknya kita mencari wanua-wanua yang dekat saja." Darini salah satu dayang yang mengikuti Ganika mencoba untuk membujuk Ganika agar tidak pergi terlalu jauh."Tidak Darini. Wanua-wanua itu semua mengenalku dan Pangeran Balaput
Wiku Sasodara memutuskan untuk bertemu dengan Dyah Ayu Meitala diam-diam di wilayah pantai kerajaan Tatar Sunda setelah menghadap Maharaja Samarattungga dan melaporkan misinya mencari Mustika telah berhasil. Wiku Sasodara menunjukan Mustika itu dihadapan para Mahamentri dan Maharaja dengan membawa lontar perjanjian yang telah ditandatangani sebelum Sang Wiku mendaki Udarati. Lontar itu menyatakan bahwa Sang Wiku boleh menyimpan Mustika Udarati itu sampai waktu di mana Mustika itu dapat memilih tuan yang ingin diikutinya. Dan siapapun tidak akan bisa mengambilnya termasuk Maharaja sendiri.Wiku Sasodara membuka kotak dan sutera penutup dari mustika itu dan tiba-tiba Mustika itu bercahaya Ungu kemerahan dengan pancaran yang sangat indah. Mustika itu muncul keluar dari kotaknya tanpa di sentuh dan melayang sambil berputar-putar.Semua orang berdecak kagum melihat hal itu. Namun Mustika itu hanya diam di tempat tidak bergerak, hanya berputar pada porosnya saja. Kemudian Mustika itu perl
Jentra memasuki rumah yang disewa khusus Wiku Sasodara untuk merawat Sriti. Ada dua orang pembantu di sana. Mereka menyiapkan semua keperluan Sriti. "Gusti Jentra Kenanga, silahkan masuk. Nyimas ayu belum bisa bangun dari tempat tidur." Kata Mbok Jero."Iya mbok. Saya akan melihatnya." Kata Jentra.Saat Jentra masuk, Sriti tengah menyisir rambutnya. Wajahnya telah dipoles dengan sederhana, membuatnya semakin cantik. Jentra mengetuk pintu kamar yang tidak tertutup itu."Masuklah Kakang. Aku menunggumu." Kata Sriti lembut.Jentra mengambil kursi kayu yang ada di situ dan duduk di samping tempat tidur Sriti."Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah membaik? Aku membawa obat dari Wiku Sasodara dan Amasu. Sekarang mereka pergi lagi untuk suatu tugas baru di utara. Dan mungkin setelah ini aku juga harus ke barat untuk mencari Rukma dan Gusti Ayu Ganika. Jadi jagalah dirimu sepeninggalku nanti." Kata Jentra.Sriti menarik lengan Jentra dan menyandarkan tubuhnya ke pundak Jentra. Jentra tidak samp
"Kau dengar suara itu?" Tanya Ratna Widuri."Iya aku mendengarnya." Menur menjawab perlahan."Mengapa suara dan gelombang suaranya begitu keras tapi benda atau hewan apa yang menggeram itu tidak nampak ya?" Ratna Widuri masih penasaran dan terus mencari."Ah, kau ini membuatku takut saja Ratna. Sudah tahu di dalam hutan begini masih saja cari-cari suara aneh. Ayo kita kembali saja. Takutnya Gusti Ayu Meitala menunggu kita."Menur membujuk Ratna."Sebentar dululah. Aku masih penasaran. Kenapa sih? Takut? Masak seorang prajurit wanita takut pada macan atau kucing hutan?"Sahut Ratna Widuri."Bukan itu. Kalau macan atau binatang hutan lain aku sih nggak takut. Tapi kalau..."Belum selesai Menur bicara Ratna Widuri menyambar omongannya"Jurig? Hantu?" Tanyanya."Aduh malah disebut, gimana sih?"Menur cepat-cepat menutup mulut Ratna Widuri."Lha kenapa memangnya?" Ratna Widuri melepaskan bekapan mulutnya dari tangan Menur."Kalau sedang di hutan kaya gini, pamali ngomong seperti itu. Nanti mer
Dyah ayu Meitala begitu gembira menyambut kedatangan Wiku Sasodara begitu pula dengan Kelwang dan Mpu Panukuh. Mereka menghaturkan hormat yang disambut dengan pelukan hangat juga oleh Sang Wiku. Dan persis seperti dugaan Wiku Sasodara, Mpu Panukuh, Kelwang dan Munding telah menjadi pemuda yang sangat tampan dan rupawan. Terutama Mpu Panukuh yang mewarisi kelembutan watak ayahnya dan ketampanan khas Sanjaya dan Pengging. Namun soal wibawa, Mpu Panukuh memiliki wibawa yang jauh lebih besar dari ayahandanya, hanya Mpu Panukuh juga memiliki kerendahan dan kebaikan hati ibunya."Senang sekali bertemu dengan Guru. Saya menghaturkan salam hormat." Kata Mpu Panukuh yang hampir saja berlutut di hadapan Sang Wiku jika saja Sasodara tidak menghentikannya. "Tidak Gusti. Gusti tidak perlu menghormati saya seperti itu. Gusti adalah calon pemimpin besar, maka Gusti tidak boleh memberikan sembah pada hamba sahaya seperti saya." Kata Wiku Sasodara."Guru adalah biksu Agung dan kedudukan Guru itu bisa
Jentra memacu kudanya menuju wilayah Rakai Gajahlewa di Gunung Gora. Ia meninggalkan Medang dengan diam-diam untuk mencari Rukma, Gaurika dan Ganika. Berita terakhir yang dia tahu adalah bahwa Rukma menyampaikan pesannya kepada Dyah Ayu Meitala yang sedang berada di Sapada, menuju Gora tetapi mereka berpisah jalan setelah Dyah Ayu Meitala memutuskan, mengikuti nasehat Wiku Sasodara untuk pergi ke negara Pali.Namun sayang setelah itu tidak ada kabar lagi tentang Rukma selain isu yang mengatakan bahwa Rukma telah bersatu dengan Mpu Kumbhayoni dan bergabung dengan kekuatan Gajahlewa. Rakai Gajahlewa sendiri meruapakan Rakai di bawah kerajaan Medang namun setelah surutnya Sanjaya, ia menolak untuk tunduk kepada Medang. Hal ini tentu saja membuat Jentra sangat khawatir."Siapa kau ki sanak? Berani sekali melintasi wilayah kami tanpa ijin. Batas barat Sungai Sarayu adalah wilayah Rakai Gajahlewa, dan untuk memasukinya kau memerlukan ijin." Kata dua orang ksatria dengan pakaian yang cukup m
Candrakanti yang menerima tanda mata dari Sriti berupa hiasan pinggang milik Jentra menahan kesedihan dan kemarahannya."Kakang Jentra kau tega sekali. Mengapa kau mengkhianatiku lagi, apa semua yang kulakukan untukmu tidaklah cukup?"Tangis Candrakanti. "Ada apa, Bu?"Tanya Gyandra pada ibunya. Candrakanti cepat-cepat menghapus air matanya supaya Gyandra tidak tahu kesedihannya."Tidak ada apa-apa ndhuk. Ibu hanya menunggu ayahmu, mengapa belum kembali juga?" Candrakanti berpura-pura tidak terjadi apapun. Gyandra tertawa melihat ibunya."Ibu ini lucu. Bukankah beberapa tahun selalu bersama ayah di Udarati, masak baru ditinggalkan sebentar saja sudah rindu lagi." Katanya."Kemarilah." Candrakanti memeluk putrinya yang telah beranjak dewasa itu."Nanti jika kau sudah menikah, kau akan merasakan bagaimana merindu pada suamimu dan kau juga akan merasakan apa yang ibu rasakan jika ayahmu belum kembali. Apalagi ini sudah hampir lebih enam minggu ayahmu belum kembali." lanjut Candrakanti."B
"Kanti, maafkan aku." Kata Jentra sambil mendekap erat istrinya. Candrakanti tidak menjawab. Jentra tahu, hal ini pasti akan berbuntut panjang. Kesabarannya akan benar-benar diuji meskipun ia juga menyadari jika ini adalah kesalahannya."Marah, kesal, sedih tentu aku paham yang kau rasakan. Tetapi masalahnya tidak sesederhana itu." Jentra melanjutkan."Lalu apa yang bagimu sederhana kakang? Perempuan itu hamil dan dia bilang anak dalam kandungannya adalah anakmu. Sementara kau juga tidak berbuat apa-apa untuk anak perempuanmu saat Wiku Sasodara memotong rencana perjodohannya? Lalu apa yang bisa kuharapkan darimu Panglima Jentra? Apa kau begitu gagah di luar sana membela negara dan bangsamu tapi kau begitu lemah untuk melindungi keluargamu?" Tanya Candrakanti. Jentra terdiam. Apa yang dikatakan Candrakanti bukanlah hal yang keliru, tapi entah mengapa ia sendiri seperti terkunci dalam kotak yang tidak bisa dibuka dan membuatnya hanya bisa menerima sebuah kenyataan seperti kebenaran."Me
Balaputerdewa dihadapkan pada majelis Pamgat yang dipimpin oleh Maharaja sendiri.Jentra, Rukma, Amasu dan Sasodara yang hadir di situ terpekur dengan sedihnya. Sebagai Mahamentri, kedatangan Balaputeradewa dikawal dan dijaga ketat oleh pasukan kawal istana maupun para Sanditaraparan. Namun kehadirannya dalam majelis itu masih diperkenankan memakai pakaian kebesarannya.Wiku Wirathu membuka sidang dengan pembacaan sutera dan segera setelahnya, para Pamgat yang terdiri dari pangeran-pangeran sepuh dan para Wiku duduk baik sebagai penuntut maupun sebagai pembela. Banyak Pangeran sepuh wangsa Syailendra yang berdiri dibelakang Sang Mahamentri I Halu. Tapi yang muda lebih banyak menentangnya karena fanatisme wangsa dianggap sebagai pemahaman kuno yang sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Sementara hakim yang mengadili adalah Maharaja sendiri di dampingi, Mahamentri I Hino yang dalam hal ini diwakili Rakai Pikatan, Wiku Wirathu dan Wiku Sasodara.Semua tuntutan dibacakan untuk m
Ternyata kekuatan tentara Walaing, benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan pasukan Medang. Mereka menggulung kekuatan tentara Walaing seperti badai menelan segala yang dilewatinya, meskipun pesan Sang Rakai adalah tidak membunuh tapi hanya melumpuhkan saja. Welas asih dan dhamma yang diajarkan para Wiku ternyata begitu merasuk dalam hati Sang Pikatan sehingga peperangan yang dilakukan-pun seminimal mungkin membawa korban jiwa.Sementara Jentra menyusup memasuki kedaton Walaing yang telah mulai terbakar api. Rupanya Sang Balaputeradewa-pun telah bertekad untuk melakukan puputan yang artinya bahwa jika ia kalah maka ia akan menghadapi mahapralaya itu dengan kematiannya sendiri. Saat Balaputeradewa melihat pasukan belakangnya telah mencapai ambang kehancuran dan tentara musuh mulai menjejakan kaki ke halaman istananya. Ia telah mulai mencabut pedang dan kerisnya siap menjemput maut sebagai seorang ksatria dan Mahamentri wangsa besar yang dibanggakannya."Berhenti tuanku. Dul
"Gusti, apa Gusti akan yakin akan melakukan perang Puputan. Sekali lagi hamba mohon Gusti, jangan gegabah memutuskan untuk perang puputan. Gusti harus ingat bahwa di Walaing, bukan hanya peninggalan Walaing saja yang harus tuanku jaga. Tetapi di Walaing ada Abhaya Giri Wihara peninggalan Syailendra Wangsa Tilaka yang lainnya yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. Apa Gusti akan membiarkan putera wangsa Sanjaya menghancurkannya hingga rata dengan tanah." Aswin menyembah hingga hidungnya menempel ke tanah."Tetapi ini adalah masalah harga diri dan kehormatan Aswin. Apa kau rela kita akan hidup sebagai orang yang kalah dan dicemoohkan setiap kali? Itu-pun kalau Sri Maharaja Samarattungga tidak menghukum mati kita juga. Jadi apa bedanya Aswin?" Sahut Balaputeradewa saat bersiap untuk kembali ke Walaing."Permohonan saya, Iswari dan Karmika tetap sama Gusti. Lebih baik kita kehilangan harga diri dan kehormatan daripada kita berdosa kepada leluhur wangsa Syailendra. Apalagi putra tuanku masi
Pangeran Balaputeradewa menembus kabut tebal dan dinginnya malam untuk menyambut kedua buah hatinya. Bersama Aswin ia berkuda tanpa atribut sebagai seorang Mahamentri. Pengawal yang menyertainya juga hanya enam sampai tujuh orang saja, juga tanpa atribut sebagai perajurit tapi menyamar sebagai warga biasa."Apakah tempat itu sangat jauh Aswin?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Ya tuanku. Tapi dengan berkuda cepat seperti ini saya memperkirakan tengah malam kita akan sampai." Jawab Aswin."Aku tidak bisa meninggalkan Walain terlalu lama, karena kakak iparku Samarattungga pasti sudah tidak sabar untuk memotong kepalaku ini." Jawab pangeran Balaputeradewa."Jangan berpikir yang buruk tuanku. Apalagi di saat tuanku memiliki putra. Anggaplah keduanya hadiah dari Yang Maha Agung sehingga kelak akan menjadi permata wangsa Syailendra. Saya rasa tuanku Samarattungga tidak akan segera menyerang saat fajar menyingsing karena mengerahkan puluhan ribu pasukan bukanlah hal mudah." Aswin mencoba mene
Aswin mengikuti Pangeran Balaputeradewa ke bangsal agung Perdikan Walaing. Seluruh pasukan telah dimobilisasi, namun warga asli Walaing memilih untuk menyembunyikan diri di gua-gua yang tersebar di pesisir Walaing. Mereka ketakutan jika peristiwa pembantaian beberapa tahun lalu terjadi lagi."Atreya! Atreya!" Teriak Pangeran Balaputeradewa memanggil orang kepercayaan untuk menghadap. Atreya tergopoh-gopoh datang dan menyembah."Sembah hamba paduka Mahamentri I halu. Tuanku sudah kembali. Apa yang bisa hamba lakukan untuk tuanku?" Tanya Atreya. "Perkuat pertahanan dan tutup semua jalan menuju Walaing. Siagakan semua tentara cadangan, pasukan gajah dan pasukan berkuda." Kata Sang pangeran."Baik paduka. Tapi siapa musuh kita kali ini hingga semua sumber daya dikerahkan?"TanyaAtreya."Apa pedulimu lakukan saja. Kita akan berperang melawan orang-orang Kedu. Orang-orang Samarattungga." Jawab Pangeran Balaputeradewa tanpa rasa hormat.Atreya seketika bersujud di bawah kaki Sang pangeran, b
Rukma memacu kudanya menuju rumah Sriti, namun di dalam perjalanan ia harus berhadapan dengan sisa-sisa pasukan Pangeran Balaputeradewa. Mereka mencegat Rukma dan menghentikan kudanya."Berhenti ki sanak. Kau orang dari Kedu mau melintas ke mana?" tanya salah seorang prajurit."Aku hendak masuk ke dalam kota, apa pedulimu?" Rukma balik bertanya."Apakah kau tidak tahu bahwa kekacauan sedang terjadi sehingga tidak seorang-pun boleh melintas wilayah ini." Kata prajurit yang lain lagi."Istriku hendak melahirkan, jadi kau ijinkan atau tidak kau ijinkan aku akan tetap lewat wilayah ini. Lagipula wilayah ini masih merupakan wilayah Kedu jadi mengapa kau menghalangiku." Kata Rukma sambil menarik tali kekang kudanya sehingga kudanya berdiri dengan dua kaki naik ke atas dan hendak menendang prajurit di hadapannya. Prajurit itu-pun mundur, dan saat ada jalan Rukma langsung menghela kudanya."Dia lari, kejar!" teriak prajurit-prajurit itu, sambil melemparkan tombak ke arah Rukma. Namun Rukma be
Jentra Kenanga dan Kunara Sancaka mulai kewalahan menghadapi ribuan anak panah yang dilepaskan pasukan Mahamentri I Halu. Tembok air yang mereka gunakan untuk menahan panah-panah itu mulai tergerus dan panah-panah mulai menembusi tubuh mereka. Melihat keadaan semakin genting, Rakai pikatan tidak tinggal diam, Ia merapalkan mantra kekuatan pengendalian tanahnya."Rana bantala!" Teriaknya. Seketika tanah di bawah panggung di mana pasukan pemanah Mahamentri I Halu terangkat dan memutar. Pasukan panah itu-pun mulai panik. Namun Mahamentri I Halu memerintahkan untuk terus menghujani mereka dengan panah-panah itu.Rakai Pikatan meningkatkan kapasitas energinya hingga akhirnya tidak hanya tanah tempat pijakan mereka yang bergerak dan memutar, namun batu-batu besar yang terpendam mulai melayang ke permukaan. Batu-batu besar itu mulai menyerang pasukan-pasukan panah itu seperti peluru yang ditembakan. Wiku Sasodara yang ada disitu juga tidak tinggal diam, ia-pun mulai juga bergerak untuk men
Perkawinan Agung antara Rakai Pikatan dengan Mahamentri I Hino benar-benar diselenggarakan dengan meriah. Banyak tamu yang hadir dalam perhelatan yang diselenggarakan selama hampir satu bulan. Rakyat-pun ikut menikmati kemeriahan pesta yang diselenggarakan istana dan mereka bisa menikmati aneka makanan serta jajanan gratis."Aku senang seluruh rakyat dapat menikmati pesta yang menyenangkan ini. Hanya semua pasti ada akhirnya bukan? Tidak selamanya kita akan berpesta. " Kata Andaka pada Kelwang, Munding dan Rukma."Benar. Tapi puncak acara yang sangat ditunggu adalah pemberian berkat bagi pengantin dari para Wiku. Aku jadi penasaran saja apa yang akan menjadi hadiah Wiku Wirathu dan Sasodara nanti bagi kedua mempelai." Rukma memang sedang bertanya-tanya apakah Wiku Sasodara benar-benar akan memberikan mustika Udarati pada kerajaan Medang atau justru menyimpannya untuk Pangeran Balaputeradewa."Kau benar Kakang Rukma. Aku juga sangat penasaran dan jika tidak salah. Puncaknya adalah mala
Bangunan suci di Bhumi Sambhara telah diresmikan. Semua orang berbahagia terutama para Wiku karena Bhumi Sambhara akan menarik banyak orang untuk datang dan bersembahyang di tempat suci itu. Sehingga persembahyangan itu tidak hanya mendatangkan berkat dari doa-doa mereka yang berziarah namun sekaligus akan menjadi pemicu peningkatan ekonomi Medang dari perdagangan dan wisatanya."Wiku Sasodara sekarang sampailah kita pada pemberian hadiah pada Silpin Agung yang telah menyelesaikan pembangunan Bhumi Sambhara Budura. Aku akan menganugerahkan gelar Rakai dan akan kuberikan wilayah Kailasa kepadanya." Maharaja Samarattungga bertitah. Mendengar berita itu Sang putri Dyah Meitala dan putranya Pikatan langsung berlutut. Warisan ayah mereka akhirnya kembali lagi kepadanya. "Mulai hari ini silpin Agung Medang akan bergelar Rakai, dan akan disebut sebagai Rakai Pikatan Dyah Saladu yang akan menguasai Keilasa dan sekitarnya di wilayah Kewu. Kami semua warga Medang berterima kasih kepadanya atas