Malam itu Jentra dipanggil menghadap Pangeran Balaputeradewa di perdikannya di Walaing. Sementara Rukma diminta Jentra untuk menjaga Candrakanti dan Gyandra supaya mereka tidak benar-benar meninggalkan Jentra, sekaligus membuat Rukma tidak harus menjawab pertanyaan Mahamentri I Halu terkait dengan kepergian Ganika. Jentra-pun duduk bersila menunggu kehadiran Pangeran Balaputeradewa. Saat Sang Pangeran datang, Jentra menerima perlakuan seperti saudara laki-laki jauh yang baru saja kembali. Pangeran Balaputeradewa memeluknya."Jentra, akhirnya setelah sekian lama kita bertemu lagi. Kenapa kau tidak pernah nampak menua?" Sambut Pangeran Balaputeradewa."Udara gunung sangat baik untuk kulit Gusti. Airnya-pun jernih dan murni sehingga kami benar-benar merasakan keberkahan dari semesta melalui semua anugerah alam yang seringkali kita abaikan." Jawab Jentra."Aku percaya Jentra. Kau semakin tampan saja, tidak berniat menambah istri? Jika kau berminat, aku bisa mengatur perjodohanmu dengan S
Jentra diam-diam mengumpulkan orang-orang yang bisa dipercayanya untuk menghadang pasokan batu dan kayu yang digunakan untuk membangun Bhumi Sambhara Budura. Mereka sengaja membuat dam-dam besar dengan menarik air dari seluruh penjuru wilayah, kemudian mereka membuka dam-dam itu saat pasokan batu datang dari Gunung Candramuka atau Candrageni. Strategi ini di sebut sebagai serangan dengan air. Serangan ini akan membuat kapal-kapal pengangkut batu pecah berantakan sementara batu-batu itu akan tenggelam di sungai yang dalam dan berbuaya. Hal ini sudah pasti menyulitkan anak buah Pikatan untuk mendapatkan batu-batu terbaik ketika membangun Bhumi Sambhara Budura. Mereka harus mengumpulkan batu-batu itu lagi satu per satu dengan bantuan gajah-gajah besar yang tidak takut pada buaya.Serangan-serangan air ini dilakukan dengan sangat baik dan tepat sasaran. Sehingga para silpin menjadi kesulitan jika tiba-tiba wilayah mereka dibanjiri air. Bagi orang-orang Syailendra hal ini bukanlah hal su
Kelwang mengendap-endap diantara pepohonan bersama Laturana menuju salah satu titik api yang di maksud Pikatan di hulu anak-anak sungai yang nantinya bermuara di Progo atau Elo. Ia melihat sekelompok pria muda yang dipimpin seorang wanita muda."Apakah ini yang dimaksud Kakang Rukma sebagai Gyandrawati Wulan, putri dari Paman Jentra Kencana? Ternyata gadis ini sangatlah cantik Ratna Widuri bukanlah lawan yang sepadan dengan kecantikannya. Pantas saja, Gusti Ayu Dyah Meitala tadinya akan menikahkan gadis ini dengan Gusti Pikatan. Sungguh pasangan yang sangat serasi. Tampan dan cantik." Kata Kelwang lirih."Ah, tapi kau juga tidak kalah tampan dibandingkan Gusti Pikatan, Kelwang. Hanya berbeda warna kulit saja, kau hitam manis dan Gusti Pikatan putih susu. Namun semua memiliki daya tariknya sendiri." Laturana yang diam-diam mendengar perkataan Kelwang menanggapi. Kelwang menjadi malu. "Biarkan Ratna Widuri menjadi kekasih Megarana saja. kasihan dia, sudah mulai tua tapi belum ada jodo
Purnama bulan Kaso baru saja berlalu. Dua orang berusia muda sedang berbincang di atas kudanya melalui jalanan yang berbatu.Sawah-sawah sudah tidak lagi nampak ditanami, tapi justru sudah mulai nampak menghitam karena sisa-sisa batang padi telah mulai dibakar. Pada masa seperti ini, petani sudah bersiap untuk menanam palawija karena hujan diperkirakan sudah tidak akan banyak lagi yang turun mengairi sawah-sawah mereka.Dua orang muda itu berkuda menyusuri sawah-sawah yang sebentar lagi akan mengering dengan berlindung dari terik matahari yang membakar kulit di bawah pepohonan yang berjajar di sepanjang jalan. Sepertinya, mereka berdua adalah para Panuran yang baru saja selesai memungut pajak dari desa setempat. Namun, baru saja mereka melewati tikungan yang menuju jalan hutan, mereka dicegat delapan orang bersenjata.Kedelapan orang bersenjata itu sepertinya adalah perampok yang memang suka mencegat petugas pajak dan merampas pajak negara yang tidak sedikit jumlahnya."Berhenti! Se
Jentra melanjutkan perjalanannya menuju Kedu di utara. Namun, ia harus melalui banyak sekali rintangan. Dari binatang buas yang mengganggu, badai pancaroba yang menghancurkan pepohonan, dan wanua-wanua yang kurang bersahabat terutama wanua atau watak yang dikuasai oleh Rakyan atau rama berwangsa Sanjaya. Namun, Jentra tetap harus menjalankan misinya untuk mengetahui wanua-wanua mana yang memang memiliki potensi melakukan pemberontakan.Selama masa perjalanan itu, ia merasa dibuntuti seseorang. Ia memang berpura-pura tidak tahu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang membuntutinya.Sampai suatu malam, Jentra sengaja beristirahat di bawah pohon supaya penguntitnya mendekat. Ia sengaja tidak menambahkan kayu api dan pura-pura tertidur. Tidak berapa lama telinganya mendengar orang berbisik lirih."Apakah dia sudah tertidur?"Dari pendengaran Jentra. Penguntitnya adalah wanita dan tidak hanya satu orang, namun beberapa orang, tanpa Jentra bisa memastikannya."Sepertinya sudah,
Jentra baru sadar keesokan paginya. Ia berusaha mengingat semua yang terjadi, namun semuanya samar-samar.Akhirnya, Jentra berkemas untuk kembali ke Kedu dan memberikan laporan kepada Sri Maharaja Rakai Garung atas apa yang ditemukan dan dilihatnya. Namun, sesampainya di Sima Deruk, ia dihadang banjir bandang yang begitu besarnya.Hujan deras sudah hampir lima hari mengguyur Sima Deruk. Air Sungai Banjaran mulai meninggi karena terus menerus menerima curahan air langit yang tak kunjung berhenti."Emaaak! Bapaaak!"Jentra mendengar suara teriakan keras seorang anak di antara derasnya air banjir. Ia pun mengedarkan pandangan, lalu bertemu sosok yang terombang-ambing di atas sebuah rakit. Tubuh kecilnya mencoba melintas air yang semakin deras. Beberapa kali ia menghindari terjangan ranting besar dan kayu yang hanyut. Ia mencoba mencapai kebun pisang yang tidak jauh jaraknya dari rumahnya. Ia mendayung rakit dengan tangan kecilnya."Emaaakk! Bapaakk!!" teriakannya begitu menyayat hati. N
Jentra...Jentra!" Teriak Pangeran Balaputradewa dari dalam ruang pemujaan. Seorang abdi tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari dalam dan segera bersujud di depan pintu bangunan besar tempat biasanya para bangsawan bersemadi. "Maaf Pangeran. Tuan muda Jentra belum kembali." Jawabnya sambil menghaturkan sembah. Pangeran Balaputradewapun membuka pintu utama balai semadi. "Belum pulang? Ke mana saja dia? Aku sangat ingin berlatih ilmu sapu angin yang baru saja kupelajari." Katanya."Benar Pangeran. Tuan muda Jentra belum pulang dari tugas yang diperintahkan Yang Mulia Sri Maharaja Rakai Garung untuk menyelidiki perdikan-perdikan yang dikuasai oleh wangsa Sanjaya."Jawab abdi balai semadi. "Hhhmm....sayang sekali. Padahal aku sangat ingin berlatih ilmu ini untuk menghadapi ilmu Danurwenda dan Astra Kenanga miliknya."Kata Pangeran Balaputradewa."Astra Kenanga? Apakah tidak terlalu berbahaya bermain dengan ilmu itu Mahamentri I Halu?" Tanya Wiku Wirathu, penasehat Sang Maharaja Rakai Gar
Keinginan Pangeran muda wangsa Syailendra Balaputradewa untuk medapatkan benda pusaka nampaknya telah tercium oleh telik sandi baik dari kerajaan Pengging maupun oleh wangsa Sanjaya. Sehingga desas-desus mulai menyebar tidak hanya di kalangan kecil para bangsawan namun juga pendekar-pendekar jagad persilatan. Tidak terkecuali putra-putra para Rakai penguasa perdikan juga mulai memburu benda pusaka yang dimaksud yaitu Mustika Udarati. "Kau yakin kalau pangeran muda wangsa Syailendra itu akan naik ke puncak Udarati?"Tanya Cayapata salah seorang anggota Sandidharmayuga dari kerajaan Pengging atau satuan khusus mata-mata kerajaan. "Benar, Kakang Cayapata. Aku mendengar dari sumber yang bisa dipercaya. Konon pangeran muda ini ingin menjadi Mahamentri I Hino (Putra Mahkota) karena Maharaja belum berputra. Oleh karena itu dia mencari Mustika Udarati yang konon dapat menarik energi mahkota sehingga siapapun yang memilikinya akan dapat menjadi Raja besar. Seorang Chakrawartin (Raja di raja, p